ANALISIS UPAH PEKERJA INDUSTRI OLAHAN SINGKONG NGAGLIK SALATIGA DENGAN PENDEKATAN STOLPER-SAMUELSON
on
Lelyko Trisnawati, Yulius Pratomo. Analisis Upah Pekerja Industri Olahan Singkong..... 172
ANALISIS UPAH PEKERJA INDUSTRI OLAHAN SINGKONG NGAGLIK SALATIGA DENGAN PENDEKATAN STOLPER-SAMUELSON
Lelyko Trisnawati
Yulius Pratomo
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
e-mail: yulius.pratomo@uksw.edu
Abstract: Analysis of Wages of Ngaglik Salatiga Cassava Processed Industry Workers With the Stolper-Samuelson Approach. This study aims to see the magnitude of the effect of increasing product prices on labor wages used to produce those outputs. The study was conducted on cassava processing industry in Ngaglik Salatiga. The data used for the analysis are cross-section data of 53 respondents (saturation sampling). Data were analyzed using multiple regression tools. The main result of the study shows that output prices have a positive effect on labor wages. Every one percent increase in output prices will increase labor wages by 7.95 percent.
Keywords: output price; wage; Stolper-Samuelson Theorm.
Abstrak: Analisis Upah Pekerja Industri Olahan Singkong Nganglik Salatiga Dengan Pendekatan Stolper-Samuelson. Studi ini bertujuan untuk melihat besarnya pengaruh kenaikan harga produk terhadap upah tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi output tersebut. Studi dilakukan pada industri olahan singkong di Ngaglik Salatiga. Data yang digunakan untuk melakukan analisis adalah data cross-section dari sebanyak 53 responden (sampel jenuh). Data dianalisis dengan menggunakan alat regresi berganda. Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa harga output berdampak positif terhadap upah tenaga kerja. Setiap satu persen kenaikan harga output akan meningkatkan upah tenaga kerja sebesar 7,95 persen.
Kata kunci: harga output; upah; Teorema Stolper-Samuelson.
PENDAHULUAN
Secara konseptual, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Pasal 30 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Upah di sini memainkan peranan yang penting dalam ketenagakerjaan, yaitu sebagai salah satu unsur dalam pelaksanaan hubungan kerja, yang mempunyai peranan strategis dalam pelaksanaan hubungan industrial. Upah diterima pekerja atas imbalan jasa kerja yang dilakukannya bagi pihak lain, sehingga upah pada dasarnya harus sebanding dengan kontribusi yang diberikan pekerja untuk memproduksi barang atau jasa tertentu.
Barang atau jasa yang diproduksi dengan menggunakan tenaga kerja memiliki harga
ketika barang atau jasa tersebut laku dijual di pasar. Teorema Stolper-Samuelson memprediksi bahwa terdapat hubungan antara harga barang atau jasa yang diproduksi dengan menggunakan tenaga kerja dan berhasil dijual di pasar dengan upah yang diterima oleh tenaga kerja tersebut. Teori tersebut berpandangan bahwa kenaikan harga barang atau jasa di pasar berdampak pada naiknya upah dari para tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi barang atau jasa tersebut.
Kota Salatiga apabila dilihat dari struktur PDRBnya didominansi oleh tiga sektor, yaitu sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 24,85 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi 19,34 persen, serta sektor industri dengan kontribusi sebesar 17,04 persen (BPS Salatiga, 2013). Data BPS tahun 2012 mengenai ketenagakerjaan menunjukkan bahwa Kota Salatiga merupakan salah satu kota dimana penduduk yang bekerja sebagian besar bekerja sebagai buruh industri seperti ditunjukkan oleh tabel 1. Dari 19,09 persen penduduk yang bekerja sebagai buruh industri,
Tabel 1.
Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas yang Bekerja per Kecamatan di Kota Salatiga Menurut Mata pencaharian Akhir Tahun 2012
JVIutn Penciihnrian |
Argomulyo |
Tingkir |
Sidomnkti |
Sidorejo |
.Jumla h |
Presentase |
Petani Sendiri |
1 .578 |
197 |
731 |
1 .078 |
3.584 |
2,55 |
Bnmli Tani |
480 |
304 |
1.602 |
2.210 |
4.596 |
3,28 |
Nelayan Pengnsalia/ |
O |
O |
O |
O |
O |
0,00 |
Wiraswasta Bnmli Indnstri |
2.25 1 |
3.061 |
1.085 |
1.786 |
8.183 |
5,83 |
(Indnstri) |
(5.815 |
5.650 |
6.752 |
7.563 |
26.780 |
19,09 |
Pedagang Bnruli Bangunan |
599 |
2.3 15 |
3.621 |
3.608 |
10.143 |
7,23 |
(bumh Harian Lepas) |
109 |
1.440 |
4.423 |
3.972 |
9.944 |
7,09 |
Transportasi |
320 |
402 |
2.397 |
1 .885 |
5.004 |
3,57 |
Pegawai Negeri |
1.634 |
1.224 |
2.904 |
3.349 |
9.1 1 1 |
6,49 |
Pensiunan |
617 |
827 |
1.522 |
2.720 |
5.686 |
4,05 |
Lain-Lain |
10.5 16 |
18.520 |
14.3 17 |
13.929 |
57.282 |
40,82 |
Jumlali |
24.919 |
33.940 |
39.354 |
42. IOO |
140.3 13 |
IOO |
Sumber: salatigakota.bps.go.id
Tabel 2.
Banyaknya Perusahaan, Tenaga Kerja dan Investasi di Kota Salatiga Menurut Kelompok Industri Tahun 2013
Kelompok Industri |
Jumlah Usaha |
Tenaga Kerja |
Investasi (Juta Rupiah) |
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan |
1.055 |
5.263 |
172.228,00 |
Industri Logam dan Mesin |
187 |
1.099 |
11.689,40 |
Industri Aneka (Kecil dan Besar) |
665 |
7.538 |
1.090.001,10 |
Industri Kimia (Besar) |
29 |
1.239 |
178.706,50 |
Jumlah |
1.936 |
15.139 |
1.452.625,00 |
Sumber : salatigakota.bps.go.id
sebagian besar buruh tersebut bekerja di industri aneka, baik kecil maupun besar. Salah satu contoh industri aneka di Kota Salatiga adalah industri makanan kemasan.
Data pada Tabel 1 dan Tabel 2 didukung oleh Bappeda Provinsi Jawa Tengah yang mengungkapkan bahwa Kota Salatiga adalah kota yang memiliki potensi industri makanan, dimana Kota Salatiga memiliki klaster makanan olahan. Berdasarkan fakta tersebut, Bappeda Provinsi Jawa Tengah merumuskan kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya pekerja dan kesejahteraan buruh. Salah satu pencapaian yang dikehendaki oleh Bappeda Provinsi Jawa Tengah adalah industri makanan olahan dapat memperluas jaringan dan juga pasar, contohnya dapat menembus pasar ritel modern.
Salah satu contoh industri makanan olahan di Salatiga adalah sentra makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik, Salatiga. Diawali dengan munculnya Gethuk Kethek yang permintaannya terus naik, maka setelah itu bermunculanlah usaha-usaha baru berbasis olahan singkong, seperti singkong keju, brownis keju, dan criping yang menjadikan Kampung Ngaglik menjadi kampung kuliner olahan singkong. Keseluruhan usaha di Kampung Ngaglik merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Adanya kebijakan pemerintah melalui Disperindagkop, misalnya dengan bazar UMKM, dan
sebagainya, membuat usaha olahan singkong di Kampung Ngaglik mulai dikenal masyarakat dan berkembang pesat. Usaha olahan singkong yang permintaannya yang terus naik membuat Kampung Ngaglik menjadi salah satu pusat oleh-oleh yang produknya diburu oleh wisatawan yang berkunjung ke Kota Salatiga. Dengan adanya kemajuan tersebut, harga produk makanan olahan singkong mengalami peningkatan.
Berdasarkan pada Teorema Stolper-Samuelson, kenaikan harga produk makanan olahan singkong diprediksi akan meningkatkan upah tenaga kerja yang bekerja di bidang makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik Salatiga. Prediksi tersebut didukung dengan penelitian Shinkai (2000) yang menemukan bahwa pada industri padat karya, upah relatif pekerja berpendidikan meningkat rata-rata 6,9 persen di Bolivia dan sebesar 3,0 persen di Meksiko ketika harga relatif meningkat. Kenaikan harga relatif barang intensif keterampilan menyebabkan perluasan industri intensif keterampilan, sehingga meningkatkan permintaan tenaga kerja terampil. Permintaan tenaga kerja terampil yang naik ini berdasarkan teori upah maka akan menaikkan upah relatif pekerja terampil.
Berdasarkan pada apa yang telah diulas, maka studi ini hendak mengetahui apakah Teorema Stolper-Samuelson dapat menjelaskan dinamika upah tenaga kerja pada bidang
usaha makanan olahan singkong di kampung Ngaglik Salatiga, sekaligus memprediksi seberapa besar kenaikan upah yang diterima oleh pekerja industri makanan olahan singkong apabila terjadi kenaikan harga output, dalam hal ini harga produk makanan industri olahan singkong.
Garis besar dari tulisan ini selanjutnya adalah sebagai berikut. Pertama, tulisan ini menjelaskan konsep-konsep yang diteliti, kerangka teori, hasil-hasil penelitian terdahulu, kerangka berpikir dan hipotesis. Bagian berikutnya menjelaskan metode penelitian, yang berisikan jenis dan sumber data, populasi dan sampel, metode pengumpulan data dan metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. Kemudian, tulisan ini melaporkan hasil pengolahan data dan melakukan interpretasi atas hasil yang diperoleh. Pada bagian akhir, tulisan ini memberikan kesimpulan dan saran.
Pengertian tenaga kerja dan upah dalam konteks Indonesia, pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: ”Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Selanjutnya, menurut pasal 1 ayat 30 undang-undang ketenagakerjaan 2003, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Definisi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, pengertian UMKM adalah sebagai berikut: 1) Usaha Mikro, yakni usaha produktif milik perseorangan dan/atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yang diatur dalam undang-undang; 2) Usaha Kecil,
yakni usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil yang diatur dalam undang-undang; 3) Usaha Menengah, yakni usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Teorema Stolper-Samuelson, Wolfgang Stolper dan Paul Samuelson mengembangkan teori mengenai perdagangan dengan asumsi sebuah negara menghasilkan dua barang dengan dua faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Terdapat kompetisi yang terus berlangsung dan kedua faktor produksi sepenuhnya digunakan. Satu barang adalah padat modal (misalnya perumahan dengan faktor produksi tanah) dan satu barang padat karya (misalnya gandum dengan faktor produksi tenaga kerja). Menurut Teorema Stolper-Samuelson, negara yang membuka perdagangan dengan negara lain maka secara pasti keuntungan faktor produksi yang digunakan secara intensif dalam industri yang harganya terus meningkat, akan meningkat pula. Misalnya ketika harga perumahan naik, maka harga faktor produksinya (tanah) akan naik pula. Sementara itu faktor produksi yang digunakan secara intensif pada industri yang harganya terus menurun, keuntungan pada faktor produksi tersebut menurun pula. Misal ketika harga gandum turun, maka harga tenaga kerja (dalam hal ini upah) akan turun.
Teorema Stolper-Samuelson juga menjelaskan ketika dalam perdagangan pemerintah membuat kebijakan, misalnya tarif
impor pada gandum, maka industri gandum dalam negeri yang bersaing dengan produk impor akan semakin kompetitif dan membuat permintaan akan gandum tersebut naik. Akibatnya, harga gandum naik, dan perusahaan akan meminta lebih banyak tenaga kerja lagi untuk memproduksi gandum sehingga upah tenaga kerja tersebut akan naik. Secara ringkas, Teorema Stolper-Samuelson menjelaskan hubungan antara harga barang dengan harga faktor produksi. Ketika terjadi kenaikan harga barang mengakibatkan kenaikan harga faktor produksi yang digunakan secara intensif untuk memproduksi barang tersebut.
Penelitian-penelitian Terdahulu
Mengenai Teori Stolper Samuelson, teorema Stolper-Samuelson banyak dikembangkan dan diperluas oleh peneliti-peneliti untuk meneliti tentang bagaimana harga barang mempengaruhi upah. Robertson (2004) meneliti tentang hubungan antara harga barang relatif dan upah relatif selama dua periode liberalisasi perdagangan Meksiko. Harga relatif barang intensif keterampilan naik menyusul masuknya General Agreement of Trade and Tariffs (GATT) pada tahun 1986. Sebelum GATT, Meksiko banyak bergantung pada industri yang secara intensif kurang membutuhkan keterampilan. Setelah masuk ke GATT, harga relatif barang intensif keterampilan naik dan, konsisten dengan prediksi teorema Stolper-Samuelson, upah relatif pekerja terampil naik. Setelah Meksiko masuk sebagai anggota North America Free Trade Area (NAFTA) pada tahun 1994, harga relatif barang intensif keterampilan jatuh karena kalah bersaing dengan Kanada dan Amerika Serikat yang juga memiliki industri intensif tenaga kerja terampil. Kembali konsisten dengan prediksi teorema Stolper-Samuelson, upah relatif pekerja terampil di Meksiko jatuh setelah Meksiko masuk NAFTA. Hubungan antara harga output dan upah tersebut mulai muncul di kisaran 3-5 tahun dan tumbuh lebih kuat dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hasil penelitian tersebut secara konsisten
menunjukkan bahwa perubahan harga relatif dan perubahan upah relatif terkait sesuai dengan prediksi Teorema Stolper-Samuelson.
Benhofen, et,al. (2012) melakukan tes langsung dari teorema Stolper-Samuelson dalam perumusan yang paling umum dengan menganalisis fenomena Negara Jepang dari autarki untuk membuka perdagangan pada abad 19. Benhofen, et,al. menggunakan data yang menggabungkan komoditas dan harga faktor untuk 17 komoditas yang diperdagangkan dan 5 faktor produksi dari akhir autarki Jepang (awal 1850-an) dan awal periode perdagangan bebas (1870-an). Pengujian Teorema Stolper-Samuelson dilakukan dengan asumsi integrasi pasar tenaga kerja dan integrasi penuh pasar barang, yang merupakan asumsi yang masuk akal bagi Jepang selama periode penelitian tersebut, dimana diasumsikan bahwa teknologi tetap. Namun demikian, asumsi teknologi tetap menjadi tidak relevan sebab liberalisasi perdagangan Jepang ditandai dengan perubahan harga yang dramatis dalam kondisi teknologi yang relatif pesat. Oleh sebab itu, dalam model penelitian tersebut Benhofen, et,al. memasukkan teknologi dalam modelnya. Hasil penelitian Benhofen, et,al. memberikan dukungan empiris yang kuat untuk validitas empiris dari Teorema Stolper-Samuelson. Hasil penelitian Benhofen, et,al. menunjukkan bahwa perdagangan internasional beras atau gula tidak berdampak yang cukup besar pada harga faktor produksi. Intensitas faktor relatif industri sutera mempengaruhi sebagian besar perubahan positif dalam harga-harga faktor produksi (di Jepang bagian timur), tapi perubahan harga pada barang-barang yang dapat diimpor (kapas, benang atau kain katun) tidak cukup besar untuk berdampak pada pemberian upah salah satu faktor bekerja di industri-industri tersebut meskipun jumlah impor tinggi.
Teorema Stolper-Samuelson juga dimodifikasi untuk mengetahui pengaruh harga terhadap upah pekerja berpendidikan
dan tidak berpendidikan. Shinkai (2000) dalam jurnal Does the Stolper-Samuelson Theorem Explain the Movement in Wages?: The Linkage Between Trade and Wages in Latin American Countries bertujuan untuk membuktikan apakah liberalisasi perdagangan mempengaruhi kesenjangan upah antara pekerja berpendidikan dan tidak berpendidikan berdasarkan Teorema Stolper-Samuelson. Menggunakan data upah dari survei rumah tangga di beberapa negara Amerika Latin, seperti Bolivia, Meksiko, dan Venezuela, hasil penelitian Shinkai mendukung Teorema Stolper-Samuelson untuk negara Bolivia dan Meksiko. Ketika harga komoditas di industri intensif pekerja tidak berpendidikan (misalnya kayu dan produk kayu) meningkat relatif terhadap industri intensif pekerja berpendidikan (misalnya kertas dan produk kertas), upah pekerja berpendidikan yang bekerja di industri intensif pekerja yang tidak berpendidikan relatif terhadap pekerja yang tidak berpendidikan akan menurun dari perubahan harga di Bolivia dan di Meksiko. Sebaliknya, ketika harga komoditas di industri intensif pekerja berpendidikan (misalnya kertas dan produk kertas) meningkat relatif terhadap industri intensif pekerja tidak berpendidikan, maka upah pekerja berpendidikan yang bekerja di industri intensif pekerja berpendidikan akan naik. Sementara itu, upah pekerja tidak berpendidikan yang bekerja di industri intensif pekerja berpendidikan akan turun. Namun tidak di Venezuela. Kenaikan harga relatif di industri intensif pekerja tidak berpendidikan justru mengakibatkan peningkatan pada upah relatif pekerja berpendidikan. Sehingga, hal tersebut bertolak belakang dengan Teorema Stolper-Samuelson. Menurut Shinkai, hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya mobilitas pekerja di negara ini.
Cosar dan Suverato (2014), selanjutnya, dalam jurnal The Stolper-Samuelson Theorem when the Labor Market Structure Matters mencoba membuktikan Teorema Stolper-Samuelson yang diperluas apabila pasar tenaga
kerja tidak diabaikan. Penelitian tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pekerja terampil memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan keterampilan rendah. Menurut Teorema Stolper-Samuelson, jika sektor impor menggunakan faktor intensif dengan daya tawar yang lebih tinggi maka harga relatif faktor yang lebih intensif digunakan di bidang impor akan meningkat sebagai akibat dari perdagangan internasional. Hasil penelitian Cosar dan Suverato (2014) adalah ketika pasar faktor yang tidak sempurna dan faktor memiliki daya tawar yang berbeda maka keketatan pasar antar faktor menentukan perubahan harga relatif faktor produksi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa harga relatif faktor produksi yang daya tawarnya lebih tinggi, lebih tinggi pada sektor ekspor daripada di sektor impor. Sehingga, hal tersebut merupakan efek produktivitas relatif dan membalikkan prediksi Teorema Stolper-Samuelson.
Harris dan Robertson (2009) dalam jurnal Trade, Wages And Skill Accumulation In The Emerging Giants mengembangkan model dinamis dikalibrasi dengan tujuan mengukur manfaat yang dinamis. Penelitian tersebut bertujuan untuk memberikan perkiraan kuantitatif dinamis efek liberalisasi perdagangan, khususnya yang berkaitan dengan akumulasi modal manusia dan jalur transisi upah terampil dan tidak terampil. Harris dan Robertson menggunakan pendekatan Teorema Stolper-Samuelson, model neoklasik investasi dan pertumbuhan, dengan model perdagangan yang kompetitif dan model modal manusia Becker-Schultz-Mincer, dimana model tersebut dikalibrasi dengan data Cina dan India. Hasil dari penelitian Harris dan Robertson, di China dan India, dalam jangka pendek menunjukkan bahwaliberalisasiperdaganganmemiculonjakan investasi modal dan pendidikan. Adanya liberalisasi perdagangan membuat masyarakat dituntut untuk memiliki keterampilan. Kenaikan jangka pendek dalam permintaan keterampilan tersebut juga menyebabkan
lonjakan pendaftaran untuk pendidikan. Semakin meningkatnya keterampilan akan menyebabkan ketimpangan upah dengan pekerja tidak termapil pula. Hal tersebut dapat mencerminkan efek Stolper-Samuelson serta efek dinamis jangka pendek terkait dengan tuntutan pendidikan dan biaya penyesuaian. Dalam jangka panjang, menurut Harris dan Robertson, dengan adanya peningkatan keterampilan, maka akan meningkatkan modal fisik, seperti mesin dan peralatan. Dengan demikian, liberalisasi perdagangan menghasilkan modal yang signifikan sehingga memperdalam keterampilan. Sehingga, menurut Harris dan Robertson, hal tersebut akan meningkatkan keterampilan dari angkatan kerja dan akan menyebabkan pertumbuhan yang kuat di upah tenaga kerja tidak terampil.
Penelitian-penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-faktor Penentu Upah, selain dipengaruhi oleh harga barang/jasa, upah tenaga kerja juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Penelitian Kurniawan (2015) yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran umur, pengalaman kerja, pendidikan, jenis kelamin dan status migran mempengaruhi produktivitas dan peran produktivitas dalam mempengaruhi upah buruh petik sawit di Kabupaten Morowali Kecamatan Mori Atas Sulawesi Tengah menunjukkan hasil bahwa: 1) umur dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap produktivitas buruh petik sawit; 2) pengalaman kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas buruh petik sawit; 3) Buruh petik sawit jenis kelamin laki-laki memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada buruh petik sawit jenis kelamin perempuan; 4) buruh petik sawit migran memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada buruh petik sawit non migran; 5) produktivitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap upah buruh petik sawit.
Penelitian Susanto (2010) yang berjudul “Hubungan Kausalitas antara Upah Nominal dan Tunjangan dengan Produktivitas Pekerja
(Studi Pada Industri Tekstil Dan Kimia 19972007)” menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara upah nominal pekerja produksi industri kimia dengan produktivitas pekerja. Sementara itu, pada industri tekstil upah nominal ditentukan oleh produktivitas pekerja, tetapi produktivitas pekerja tidak ditentukan oleh besarnya upah nominal pekerja produksi. Namun demikian, menurut hasil penelitian Hafid (2014) pada industri tekstil dan produk turunannya (TPT) di Kecamatan Pedurungan diketahui bahwa jumlah jam kerja, sistem kerja buruh dan jumlah tanggungan buruh berpengaruh positif terhadap tingkat upah nominal yang diterima buruh industri tekstil dan produk turunannya (TPT) di Kecamatan Pedurungan. Dalam penelitian Hafid (2014), masa kerja pekerja di perusahaannya dan tingkat pendidikan buruh tidak berpengaruh terhadap tingkat upah nominal yang diterima buruh industri tekstil dan produk turunannya (TPT) di Kecamatan Pedurungan, dimana jenis kelamin laki-laki ditemukan memiliki upah yang lebih tinggi dari perempuan karena mengerjakan pekerjaan fisik yang lebih berat.
Nihayah dan Kusmantoro (2013), pada penelitian yang lain, menemukan bahwa keberadaan tenaga kerja sangat terdidik dan terampil (high skilled labor) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap upah yang diterima. Semakin banyak tenaga tersebut masuk pasar tenaga kerja, maka akan semakin kompetitif persaingan. Tingkat upah juga akan semakin tinggi. Begitu juga studi kualitatif yang dilakukan oleh Dewi Sartika (2012) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap tingkat upah. Semakin tinggi tingkat pencapaian pendidikan, maka akan mempengaruhi jenis pekerjaan dan karir yang didapat, sehingga berpengaruh terhadap tingkat upah yang diperoleh.
Berdasarkan Teorema Stolper-Samuelson kenaikan harga suatu barang akan membuat upah faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut
meningkat. Teorema Stolper-Samuelson banyak diaplikasikan di level negara (makro). Melihat bahwa negara terdiri dari komponen-komponen mikro, maka paper ini ditulis dengan tujuan meneliti apakah Teorema Stolper-Samuelson juga dapat belaku di level mikro. Jika dilihat dari hasil-hasil penelitian terdahulu, maka para peneliti sebelumnya meneliti pada industri besar dan formal. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memberikan kontribusi untuk membuktikan apakah Teorema Stolper-Samuelson berlaku di sektor industri makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik Salatiga yang merupakan industri kecil dan informal dengan menganalisis pengaruh kenaikan harga produk makanan olahan industri makanan olahan terhadap upah pekerja di sektor industri makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik Salatiga. Kemudian, mengingat adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi upah tenaga kerja selain harga produk, maka tulisan ini menambahkan variabel lama bekerja dan tingkat pendidikan, dan juga variabel dummy jenis kelamin ke dalam model. Variabel-variabel tersebut secara umum terobservasi di lokasi penelitian.
Secara garis besar, hubungan harga output dengan upah adalah positif sesuai dengan Teorema Stolper-Samuelson, dimana apabila harga output naik, maka upah tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi output tersebut juga akan meningkat. Kemudian, hubungan lama bekerja dengan upah adalah juga positif. Semakin lama seorang pekerja bekerja pada perusahaan, maka pekerja tersebut akan semakin dihargai oleh perusahaannya dan upah bagi pekerja tersebut juga akan mengalami peningkatan. Masing-masing jenis kelamin diprediksi memperoleh upah yang berbeda karena adanya perbedaan tingkat kesulitan pekerjaan yang bersifat fisik. Mengingat studi ini adalah studi pada industri makanan olahan singkong, maka diprediksi tenaga kerja laki-laki akan menerima upah yang diterima lebih tinggi daripada perempuan karena pekerjaan-
pekerjaan pada industri tersebut membutuhkan kekuatan fisik. Terakhir, hubungan antara tingkat pendidikan dan upah diprediksi juga positif. Tingginya tingkat pendidikan yang pernah dilalui tenaga kerja, akan memberikan tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang diterima oleh tenaga kerja yang berpendidikan menengah ke bawah.
Model dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Hipotesis yang diajukan dalam studi ini adalah: Harga produk makanan olahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap upah nominal pegawai industri makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik Salatiga. Lama kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap upah nominal pegawai industri makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik Salatiga. Pegawai industri makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik Salatiga yang berjenis kelamin laki-laki memiliki upah nominal yang lebih tinggi daripada pegawai industri makanan olahan singkong berjenis kelamin perempuan.Pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap upah nominal pegawai industri makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik Salatiga.
METODE PENELITIAN
Pada saat penelitian ini dilakukan,
terdapat empat usaha makanan olahan singkong di Kampung Ngaglik yang termasuk dalam kategori UKM (usaha kecil menengah), yakni Singkong keju D-9, Criping Singkong Presto Pak Nur, Gethuk Kethek, dan Gethuk Cassava. Sementara itu, terdapat pula tiga usaha makanan olahan singkong yang lain yang merupakan usaha mikro, yakni Brownies Singkong, Singkong Keju 45, dan Gethuk Sogo. Dari ke tujuh usaha makanan olahan singkong tersebut hanya Singkong keju D-9, Criping Singkong Presto Pak Nur, dan Gethuk Cassava yang menyerap tenaga kerja. Gethuk Kethek dan tiga usaha mikro lainnya diketahui tidak memilliki tenaga kerja, hanya dikerjakan sendiri oleh pemilik usaha dan anggota keluarga sendiri dan tidak terdapat sistem gaji untuk keluarga. Dengan demikian, penelitian ini selanjutnya berfokus pada pekerja pada usaha Singkong keju D-9, Criping Singkong Presto Pak Nur, dan Gethuk Cassava.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 53 orang pekerja pada usaha Singkong Keju D-9 dan Criping Singkong Presto Pak Nur. Studi ini tidak mengikutsertakan pekerja pada usaha Gethuk Cassava karena pemilik Gethuk Cassava tidak bersedia untuk memberikan data pekerja. Oleh karena itu, riset ini hanya mengkaji upah tenaga kerja yang bekerja di Singkong keju D-9 dan Criping Singkong Presto Pak Nur saja. Berikutnya, dengan pertimbangan bahwa jumlah populasi yang jumlahnya relatif sedikit, maka metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode saturation sampling (sampel jenuh/sensus), yakni pengambilan jumlah sampel yang besarnya sama dengan jumlah populasi.
Data yang digunakan dalam riset ini adalah data primer dalam bentuk cross-section. Data primer diperoleh secara langsung dari responden (seluruh pekerja Singkong keju D-9 dan Criping Singkong Presto Pak Nur) dengan cara memberikan kuesioner kepada para responden tersebut untuk diisi. Data tersebut adalah data upah nominal (upah tenaga kerja
dalam periode satu bulan dalam satuan rupiah), harga produk makanan olahan (harga produk utama dari Singkong keju D-9 dan Criping Singkong Presto Pak Nur dalam satuan rupiah), lama kerja (lama waktu pengabdian tenaga kerja yang diukur dari berapa lama tenaga kerja tersebut bekerja di perusahaan (dalam bulan)), jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Data-data tersebut merupakan data pada bulan Agustus 2015 yang dikumpulkan pada Bulan September 2015. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode regresi linear berganda.
Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel harga dan variabel bebas lainnya (lama bekerja dan tingkat pendidikan) terhadap variabel tingkat upah nominal, serta perbedaan upah tenaga kerja laki-laki dan perempuan, studi ini menggunakan model regresi linear berganda (Multiple Linier Regression Method) dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) sebagai berikut:
TU = α0 + α1H + α2LB + α3Laki-laki + <⅛ + μ; (1)
TUc : Tingkat Upah Nominal (Rp)
Hc : Harga nominal produk
makanan olahan
LBc : Lama Bekerja (Tahun)
Laki-lakic : Variabel Dummy: 1 apabila
pekerja adalah laki-laki, 0 apabila pekerja adalah perempuan
TPc : Tingkat pendidikan (1: SD ke
bawah, 2: SMP, 3: SMA, dan 4: Sarjana) μc : Residual
Interpretasi terhadap hasil estimasi model dilakukan setelah model dipastikan terbebas dari masalah multikolinearitas, heterokedasitas, normalitas dan autokorelasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, objek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari dua unit usaha, yaitu Singkong Keju D-9 dan Criping Singkong Presto Pak Nur.
Berikut ini merupakan gambaran singkat dari masing-masing unit usaha. Singkong Keju D-9 merupakan usaha makanan olahan singkong yang berdiri sejak tahun 2010 dengan pendirinya yaitu Bapak Hardadi. Bermula dari menjual singkong keju dengan menggunakan gerobak di Lapangan Pancasila Salatiga, penjualan singkong keju ini mulai mengalami kenaikan permintaan. Pak Hardadi kemudian memberanikan diri untuk meminjam uang di bank sebagai modal untuk mendirikan tempat usaha di rumahnya sendiri, Ngaglik RT 03, RW 01. Dengan promosi melalui internet serta rajin mengikuti bazar-bazar yang diselenggarakan oleh Disperindagkop, omset usaha ini terus mengalami kenaikan, hingga kini mencapai Rp 300.000.000,00 per bulan. Harga produknya pun semakin mengalami kenaikan, mulai dari Rp 10.000,00 kini menjadi Rp 15.000,00. Produk makanan yang dijual antara lain singkong original dengan harga Rp 15.000,00, singkong keju dengan harga Rpp 16.000,00, dan singkong keju dengan taburan meses dengan harga Rp 17.000,00.
Saat ini Pak Hardadi memiliki sebanyak 34 pekerja untuk menjalankan usahanya tersebut. Pekerja tersebut terdiri dari 13 pekerja laki-laki dan 21 pekerja perempuan. Pekerja setiap harinya berkerja dengan sistem shift pukul 08.00-16.00 dan pukul 16.00-24.00. Tenaga kerja paling banyak direkrut dari tetangga sekitar. Gaji yang diberikan berkisar mulai Rp 750.000,00 sampai pada Rp 2.800.000,00 ditambah dengan uang makan Rp 180.000,00 per bulan. Pak Hardadi mengaku bahwa dalam merekrut pekerjanya, pendidikan bukanlah syarat untuk dapat bekerja di Singkong Keju D-9, namun yang terpenting adalah bagaimana seseorang tersebut mampu melaksanakan pekerjaan dengan baik. Besar kecilnya gaji tergantung pada jenis pekerjaan orang tersebut serta lama kerjanya.
Criping Singkong Presto Pak Nur didirikan sejak tahun 2007 oleh pemiliknya, Pak Nur. Bermula dengan modal Rp 150.000,00 ceriping singkong ini dibuat sendiri dengan
bantuan keluarga dan dijual dengan harga Rp 20.000,00 per kilogram, dan dijual per pack yang berisi setengah kilogram dengan harga Rp 10.000,00 per pack. Pak Nur mempromosikan ceriping singkongnya dengan memberikan label pada setiap bungkus dengan nomor HP Pak Nur. Berkat label tersebut, maka pesanan akan singkong ini semakin meningkat yang semula hanya dipasarkan hanya di wilayah Salatiga, kini pembeli berasal dari beberapa Kota di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan Sumatera dan omset mencapai Rp 270.000.000,00 per bulan. Harga ceriping singkong pun meningkat menjadi Rp 15.000,00 per pack. Pak Nur kini memiliki pekerja dengan jumlah 19 orang dengan 17 orang perempuan dan 2 orang laki-laki, dengan jam kerja pukul 08.00-16.00. Sama halnya dengan Pak Hardadi, Pak Nur mengaku bahwa dalam merekrut karyawannya, pendidikan bukanlah syarat. Namun yang terpenting adalah rajin dan mampu mengerjakan semua pekerjaan, mulai dari mengupas singkong, menggoreng, sampai pada packing. Pekerja digaji sebesar Rp 600.000,00 sampai Rp 900.000,00 tanpa uang makan, namun disediakan makan siang dan snack di tempat bekerja.
Berikut disajikan karakteristik responden. Responden berjumlah 53 orang yang terdiri dari 34 karyawan Singkong Keju D-9 dan 19 karyawan Criping Singkong Presto Pak Nur.Dapat dilihat pada Tabel 3., rata-rata upah pekerja di Singkong Keju D-9 dan Criping Singkong Presto Pak Nur adalah Rp. 1.005.660,38. Dengan upah maksimum sebesar Rp 2.800.000,00 yaitu pekerja di singkong keju D-9 dan Rp 600.000,00 merupakan pekerja di Criping Singkong Presto Pak Nur. Upah Rp 600.000,00 merupakan upah yang diterima oleh sebagian besar responden (28,30%) dan semuanya merupakan pekerja di Criping Singkong Presto Pak Nur. Sedangkan sebagian kecil responden (1,69%) mendapatkan upah Rp 2.800.000,00 merupakan pekerja di Singkong Keju D-9. Upah tersebut
Tabel 3.
Statistik Upah Responden
Ukuran Statistik |
Nilai |
Mean |
Rp. 1.005.660,3 8 |
Minimum |
Rp. 600.000,00 |
Maksimum |
Rp. 2.800.000,00 |
Sumber: Data primer, diolah
Grafik 1.
Responden Menurut Upah

Upah
Sumber: Data primer, diolah
Tabel 4.
Statistik Lama Kerja Responden
Ukuran Statistik
Mean
Minimum
Maksimum
Nilai
21,13 bulan
1 bulan
72 bulan
Sumber: Data primer, diolah
merupakan upah bersih tanpa uang makan.
Lama kerja disini dihitung dalam hitungan bulan. Bagi Pak Hardadi maupun Pak Nur, lama kerja disini menjadi penentu
upah yang diberikan, bahkan dibandingkan pendidikan. Rata-rata lama kerja pekerja adalah 21 bulan. Paling lama responden bekerja di industri makanan olahan singkong selama
Tabel 5.
Distribusi Frekuensi Lama Kerja Responden
Lama Kerja (Bulan) |
Frekuensi |
Prosentase (%) |
4 |
7,5 | |
3 |
2 |
3,8 |
5 |
2 |
3,8 |
6 |
9 |
17,0 |
8 |
1 |
1,9 |
12 |
10 |
18,9 |
18 |
1 |
1,9 |
24 |
11 |
20,8 |
36 |
3 |
5,7 |
48 |
7 |
13,2 |
60 |
2 |
3,8 |
72 |
1 |
1,9 |
Total |
53 |
100 |
Sumber: Data primer, diolah |
Pada industri makanan olahan singkong, memang lebih banyak dibutuhkan tenaga perempuan daripada tenaga laki-laki. Tenaga kerja perempuan umumnya bekerja sebagai pengolah singkong menjadi makanan jadi, seperti mengupas singkong dan memasak. Sementara itu tenaga kerja laki-laki merupakan pekerjaan yang lebih membutuhkan tenaga fisik yang kuat, seperti mengangkut singkong.
Menurut Pak Hardadi dan Pak Nur, pendidikan bukanlah syarat untuk dapat direkrut menjadi pekerja di industri makanan olahan singkong. Yang terpenting adalah rajin dan dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu sebagian besar bekerja berpendidikan lulusan SMA, dan hanya ada 1 orang sarjana. Bahkan lebih banyak dari lulusan SMP ke bawah. 72 bulan atau 6 tahun, namun
hanya ada 1 responden yang bekerja selama itu. Responden paling banyak telah bekerja selama 12 bulan. Pada industri makanan olahan singkong di Ngaglik ini, memang cepat terjadi penambahan pekerja, maupun pengurangan pekerja karena mengundurkan diri.
Studi ini melakukan regresi linear berganda dengan jumlah sampel sebanyak 53 responden, yang terdiri dari 34 karyawan singkong Keju D-9 dan 19 karyawan Criping Singkong Presto Pak Nur. Karena terdapat perbedaan dalam satuan variabel independen, maka persamaan regresi dibuat dengan model logaritma natural. Alasan pemilihan model logaritma natural adalah sebagai berikut: (a) menghindari adanya heteroskedastisitas, (b) mengetahui koefisien yang menunjukkan elastisitas dan (c) mendekatkan skala data (Kurniawan, 2015).
Tabel 6.
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin |
Frekuensi |
Prosentase (%) |
Perempuan |
38 |
71,7 |
Laki-Laki |
15 |
28,3 |
Total |
53 |
100 |
Sumber: Data primer, diolah
Tabel 7.
Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden
Pendidikan |
Frekuensi |
Prosentase (%) |
SD ke bawah |
14 |
26,4 |
SMP |
13 |
24,5 |
SMA |
25 |
47,2 |
Sarjana |
1 |
1,9 |
Total |
53 |
100 |
Sumber: Data primer, diolah
Oleh karenanya, model akhir yang dibangun merupakan model semi-log sebagai berikut:
lmTUc = α0 + α1lnHc + α2LBc + α3Laki-lakic + α4TPc + μc (2)
Studi ini melakukan analisis regresi dengan menggunakan software EViews. Namun terjadi masalah dalam data, yaitu tidak terpenuhinya asumsinormalitas. Untukmengatasihaltersebut, tiga data outlier, yaitu data dari dua karyawan Singkong Keju D-9 dan satu karyawan Criping Singkong Presto Pak Nur dibuang. Hal tersebut dikarenakan dua pekerja tersebut menangani pekerjaan yang lebih berat dari pada yang lain,
seperti mencabut dan mengangkut singkong, sehingga memiliki upah paling tinggi dibanding yang lain, yaitu Rp 2.800.000,00 (pekerja singkong keju D-9) dan Rp 1.500.000,00 (pekerja Criping Singkong Presto Pak Nur). Sementara yang lain, yakni data salah satu karyawan Singkong Keju D-9 yang berpendidikan Sarjana mengakibatkan terjadinya masalah pada normalitas. Setelah outlier tersebut dihilangkan, data lolos uji normalitas.Selanjutnya, hasil analisis regresi dengan menggunakan E-Views dapat ditunjukkan pada tabel 8. Sebelum melakukan uji hipotesis lebih lanjut, maka data harus dipastikan lolos dari uji asumsi
klasik, yaitu multikolinearitas, normalitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi.
Uji multikolinearitas adalah uji untuk memastikan bahwa tidak ada hubungan antara variabel independen. Uji ini dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel independen. Indikasi adanya multikolinearitas adalah koefisien korelasi yang lebih dari
0,8. Hasil output E-Views untuk korelasi antar masing-masing variabel independen ditunjukan pada Tabel 9.
Dari koefisien korelasi pada Tabel 9, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas pada model regresi karena tidak ada koefisien korelasi yang melebihi 0,8.
Tabel 8.
Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden
Variabel |
Koefisien t |
-Statistik |
Prob. |
C1 |
-63,2430 |
-7,8329 |
0,0000 |
LiiHarga |
7,9465 |
9,4558 |
0,0000 |
Lama Kerja |
0,0065 |
5,6086 |
0,0000 |
Laki-laki |
0,1714 |
3,4543 |
0,0012 |
Pendidikan |
0,0010 |
0,3373 |
0,7375 |
R-Squared2 |
0,83699 | ||
F-statistic |
57,76305 | ||
Prob(F-statistic) |
0,00000 | ||
Sumber: Data primer, diolah |
Tabel 9. | ||
Koefisien Korelasi Variabel Independen | |||
Variabel | |||
Korelasi |
LnUpah Lama Kerja |
Pendidikan |
Laki-laki |
LnUpah |
1,000000 0,349238 |
0,422150 |
0,483474 |
Lama Kerja |
0,34923 8 1,000000 |
-0,117320 |
0,008787 |
Pendidikan |
0,422150 -0,117320 |
1,000000 |
0,144183 |
Laki-laki |
0,483474 0,008787 |
0,144183 |
1,000000 |
Sumber: Data primer, diolah
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, residual memiliki distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah residual berdistribusi normal. Hipotesis nol (H0) untuk uji normalitas adalah E(µi) = 0 (residual terdistribusi normal); sedangkan hipotesis alternatif (Ha) adalah E(µi) ≠ 0 (residual tidak terdistribusi normal). Tolak H0 apabila Probabilitas Jarque Bera kurang dari toleransi kesalahan (α) yaitu 5% (atau 0,05). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa Probabilitas Jarque Bera: 0,664 > α 0,05. Artinya, tidak dapat menolak H0. Residual dari data tersebut berdistribusi normal, sehingga lolos uji normalitas.
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian tetap disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Hipotesis nol nya adalah H0: E(µ2) = r 2 (data homoskedastisitas). Hipotesis alternatif (Ha): E(µi2) ≠ r2 (data heterokedastisitas). Tolak H0 apabila Probabilitas Chi Square dari Obs*R-
Squared kurang dari toleransi kesalahan (α) yaitu 5% (0,05). Penelitian ini menggunakan Uji Glejser untuk mendeteksi heteroskedastisitas. Hasil estimasi pada Tabel 10.
Probabilitas Chi-square dari Obs* R Squared: 0,0987 > α 0,05. Artinya, tidak dapat menolak H0. Data homoskedastis, sehingga data tersebut lolos uji heteroskedastisitas
Uji autokorelasi ini bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linier terdapat korelasi antara residual pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka terdapat problem autokorelasi. Autokorelasi timbul karena residual tidak bebas dari satu observasi ke observasi lain. Hipotesis nolnya adalah H0: E[µi, µj] = 0 (tidak ada autokorelasi) dan hipotesis alternatifnya Ha: E[µi, µj] ≠ 0 (terdapat autokorelasi). Tolak H0 apabila Probabilitas Chi Square dari Obs*R-Squared kurang dari toleransi kesalahan (α) yaitu 5% (0,05). Penelitian ini menggunakan Uji Breusch-Godfrey untuk mendeteksi heteroskedastisitas. Hasil estimasinya pada Tabel 11.
Probabilitas Chi-square dari Obs* R Squared: 0,3178 > α 0,05. Artinya, tidak dapat
Tabel 10.
Hasil Uji Heteroskedastisitasvv
F-statistic |
2,455225 |
Prob. F(4,45) |
0,0592 |
Obs*R-squared |
8,95 7260 |
Prob. Chi-Square(4) |
0,0622 |
Scaled explained SS |
7,811482 |
Prob. Chi-Square(4) |
0,0987 |
Sumber: Data primer, diolah
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test
F-statistic |
1,033313 |
Prob. F(2,43) |
0.3645 |
Obs*R-squared |
2,292856 |
Prob. Chi-Square(2) |
0,3178 |
Sumber: Data primer, diolah
2R-squared 0,836 menunjukkan bahwa variabel tingkat upah nominal pekerja di industri makanan olahan singkong dapat dijelaskan oleh variabel bebas di dalam model sebesar 83,6 %, sisanya (16,4 %) dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model.
menolak H0. Pada data tersebut tidak terdapat autokorelasi. Sehingga model yang digunakan lolos uji asumsi klasik dan dapat dilanjutkan ke pengujian hipotesis selanjutnya.Uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. Variabel berpengaruh signifikan apabila H0 ditolak atau terima Ha dengan toleransi kesalahan α: 5%. Hipotesis nol H0: a1 = 0; dan hipotesis alternatifnya Ha: a1 ≠ 0. Tolak H0 jika probabilitas kurang dari α (0,05). Hasil menunjukkan bahwa probabilitas untuk variabel harga produk makanan olahan singkong adalah 0,000 kurang dari α 0,05. Artinya, tolak H0 dan terima Ha. Dapat disimpulkan bahwa variabel harga produk makanan olahan singkong berpengaruh signifikan terhadap upah nominal pegawai di industri makanan olahan singkong.
Sama halnya dengan variabel harga produk makanan olahan singkong, uji ini menggunakan H0: a2 = 0 dan Ha: a2 ≠ 0. Tolak H0 jika probabilitas kurang dari α (0,05). Hasil menunjukkan bahwa probabilitas untuk variabel lama bekerja adalah 0,000 kurang dari α 0,05. Artinya, tolak H0 dan terima Ha. Variabel lama bekerja berpengaruh signifikan terhadap upah nominal pegawai di industri makanan olahan singkong.
Untuk variabel dummy jenis kelamin laki-laki, hasil estimasi model menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat upah nominal antar jenis kelamin.Variabel ini juga menggunakan H0: a4 = 0 dan Ha: a4 ≠ 0. Tolak H0 jika probabilitas kurang dari α (0,05). Hasil menunjukkan bahwa probabilitas untuk variabel pendidikan adalah 0,737 lebih dari α 0,05. Artinya, tidak dapat menolak H0. Berbeda dengan variabel sebelumnya, variabel pendidikan tidak bepengaruh signifikan terhadap upah nominal pegawai di industri makanan olahan singkong.
Uji F digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen. Dengan H0: αi = 0, dan Ha: αi ≠ 0, dan i merupakan angka 1, 2, 3, 4; dimana 1 = harga nominal produk
makanan olahan singkong; 2 = Lama bekerja; 3 = laki-laki; 4 = Pendidikan, diketahui bahwa hasil menunjukkan prob-F Statistik 0,000 < α (0,05). Hasil ini dapat diintrepretasikan bahwa secara bersama-sama, harga nominal produk makanan olahan singkong, lama bekerja, variabel dummy jenis kelamin, dan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap upah nominal pekerja di industri makanan olahan singkong.
Hasil regresi menunjukkan bahwa harga produk makanan olahan singkong berpengaruh positif signifikan terhadap upah pekerja pada industri makanan olahan singkong di Ngaglik. Koefisien positif sebesar 7,946 menunjukkan jika harga nominal produk makanan olahan singkong bertambah 1%, maka upah nominal pekerja pada industri tersebut akan bertambah sebanyak 7,946%. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shinkai (2000), Robertson (2004), dan Benhofen, et,al. (2012). Dengan demikian dapat diketahui bahwa Teorema Stolper-Samuelson tidak hanya berlaku pada industri secara makro saja seperti halnya penelitian-penelitian tersebut (Shinkai, Robertson, dan Benhofen, et, al)., tetapi juga berlaku di lingkungan mikro, yakni lingkungan UMKM. Hal tersebut dapat disebabkan oleh upah pada UMKM yang lebih fleksibel daripada perusahaan-perusahaan besar. Apabila harga produk makanan olahan singkong naik karena permintaan yang naik, maka produksi juga akan meningkat dan membutuhkan tenaga kerja yang harus lebih banyak berproduksi. Di sisi lain, keuntungan yang diterima oleh pemilik usaha juga akan meningkat. Akibatnya akan menyebabkan upah yang diterima pekerja itu akan naik.
Namun hasil penelitian di Ngaglik ini tidak sesuai dengan penelitian Cosar dan Suverato (2014) dalam jurnal The Stolper-Samuelson Theorem when the Labor Market Structure Matters. Hasil penelitian Cosar dan Suverato adalah ketika pasar faktor produksi yang tidak sempurna dan faktor produksi memiliki daya tawar yang berbeda, maka
Teorema Stolper-Samuelson tidak berlaku. Kenaikan upah tidak dipengaruhi oleh harga, namun dipengaruhi oleh persaingan antar faktor produksi. Beda halnya dengan di industri makanan olahan singkong, dimana Teorema Stolper Samuelson berlaku. Perbedaan ini terjadi karena pekerja pada industri makanan olahan singkong di Ngaglik memiliki daya tawar yang hampir sama. Sebab, untuk dapat bekerja di industri olahan singkong tersebut tidak perlu memiliki keterampilan khusus dan dari jenjang pendidikannya pun hampir sama, yaitu sebagian besar setara SMA dan SMP.
Hasil regresi menunjukkan bahwa lama bekerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap upah pekerja. Intepretasi dari koefisien lama bekerja adalah ketika lama bekerja bertambah sebanyak 1 bulan, maka upah akan naik sebesar 0,006%. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Kurniawan (2015) pada upah buruh petik sawit yang menegaskan bahwa pengalaman kerja yang ditunjukkan oleh lama bekerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas, dan selanjutnya produktivitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap upah. Namun hasil studi ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Hafid (2014) pada industri tekstil dan produk turunannya (TPT) di Kecamatan Pedurungan, dimana masa kerja pekerja tidak berpengaruh terhadap tingkat upah nominal yang diterima buruh.
Temuan dalam studi ini menegaskan bahwa di industri dengan karakteristik padat karya, seperti industri makanan olahan singkong, lama bekerja menunjukkan bahwa seseorang telah memiliki pengalaman kerja dan dapat menyelesaikan pekerjaan secara lebih baik karena adanya pengalaman tersebut. Oleh karena itu, koefisien lama bekerja dalam studi ini adalah positif signifikan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pemilik usaha makanan olahan singkong, bahwa lama kerja menentukan upah yang diterima, karena menurut pemilik, seseorang yang sudah lama bekerja sudah dianggap ‘ahli’ dalam melakukan
pekerjaan. Hasil regresi variabel dummy (Laki-laki) menunjukkan bahwa upah laki-laki lebih tinggi 0,169% dibandingkan tenaga kerja berjenis kelamin perempuan. Perbedaan ini ditentukan oleh berat atau ringannya pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja perempuan dan laki-laki. Pada industri makanan olahan singkong, upah tenaga kerja laki-laki dan perempuan berbeda karena memang tenaga kerja perempuan dan laki-laki memiliki job description yang berbeda. Pekerja perempuan biasanya bekerja sebagai pengolah singkong, mulai dari mengupas singkong, hingga menge-pack. Sedangkan laki-laki memiliki tugas yang lebih berat, misalnya mengangkut bahan baku singkong yang cukup berat sehingga laki-laki memiliki upah yang lebih tinggi. Hal ini sama dengan yang ditemukan oleh Hafid (2014) bahwa jenis kelamin laki-laki cenderung memiliki upah lebih tinggi karena jenis kelamin tersebut melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan lebih banyak tenaga fisik.
Pendidikan berpengaruh secara positif terhadap upah nominal pekerja di industri makanan olahan singkong. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan naiknya 1 tingkat pendidikan menaikkan upah sebesar 0,99%. Temuan ini memperkuat hasil penelitian Nihayah dan Kusmantoro (2013) mengenai keberadaan Tenaga Kerja Sangat Terdidik dan Terampil (High Skilled Labor) dan penelitian Dewi Sartika (2012) bahwa tingkat pendidikan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap upah yang diterima. Meskipun bagi pemilik industri makanan olahan singkong pendidikan bukan merupakan faktor yang penting untuk seseorang dapat bekerja di industri makanan olahan singkong, namun pada kenyataannya, menurut pemilik industri makanan olahan singkong, pekerja yang tingkat pendidikannya lebih tinggi memiliki kualitas pekerja yang lebih baik, sehingga mendapatkan upah yang lebih tinggi . Pekerja yang tingkat pendidikannya lebih tinggi juga memiliki jenis pekerjaan yang berbeda, seperti halnya di
Singkong Keju D-9 pekerja yang sarjana dan SMA ditempatkan di tempat penjualan, yang melayani pelanggan, lebih baik daripada lulusan SMP atau SD, yang ditempatkan dibagian pengupasan singkong. Namun dengan hasil yang tidak signifikan ini, terbukti bahwa pernyataan pemilik usaha sesuai dengan hasil analisis data, bahwa pendidikan pekerja yang sebagian besar berpendidikan SMA dan SMP memang tidak berpengaruh terhadap upah.
Lebih jauh, dari regresi variabel dummy juga dapat diketahui pengaruh masing-masing tingkat pendidikan terhadap upah yang diperoleh. Tingkat pendidikan SMA dengan koefisien 0,018 dan SMP lebih rendah yaitu 0,0014, yang artinya upah akan bertambah sebesar 0,018% apabila SMA dan bertambah 0,0014% apabila SMP. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan kesenjangan upah apabila Teorema Stolper-Samuelson berlaku. Pada penelitian sebelumnya, yakni penelitian Shinkai (2000) di Bolivia dan di Meksiko, ditunjukkan bahwa ketikahargakomoditasdiindustriintensifpekerja tidak berpendidikan meningkat relatif terhadap industri intensif pekerja berpendidikan, upah pekerja berpendidikan yang bekerja di industri intensif pekerja yang tidak berpendidikan relatif terhadap pekerja yang tidak berpendidikan akan menurun dari perubahan harga, begitu pula sebaliknya. Harris dan Robertson (2009) juga menemukan efek Stolper-Samuelson di China dan India bahwa semakin meningkatnya keterampilan akan menyebabkan ketimpangan upah dengan pekerja tidak terampil pula. Dalam studi ini, menurut pemilik usaha olahan singkong, pekerja yang pendidikannya lebih tinggi memiliki kualitas kerja yang lebih baik sehingga dapat diasumsikan bahwa pekerja yang pendidikannya tinggi, seperti tingkat Sarjana dan SMA merupakan pekerja terampil yang mengalami kenaikan upah. Sementara itu, untuk pekerja lulusan SMP, karena kualitas kerjanya lebih rendah, maka upahnya lebih rendah. Dari koefisien regresi dapat terlihat adanya kesenjangan upah antar pekerja dengan
jenjang pendidikan berbeda, dimana lulusan SMA memiliki kenaikan upah yang paling tinggi (0,018%), sedangkan SMP kenaikan upahnya cukup rendah (0,0014%).
SIMPULAN DAN SARAN
Dari analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Teorema Stolper-Samuelson dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena pengaruh kenaikan harga makanan olahan singkong (sebesar 1%) yang menyebabkan kenaikan upah nominal tenaga kerja yang menghasilkannya (sebesar 7,95%) di Sentra Makanan Olahan Singkong di Ngaglik Salatiga. Kedua, kenaikan upah disumbang oleh variabel lain, yakni lama bekerja. Lama bekerja berpengaruh positif signifikan terhadap upah pekerja. Lama bekerja mencerminkan keahlian seseorang dalam melakukan pekerjaan. Hasil riset lainnya, jenis kelamin laki-laki memperoleh upah yang lebih tinggi daripada perempuan karena laki-laki melakukan pekerjaan yang lebih berat daripada perempuan. Temuan yang terakhir, terindikasi bahwa dengan semakin tingginya tingkat pendidikan, maka akan semakin tinggi pula upah yang diperoleh.
Implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini adalah pemerintah melalui Disperindagkop Kota Salatiga perlu mendorong UMKM untuk mengembangkan usahanya. Pengembangan usaha dapat dilakukan misalnya mulai dari melakukan pelatihan pada SDM (hal ini mengingat pekerja di industri makanan olahan singkong Ngaglik Salatiga) tidak mendapatkan training sebelum bekerja) Dengan SDM yang berkualitas, diharapkan kualitas produk dapat ditingkatkan. Selain itu pemerintah juga dapat membantu mempromosikan produk-produk UMKM agar semakin diterima di masyarakat luas dan meningkatkan permintaan akan produk UMKM. Dengan peningkatan permintaan tersebut, diharapkan harga produk UMKM naik, sehingga berdasarkan Teorema Stolper-Samuelson upah nominal pekerja yang
memproduksi makanan olahan singkongpun dapat pula meningkat yang nantinya akan berdampak pada kenaikan kesejahteraan pekerja. Sementara itu, untuk kepentingan riset selanjutnya, penelitian mendatang perlu menemukan alasan mengapa persentase kenaikan upah secara nominal dapat lebih tinggi dari persentase kenaikan harga output.
REFERENSI
Benhofen, M. Daniel, John C. Brown, and M suyuki Tanimoto. 2012. A Direct Test Of The Stolper-Samuelson Theorem: The Natural Experiment Of Japan. Uni versity Of Tokyo.
BPS Kota Salatiga, 2013, Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga, Badan Pusat Statistik Kota Salatiga, Salatiga.
Cosar, A. Kerem. and Davide Suverato. 2014. The Stolper-Samuelson Theorem When The Labor Market Structure Matters. University Of Chicago.
Hafid, Muhammad. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Upah Tenaga Kerja Industri Textil di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Universitas Diponegoro Semarang. eprints.undip.ac.id/42890/1/ HAFID.pdf. 17 Mei 2015.
Harris, G. Richard. and Peter E. Robertson. 2009. Economics Trade, Wages And Skill Accumulation In The Emerging Giants. Discussion Paper 09.19
Kurniawan, Achmad. 2015. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Upah Buruh Petik Sawit Di Pt. Sinergi Perkebunan Nusantara Kabupaten Morowai Sulawesi Tengah. Universitas Hassanuddin Makassar.
Robertson, Raymond. 2004. Relative Prices And Wage Inequality: Evidence From Mexico. Journal Of International Economics. Page 387– 409.
Nasution, Dewi Sartika. 2012. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Upah. Ganeç
Swara, vol. 6, No. 2, pp. 27-34.
Nihayah, Dyah Maya, Kusumantoro. Penentu Upah Regional: Tenaga Kerja Terdidik (Skilled Labor) dan Tidak Terdidik (Unskilled Labor) di Indonesia. JEJAK, Vol. 3, no. 1, pp. 28-39.
Shinkai, Naoko. 2000. Does The Stolper-Samuelson Theorem Explain The Movement In Wages? The Linkage Between Trade And Wages In Latin American Countries. Inter-American Development Bank. publications.iadb. org/document.cfm?id=78825. 24 Juni 2015.
Susanto, Joko. 2010. Hubungan Kausalitas Antara Upah Nominal dan Tunjangan dengan Produktivitas Pekerja (Studi Pada Industri Tekstil Dan Kimia 19972007). Buletin Ekonomi Vol.8, No. 3, Desember 2010 hal 170-268.
Discussion and feedback