Sulthon Sjahril Sabaruddin, Perkembangan daya saing ... 153

PERKEMBANGAN DAYA SAING EKSPOR RI-CHINA SELAMA PERIODE 1985-2010: SUATU PELAJARAN BAGI INDONESIA

Sulthon Sjahril Sabaruddin*

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta e-mail: ssabaruddin@yahoo.co.id

Abstract: RI-China Export Competitivess Development during 1985-2010 : A Lesson for Indonesia This paper is intended to evaluate the development and changes in the structure of the Indonesian and China exports comparative advantage (the competitiveness of exports) during the period of 1985-2010. The results of the empirical analysis for the exports comparative advantage shows that during the period of 1985-2010, the trend of structure development of the competitiveness of Indonesian exports is now more diversified and become a country which previously an exporter-based of natural resource country, and now become a country in which the manufacturing sector played a bigger role to encourage the Indonesian exports with a relatively high competitiveness. On the other hand, China has undergone a huge industrial development at a faster pace compared Indonesian. Whereas in 1985, the top-ten products of China’s exports the majority originated from the primary sector, and now in 2010, China has successfully export the technological-based products, for instance, the engine data processors and telecommunication equipment with a very high level of competitiveness. Besides, China has also successfully encourage the export of highly competitive textile products, furniture, pedestal legs and toys child. China has now become one of the countries who has the technologicalbased industry with a very high competitiveness and as well a strong competitive manufacturing products.

Keywords: comparative advantage, the competitiveness of export, normalized revealed comparative advantage (NRCA), trade balance index (TBI), product mapping

Abstrak: Perkembangan Daya Saing Ekspor RI-China selama Periode 1985-2010: Suatu Pelajaran bagi Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi perkembangan dan perubahan struktur keunggulan komparatif ekspor (daya saing ekspor) Indonesia dan China selama periode 19852010. Hasil analisis empiris keunggulan komparatif ekspor menggambarkan bahwa selama kurun periode 1985-2010 tren perkembangan struktur daya saing ekspor Indonesia kini lebih terdiversifikasi dan menjadi negara yang sebelumnya pengekspor berbasis Sumber Daya Alam, kini menjadi negara dimana sektor manufaktur turut berperan mendorong ekspor Indonesia dengan daya saing yang cukup tinggi. Namun disisi lain, China telah mengalami pembangunan industri yang sangat pesat dibandingkan Indonesia. Dimana pada tahun 1985, top-ten produk ekspor China tahun 1985 mayoritas berasal dari sektor primer, kini pada tahun 2010, China telah berhasil ekspor produk industri berbasis teknologi seperti mesin pemroses data dan peralatan telekomunikasi dengan daya saing yang sangat tinggi. Selain itu, China juga telah berhasil mendorong ekspor produk tekstil, mebel, alas kaki dan mainan anak dengan daya saing tinggi. China kini menjadi salah satu negara yang memiliki industri berbasis teknologi dengan daya saing sangat tinggi serta memiliki produk manufaktur yang berdaya saing tinggi.

Kata Kunci: keunggulan komparatif, daya saing ekspor, normalized revealed comparative advantage (NRCA), trade balance index (TBI), product mapping

PENDAHULUAN

Hubungan perdagangan bilateral RI-China telah berkembang dengan pesat khususnya sejak penandatanganan Kemitraan Strategis RI-China pada tahun 2005 serta berlakunya Early Harvest Program pada tanggal 1 Januari 2004 (0% pada tahun 2006) dan terus berkembang lebih pesat lagi

sejak implementasi penuh (Normal Track I) ACFTA efektif bulan Januari 2010 lalu. Perdagangan bilateral Indonesia-China meningkat pesat dari hanya US$4.8 milyar (2000), US$14.9 milyar (2006) dan terakhir mencapai puncaknya sebesar US$49 milyar (2011). Sebagai mitra dagang RI, sejak tahun 2010 China merupakan kedua terbesar mengalahkan Singapura, Korea Selatan dan Amerika Serikat, dan hanya

berada dibawah Jepang yang menduduki peringkat teratas (lihat tabel 2). Baik ekspor maupun impor terus mengalami peningkatan dengan pesat namun dengan neraca perdagangan defisit di pihak Indonesia sejak tahun 2008. Nilai ekspor Indonesia ke China

meningkat dari US$8.3 milyar (2006) menjadi US$22.9 milyar (2011), sedangkan nilai impor Indonesia dari China meningkat dari US$6.6 milyar (2006) menjadi US$26.2 milyar (2011).

Tabel 1.

Neraca Perdagangan Indonesia-ChinaPeriode 2006-2011 (Nilai: Milyar Us$)


URAIAN           2006      2007     2008    2009    2010

Perubahan

2011          (%)

2011/2010

Total Perdagangan     14.98       18.23      26.88    25.5      36.11

Migas                  4.01        3.61       4.14     3.09      2.34

Non migas            10.96       14.62      22.73    22.41    33.76

Ekspor                 8.34        9.67      11.63     11.49     15.69

Migas                  2.87        3.01        3.84     2.57      1.61

Non migas             5.46        6.66       7.78     8.92    14.08

Impor                  6.63        8.55      15.24    14       20.42

Migas                  1.13        0.60       0.29     0.51      0.73

Non migas             5.50        7.95      14.94    13.49    19.68

Neraca Perdagangan     1.70        1.11       -3.61    -2.50     -4.73

Migas                  1.74        2.41        3.55     2.06      0.87

Non migas             -0.40       -1.30      - 7.16    -4.56     -5.6

49.15        36.09

2.10        -10.51

47.05        39.34

22.94       46.19

1.34        -16.52

21.59        53.37

26.21        28.34

0.75         2.66

25.45        29.30

-3.28        -30.87

0.58        -32.65

-3.86        -31.14


Sumber: Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2012)

Tabel 2.

Mitra Dagang RI Periode 2007-2011

(Dalam Milyar USD)


No Negara            2007    2008    2009      2010

2011       Trade

Share

1     Jepang              30.15     42.87   28.41      42.74

2     China               18.23     26.88    25.5       36.11

3     Singapura           20.34     34.65    25.81      33.96

4     Korea Selatan        10.77     16.03    12.88      20.27

5     Amerika Serikat      16.40     20.91    17.93      23.66

53.15      14%

49.15      13%

44.40      12%

29.38       8%

27.27       7%

Total Top 5          95.91    141.36   110.55     156.77

203.37      53%

Total                188.5    266.21   213.33     293.44

380.93     100%


Sumber: Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2012)

Jika dilihat berdasarkan klasifikasi produk Indonesia ke China berupa bahan baku, bahan baku berdasarkan: bahan baku (raw materials), bahan penolong (26 persen), barang konsumen (17 persen), baku penolong (intermediate goods), barang dan barang modal (4 persen). Hal yang menarik konsumsi (consumer goods), dan barang modal adalah ekspor Indonesia dalam bentuk bahan baku (capital goods), pada tahun 2010, ekspor bahan melonjak dengan pesat selama periode 2006-2010 mentah Indonesia ke China sebesar US$8.2 milyar, sedangkan lainnya secara rata-rata meningkat namun bahan baku penolong (US$4.1 milyar), barang lambat dan berfluktuatif. Sedangkan berdasarkan konsumen (US$2.6 milyar) dan barang modal pangsa terhadap total ekspor, ekspor utama (US$601 juta). Sekitar 53 persen dari ekspor Indonesia ke China pada tahun 2010 adalah batubara


(24.1 persen), karet olahan (16.5 persen), produk kimia (15.5 persen), kertas (14.6 persen), dan minyak sawit (14 persen).

Sedangkan untuk impor Indonesia dari China yang tertinggi adalah barang modal sebesar US$9.8 milyar (48 persen), diikuti bahan baku penolong (29 persen), barang konsumsi (17 persen), dan bahan mentah (6 persen). Barang modal utama yang diimpor Indonesia diantaranya adalah perangkat telekomunikasi, perangkat kapal, perangkat kendaraan bermotor, dan mesin elektronik; untuk bahan baku penolong yang paling banyak diimpor adalah suku cadang mesin kendaraan, produk kimia turunan hidrokarbon, bahan baku industri dan aksesoris; sedangkan barang konsumsi paling banyak adalah makanan olahan, produk tekstil dan produk susu. Dilihat dari pertumbuhannya, sejak pertengahan tahun 2000an impor RI dalam bentuk bahan baku mengalami peningkatan yang pesat diikuti oleh bahan baku penolong dan barang konsumsi namun sedikit berfluktuatif pada tahun 2008-2009. Sedang kan impor dari China dalam bentuk barang modal selama periode 2000an menunjukkan tren yang cenderung meningkat namun dengan angka pertumbuhan yang rendah.

Pesatnya peningkatan hubungan perdagangan RI-China setidaknya tidak terlepas dari dua faktor pendorong utama yakni: proses liberalisasi ekonomi Indonesia akibat krisis ekonomi dan keuangan 19971998 lalu dan political will kedua negara dalam menjalin kerjasama ekonomi baik dalam konteks bilateral melalui kesepakatan kemitraan strategis pada tahun 2005 maupun regional dalam bentuk kesepakatan ACFTA yang pada Januari 2010 lalu telah efektif berjalan secara penuh (full implementation). Oleh karena itu, maka tidak mengherankan jika realisasi target kedua negara untuk meningkatkan hubungan perdagangan RIChina sebesar US$50 milyar pada tahun 2014 yang sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan optimis dapat dicapai lebih cepat.

Kerjasama regional (termasuk ACFTA) yang kian erat telah mengubah struktur perdagangan luar negeri Indonesia. Porsi ekspor dan impor Indonesia dengan negara-negara Asia naik pesat, terutama ASEAN, China, dan Korea Selatan. Sebaliknya, porsi ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan penurunan. Artinya, kerjasama

regional secara nyata telah meningkatkan intensitas perdagangan regional alias terciptanya trade creation yakni peningkatan volume perdagangan sebagai akibat dari pengalihan perdagangan dari sumber biaya tinggi ke sumber biaya rendah akibat adanya perjanjian perdagangan bebas. Namun demikian dibalik kesuksesan dalam meningkatkan hubungan perdagangan RI-China tersebut, sekarang yang menjadi pertanyaan strategis adalah: bagaimana implikasi dari peningkatan drastis hubungan perdagangan RI-China ini terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan apakah daya saing ekspor Indonesia mampu bersaing dengan produk-produk China. Guna menelaah daya saing ekspor Indonesia dengan China, tulisan ini akan mengevaluasi perkembangan dan perubahan struktur keunggulan komparatif ekspor Indonesia dan China selama periode 1985-2010 dan berdasar kan perbandingan empiris tersebut, penulis menawarkan saran-saran kebijakan terkait bagaimana sebaiknya daya saing ekspor Indonesia dapat lebih ditingkatkan.

KAJIAN PUSTAKA

Secara umum, negara melakukan perdagangan untuk meningkatkan kesejahteraan, memperluas pilihan bagi konsumen, me maksimalkan net social returns melalui alokasi efisiensi sumber daya yang langka ke daerah ekonomi yang lebih produktif serta meningkatkan keduanya yaitu produksi nasional/ produk domestik bruto dan output dunia (Sodersten dan Reed, 1994). Keuntungan perdagangan dapat dilihat dari studi-studi sebelumnya oleh para ekonom-ekonom klasik seperti Smith (1776) dan Ricardo (1815-17), dimana hasil dari studi tersebut menyimpulkan bahwa keuntungan dari perdagangan dapat ditingkatkan jika didasarkan pada teori utama yaitu comparative cost advantage (keunggulan biaya komparatif) antar negara. Studi empiris berikutnya adalah MacDougall (1952) dan Stern (1962) yang juga menyimpul kan bahwa secara umum perdagangan internasional berdasarkan keunggulan biaya komparatif dapat memberikan keuntungan bagi negara-negara yang terlibat.

Namun demikian terdapat perbedaan antara teori perdagangan yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation yang menekankan teori keunggulan absolut dengan David Ricardo dengan teori keunggulan komparatif. Teori

keunggulan absolut menyatakan bahwa perdagangan bebas sebagai suatu kebijakan yang paling baik untuk negara-negara di dunia. Lebih lanjut, Adam Smith berpendapat bahwa suatu negara akan menghasilkan dan mengekspor barang dimana negara tersebut mempunyai keunggulan absolut atas negara lain. Sebaliknya, negara tersebut akan mengimpor barang bilamana negara tersebut mempunyai kerugian absolut dalam memproduksi barang-barangnya. Keuntungan mutlak diartikan sebagai keuntungan yang dinyatakan dengan banyaknya jam per hari kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang-barang. Asumsi yang digunakan Adam Smith dalam analisanya (Salvatore, 1996) adalah: 1) Berlakunya teori nilai tenaga kerja (labor theory of value) bagi penentuan nilai suatu barang; 2) Hanya tenaga kerja yang merupakan faktor produksi yang bersifat homogen. Hal ini berarti bahwa tenaga kerja mempunyai kualitas yang sama untuk setiap bidang produksi; dan 3) Terdapat immobilitas faktor produksi antar negara.

Asumsi yang digunakan Adam Smith tersebut, maka suatu negara akan terdorong untuk melakukan spesialisasi terhadap faktor produksi tertentu, sehingga akan menghasilkan pertambahan produksi dunia yang akan dipakai bersama-sama melalui perdagangan internasional antar negara. Dengan demikian kebutuhan suatu negara tidak diperoleh dari pengorbanan negara-negara lain, tetapi semua negara dapat memperolehnya secara serentak (Salvatore, 1996). Demikianlah sehingga perdagangan internasional akan memberi manfaat bagi perekonomian suatu negara atau wilayah. Teori keunggulan komparatif yang diusulkan oleh David Ricardo merupakan perbaikan atas teori keunggulan absolut yang belum dapat menjawab permasalahan yaitu, jika terdapat negara yang tidak memiliki keunggulan absolut dapat melakukan perdagangan. Sehingga, menurut Ricardo, keunggulan dari masing-masing negara yang melakukan perdagangan dalam konsep tersebut bersifat relatif, tidak absolut seperti dikemukakan oleh Adam Smith sehingga negara yang tidak mempunyai keunggulan absolut dapat melakukan perdagangan.

Menurut prinsip teori keunggulan komparatif, perdagangan masih dapat terjadi selama masing-masing negara mempunyai keunggulan komparatif dalam menghasilkan suatu macam komoditi. Ricardo berpendapat bahwa manfaat dari perdagangan masih

ada sekalipun negara tersebut mengalami kerugian secara mutlak (Salvatore, 1996). Disini negara yang kurang efisien dalam memproduksi kedua komoditi tersebut akan melakukan spesialisasi produksi pada komoditi dengan kerugian absolut terkecil. Dengan demikian negara tersebut yang masih mempunyai keunggulan relatif akan memproduksi komoditi yang bersangkutan dibandingkan mitra dagangnya. Sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditi dengan kerugian absolut yang lebih besar. Sehingga menurut Ricardo, perdagangan antar negara masih dapat terlaksana, jika masih ada perbedaan dalam perbandingan harga relatif antara negara sebelum dilakukan perdagangan.

Prinsip keunggulan komparatif menurut Todaro (2009:96) menegaskan bahwa suatu negara yang berada dalam kondisi persaingan, akan berspesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor jenis-jenis barang yang biaya relatifnya (relative cost) paling rendah. Teori dan konsep keunggulan komparatif ini kemudian selain David Ricardo juga dikemukakan oleh tokoh-tokoh ekonom lainnya seperti Hecksher dan Ohlin, Krugman hingga Redding. Namun tentu, konsep keunggulan komparatif berubah dari waktu ke waktu. Salah satu contoh, Redding (2004) menemukan bahwa keunggulan komparatif ditentukan secara endogenous oleh perubahan dan inovasi teknologi di masa lampau. Dinamika keunggulan komparatif juga bisa disebabkan oleh peran perdagangan input; friksi dalam aliran perdagangan dan investasi internasional akibat faktor geografi, kelembagaan, transportasi, dan biaya informasi; transmisi pengetahuan lintas batas; perbedaan teknologi lintas negara; dan kompetisi monopolistik dalam diferensiasi produk dengan return to scale yang meningkat.

Contoh lainnya pengembangan teori keunggulan komparatif, menurut Nafzinger (1997:493) menyatakan bahwa semua negara di dunia akan mendapatkan kesejahteraan terbesarnya jika setiap negara mengekspor produk yang biaya komparatifnya lebih rendah di negara tersebut daripada di negara lain, serta mengimpor barang yang biaya komparatifnya lebih rendah di negara lain daripada di negara tersebut. Dengan demikian perdagangan internasional dan spesialisasi ditentukan oleh biaya komparatif, bukannya biaya absolut. Bagi negara-negara tertinggal (LDCs) keunggulan komparatif industrinya menurut Nafzinger (1997:510) biasanya

pada pemrosesan barang-barang berbasis sumber daya alam. Sebagai contoh, Pakistan mungkin mengekspor tekstil dan benang, Zambia mungkin memilih mengekspor tembaga berkualitas tinggi, dan Tanzania akan mengekspor essen dan ekstrak kopi.

Sumber lain menyebutkan bahwa keunggulan komparatif sebuah negara ditentu kan oleh harga relatif sebelum perdagangan (Maule, 1996). Jika sebuah produk domestik harga relatifnya di bawah harga relatif pasar dunia, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif atas produk tersebut. Harga relatif sebelum perdagangan ini tergantung pada biaya produksi relatifnya. Penghitungan konvensional dari keunggulan komparatif, dengan demikian, berdasarkan perbandingan biaya relatif sebelum perdagangan. Dengan tiadanya data observatif atas biaya relatif dan/atau harga setiap produk domestik, Balassa (1965) mengembangkan pendekatan alternatif untuk menghitung keunggulan komparatif, dimana diasumsikan bahwa keunggulan komparatif dicerminkan atau ditampilkan oleh ekspornya ke dunia. Dengan demikian, keunggulan komparatif ekspor di wakili oleh komposisi ekspor komoditas suatu negara terhadap ekspor dunia (Maule, 1996).

Sementara itu pada beberapa dekade terakhir ini, kita mencatat pengembangan teori keunggulan komparatif lebih modern dalam teori perdagangan internasional seperti International Product Life Cycle, Competitive Advantage, dan Hyper Competitive. Dari ketiga tersebut, salah satu yang cukup dominan adalah teori Competitive Advantage oleh Michael Porter, dimana dikemukakan bahwa dalam era persaingan global ini, suatu negara akan dapat bersaing bila memiliki faktor-faktor dominan yaitu factor and demand conditions, related & supporting industry, dan firm strategy structure and rivalry. Bahkan akhir-akhir ini telah muncul kecenderungan terjadinya competitive liberalization yang merupakan kombinasi implementasi teori comparative advantage yang dinamis dengan teori competitive advantage. Namun intinya (kembali lagi pada model perdagangan keunggulan komparatif standar), model standar dari perdagangan sangatlah jelas bahwa sebuah negara mendapatkan untung dari perdagangan dengan menspesialisasi dan memproduksi lebih banyak barang yang memiliki keunggulan komparatif dan mengurangi produksi, serta mengimpor saja, barang dimana negara lain menikmati keunggulan komparatifnya (Berg, 2005:330).

METODE PENELITIAN

Dalam rangka mengevaluasi perkembangan daya saing produk Indonesia dan China, perlu dilakukan analisis atas produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, salah satu proposisi teori perdagangan klasik yang sangat berpengaruh adalah dimana pola perdagangan internasional ditentukan berdasarkan keunggulan komparatif yaitu terdapat suatu negara dengan keunggulan komparatif pada suatu komoditi akan mengekspor, dan negara lain yang tidak memiliki keunggulan komparatif (comparative disadvantage) akan mengimpor. Banyak studi empiris dilakukan terkait mengaplikasikan konsep teori keunggulan komparatif khususnya untuk menganalisis kinerja perdagangan dan sumber keunggulan komparatif. Tingkat daya saing komoditas ekspor suatu negara atau industri dapat dianalisis dengan berbagai macam metode atau diukur dengan sejumlah indikator seperti Revealed Comparative Advantage Index (RCA), Constant Market Share (CMS) dan Real Effective Exchange Rate (REER) (Tambunan, 2000). Namun pada tulisan ini analisis keunggulan komparatif (daya saing) akan dilakukan dengan pendekatan indeks RCA yang terbaru yakni Normalized Revealed Comparative Advantage (NRCA).

Studi terkait daya saing komoditas ekspor khususnya terkait RCA telah banyak dilakukan sebelumnya. Konsep dan penelitian mutakhir menunjukkan bahwa keunggulan komparatif sebuah negara adalah dinamis, tidak statis. Teori keunggulan komparatif dinamis memberikan perhatian yang lebih besar pada perubahan di sisi penawaran (produksi). Hal ini terkait dengan seberapa spesifik sebuah determinan mempengaruhi output (perekonomian), pertumbuhan, dan pada gilirannya keunggulan komparatif itu sendiri (Widodo, 2010). Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian Widodo (2008b), keunggulan komparatif Indonesia (dan China) berubah dari tahun 1985, 1995 dan 2005.

Salah satu studi sebelumnya terkait keunggulan komparatif RI-China secara tidak langsung dijelaskan oleh Widodo (2008b) yang menemukan bahwa keunggulan komparatif negara-negara Asia Timur selama periode 1985-2005 adalah sebagai berikut: (1) produk-produk primer dimiliki oleh Indonesia, Thailand dan China; (2) produk-produk berbahan alam dimiliki oleh China, Thailand dan

Indonesia; (3) produk-produk padat modal manusia dimiliki oleh China, Jepang dan Thailand; (4) produk-produk yang padat tenaga kerja tak terlatih dimiliki oleh China, Indonesia dan Thailand; dan (5) pada produk-produk padat teknologi dimiliki oleh Jepang, Korea, Singapura dan China (Kuncoro, 2010:263264). Dari perbandingan peringkat di atas dapat dilihat bahwa China lebih mendominasi pada hampir semua produk dibanding Indonesia.

Dalam menganalisis perkembangan daya saing ekspor RI-China, pendekatan yang akan digunakan adalah indeks Normalized Revealed Comparative Advantage (NRCA) periode 1985-2010 yang menurut penulis lebih baik dan akurat hasilnya berdasarkan atau dengan mempertimbangkan penelitian yang dilakukan oleh Elias Sanidas dan Yousoun Shin (2010). Penulis akan membandingkan hasil-hasil indikator NRCA Indonesia dan China dan memanfaatkan tools yaitu product mapping berdasarkan pendekatan penelitian Tri Widodo (2010). Hasil olahan indikator NRCA tersebut akan dimasukkan ke dalam product mapping dan; akan dipasangkan dengan indikator Trade Balance Index (TBI) sebagaimana pendekatan yang dilakukan Tri Widodo (2010). Terkait daya saing, Indonesia dapat memperbaiki daya saingnya atas China dengan menggunakan kesempatan yang ada dan mempelajari strategi baru dalam perdagangan, salah satunya menganalisis produk-produknya yang memiliki keunggulan komparatif dan spesialisasi ekspor. Maka pada tahap ini, penulis akan menganalisis: (1) memetakan keunggulan komparatif dan spesialisasi produk ekspor Indonesia dan China; dan (2) menganalisis peringkat 10 besar produk ekspor Indonesia dan China berdasarkan sektornya.

Indikator Normalized Revealed Comparative Advantage (NRCA) ditemukan oleh Yu, et al. (2009) dan menggunakan Comparative Advantage Neutral (CAN) dari Balassa RCA, dimana ekspor pada titik CAN, X1) diperoleh dari:

( X ij X i ) ( X w jX w) = 1 ………...............(1)

XiXwj

ΔXij = X i j - X ij = X ij - X w  …………….(2)

Maka NRCA memiliki rumusan sebagai berikut:

= Δ X ij = X i j     XwjXi

Xw Xw - X w X w

……….(3)


dimana x menyatakan nilai ekspor; indeks i, w, dan j masing-masing menunjukkan agregat ekspor pada level negara, regional atau dunia, dan komoditi. Rentang nilai NRCA adalah -0.25 s/d 0.25 dengan Comparative Advantage Neutral (CAN) adalah nol ketika ekspor aktual adalah sama dengan yang diekspektasikan dalam dunia CAN. Sebagai gambaran, -0.25 < NRCAij < 0 menunjukkan bahwa ekspor sebenarnya (actual) dari negara i untuk komoditas j lebih rendah daripada comparativeadvantage-neutral point, sementara 0 < NRCAij < 0.25 menunjukkan bahwa negara i memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor komoditas j. Karena indeks ini dinormalisasikan berdasarkan ukuran dari ekspor total dunia, yang dimana merupakan angka yang sangat besar dibandingkan dengan ekspor negara di suatu sektor, maka nilai NRCA biasanya akan sangat kecil. Oleh karena itu, Yu et al (2009) merekomendasikan untuk dikalikan angka 10000.

Kelebihan NRCA adalah kemampuan komparabilitasnya antar ruang dan waktu, dimana penjumlahan NRCA adalah stabil dan sama dengan nol antar ruang dan waktu serta stabil pada nilai rata-ratanya. Ini menjelaskan arti zero-sum imbedded in comparative advantage: jika sebuah negara memperoleh keuntungan komparatif di satu sektor, maka negara akan mengalami kerugian keunggulan komparatif di sektor-sektor lainnya; dan jika satu negara memperoleh keuntungan keunggulan komparatif di satu sektor, maka negara lain akan mengalami kerugian keunggulan komparatif di sektor yang sama.

Selain itu, digunakan modifikasi berupa crosscheck antar indikator tersebut dalam bentuk product mapping seperti yang dilakukan oleh Widodo (2010). Lebih lanjut, sebagaimana dijelaskan diatas indeks NRCA yang dimana merupakan indeks RCA terbaik akan dipasangkan dengan indikator perdagangan lainnya yakni Trade Balance Index (TBI) sesuai dengan pendekatan Widodo (2008b dan 2010). Trade Balance Index (TBI) melengkapi NRCA dalam membuat product mapping guna menjawab salah satu hipotesis penelitian ini. Menurut Lafay (1992, dalam Widodo 2008b; 2010) TBI digunakan untuk menganalisis apakah sebuah negara

memiliki spesialisasi dalam ekspor (sebagai net-exporter) atau dalam impor (sebagai net-importer) untuk kelompok produk tertentu (SITC). Sebagaimana dijelaskan oleh Sukirno (2004) bahwa adanya perdagangan dapat memperoleh keuntungan melalui spesialisasi, dimana negara yang tidak efisien memproduksi suatu barang maka negara tersebut disarankan untuk mengimpor barang dari luar negeri yang memproduksi barang tersebut dengan lebih efisien. Hal ini dimaksudkan untuk mengefisienkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam negeri dan negara pengimpor dapat menikmati lebih banyak barang dibandingkan dengan memproduksikannya di dalam negeri; TBI secara sederhana dirumuskan sebagai berikut:

TBIij = (Xij – Min) / (Xij + Mij) ...................(4)

TBIij melambangkan indeks neraca perdagangan negara i untuk kelompok produk (SITC) j; Nilai indeks tersebut bervariasi mulai dari -1 hingga +1. Secara ekstrim, TBI sama dengan -1 jika sebuah negara hanya mengimpor saja, dan sebaliknya, TBI sama dengan +1 jika sebuah negara hanya mengekspor saja (Widodo, 2008b; 2010). Nilai antara -1 dan +1 mengindikasikan bahwa negara tersebut mengekspor dan mengimpor komoditas secara simultan. Sebuah negara termasuk net-importer atas produk tertentu jika nilai TBI negatif, dan sebagai net-exporter jika nilai TBI positif (Widodo, 2008b; 2010).

Sedangkan terkait perangkat product mapping dengan memanfaatkan konsep the flying geese. Pada awalnya model FG dimanfaatkan untuk menjelaskan life cycle of industries dalam studi ekonomi pembangunan (Akamatsu, 1962) dengan fokus pada suatu industri di suatu negara. Namun demikian FG dimanfaatkan untuk mengkaji dinamika perubahan

struktur industri di suatu negara, dan lebih lanjut perpindahan dari satu negara ke negara lainnya. Life cycle industri dapat ditelusuri dengan mengikuti alur waktu dari sebuah indikator daya saing. Pada umumnya akan menghasilkan kurva dalam bentuk inverted V-shaped curve, yang dimana menunjukkan pada awalnya daya saing meningkat dan seiring dengan waktu menurun. Adanya akumulasi modal (termasuk masuknya Penanaman Modal Asing) dan adanya forward and backward linkages dengan industri-industri lainnya telah memberikan dampak terjadinya perubahan keunggulan komparatif di suatu negara dan biasanya perubahan yang bersifat upgrading struktur industri. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar 2, perubahan struktur industri yang terjadi di negara-negara Asia pada umumnya adalah perpindahan dari industri tekstil menuju industri produk kimia, dan lebih lanjut ke industri besi dan baja, industri otomotif, dan industri elektronik. Bagian b, menggambarkan industri yang sama di berbeda negara seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai contoh, adanya perpindahan produksi tekstil dari Jepang ke negara-negara Asia NIEs dan kemudian ke ASEAN dan China.

Metafora flying geese sangat populer untuk menggambarkan pembangunan ekonomi khususnya negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara. Penelitian Kwan (2002) menemukan bahwa ekspansi ekonomi yang dinamis dari Jepang ke negara-negara industri baru Asia (Newly Industrializing Economies/NIE, seperti Singapura, Taiwan dan Korea Selatan) dan terus berlanjut (spillover) ke ASEAN dan China yang dikenal sebagai pola flying geese adalah nyata. Studi lain Widodo (2008b) tentang perubahan dinamis keunggulan komparatif Jepang dan China membuktikan adanya pola “flying geese” (FG). Industri padat-tenaga kerja tidak terampil dan

Gambar 1 Fying Geese dan “Product Mapping”

Sumber: Widodo (2010)


industri padat-SDM secara jelas menunjukkan pola FG di Asia Timur. China memiliki keunggulan komparatif sangat tinggi dalam industri jenis ini. Industri pada tahap pertama FG adalah industri padat-tenaga kerja tidak terampil, yang diikuti oleh industri padat-SDM pada tahap kedua, dan industri padat-teknologi pada tahap ketiga. Pada tahap pertama FG, penelitian Widodo (2008b) secara empiris menemukan bahwa ada indikasi transfer industrialisasi antara Jepang sebagai lead-goose kepada Korea, lalu kepada negara ASEAN serta China sebagai follower-geese. Saat ini China, juga Thailand dan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam industri padat-tanaga kerja tidak terampil. Dalam tahap kedua FG (industri padat-SDM), China telah mengejar Jepang. Hingga saat ini, Jepang tetap memiliki keunggulan komparatif dalam industri padat-teknologi. China masih harus bersaing secara intensif dengan Korea Selatan dan Singapura dalam industri padat-teknologi (Widodo, 2008b).

Dalam mengevaluasi perbandingan daya saing ekpor Indonesia dan China, penulis memanfaatkan SITC 3 Digit Revisi 2 dengan tujuan menganalisis lebih detil persaingan produk ekspor kedua negara. Data untuk keperluan estimasi daya saing yakni indeks Normalized Revealed Comparative Advantage (NRCA), serta indikator pendukung lainnya yaitu: Trade Balance Index dan Competitiveness adalah data sekunder time series yang periode 1985-2010 yang diperoleh dari World Integrated Trade Solutions (WITS) (http://

wits. worldbank. org) dan The United Nations Commodity Trade (COMTRADE) (http:// unstats. un. org/unsd/comtrade/).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Daya Saing Produk Ekspor Indonesia dan China dengan Perangkat Product Mapping (Normalized Revealed Comparative Advantage (NRCA) vs Trade Balance Index (TBI) Periode 1985-2010

Product Mapping Ekspor Indonesia

Pada tahun 1985, kelompok produk ekspor Indonesia yang masuk dalam kategori 10 besar adalah petroleum atau minyak bumi (333) yang merupakan produk ekspor daya saing tertinggi, diikuti gas alami dan buatan (341), produk veener, kayu lapis dan kayu olahan lainnya (634), karet alam (232), sisa produk minyak bumi dan bahan terkait (335), minyak nabati lain-lain (424), timah (687), bijih besi (287), crustaceans dan molusca (036), aluminium (684). Pada tahun 1985, sangat terlihat bahwa ekspor Indonesia mengandalkan produk primer terutama bahan alam mentah. Sembilan dari top-ten produk ekspor Indonesia tahun 1985 berasal dari sektor primer yaitu sektor pertanian (4 buah), serta pertambangan dan penggalian (5 buah). Hanya satu produk yang berasal dari sektor sekunder yakni gas alami dan buatan (341) yang termasuk dalam sektor listrik, gas dan air bersih. Hal ini dapat dipahami


Sumber: Kwan (2002)

Gambar 2: Pola Ekonomi Pembangunan Flying Geese di Negara-negara Asia

Structural Transformation in East Asia

Sumber: Okita (1985)

Gambar 3

Perubahan Struktur Perekonomian di Negara-negara Asia Timur

Norin1IlizedRCA (NRCA)

Net-Imp oι ter Net-Exp oι teι∙ (TBI)

SITC

Uraian

NRCA

TBI

333

Petrol.oils,crude,& c.o.obtain.from

46.32

0.81

341

Gas,natural and manufactured

21.64

1.00

634

Veneers,plywood,improved or reconst

5.83

1.00

232

Natural rubber latex; nat. rubber &

4.43

1.00

335

Residual petroleum products,nes.& r

2.13

0.65

424

Other fixed vegetable oils,fluid or

1.97

0.88

687

Tin

1.40

1.00

287

Ores and concentrates of base metal

1.14

0.84

036

Crustaceans and molluscs,fresh,chil

1.06

1.00

684

Aluminium

0.68

0.42

Sumber

: WITS (diolah)

SITC

Uraian

NRCA

TBI

333

Petrol.oils,crude,& c.o.obtain.from

16.73

0.68

341

Gas,natural and manufactured

11.61

1.00

634

Veneers,plywood,improved or reconst

9.05

1.00

232

Natural rubber latex; nat. rubber &

2.74

1.00

036

Crustaceans and molluscs,fresh,chil

2.11

1.00

334

Petroleum products,refined

1.87

0.27

287

Ores and concentrates of base metal

1.62

0.59

653

Fabrics,woven,of man-made fibres

1.38

0.63

851

Footwear

1.18

0.99

424

Other fixed vegetable oils,fluid or

0.96

0.94


Sumber: WITS (diolah)

Gambar 5

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor Indonesia, 1990

karena struktur perekonomian Indonesia merupakan negara agraris.

Industri-industri di Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif dan spesialisasi ekspor paling besar adalah minyak bumi dan gas alami dan buatan. Hal ini disebabkan Indonesia masih memiliki kekayaan akan minyak bumi dan gas yang sangat besar dan dapat diolah dengan baik. Produk-produk ini sangat laku di pasaran internasional sebagai bahan utama pembuat bahan bakar dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Jika Indonesia dapat memanfaat kan SDA ini dengan baik, maka kondisinya akan sangat menguntungkan karena di samping memenuhi kebutuhan domestik, kebutuhan pasaran internasional dapat juga dipenuhi. Namun pada tahun 1985, dapat terlihat juga bahwa di sektor sekunder selain produk gas dan manufaktur, belum tampak produk

manufaktur yang menjadi keunggulan komparatif dan masih dipenuhi kebutuhannya dalam bentuk impor yaitu seperti industri tekstil (65 1), peralatan telekomunikasi (764) dan produk farmasi (541).

Hal ini disebabkan oleh adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan menurunnya khususnya permintaaan produk tekstil. Pada tahun 1985 terjadi perlambatan ekonomi dunia terutama pertumbuhan ekonomi Amerika dan Eropa. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya permintaan tekstil sehingga pertumbuhan tekstilpun kena imbasnya. Indonesia tercatat mengalami penurunan pertumbuhan tekstil sebesar 2 persen dibandingkan tahun lalu. Namun begitu, perlambatan pertumbuhan ini pada akhirnya diperbaiki dengan perubahan-perubahan struktural dalam bidang pertekstilan dan penerapan strategi substitusi impor.

Net-Impoi ter Net-Exportei (TBI)


SITC

Uraian

NRCA

TBI

333

Petrol.oils,crude,& c.o.obtain.from

8.53

0.59

341

Gas,natural and manufactured

8.50

1.00

634

Veneers,plywood,improved or reconst

8.34

0.99

232

Natural rubber latex; nat. rubber &

4.28

0.99

287

Ores and concentrates of base metal

3.82

0.88

851

Footwear

3.77

1.00

424

Other fixed vegetable oils,fluid or

2.16

0.87

653

Fabrics,woven,of man-made fibres

2.13

0.66

036

Crustaceans and molluscs,fresh,chil

2.11

0.99

322

Coal,lignite and peat

1.91

0.94

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 6

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor Indonesia, 2000

Perkembangan ekonomi selama lima tahun membuat posisi keunggulan komparasi ekonomi Indonesia cukup berubah. Posisi pertama dan kedua masih diduduki oleh minyak bumi (333) dan gas alami dan buatan (341) namun dengan penurunan daya saing yang signfikan. Hal yang menarik adalah meningkatnya daya saing produk veener, kayu lapis dan kayu olahan lainnya (634) yang cukup tinggi. Kini pada tahun 1990, dari top ten products terdapat 6 produk yang berasal dari sektor primer, sedangkan 4 produk lainnya merupakan produk dari sektor sekunder. Yang menarik adalah 3 dari 4 produk sektor sekunder adalah produk tekstil dan alas kaki. Artinya kini produk-produk Indonesia yang berdaya saing tinggi tidak hanya mengandalkan sektor primer namun terdapat shift ke sektor sekunder (manufaktur). Secara khusus, sektor sekunder yang banyak diwakili dari industri tekstil Indonesia telah mengalami perkembangan pesat dengan peningkatan keunggulan

komparatif dan mulai mengekspornya ke luar negeri. Hal ini menandakan bahwa produk Indonesia mulai diminati dan menjadi andalan.

Produk primer seperti sisa produk minyak bumi (335) dan mengalami penurunan drastis, dan menjadi tidak memiliki keunggulan komparatif dan dipenuhi melalui impor namun sebaliknya dengan produk-produk olahan minyak bumi (334). Produk primer lainnya yang terdepak dari top-ten dan mengalami penurunan daya saing adalah timah (687), bijih besi (287), dan aluminium (684). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh dalam 5 (lima) tahun, Indonesia berhasil mengembangkan pertambangan dan penyulingan minyak bumi dengan menemukan tempat-tempat pertambangan minyak yang potensial, sedangkan pengolahan sisa minyak bumi mengalami stagnasi. Industri ini patut dipertahankan dan dipelihara sehingga Indonesia menemui titik perdagangan yang menguntungkan dengan pihak luar negeri seperti China.

Pada tahun 1995, tiga posisi teratas masih diduduki oleh minyak bumi (333), gas alami dan buatan (341), dan produk veener, kayu lapis dan kayu olahan lainnya (634) namun dengan tren penurunan daya saing dan ketiganya memiliki nilai daya saing yang relatif hampir sama. Dari sepuluh besar produk yang berdaya saing tinggi, 7 produk berasal dari sektor primer yakni pertanian dan pertambangan. Sedangkan di sektor sekunder kini hanya terdapat 3 produk yang masuk 10 besar, yaitu 2 diantaranya

meningkatnya daya saing alas kaki, namun disisi lain produk tekstil menurun daya saingnya dan terdepak dari sepuluh besar, hanya satu produk tekstil saja yang bertahan yakni Fabrics, woven, of man-made fibres (653). Menurunnya produk tekstil lebih diakibatkan adanya persaingan yang ketat di kancah internasional khususnya dengan negara-negara pesaing tradisional produk tekstil seperti China dan India.

merupakan produk tekstil dan alas kaki, sedangkan yang lainnya adalah olahan produk primer yaitu: gas alami dan buatan.


Net-Imp OiterNet-Exp orter (TBI)

SITC

Uraian

NRCA

TBI

341

Gas,natural and manufactured

10.15

1.00

333

Petrol.oils,crude,& c.o.obtain.from

3.88

0.41

634

Veneers,plywood,improved or reconst

3.78

0.98

287

Ores and concentrates of base metal

3.05

0.89

424

Other fixed vegetable oils,fluid or

2.78

0.99

851

Footwear

2.16

0.99

322

Coal,lignite and peat

1.92

0.99

651

Textile yarn

1.79

0.64

641

Paper and paperboard

1.69

0.78

653

Fabrics,woven,of man-made fibres

1.63

0.60

Sumber: WITS (diolah)

Pada tahun 2000, untuk pertama kalinya produk minyak bumi (333) yang selama 15 tahun terakhir menjadi produk andalan Indonesia dengan daya saing tertinggi, kini posisi tersebut diganti oleh gas alami dan buatan (341) yang dimana daya saingnya kembali meningkat. Gas alami dan buatan kini menjadi produk ekspor andalan Indonesia sekaligus merupakan salah satu energi alternatif Indonesia ditengah merosotnya produksi minyak bumi di Indonesia. Daya saing produk minyak bumi memang menunjukkan tren penurunan selama 15 tahun terakhir, pada tahun 1985 NRCA minyak bumi (333) berada di angka 46.321 sedangkan pada tahun 2000 NRCA hanya sebesar 3.8754. Selain itu, di posisi ketiga masih diduduki oleh produk veener, kayu lapis dan kayu olahan lainnya (634) namun dengan daya saing yang semakin menurun.

Yang menarik pada tahun ini adalah terdepaknya produk karet alam (232) yang biasa menghuni posisi ke-4 selama 15 tahun terakhir dan masuknya produk andalan RI baru yakni produk kertas olahan (641). Turunnya harga produk karet alam dimana harga rata-rata TSR20 pada tahun 1995 adalah sebesar US$153.02 per kg menjadi US$45.37 per kg pada tahun 2001 diakibatkan terdapatnya penurunan perekonomian dunia sehingga mempengaruhi permintaan dunia akan produk karet alam. Faktor tersebut berdampak terhadap ekspor produk karet alam Indonesia. Selain itu, terdepaknya produk karet alam dari top ten products diperkirakan karena adanya persaingan yang sangat ketat dengan negara-negara penghasil karet alam lainnya serta karet sintetik.

Untuk industri kertas Indonesia, pada tahun-tahun sebelumnya memang belum tampak memiliki keunggulan komparatif, namun Indonesia masih mengekspor produk olahan kertas ini ke luar negeri. Kini pada tahun 2000, produk kertas olahan (641) telah menjadi salah satu produk Indonesia yang berdaya saing tinggi serta berorientasi ekspor ke luar negeri. Oleh karena itu, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan yang luas di dunia, maka industri ini berpotensi untuk memiliki keunggulan komparatif di masa mendatang.

Dari top-ten products, sektor primer mewakili 5 dari 10 produk yang berasal dari pertanian dan pertambangan. Salah satu produk baru yang masuk top ten products adalah batubara (322). Peran produk batubara menjadi semakin penting mengingat

produk tersebut merupakan salah satu sumber energi selain minyak bumi dan gas. Pada tahun 2000 ini, produk minyak bumi (334) dan sisa-sisa minyak bumi (335) kerap menjadi tidak memiliki keunggulan komparatif dan harus dipenuhi dengan impor. Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya krisis energi sehingga produksi minyak bumi dan kelangkaan makin besar. Sedangkan pada sektor sekunder, terdapat 5 wakil produk dan 2 diantaranya merupakan produk tekstil. Tiga produk lain nya adalah gas alami dan buatan (341), alas kaki (851) dan produk olahan kertas (641).

Pada tahun 2005, produk gas alam dan buatan (341) untuk keduanya secara berturut-turut kembali menjadi produk andalan utama Indonesia. Produk industri terbaik berikutnya dan berorientasi ekspor adalah minyak nabati (424), bijih besi dan logam dasar (287), batubara, lignit dan gambut (322), karet alam (232) dan minyak bumi (333). Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, minyak bumi selalui menunjukkan tren daya saing yang menurun dan kini merosot ke posisi 5. Salah satu faktor utama turunnya ekspor minyak bumi diakibatkan terus menurunnya produksi minyak bumi di dalam negeri. Begitu juga dengan produk veener, kayu lapis dan kayu olahan lainnya (634) yang kembali mengalami penurunan daya saing sehingga kini berkutat pada posisi ke 6. Sedangkan karet alam (232) yang 5 tahun sebelumnya sempat tidak masuk pada daftar 10 produk berdaya saing tinggi, kini kembali masuk dan berada pada urutan ke-5. Produk lainnya masuk dalam daftar 10 besar adalah produk tekstil (651), kertas olahan (641), dan mebel (821). Masuknya produk mebel menjadi salah satu top ten produk yang berdaya saing tinggi menunjuk kan adanya kemajuan pembangunan di sektor manufaktur (sekunder).

Pada tahun 2005, Industri yang menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan akan keunggulan komparatifnya adalah batubara, lignit dan gambut (322), minyak nabati (424). tekstil (651) dan kertas (641) yang tetap menjadi keunggulan komparatif Indonesia dengan penambahan pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia secara besar-besaran yaitu hutan dan kayu. Dari sepuluh besar produk berdaya saing tertinggi, 6 diantaranya merupakan produk yang berasal dari sektor primer, sedangkan 4 lainnya berasal dari sektor sekunder dimana salah satunya adalah masuknya produk mebel menjadi salah produk baru andalan Indonesia.


Net-IinporterZNet-Exporter (TBI)

SITC

Uraian

NRCA

TBI

341

Gas,natural and manufactured

8.23

1.00

424

Other fixed vegetable oils,fluid or

5.03

0.99

287

Ores and concentrates of base metal

4.28

0.91

322

Coal,lignite and peat

4.26

0.99

232

Natural rubber latex; nat. rubber &

2.71

1.00

333

Petrol.oils,crude,& c.o.obtain.from

2.54

0.09

634

Veneers,plywood,improved or reconst

1.59

0.95

651

Textile yarn

1.40

0.74

641

Paper and paperboard

1.20

0.69

821

Furniture and parts thereof

1.05

0.93

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 8

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor Indonesia, 2005

Pada tahun 2010 produk batubara, liginit, gambut (322) menempati peringkat pertama industri unggulan di Indonesia mengalahkan gas alami manufaktur (341) yang kini berada pada posisi ke-3. Peningkatan yang cukup besar, disebabkan oleh meningkatnya jumlah atau tempat tambang batu bara yang potensial. Meningkat nya kebutuhan energi di dunia, menyebabkan Indonesia memiliki keuntungan dengan berorientasi ekspor. Begitu pula dengan produk minyak nabati (424) yang meningkat pesat menjadi sektor unggulan. Perkebunan kelapa sawit

yang luas di Indonesia diminati oleh khalayak dunia sehingga menjadi bahan baku dan unggulan di sektor perkebunan. Sektor-sektor unggulan dan berorientasi ekspor di Indonesia lainnya yang termasuk 10 (sepuluh) besar adalah gas alam dan buatan (341), bijih besi dan logam dasar (287), karet alami, getah (232), kertas (641), tekstil (651), timah (687), tembaga (682) serta produk sisa minyak bumi (335). Produk sisa minyak bumi (335) tahun 2010 membaik dibanding tahun sebelumnya menjadi sektor unggulan dan berorientasi ekspor.


Net-Imp orteι Net-Exporter (TBI)

SITC

Uraian

NRCA

TBI

322

Coal,lignite and peat

13.25

1.00

424

Other fixed vegetable oils,fluid or

11.76

0.99

341

Gas,natural and manufactured

8.45

0.88

287

Ores and concentrates of base metal

6.39

0.96

232

Natural rubber latex; nat. rubber

5.42

0.99

641

Paper and paperboard

1.85

0.69

651

Textile yarn

1.28

0.67

687

Tin

1.28

0.73

682

Copper

1.27

0.99

335

Residual petroleum products

1.20

0.65

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 9

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor Indonesia, 2010

Product Mapping Ekspor China

Pada tahun 1985, kelompok produk ekspor China yang masuk dalam kategori 10 besar adalah minyak mentah (333), kain kapas tenun (652), pengolahan produk minyak tanah (334), tepung jagung (044), kapas (263), minyak biji-bijian (222), kain tenunan (653), barang-barang tekstil (654), teh (074) dan sutra (263). Delapan dari top-ten produk ekspor China tahun 1985 berasal dari sektor primer yaitu: sektor pertambangan,

sektor pertanian dan sektor tekstil. Sepuluh produk unggulan China tersebut memiliki keunggulan komparatif. Minyak mentah dan minyak tanah menjadi salah satu andalan bagi China dalam melakukan ekspor maupun dijual di dalam negeri. Karakteristik China yang memiliki industri tekstil, kain yang kuat dipengaruhi oleh sejarah pedagang China yang kerap memproduksi dan menjual kain tenun dan sutra.


Net-Imp ort er Net-Exp orter (TBI)

SITC

Uraian

NRCA

TBI

333

Petrol.oils,crude,& c.o.

25.69

1.00

652

Cotton fabrics,woven

5.64

1.00

334

Petroleum products,refined

4.60

1.00

044

Maize (corn),unmilled

4.06

0.97

263

Cotton

2.38

1.00

222

Oil seeds and oleaginous fruit,whol

2.32

1.00

653

Fabrics,woven,of man-made fibres

2.02

1.00

654

Textil.fabrics,woven,oth.than cotto

1.93

1.00

074

Tea and mate

1.70

1.00

261

Silk

1.54

1.00

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 10

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor China, 1985

Industri yang memiliki keunggulan komparatif di China ini merupakan industri yang padat karya dan membutuhkan banyak tenaga kerja. Hal ini didukung oleh pertumbuhan serta kepadatan penduduk China yang semakin meningkat. Terlihat di data-data yang disampaikan berikut, TBI produk-produk unggulan China rata-rata lebih dari 1 dan positif. Hal ini mengindikasikan bahwa China memiliki kapasitas yang kuat dalam melakukan perdagangan. Kuantitas produksi China sangat besar dan dimanfaatkan untuk melakukan ekspor di hampir seluruh negara termasuk Indonesia. Indonesia

mengimpor produk China lebih dari 50% dan berlanjut dengan beberapa perjanjian kerjasama perdagangan. Barang-barang yang diekspor China memiliki kualitas yang baik dan murah, sehingga membuat pengusaha dalam negeri negara tempat tujuan ekspor menjadi terhambat. Jika dibandingkan Indonesia, China memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar terutama pada sepuluh produk unggulan yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, Indonesia harusnya lebih hati-hati dalam melakukan perdagangan dengan China agar tidak mengarah pada kerugian.


Net-Imp orter Net-Exp orter (TBI)

SITC

Uraian

NRCA

TBI

845

Outer garments and other articles

9.42

1.00

784

Parts & accessories of 722—,781—,

5.86

-0.01

894

Baby carriages,toys,games and sport

5.48

0.41

652

Cotton fabrics,woven

5.12

-0.24

843

Outer garments,women’s,of textile

5.09

0.99

851

Footwear

4.89

0.99

658

Made-up articles,wholly/chiefly

4.06

0.92

762

Radio-broadcast receivers

4.04

0.35

654

Textil.fabrics,woven,oth.than cotton

2.79

0.60

842

Outer garments,men’s,of textile fab

2.78

0.99

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 11

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor China, 1990

Lima tahun kemudian, China memperkuat keunggulan komparatifnya pada sektor tekstil dan garmen. Hal ini terbukti dengan banyaknya industri tekstil dan olahannya di top ten produk ekspor China. Namun begitu, kain kapas dan tenun (652) berubah orientasinya, yaitu dari berorientasi ekspor ke impor. Barang-barang aksesoris China memiliki keunggulan komparatif yang cukup besar, namun pemenuhan kebutuhan produksinya masih pada bahan-bahan impor. Sepuluh produk ekspor China tahun 1990 mencakup barang-barang garmen (845), barang-barang aksesoris (784), perlengkapan mainan anak (894), kain kapas dan tenun (652), garmen dan

pakaian wanita (843), alas kaki (851), produk buatan berbahan tekstil secara seluruhnya atau utamanya (658), radio (762), kain tekstil dan tenun (654) dan garmen pakaian pria (842).

Industri tekstil China merupakan industri yang padat karya dan memiliki kualitas yang bagus. Barang-barang garmen China banyak diterima oleh masyarakat internasional di sebabkan murah dengan kualitas yang bagus. Murahnya harga produk garmen China itu juga disebabkan oleh perjanjian perdagangan bilateral dan multilateral dengan pembebasan tarif pada anggotanya. Perusahaan-perusahaan China yang memproduksi barang-barang

garmen memiliki biaya produksi yang lebih kecil daripada pengusaha sejenis lainnya. Efisiensi biaya produksi pada perusahaan China turut memberikan keunggulan komparatif produk-produk tekstil tersebut. Kuantitas produksi yang besar, biaya produksi yang

efisien membuat siklus perekonomian China terutama dengan produksi tekstil mengarah kepada konsep increasing economics of scale dimana semakin tinggi produksi barang maka semakin murah dan untung.


SITC

Uraian

NRCA

TBI

851

Footwear

11.73

0.99

843

Outer garments,women’s,of textile f

11.54

0.98

894

Baby carriages,toys,games and sport

11.16

0.85

842

Outer garments,men’s,of textile fab

9.87

0.98

845

Outer garments and other articles,k

6.71

0.93

652

Cotton fabrics,woven

6.37

0.39

831

Travel goods,handbags,brief-cases,p

5.75

0.97

848

Art.of apparel & clothing accessori

5.75

0.94

846

Under garments,knitted or crocheted

4.96

0.98

899

Other miscellaneous manufactured ar

4.95

0.71

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 12

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor China, 1995

Tahun 1995 adalah tahun dimana produk dari industri tekstil, pakaian dan fashion mendominasi top-ten produk ekspor China (enam produk berasal dari jenis industri tersebut). Sepuluh barang produksi ekspor China yang memiliki keunggulan komparatif adalah industri alas kaki (851), garmen pakaian wanita (843), perlengkapan dan mainan bayi (894), barang garmen pakaian pria (842), barang-barang garmen lainnya (845), kain kapas tenun (652),

barang-barang travel tas (831), aksesoris pakaian (848), kain rajut (846) dan produksi lain-lain (899). Produk yang meningkat pesat keunggulan komparatifnya adalah tas travel (831), aksesoris pakaian (848), kain rajut (846) dan produk lain-lain (899). Gencarnya peredaran barang-barang kain buatan China membuat negara Amerika Serikat waspada dengan kekhawatiran China melakukan dumping dan monopoli pasar tekstil. Akhirnya,

Amerika Serikat memberlakukan kuota untuk barang-barang pakaian asal China dan diberikan label datang dari asal negara China. Restriksi impor negara-negara atas barang-barang China ini membuktikan bahwa kuatnya kapabilitas barang-barang China dalam mengekspor. Hal ini mempengaruhi kekuatan neraca perdagangan China

menjadi oversurplus. Restriksi yang dilakukan Amerika Serikat perihal barang-barang China ini tidak memberikan dampak yang signifikan pada ekonomi China karena tidak berlangsung lama. Negara-negara lain tetap mengimpor barang-barang China karena kualitas dan harganya yang murah.


SITC

Uraian

NRCA

TBI

894

Baby carriages,toys,games and sport

15.35

0.96

851

Footwear

14.04

0.99

845

Outer garments and other articles,k

12.55

0.93

843

Outer garments,women’s,of textile f

11.13

0.95

842

Outer garments,men’s,of textile fab

9.70

0.97

764

Telecommunications equipment and pa

6.21

0.05

752

Automatic data processing machines

6.07

0.45

831

Travel goods,handbags,brief-cases,p

5.99

0.99

848

Art.of apparel & clothing accessori

5.92

0.97

846

Under garments,knitted or crocheted

5.26

0.98

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 13

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor China, 2000

Dalam lima tahun berikutnya, produk ekspor unggulan China tidak banyak berubah. Garmen, alas kaki, dan mainan, perlengkapan bayi dan aksesoris pakaian tetap menjadi produk unggulan untuk diekspor. Industri kerajinan yang padat karya kerap menjadi karakteristik produk China yang berbeda dengan negara lain. Spesialisasi produk garmen ini akan memberikan keuntungan tersendiri bagi negara

China terutama saat terjadi perdagangan. Spesialisasi produk tertentu seperti tekstil di China ini akan menciptakan kebutuhan dalam jangka panjang bagi pembeli atau pengimpor barang-barang China.

Pergeseran produk yang memiliki keunggulan komparatif yang cukup baik adalah pada produk telekomunikasi (764) dan mesin-mesin pemproses data (752). China berusaha untuk memperluas

keunggulan produknya khususnya yang menguasai hajat hidup orang banyak yaitu telekomunikasi (764). Hal ini terlihat dari peningkatan NRCA yang sangat pesat yaitu 0.916 menjadi 6.206. Peningkatan NRCA telekomunikasi yang demikian pesat mengindikasikan peningkatan performa dan pertumbuhan. Kenyataan yang cukup menarik adalah peningkatan performa dan pertumbuhan industri mesin memproses data dari tahun 1995 yang bukan merupakan keunggulan komparatif, menjadi keunggulan komparatif lima tahun kemudian (tahun 2000). Peningkatan

keunggulan komparatif ini terlihat pada peningkatan yang cukup signifikan pada NRCA dari tahun 1995 ke 2005, yaitu -3.83 menjadi 6.06. Peningkatan keunggulan komparatif atas produk mesin ini diimbangi dengan industri yang berorientasi ekspor. Kuatnya pertumbuhan industri China ini membuat perekonomian China menjadi lebih besar, apalagi China melebarkan pasar produknya ke tempat-tempat yang luas masyarakatnya yang konsumtif, seperti Indonesia dan negara Asia lainnya.


SITC

Uraian

NRCA

TBI

752

Automatic data processing machines

60.51

0.70

764

Telecommunications equipment and pa

40.23

0.55

759

Parts of and accessories suitable f

18.26

0.44

894

Baby carriages,toys,games and sport

17.81

0.94

763

Gramophones,dictating,sound recorde

17.54

0.92

845

Outer garments and other articles,k

16.42

0.95

851

Footwear

15.23

0.98

843

Outer garments,women’s,of textile f

13.10

0.96

775

Household type,elect.& non-electric

10.74

0.91

871

Optical instruments and apparatus

9.95

-0.36

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 14

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor China, 2005

Pada tahun 2005 terdapat empat jenis produk baru yang masuk dalam sepuluh besar produk ekspor China. Ketiganya adalah gramofon (763), mesin pemroses data (752), instrumen optik dan

peralatannya (871) dan alat-alat rumah tangga (775). Adapun produk yang keluar dari top-ten China 2005 adalah barang-barang garmen pakaian pria (842), tas travel (831), aksesoris pakaian (848) dan kain rajutan

(846). Produk-produk ekspor China yang masih bertahan sampai tahun 2005 adalah garmen dan tekstil. Spesialisasi China juga didukung oleh peningkatan keunggulan komparatif China yang telah diperluas pada sektor industri elektronik dan mesin, yaitu gramofon, mesin pendikte dan perekam suara lainnya (763), instrumen optik dan peralatannya

(871) serta mesin pemroses data (752). Perluasan industri elektronik ini membuktikan teori transformasi struktural yang membuat perekonomian yang memiliki spesialisasi sektor primer China mengalami proses transformasi ke arah sektor industri elektronik sebagai sektor sekunder.

Net-Importer Net-Exporter (TBI)


SITC

Uraian

NRCA

TBI

752

Automatic data processing machines

87.02

0.78

764

Telecommunications equipment and pa

69.36

0.74

845

Outer garments and other articles,k

27.56

0.98

851

Footwear

18.78

0.96

821

Furniture and parts thereof

18.51

0.92

894

Baby carriages,toys,games and sport

17.44

0.96

793

Ships,boats and floating structures

15.56

0.92

759

Parts of and accessories suitable f

15.26

0.39

871

Optical instruments and apparatus

14.67

-0.22

843

Outer garments,women’s,of textile f

14.16

0.97

Sumber: WITS (diolah)

Gambar 15

Product Mapping dan Sepuluh Besar Produk Ekspor China, 2010

Keluar-masuk produk dalam peringkat sepuluh besar produk ekspor China tahun 2010 kembali meningkat. Sebanyak 2 (dua) buah produk baru masuk ke dalam daftar top-ten yaitu mebel-mebel (821) dan perahu dan kapal (793). Dua barang ini menggantikan gramofon, mesin pendikte dan perekam suara lainnya (763) dan barang-barang rumah tangga (775).

Kesepuluh produk unggulan China ini berasal dari sektor sekunder. Komposisi top-ten China 2010 seluruhnya berasal dari sektor sekunder (10 buah) dan memiliki keunggulan komparatif yang cukup besar untuk diekspor kecuali alat-alat optik. Nilai NRCA rata-rata ke sepuluh barang unggulan China tahun 2010 ini melebihi nilai 29, sebuah nilai yang sangat besar. Alat-alat optik yang masih menjadi

keunggulan komparatif dipenuhi kebutuhannya sebagian besar dengan impor. Adanya kebijakan pembatasan kuota barang-barang produksi tekstil/ garmen China membuat China merubah strategi ekonominya. Dengan efisiensi produksi, tenaga kerja yang banyak dan murah membuat China dengan mudah melebarkan spesialisasi produknya ke arah industri padat karya lainnya yang mirip.

Industri mebel dan perahu juga merupakan industri yang padat karya dan merupakan salah satu barang kebutuhan sehari-hari dan digunakan untuk sarana transportasi. Kapal-kapal yang diproduksi menjadi alat strategis untuk masyarakat negara-negara yang berbatasan dengan laut sehingga sangat dibutuhkan. China merupakan negara yang cukup cerdik karena dapat melirik industri strategis yang jarang dilirik oleh para pengusaha negara-negara lain. Pengusaha-pengusaha China memproduksi barang dengan bahan baku impor dari negara-negara yang berbeda-beda sesuai dengan spesialisasinya. Sehingga pada akhirnya secara teori dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi dan diminati oleh khalayak internasional.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Selama periode 1985-2010, dapat terlihat bahwa tren perkembangan struktur daya saing ekspor Indonesia kini lebih terdiversifikasi yang dimana pada tahun 1985 mayoritas ekspor merupakan produk primer, namun pada tahun 2010 terdapat produk manufaktur yang turut menjadi top ten products yang berdaya saing tinggi. Artinya, Indonesia di satu sisi telah terjadi shift dari negara yang sebelumnya pengekspor berbasis Sumber Daya Alam (SDA), kini menjadi negara berkembang dimana sektor manufaktur turut berperan mendorong ekspor Indonesia dengan daya saing yang cukup tinggi seperti produk tekstil dan alas kaki sektor manufaktur yang bersifat padat karya dengan semi-skilled labor.

Namun disisi lain, dilihat dari perkembangan struktur daya saing ekspor China selama periode 1985-2010, China telah mengalami pembangunan industri yang sangat pesat. Pada tahun 1985, delapan dari top-ten produk ekspor China tahun 1985 berasal dari sektor primer yaitu: sektor pertambangan dan sektor pertanian, sedangkan di sektor manufaktur sangat didominasi oleh industri tekstil yang bersifat padat karya dan membutuhkan banyak tenaga kerja.

Sedangkan pada tahun 2010, kini China telah berhasil ekspor produk industri berbasis teknologi seperti mesin pemroses data dan peralatan telekomunikasi dengan daya saing yang sangat tinggi. Selain itu, China juga telah berhasil mendorong ekspor produk tekstil, mebel, alas kaki dan mainan anak dengan daya saing tinggi. Ke sepuluh top ten products kini tidak ada satupun dari sektor primer. Hal ini menunjukkan bahwa China telah mengalami pembangunan yang pesat dan kini menjadi salah satu negara yang memiliki industri berbasis teknologi dengan daya saing sangat tinggi serta memiliki produk manufaktur yang berdaya saing tinggi.

Saran

Setidaknya terdapat dua faktor utama terkait rendahnya daya saing ekspor Indonesia yaitu: ekonomi biaya tinggi dan kurangnya pasokan dan tingginya harga bahan baku. Dalam menangani dua hambatan tersebut, maka beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: mencari solusi dalam menangani ekonomi biaya tinggi; perbaikan infrastruktur, akses pembiayaan (dana); upaya untuk meningkat kan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) (jumlah dan kualitas) termasuk wirausaha (entrepreneurial skills) serta meningkatkan daya saing rantai pasokan komoditas (supply chain) dari hulu hingga hilir.

REFFERENSI

Akamatsu K., (1962), A Historical Pattern of Economic Growth in Developing Countries. Journal of Developing Economies, 1(1), hal. 3–25, Maret-Agustus. Dapat diakses pada situs: http://www.ide.go.jp/English/Publish/Periodicals/ De/pdf/62_01_02.pdf

Balassa, B., (1965), Trade Liberalization and Revealed Comparative Advantage, The Manchester School, 33, hal. 99-123.

Berg, H. Van Den., (2005), Economic Growth and Development, New York, Mc.Graw Hill Irwin.

Lafay, G., (1992), The Measurement of Revealed Comparative Advantages, dalam Dagenais, M. G. & Muet, P.A. (eds.) International Trade Modelling, Chapman & Hall, London.

Kwan, C.H., (2002), The Rise of China and Asia’s Flying-Geese Pattern of Economic Development: An Empirical Analysis Based on US Import Statistics, RIETI Discussion Paper Series, 02-E-009, Juli.

MacDougall, J., 1952. British and American Exports: A Study Suggested by the Theory of Comparative Costs, Part II, The Economic Journal, 62, hal. 487-521.

Maule, A., 1996. Some Implications of AFTA for Thailand: A Revealed Comparative Advantage Approach, ASEAN Economic Bulletin, Vol. 13 (Juli), No. 1, hal. 14-38.

Nafzinger, E. W., 1997. The Economics of Developing Countries, Prentice Hall, New Jersey.

Okita, S., 1985, Special Presentation: Prospect of Pacific Economies, The Fourth Pacific Economic Cooperation Conference, Korea Development Institute, Seoul, 29 April 29 - 1 Mei, hal.18-29.

Ricardo, D., 1817. On the Principles of Political Economy and Taxation, John Murray, London, dalam Widodo, T. 2010. Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures and Case Studies, Review on Economic and Business Studies. Dapat diakses pada situs: http:// www.rebs.ro/articles/pdfs/21.pdf

Salvatore, D., 1996. lnternational Economics, Fifth Edition, Prentice Hall, New Jersey.

Sanidas, E., & Shin, Y., 2010. Comparison of Revealed Comparative Advantage Indices with Application to Trade Tendencies of East Asian Countries, Department of Economics, Seoul National University. Dapat diakses pada situs:http://www.akes.or.kr/eng/papers(2010)/ 24.full.pdf

Smith, A., 1776. The Wealth of Nations, dalam Widodo, T. 2010. Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures and Case Studies, Review on Economic and Business Studies. Dapat diakses pada situs: http://www.rebs.ro/articles/pdfs/ 21.pdf

Sodersten, B., & Reed, G., 1994. International Economics, Macmillan Press, London.

Stern, D., 1962. British and American Productivity and Comparative Costs in International Trade, Oxford Economic Papers, 14, hal. 275-296. Dalam Sigwele, H.K., 2007. The Effects of International Trade Liberalization on Food Security and Competitiveness in the Agricultural Sector of Botswana, University of Pretoria, Disertasi Doktoral, Februari.

Sukirno, S., 2004. Makroekonomi Teori Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Dalam buku Kajian Peran Statistik Perdagangan sebagai Input Perumusan Kebijakan, Badan Pusat Statistik, Jakarta, 29 April 2009.

Tambunan, T., 2000. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Penemuan Empiris, LP3ES, Jakarta.

Todaro, M.P., & Stephen, C.S., 2009. Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Erlangga, Jakarta.

Widodo, T., 2010. Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures and Case Studies, Review on Economic and Business Studies. Dapat diakses pada situs: http://www.rebs.ro/articles/ pdfs/21.pdf

Widodo, T., 2008a. The Structure Protection in Indonesian Manufacturing Sector, ASEAN Economic Bulletin. Vol. 25, No. 2, hal. 161-178.

Widodo, T., 2008b. Dynamic Changes in Comparative Advantage: Japan “Flying Geese” Modal and Its Implication for China. Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies. Vol. 1. No. 3, pp. 200-213.

Yu, R., Cai, J. & Leung, P., 2009, The Normalized Revealed Comparative Advantage Index, Annals of Regional Science, 43, hal. 267-282.