The Correlation of Southern Oscillation Index (SOI) with the Rainfall …………

(Ni Wayan Mita Restitiasih, dkk)

Korelasi Southern Oscillation Index (SOI) Terhadap Curah Hujan Pada Puncak Musim Hujan dan Kemarau di Wilayah Kintamani-Bangli Periode 1986-2015

The Correlation of Southern Oscillation Index (SOI) with the Rainfall at Rainy and Dry Season Peak in Kintamani-Bangli Region period 1986-2015

Ni Wayan Mita Restitiasih1, I Ketut Sukarasa2*, I Wayan Andi Yuda3

  • 1,    2Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia 80361

  • 3BMKG Stasiun Klimatologi Klas II Negara, Jembrana, Bali, Indonesia 82212

Email: mitarestitiasih@student.unud.ac.id; *iketutsukarasa@unud.ac.id; andiyudaiwayan@gmail.com

Abstrak – Telah dilakukan penelitian korelasi Southern Oscillation Index (SOI) terhadap curah hujan pada puncak musim hujan dan kemarau di wilayah Kintamani-Bangli , dengan mengambil data nilai SOI dan curah hujan periode 1986-2015. Data curah hujan yang digunakan tercatat pada 2 pos hujan yaitu Kembangsari dan Kintamani. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan fluktuasi nilai SOI dengan intensitas curah hujan, sehingga dapat digunakan sebagai perencanaan pengelolaan kawasan saat terjadi El Nino. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi. Hasil yang diperoleh dari korelasi yaitu hubungan nilai SOI dan curah hujan pada bulan Fembruari adalah cukup kuat di pos Kembangsari dengan koerisien korelasi sebesar 0,409. Sedangkan untuk pos Kintamani korelasi yang diperoleh lemah dengan koefisien korelasi 0,308. Kemudian bulan Agustus korelasi lemah terjadi di pos Kembangsari dengan koefisien korelasi 0,2398 dan cukup kuat di pos Kintamani dengan koefisien korelasi 0,4662. Sehingga pengaruh El Nino di wilayah Kintamani pada Bulan Februari lebih dominan di pos Kembangsari dan pada Bulan Agustus di pos Kintamani.

Kata kunci: El Nino, nilai SOI, curah hujan, korelasi, anomali

Abstract – A correlation study of the Southern Oscillation Index (SOI) on rainfall at the peak of the wet and dry season in the Kintamani-Bangli region has been carried out by taking SOI values and rainfall data for the period 1986-2015. The rainfall data used were recorded at 2 rain posts, namely Kembangsari and Kintamani. The research aimed to determine the relationship of fluctuations in the value of SOI with the intensity of rainfall, so that it can be used as a regional management plan when El Nino occurs. The method used in this study is correlation. The results obtained from the correlation that is the relationship between SOI value and rainfall in February were quite strong in the Kembangsari post with correlation coefficient of 0.409. Whereas for the Kintamani post the correlation obtained was weak with a correlation coefficient of 0.308. Then in August a weak correlation occurred in the Kembangsari post with a correlation coefficient of 0.2398 and was quite strong in the Kintamani post with a correlation coefficient of 0.4662. So that the influence of El Nino in the Kintamani area in February was more dominant in the Kembangsari post and in August at the Kintamani post.

Key words: El Nino, SOI value, rainfall, correlation, anomaly

  • 1.    Pendahuluan

Pada umumnya Indonesia memiliki dua musim yaitu hujan dan kemarau, terjadinya musim tersebut dipengaruhi oleh sirkulasi monsoon, selain sirkulasi monsoon di Indonesia juga dipengaruhi oleh pengaruh lokal dan fenomena global diantaranya sirkulasi Hadlay, sirkulasi Walker, El Nino, La Nina, dan Indian Ocean Dipole. Salah satu fenomena global yang memiliki dampak penurunan curah hujan yang mengakibatkan suatu daerah dalam kondisi kekeringan adalah El Nino yang ditandai dengan pemanasan permuakaan air laut di lautan Pasifik tropis bagian timur [1].

Permukaan laut yang lebih panas menyebabkan tekanan udara diatasnya menjadi lebih rendah. Ketika laut tropis bagian timur memanas, maka bagian barat akan menjadi lebih dingin, sehingga tekanan udara diatasnya menjadi lebih tinggi. Demikian sebaliknya yang membentuk pola osilasi dikenal dengan osilasi selatan (Southern Oscillation). Southern Oscillation Index (SOI) merupakan suatu nilai yang dapat

menujukkan telah terjadinya peristiwa El Nino atau tidak. Apabila nilai SOI bernilai -5 s/d +5 tergolong netral, untuk -5 s/d -10 termasuk El Nino lemah- sedang, dan SOI yang lebih kecil dari -10 digolongkan El Nino kuat setelah berlangsung selama 3 Bulan berturut-turut. Menurut pengamatan, El Nino berulang dalam rentang 2 sampai 7 tahun atau rata–rata terjadi empat tahun sekali [2].

Kejadian El Nino berdampak pada wilayah Indonesia berupa penurunan curah hujan yang menyebabkan kemarau berkepanjangan, sehingga pada sektor pertanian akan mengalami gagal panen [3]. Namun Pengaruh El Nino pada variablilitas curah hujan setiap wilayah di Indonesia tidak sama. Bali yang terletak di Indonesia bagian tengah tepatnya pada 8°3'40"LS - 8°50'48"LS dan 114°25'53"BT-115°42'40"BT, juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yuda dan Prasetia yang berjudul Analisis Dampak El Nino dan La Nina Terhadap Anomali Curah Hujan Bulanan di Provinsi Bali Menggunakan Grafik Enso Impac. Diketahui bahwa pada 7 titik pengamatan hujan di Bali yang menunjukan pengaruh El Nino pada penurunan anomali curah hujan Bulan Januari dan September [4].

Kawasan Kintamani-Bangli merupakan daerah yang rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca, selain itu terjadinya awal musim penghujan juga tidak menentu. Variabilitas cuaca serta anomali iklim yang saat ini sering terjadi juga berpengaruh terhadap pola cuaca dan iklim di kawasan Kintamani-Bangli. Akan tetapi pengaruh variabilitas cuaca serta anomali iklim ini berbeda-beda pada setiap lokasi akibat dari perbedaan pengaruh pengendali-pengendali iklim. Maka dari itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan fluktuasi nilai SOI dengan besaran curah hujan, sehingga dapat digunakan sebagai perencanaan pengelolaan kawasan saat terjadi El Nino [5].

  • 2.    Landasan Teori

    2.1    Interaksi Laut dan Atmosfer

Energi matahari yang merupakan penggerak utama dari siklus. Panas matahari membuat air yang ada di muka bumi menguap (evaporasi), ketika uap air berkumpul terjadi proses kondensasi sehingga terbentuklah awan, dengan batuan angin awan kecil berkumpul menjadi awan besar. Ketika awan tersebut sudah tidak mampu menahan air maka akan jatuh dan terjadi hujan (presipitasi), seperti tampak pada Gambar 1 [6].

Gambar 1. Interaksi laut dan atmosfer.

Variabilitas iklim disebabkan oleh interaksi kompleks antara atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer. Proses interaksi laut dan atmosfer mempunyai pengaruh yang besar terhadap cuaca dan iklim global di wilayah Indonesia. Interaksi kopel atmosfer Samudera Pasifik menyebabkan peristiwa El Nino dan La Nina. Usaha untuk memahami interaksi-interaksi ini terutama antara atmosfer dan laut difokuskan pada fenomena Osilasi Selatan [7].

  • 2.2    Curah Hujan

Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi yaitu turunnya cairan dari atmosfer dalam bentuk cair (tetes hujan) dan padat (salju). Di wilayah tropis seperti Indonesia presipitasi lebih didefinisikan sebagai hujan karena sangat jarang terjadi presipitasi dalam bentuk jatuhan butiran es. Jumlah curah hujan di catat dalam satuan inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan

yang menutupi permukaan bumi setebal 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer [8].

Curah Hujan mempunyai variabilitas yang besar dalam ruang dan waktu. Dalam skala ruang, variabilitasnya sangat dipengarui oleh letak geografis, topografi, arah angin dan letak lintang. Dalam skala waktu keragaman curah hujan dibagi atas tipe harian, bulanan, dan tahunan. Variasi curah hujan harian lebih dipengarui oleh faktor lokal, variasi bulanan oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, arah aliran udara di permukaan serta variasi sebaran daratan dan lautan. Sedangkan variasi curah hujan tahunan dipengarui oleh perilaku atmosfer Global, Siklon tropis, dan lain-lain. Secara umum curah hujan di Indonesia di dominasi oleh pengaruh beberapa fenomena seperti sistem monsoon Asia-Australia, El Nino/ La Nina, Sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation), Sirkulasi Utara-Selatan (Hadley Circulation), serta beberapa sirkulasi karena faktor lokal [9].

  • 2.3    El Nino

Menurut sejarahnya fenomena yang teramati oleh para penduduk atau nelayan Peru dan Ekuador yang tinggal di pantai sekitar Samudera Pasifik bagian timur menjelang hari natal (Desember) merupakan El Nino, yang teramati adalah meningkatnya suhu permukaan laut yang biasanya dingin menjadi lebih hangat. El Nino mengakibatkan perairan yang tadinya subur dan kaya akan ikan (akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan laut yang membawa banyak nutrien dari dasar laut) menjadi sebaliknya. Pemberian nama El-Nino pada fenomena ini disebabkan oleh karena kejadian ini sering kali terjadi pada Bulan Desember. El Nino (Bahasa Spanyol) sendiri dapat diartikan sebagai “anak lelaki”. Para ahli juga menemukan bahwa selain menghangatnya suhu permukaan laut, terjadi pula sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut. Kebalikan dari fenomena ini selanjutnya diberi nama La Nina (Bahasa Spanyol) yang berarti “anak perempuan” [10].

  • 3.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode pengumpulan data curah hujan dan nilai SOI serta dianalisis korelasi untuk melihat nilai koefisien korelasi(r). Data curah hujan yang digunakan tercatat pada dua tempat di kecamatan Kintamani yaitu di pos Kembangsari bertempat di desa Satera pada 08o10’21”LS-155o15’58”BT dan pos Kintamani bertempat di desa Kintamani yang terletak pada 08o14’24”LS-155o19’49”BT (Gambar 2) [11]. Sedangkan nilai SOI diperoleh dari Bureau Of Meteorology (BOM) melalui akses Web [12]. Data yang digunakan adalah data bulanan curah hujan dan nilai SOI 30 tahun terakhir mulai dari tahun 1986-2015.

Gambar 2. Lokasi Penelitian


Koefisien korelasi adalah nilai yang menggambarkan tingkat keeratan hubungan linear antara satu peubah atau lebih. Persamaan yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah [13]:


r =


N∑*Lιχlyl -(∑⅛)(∑⅛ )


1                                   1

(½*2-(^⅛ )2)2 (¾yrα⅛ )2)2


1)


Dimana:

R = Koefisien korelasi antara X dan Y

X = Variabel bebas (SOI)

Y = Variabel terikat (Curah hujan)

N = Banyaknya pasangan data

Nilai r dalam tingkat hubungan sangat rendah, rendah, cukup kuat, kuat, dan sangat kuat dari korelasi akibat perubahan variabel X dan Y ditunjukkan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Interval dan tingkat hubungan korelasi.

No

Interval

Tingkat Hubungan

1

0,00 – 0,199

Sangat lemah

2

0,20 – 0,399

Lemah

3

0,40 – 0,599

Cukup kuat

4

0,60 – 0,799

Kuat

5

0,80 – 1,000

Sangat kuat

  • 4.    Hasil Dan Pembahasan

Daerah yang memiliki tipe curah hujan monsoon akan cenderung mengalami dua musim yaitu hujan dan kemarau. Untuk menentukan Bulan yang menjadi puncak musim hujan dan kemarau adalah dengan melihat rata-rata curah hujannya. Bulan yang menjadi puncak musim hujan dan kemarau di masing-masing pos dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Rata-rata curah hujan bulanan untuk pos Kembangsari.

Gambar 4. Rata-rata curah hujan bulanan untuk pos Kintamani.

Berdasarkan Gambar 3 puncak musim hujan di pos Kembangsari terjadi pada Bulan Februari dengan curah hujan 606,70 mm, sedangkan puncak musim kemarau terjadi pada Bulan Agustus dengan curah hujan 4,85 mm. Gambar 4 menunjukkan puncak musim hujan di pos Kintamani terjadi pada Bulan Januari dengan curah hujan 459,37 mm dan puncak musim kemarau terjadi di Bulan Agustus dengan curah hujan 9,23 mm. Dari Gambar 3 dan 4 puncak musim hujan terjadi Bulan Januari dan Februari serta puncak musim

kemarau untuk kedua pos terjadi pada Bulan Agustus. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Ahmad Fadholi (2013), yang menyimpulkan bahwa puncak musim hujan secara umun terjadi pada Bulan Desember hingga Februari dan puncak musim kemarau terjadi pada Juni hingga Agustus.

Bulan Februari merupakan puncak musim hujan dan Agustus merupakan puncak musim kemarau di wilayah Kintamani-Bangli. Data curah hujan dan nilai SOI pada puncak musin hujan dan kemarau diolah dan diperoleh nilai korelasi yang ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6.



Gambar 5. Scatter plot nilai korelasi antara nilai SOI dan curah hujan pada Bulan Februari: (a) di pos Kembangsari dan (b) pos Kintamani.

Gambar 5 (a) dan (b) menunjukkan hubungan fluktuasi nilai SOI terhadap curah hujan pada bulan Februari yang mewakili musim hujan, hubungan yang terjadi linier positif di masing-masing pos dimana kenaikan nilai SOI diikuti dengan peningkatan curah hujan, begitupun sebaliknya penurunan nilai SOI diikuti dengan penurunan curah hujan. Hubungan nilai SOI dengan curah hujan di pos Kembangsari memiliki koefisien korelasi cukup kuat yaitu sebesar 0,41 yang ditunjukkan pada Gambar 5 (a). Sedangkan Gambar 5 (b) menunjukan koefisien korelasi sebesar 0,31 di pos Kintamani yang artinya hubungan nilai SOI terhadap curah hujan tergolong rendah, sehingga fenomena El Nino tidak begitu berpengaruh di pos Kintamani untuk Bulan Februari.

Gambar 6. Scatter plot nilai korelasi antara nilai SOI dan curah hujan pada Bulan Agustus di: (a) pos Kembangsari dan (b) pos Kintamani.


Hubungan nilai SOI terhadap curah hujan di pos Kembangsari rendah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,23 seperti pada Gambar 6 (a), sedangkan korelasi yang cukup kuat terjadi di pos Kintamani dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,47 yang ditunjukan pada Gambar 6 (b) pada Bulan Agustus. Hubungan kelinieran antara nilai SOI sebagai variabel bebas dan curah hujan sebagai variabel terikat tergolong hubungan linier positif dimana kenaikan nilai SOI diikuti dengan peningkatan curah hujan.

  • 5.    Kesimpulan

Hubungan fluktuasi nilai SOI terhadap curah hujan pada pos Kembangsari cukup kuat pada Bulan Februari dan rendah pada Bulan Agustus, kemudian di pos Kitamani fluktuasi nilai SOI tergolong rendah saat Bulan Februari dan cukup kuat pada Bulan Agustus. Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat dilihat dari

nilai korelasinya dimana pada pos Kembangsari mempunyai korelasi sebesar r = 0,41 pada Bulan Februari dan r = 0,23 pada Bulan Agustus sedangkan di pos Kintamani nilai korelasinya sebesar r = 0,301 pada Bulan Februari dan r = 0,47 pada Bulan Agustus, sehingga pengaruh El Nino di wilayah Kintamani pada Bulan Februari lebih dominan di pos Kembangsari dan pada Bulan Agustus di pos Kintamani.

Ucapan Terima Kasih

Terimakasih kepada BMKG (Stasiun Klimatologi Klas II Jembrana) atas kerjasamanya.

Pustaka

  • [1]    A. Fadholi, Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) Terhadap Curah Hujan di Pangkalpinang, Jurnal Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP, Volume 11, 2013, pp. 4546.

  • [2]    A. Yanato, dan Rini. M. S., Analisis Kejadian El Nino dan Pengaruhnya Terhadap Intensitas Curah Hujan di Wilayah Jabodetabek Selama Periode Puncak Musim Hujan Tahun 2015/2016, Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 17 No.2, 2016, pp. 70.

  • [3]    Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change, 2001, Available From https://www.ipcc.ch/pdf/climate-changes_2001/synthesissyr/english/front.pdf., Diakses tanggal 19 Juli 2017.

  • [4]    I.W.A. Yuda, dan R. Prasetia, Analisis Dampak El Nino dan La Nina Terhadap Anomali Curah Hujan Bulanan di Provinsi Bali Menggunakan Grafik Enso Impac, Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA, FMIPA-IPB, Bogor, 2014, pp. 503-507.

  • [5]    I. B. M. Astawa, Potensi Sumber Daya Alam Dan Pengelolaannya Untuk Mendukung Kehidupan Sosial Masyarakat Adat Wilayah Gunung Batur Bangli, Jurnal SOCIA, Vol. 11, No. 1 Mei, 2012, pp. 44-45.

  • [6]    E. Aldrian, Dissertation: Simulation of Indonesian Rainfall With a Hierarchy of Climate Models., Max Planck-Institut fur Meteorologie, Jerman , 2003, pp. 13-15.

  • [7]    B. H. K. Tjasyono, Lubis, R. A., Harijono, S. W. B., dan Juaeni, I., Dampak Variasi Temperatur Samudera Pasifik dan Hindia Ekuatorial terhadap Curah Hujan di Indonesia, Jurnal Sains dan Dirgantara, 2008, pp. 83-95.

  • [8]    Abd. Rahman As-Syakur, Indentifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap Curah Hujan Di Wilayah Batukaru Bedugul, Bali, Jurnal Bumi Lestari, Vol. 7 No.2 Agustus, 2007, pp. 124-128.

  • [9]    C. D. Ahrens, Meteorology Today An Introduction to Weather, Climate, And The Environment, 8th ed., Thomson Brooks/Cole, USA, 2007, pp. 239-241.

  • [10]    R. Pratama, Pola Curah Hujan Di Pulau Jawa Pasca Periode Normal, El Nino, dan La Nina, Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2011, pp. 34.

  • [11]    -------------, Google Maps, Kecamatan    Kintamani,    2017, Available from:

https://www.google.co.id/maps/place/Kintamani,+Bangli+Regency,+Bali, diakses tanggal 19 Juli 2017.

  • [12]    ------------,Bereau Of Meteorology, Southern Oscillation Index (SOI), 2017, Available from:

http://www.bom.gov.au/climate/current/soihtm1.shtml, diakses tanggal 19 Juli 2017.

  • [13]    Riduwan, Rumus dan Data Dalam Analisis Statistika, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2015, pp. 21.

11