KAJIAN LITERATUR ORIENTASI POLYCHRONIC DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN KERJA, KEADILAN DISTRIBUTIF SERTA KEINGINAN BERPINDAH KERJA
on
134 Jurnal Buletin Studi Ekonomi Vol. 22, No. 2, Agustus 2017
KAJIAN LITERATUR ORIENTASI POLYCHRONIC DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN KERJA, KEADILAN DISTRIBUTIF SERTA KEINGINAN BERPINDAH KERJA
Herning Setiawati1 Wayan Gede Supartha2 Made Subudi3
1PT. MNC Bank Internasional 2,3Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Bali, Indonesia Email : herning.setiawati@yahoo.com
Abstract: Polychronic Orientation Literature Study in Relationship with Work Satisfaction, Justice Distributive and Intention to Move from Work
Purpose of this review is to explore research about polychronic orientation. Polychronic orientation is the tendency of a person’s behavior in completing many tasks or jobs in one period of time. Results of the review note that there is still growing discussion on definition of polychronic orientation. Discussions appear to whether this orientation is an individual or cultural domain. There were still ambiguous distinction between polychronic orientation and multitasking behavior. Search also found that there is still a lack of research and study that examines the polychronic orientation on collaboration in a group or team. The review also revealed that there were inconsistencies on findings of polychronicity orientation effect on performance. Polychronic orientation should be placed as part of a person environtment-fit theory in explaining the effect on performance and the various aspects of the organization. This review found there are still shortage research about the effect of polychronic orientation on job satisfaction, distributive fairness and turnover intention. This topic should be considering in further research.
Keywords: polychronic orientation, polychronicity, person job-fit, job satisfaction, distributive fairness, turnover intention.
Abstrak: Kajian Literatur Orientasi Polychronic dalam Hubungannya dengan Kepuasan Kerja, Keadilan Distributif serta Keinginan Berpindah Kerja
Artikel ini bertujuan menelusuri riset tentang orientasi polychronic. Orientasi polychronic adalah kecenderungan perilaku seseorang dalam menyelesaikan banyak tugas atau pekerjaan dalam satu periode waktu kerja. Hasil dari review diketahui bahwa masih berkembangnya konsep definisi orientasi polychronic. Diskusi muncul pada apakah orientasi ini merupakan ranah budaya ataukah individu. Masih ambigunya perbedaan antara orientasi polychronic dengan perilaku multitasking. Penelusuran juga menemukan bahwa masih sedikit riset serta kajian yang meneliti tentang orientasi polychronic pada kolaborasi kelompok. Review ini juga mengungkapkan bahwa terdapat inkonsistensi temuan hubungan orientasi polychronicity dengan performa kerja. Orientasi polychronic harus ditempatkan sebagai bagian dari teori person environtment-fit dalam menjelaskan pengaruhnya pada performa kerja dan berbagai aspek dalam organisasi. Dari hasil penelusuran literatur diketahui masih sangat sedikit penelitian orientasi polychronic dalam hubungannya dengan kepuasan kerja, keadilan distributif dan keinginan berpindah kerja pada organisasi. Penelitian lanjutan pada bidang kajian ini masih sangat terbuka.
Kata Kunci: orientasi polychronic, polychronicity, person job-fit, kepuasan kerja, keadilan distributif, keinginan berpindah kerja.
PENDAHULUAN
Kesesuaian seorang karyawan dengan pekerjaan yang dilakukan merupakan hal yang penting dalam sebuah organisasi, terutama organisasi bisnis. Kesesuaian ini bisa berupa kesesuaian kompetensi dan juga kesesuaian orientasi perilaku psikologis. Teori kesesuaian individu dengan lingkungannya (person-environtment fit) menyatakan bahwa kesesuaian karakteristik individu dengan lingkungannya dapat
menghasilkan hal yang positif seperti kepuasan, performa kerja dan perasaan sejahtera (Kristof et al., 2005). Karakteristik individu ini berupa karakeristik biologis dan psikologis seperti: keinginan, nilai-nilai, tujuan pribadi, kompetensi serta kepribadian seseorang. Dimensi lingkungan dapat berupa lingkungan kerja ataupun lingkungan sosial dan rumah tangga.
Teori person-environtment fit, mencakup juga teori person-job fit. Konsep person-job fit ini menitikberatkan pada kesesuaian karakteristik pribadi individu dengan jenis pekerjaan tertentu yang dilakukan individu tersebut (Kristof, 1996; Edwards dan Shipp, 2007). Penempatan karyawan yang sesuai dengan bidang pekerjaannya sangat penting bagi perusahaan. Kesesuaian karyawan dengan pekerjaannya akan berdampak pada banyak hal dalam perusahaan. Person-job fit ini dapat berdampak pada performa kerja karyawan (June dan Mahmood, 2011). Kesesuaian ini juga terbukti berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan (Peng dan Mao, 2014).
Karakteristik karyawan yang dibutuhkan setiap perusahaan tentunya berbeda disesuaikan dengan jenis pekerjaan dalam perusahaan tersebut. Karakteristik sifat dan watak karyawan terbukti berpengaruh juga pada kepuasan pelanggan (Liao dan Chuang, 2004). Dalam kajian tentang individu dalam hubungannya dengan orientasi waktu (time orientation) ada sebuah karakter yang disebut polychronic. Polychronic diartikan sebagai kecenderungan perilaku atau kemampuan seseorang dalam menyelesaikan banyak tugas atau pekerjaan dalam satu periode waktu kerja. Istilah “polychronicity” pertama kali dipopulerkan oleh Hall pada tahun 1959. Istilah ini mengacu kepada kemampuan atau kecenderungan seseorang mengerjakan banyak aktivitas dalam satu periode waktu. Kajian yang menganalisis hubungan antara orientasi polychronic dengan perasaan puas (well being) dalam kerangka person job-fit dilakukan oleh Hecht dan Allen (2005). Studi ini menemukan bahwa kesesuaian orientasi psikologi seperti orientasi polychronic dengan pekerjaan yang dilakukan akan dapat menimbulkan perasaan puas dan bahagia (well being) (Hecht and Allen, 2005).
Kajian terkait pengaruh orientasi polychronic secara empirik terhadap berbagai aspek dalam bisnis menemukan pengaruh yang signifikan. Aspek yang diteliti adalah pengaruh orientasi polychronic pada produktivitas kerja (Frei, et al., 1999), pengaruhnya pada kreativitas (Persing, 1999) dan pada perilaku konsumen (Kaufman et al., 1991). Kebalikan dari orientasi polychronic adalah orientasi monochronic, di mana berbeda dengan polychronic, seseorang yang berorientasi monochronic akan lebih menyukai mengerjakan satu pekerjaan dalam satu periode waktu dan tidak menyukai mengerjakan banyak hal dan berpindah-pindah aktivitas dalam satu waktu (Bluedorn, et al.,1999).
Artikel ini merupakan penelusuran literatur terkait konsep orientasi polychronic dalam implementasi teori person job-fit. Penelusuran literatur difokuskan pada orientasi polychronic dalam hubungannya dengan berbagai aspek pada studi sumber daya manusia dalam organisasi terutama yang terkait dengan performa kerja, kepuasan kerja, keadilan distributif dan keinginan berpindah kerja. Mendalami pengaruh dari sifat atau perilaku yang berorientasi polychronic (polychronic-orientation) pada kepuasan kerja, keadilan distributif, dan keinginan untuk pindah kerja merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Pemahaman yang lebih dalam pada pengaruh ini akan memberikan informasi penting bagi perusahaan. Perusahaan akan lebih tepat dalam menentukan person-job fit baik itu dilakukan pada saat recruitment awal ataupun sebagai bahan evaluasi perilaku yang efektif pada tempat kerja.
Penyajian artikel ini adalah sebagai berikut: bagian pertama merupakan pendahuluan, kemudian bagian kedua akan difokuskan pada perkembangan konsep orientasi polychronic. Bagian ketiga merupakan rangkuman penelusuran literatur terkait metode pengukuran orientasi polychronic. Bagian keempat menyajikan kajian literatur hubungan orientasi polychronic dengan performa kerja. Bagian kelima memaparkan literatur terkait hubungan orientasi polychronic dengan kepuasan kerja, keadilan distributif serta keinginan berpindah kerja. Pada bagian terakhir akan disajikan kesimpulan dan kemungkinan riset lanjutan di masa depan yang perlu dilakukan.
Perkembangan Konsep Orientasi Polychronic (Polychronicity)
Istilah “polychronicity” pertama kali dipopulerkan oleh Hall (1959). Istilah ini mengacu kepada kemampuan atau kecenderungan seseorang mengerjakan banyak aktivitas dalam satu periode waktu. Studi dari Hall (1959) ini mengidentifikasikan pola perilaku yang berbeda antara berbagai budaya di dunia. Konsep budaya tinggi dan rendah (high and low context culture) dapat dibedakan antara dua budaya. Riset ini menganalisis pola perilaku berbeda yang berdasarkan pada orientasi penggunaan waktu, ruang, hubungan pertemanan, materi, dan relasi sosial. Dalam riset lanjutan terkait topik ini, Hall (1983) pertama kali memperkenalkan istilah polychronic dan monochronic. Menurut Hall (1983) polychronicity mengacu pada budaya atau orientasi psikologi individu yang lebih cenderung pada
perubahan dan fleksibilitas dalam penggunaan waktu. Sebaliknya orientasi atau budaya monochronic akan cenderung pada stabilitas satu aktivitas pada satu periode penggunaan waktu. Budaya individu di negara barat (western country) dan Eropa Utara cenderung monochronic time used, sedangkan budaya manusia di Timur Tengah, Asia dan Amerika Latin serta Eropa Selatan lebih cenderung polychronic time used (Hall, 1983). Studi berikutnya dilakukan pada tahun 1987, dimana Hall mengidentifikasikan karakteristik serta perbedaan individu yang monochronic dan polychronic (Hall & Hall, 1987).
Konsep yang dikemukakan oleh Hall ini kemudian dilanjutkan oleh para peneliti yang tertarik pada kajian time orientation dalam organisasi. Para peneliti ini kemudian mengembangkan, mendefinisikan dan mengoperasionalisasikan konsep polychronic dalam bidang mereka masing-masing. Konsep polychronic kemudian berkembang baik pada kajian tataran organisasi maupun individual seperti psikologi. Penelitian lanjutan pada topik ini menunjukkan bahwa tidak semuanya mendukung pendapat dari Hall. Conte (2007) menekankan bahwa masih perlu pembuktian empiris terkait dengan konsep budaya tinggi dan rendah. Benabou (1999) dalam upayanya menemukan kaitan antara perspektif waktu individu (polychronicity) dengan dimensi dari budaya organisasi, mengadopsi kosep Hall (1983) yang mendeskripsikan polychronicity/ monochronicity lebih merupakan “temporal personality” individu (Benabou, 1999) daripada perilaku kelompok. Lebih lanjut menurutnya individu polychronic cenderung melakukan banyak aktivitas dalam satu waktu. Individu seperti ini cenderung sangat kuat berorientasi pada keadaan saat ini (saat melakukan aktivitas) dan tidak banyak berpikir mengenai urutan waktu serta prosedur dalam melakukan aktivitas mereka dibandingkan dengan seorang yang monochronic. Mereka menganggap waktu sebagai sumber daya yang tidak ada habis-habisnya dan menganggap melakukan hubungan interpersonal dengan orang lain selama beraktivitas sama pentingnya bagi mereka seperti pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Hal ini berbeda dengan individu monochronic yang cenderung berkonsentrasi dan mendedikasikan waktu mereka hanya pada satu tugas tertentu dan menganggap komunikasi interpersonal selama menyelesaikan tugas tersebut akan mengganggu konsentrasi mereka.
Palmer dan Schoorman (1999) menggambarkan polychronicity sebagai konstruk yang multidimensi,
yang terdiri dari tiga variabel yang independen: (1) preferensi penggunaan waktu (polyphasic vs monophasic), (2) konteks budaya (konteks tinggi vs konteks rendah), dan (3) time tangibility atau pengujudan waktu. Namun menurut mereka ketiga dimensi berbeda ini memiliki korelasi yang rendah dengan konstruk polychronicity, dimana hal ini menunjukkan bahwa ketiga dimensi ini merupakan dimensi yang independen. Konsep yang dikemukakan Palmer dan Schoorman (1999) ini hanya memfokuskan pada penggunaan waktu oleh individu, dan tidak berfokus pada aktivitas.
Kebanyakan peneliti mendasarkan penelitian mereka tentang orientasi polychronic pada definisi yang dikemukakan oleh Hall (1983). Pada tahun 1999, Bluedorn, Kalliath, Strube dan Martin (1999) mendefinisikan polychronicity sebagai “kecenderungan individu dalam sebuah budaya untuk terikat pada dua atau lebih tugas atau aktivitas secara simultan dan individu ini merasa senang dengan banyak aktivitas serta percaya bahwa cara mereka menangani banyak aktivitas tersebut merupakan cara terbaik menurut mereka”. Konsep yang dikembangkan oleh Bluedorn (1999) membagi perilaku polychronic ini menjadi dua jenis yang akan membentuk perilaku individu dalam menggunakan waktu (time-use). Kedua jenis perilaku ini adalah simultaneous-tasking (atau multi-tasking) dan task switching. Simultaneous-tasking mengacu kepada kemampuan serta kecenderungan seseorang dalam mengambil banyak tugas dalam satu periode waktu. Sedangkan task-switching mengacu kepada kemampuan serta kecenderungan seseorang dalam bergerak antara satu tugas ke tugas lain dalam satu periode waktu.
Definisi ini diadopsi oleh para peneliti setelah mereka diantaranya adalah: Persing (1999), Conte dan Gintoft (2005), Arndt, Arnold dan Landry (2006), Bluedorn (2007), dan Davis, Lee, dan Yi (2009). Time use preference atau preferensi dalam penggunaan waktu merupakan acuan dasar dalam mendefinisikan polychronicity sebagai preferensi penyelesaian banyak aktivitas dan tugas dalam satu waktu (Arndt et al., 2006; Conte et al., 1999; König et al., 2005; Lee, Tan, & Hameed, 2005; Poposki & Oswald, 2010; Slocombe & Bluedorn, 1999). Definisi ini juga mencakup kecenderungan orientasi perilaku dalam penyelesaian tugas (Circella, Mokhtarian, & Poff, 2012; Goonetilleke & Luximon, 2010; Kaufman-Scarborough & Lindquist, 1999; Lee, 1999; Lindquist & Kaufman-Scarborough, 2007).
Sebuah penelitian yang dilakukan di Spanyol oleh Adam dan Van Eerde (2010, 2012) menekankan
bahwa definisi polychronicity sangatlah kompleks dan menyangkut baik aspek perilaku pribadi maupun aspek budaya dan juga organisasi atau kelompok. Penelitian ini menyatakan bahwa konsep yang dikemukakan oleh Hall (1983) dan Palmer dan Schoorman (1999) harus digabung menjadi satu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang polychronicity. Dimensi budaya (konsep Hall) dan penggunaan waktu (konsep Palmer dan Schoorman) merupakan dasar dari pemahaman tentang konsep polychronicity. Lebih lanjut Adam dan Van Eerde (2010, 2012) menambahkan bahwa pencurahan perhatian pada manusia di tempat kerja dan membiarkan atau memungkinkan pengalihan perhatian dan interupsi selama berlangsungnya pekerjaan akan mempengaruhi penggunaan waktu dan hal ini merupakan bagian dari kombinasi aktivitas dan tentunya berdampak pada efektivitas perpindahan konsentrasi manusia dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya.
Temuan dari Adam dan Van Eerde (2012) mengkonfirmasi bahwa konsep polychronicity semakin berkembang dan berevolusi sesuai dengan kondisi dan situasi terkini dalam tempat kerja atau organisasi. Karakteristik dari kondisi ini diantaranya adalah: semakin banyaknya aktivitas, semakin urgensinya tugas, meningkatnya dinamisasi pekerjaan. Jika dikaitkan dengan sebuah budaya, maka polychronicity menyangkut pada seberapa besar sebuah budaya terpapar perubahan dari penggunaan waktu khususnya dalam hubungannya dengan pandangan akan perwujudan waktu (time tangibility).
Konsep polychronic sering disamakan dengan multitasking dalam kajian psikologi. Kajian terkait dua istilah ini sering rancu dan membingungkan para peneliti. Jika mengacu pada definisi yang dikemukakan Hall (1998) maka polychronicity atau orientasi polychronic adalah sesuatu yang sama dengan multitasking. Peneliti setelah Hall mengembangkan konsep definisi polychronic yang berbeda denagn multitasking (Lee et al., 2005, Bluedorn et al., 1999). Lebih lanjut dalam ranah akademik kedua konsep atau istilah ini harus secara jelas dibedakan (Konig dan Waller, 2010). Dalam prakteknya seorang individu melakukan multitasking bisa karena memang menyukainya atau karena tuntutan pekerjaan dan lingkungan yang mengharuskan mereka melakukan itu, walaupun tidak menyukainya (Cotte dan Ratneshwar, 2008).
Menurut Spink, Cole, dan Waller (2008) multitasking harus dibedakan dengan polychronicity, karena multitasking merupakan
aktivitas atau perilaku yang dapat diobservasi sedangkan polychronicity merupakan kecenderungan atau kesenangan seorang individu untuk melakukan multitasking. Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan oleh Konig dan Waller (2010) mereka menyimpulkan bahwa polychronicity berbeda dengan multitasking. Konsep atau istilah polychronicity harusnya hanya disematkan pada individu yang suka atau memilih melakukan banyak aktivitas dalam satu periode waktu kerja atau senang berpindah aktivitas (juggling activities) dalam satu periode waktu kerja. Multitasking lebih ditekankan pada aspek perilaku dari seorang yang berorientasi polychronic. Kesimpulannya adalah seorang yang berorientasi polychronic (polychronicity) cenderung atau senang melakukan multitasking (Konig dan Waller, 2010).
Kajian topik polychronic juga berkembang pada pertanyaan apakah polychronic tersebut merupakan perspektif individual, kolaborasi ataukah budaya. Kajian literatur oleh Capdefero et al. (2014) mengelompokkan riset polychronic berdasarkan tiga perspektif yakni: individual, kolaborasi dan budaya. Tabel berikut menunjukkan pengelompokan riset polychronic berdasarkan ketiga perspektif tersebut. Terlihat riset yang meneliti orientasi polychronic sebagai perspektif individual jauh lebih banyak dari dua perspektif lainnya. Riset yang meneliti orientasi polychronic sebagai perspektif kolaborasi atau pada tataran interaksi kelompok/grup sangat sedikit. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian para akademisi. Riset terkait polychronicity pada level kelompok/ grup (kolaborasi) perlu diperbanyak sehingga pemahaman mendalam terkait topik ini menjadi lebih baik.
Topik yang juga mendapat sedikit perhatian dari akademisi adalah aspek faktor antecedent atau prediktor (predictors) dari polychronicity. Konig dan Waller (2010) menyoroti kurangnya riset yang meneliti predictors dari orientasi polychronic. Menurut mereka jika menilik dari konsep awal yang dikemukakan Hall (1998), budaya merupakan prediktor dari orientasi polychronic. Dalam perkembangannya, banyak riset yang menunjukkan bahwa budaya bukanlah faktor prediktor orientasi polychronic karena tidak banyak perbedaan orientasi seseorang dengan budaya yang berbeda. Dalam artian seseorang dengan budaya tertentu tidak menunjukkan perbedaan mencolok dalam orientasi polychronic dengan seseorang dari budaya yang lain (Konig and Waller, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata orientasi polychronic antar budaya yang berbeda (Carraher, Scott & Carraher, 2004; Conte et al., 1999;
Tabel 1.
Penelitian terkait Perspektif Orientasi Polychronic
|
Individual Kolaborasi |
Budaya |
|
Kaufman et al. (1991) Benabou (1999) Waller et al. (1999) Palmer and Schoorman Conte et al. (1999) (1999) Kaufman-Scarborough and Waller et al. (1999) Lindquist (1999) Lee (1999) Keating and Murgolo-Poore |
Hall (1959) Bluedorn et al. (1999) Persing (1999) Slocombe (1999) Adams and van Eerde (2010, 2012) |
(2001)
Conte and Gintoft (2005)
Konig et al. (2005)
Lee et al. (2005)
Arndt et al. (2006)
Bluedorn (2007)
Lindquist and Kaufman-
Scarborough (2007)
Davis et al. (2009) Goonetilleke and Luximon (2010)
Poposki and Oswald (2010)
Konig and Waller (2010)
Circella et al. (2012)
Sumber: Capdeferro et al. (2014)
Cotte & Ratneshwar, 1999; Moustafa et al., 2005; Tinsley, 1998). Namun beberapa penelitian menunjukkan terdapat perbedaan signifikan orientasi polychronic antara budaya yang berbeda (Lindquist et al.,2001; Zhang, Goonetilleke, Plocher, & Liang, 2003).
Inkonsistensi hasil penelitian terkait budaya sebagai prediktor orientasi polychronic membawa para akademisi pada penelusuran aspek lain sebagai prediktor dari orientasi polychronic. Konig dan Waller (2010) menduga terdapat beberapa aspek lain prediktor orientasi polychronic, diantaranya:
-
1) Work Environtment: Suasana kerja atau lingkungan tempat kerja dapat menjadi prediktor dari orientasi polychronic. Dalam upaya mencapai performa kerja yang maksimal dalam sebuah lingkungan kerja, individu dituntut untuk dapat mengerjakan banyak tugas dengan cepat. Situasi kerja tertentu yang menuntut multitasking berdampak pada perkembangan orientasi polychronic seseorang. Dugaan ini berdasarkan asumsi (1) jenis pekerjaan tertentu memang menuntut individu untuk melakukan multitasking (Carlson, 1951; Gonzalez & Mark, 2005; Kurke & Aldrich, 1983) dan (2) individu yang bekerja pada situasi pekerjaan yang menuntut multitasking akan mengembangkan kecenderungan orientasi polychronic. Asumsi kedua ini didasarkan dari teori Cognitive Dissonant (Festinger, 1951) yang menyatakan
bahwa seseorang yang berada pada situasi atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan kesenangannya atau kecenderungan orientasinya bisa mengubah kecenderungan orientasi mereka agar sesuai dengan situasi yang dihadapi. Berdasarkan asumsi kedua ini maka dapat dikatakan bahwa orientasi polychronic individu dapat berubah seiring waktu dan kebiasaan. Namun beberapa penelitian dari akademisi membantah hal ini, dimana ternyata ditemukan bahwa orientasi polychronic seseorang tidak berubah dari waktu ke waktu. Dengan kata lain seseorang yang cenderung berorientasi monochronic tidak dapat dirubah menjadi seseorang yang berorientasi polychronic (Cotte and Ratneshwar, 1999). Asumsi ini juga bertentangan dengan hasil penelitian tentang orientasi monochronic/polychronic dalam jangka panjang yang menyimpulkan bahwa orientasi tersebut tidak berubah pada diri individu (Conte and Jacobs, 2003; Bluedorn, 2007; Bluedorn et al., 1999). Bukti empirik disajikan oleh Hecht and Allen (2005) yang mendukung pendapat bahwa lingkungan kerja memainkan peranan yang besar pada kecenderungan polychronicity. Penelitian ini menggunakan polychronic supplies sebagai variabel yang mempengaruhi orientasi polychronic. Kesimpulannya adalah lingkungan kerja yang banyak polychronic supplies atau banyak
aktivitas yang membutuhkan multitasking akan menyebabkan karyawan terpaksa melakukan multitasking dengan kata lain karyawan akan cenderung lebih berorientasi polychronic jika aktivitas pekerjaan menuntut hal tersebut walaupun merasa terpaksa untuk melakukannya. Dari hasil penelitian ini muncul dugaan bahwa polychronicity akan berbeda antar organisasi atau lingkungan kerja yang memiliki perbedaan aktivitas yang menuntut multitasking.
-
2) Personality: dalam upaya memahami lebih dalam perilaku multitasking pada orientasi polychronic beberapa peneliti menghubungkan orientasi polychronic dengan 5 Tipe Kepribadian Utama (Five Big Personality Traits). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa orientasi ini tidak memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku neuroticism, opennes, agreeableness dan concientiousness (Conte and Jacobs, 2003; Conte and Gintoft, 2005; Payne and Philo, 2002). Beberapa penelitian menemukan hubungan antara orientasi polychronic dengan perilaku extraversion (hangat, ramah dan terlihat baik hati, aktif, cenderung suka membantu atau asertif) dari 5 tipe kepribadian utama, walaupun hubungan ini termasuk lemah (Conte and Jacobs, 2003; Conte and Gintoft, 2005; Konig et al.,2005; Payne and Philo, 2002). Para akademisi menjelaskan hasil temuan ini dengan konsep awal orientasi polychronic dari Hall (1983) yang menjelaskan orang dengan orientasi ini akan cenderung lebih mudah bergaul (more relationship-oriented). Selanjutnya penelitian tentang hubungan orientasi polychronic dengan personality dilakukan dengan menguji hubungan antara orientasi perilaku ini dengan teori kepribadian tipe A (Tipe A behaviour pattern) yang dikembangkan oleh Friedman and Rosenman (1974). Orang dengan kepribadian Tipe A memiliki hubungan dengan orientasi polychronic. Orang dengan kepribadian Tipe A cenderung merupakan orang yang memiliki orientasi polychronic. Kepribadian Tipe A adalah kepribadian dengan karakteristik tidak sabaran, selalu melakukan segala sesuatu dengan cepat, agresif, berusaha keras untuk memikirkan atau melakukan dua hal atau lebih pada saat yang bersamaan, ambisius, tidak dapat menikmati waktu luang dan terobsesi dengan angka-angka, mengukur keberhasilan dalam bentuk jumlah hal yang bisa mereka peroleh (Robbin, 2007). Penelitian yang secara empirik
menyajikan hal ini dilakukan oleh Conte et al., 1999 dan Marshal and Conte, 2001.
Beberapa penelitian juga menghubungkan faktor kognitif dalam hubungannya dengan orientasi polychronic, namun secara empirik hasinya tidak signifikan (Konig et al., 2005). Selain memperdalam penelitian pada penyebab dari orientasi polychronic, para akademisi bidang ini juga memfokuskan pada akibat atau dampaknya. Penelusuran berbagai kajian empirik memperlihatkan pengaruh orientasi polychronic pada berbagai hal yang esensial bagi karyawan dalam organisasi. Penelitian terutama difokuskan pada performa kerja. Dalam upaya menemukan bukti empiris dampak atau pengaruh orientasi polychronic, para peneliti mengembangkan metode pengukuran orientasi polychronic.
Bagian selanjutnya dari kajian literatur ini akan menyajikan perkembangan metode dan indikator pengukuran orientasi polychronic. Setelah itu pemaparan akan difokuskan pada pengaruh orientasi polychronic pada performa kerja (performance) individu.
Perkembangan Metode dan Indikator Pengukuran Orientasi Polychronic
Teori polychronicity yang dicetuskan Hall (1959) dikembangkan melalui penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian terkait orientasi polychronic setelah itu menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan mengukur orientasi polychronic melalui pengukuran self-reporting. Riset kuantitatif tentunya membutuhkan metode dan indikator pengkuran konstruk orientasi polychronic yang tepat. Berdasarkan penelusuran literatur diketahui bahwa pengukuran orientasi polychronic mengalami perkembangan dengan modifikasi dalam membangun indikator pengukurnya.
Para peneliti mengembangkan beberapa indikator berbeda dalam mengukur orientasi polychronic. Walaupun indikator-indikator ini sedikit berbeda karena perbedaan dalam merepresentasikan definisi orientasi polychronic yang digunakan namun pada dasarnya, semua indikator berusaha merepresentasikan orientasi polychronic secara keseluruhan. Berikut akan diuraikan metode pengukuran orientasi polychronic serta perkembangan yang melatarinya:
-
1) Polychronic Attitude Index (PAI), metode ini dikembangkan oleh Kaufman et al., (1991). PAI merupakan metode pengukuran pertama yang dipublikasikan untuk mengukur orientasi polychronic. Menggunakan empat-item kuisioner dan secara empirik memiliki reliabilitas
yang rendah dengan Cronbach Alpha sebesar 0,68 (Capdeferro et al, 2014). Walaupun demikian karena belum adanya model pengukuran yang lebih baik, para peneliti tetap menggunakan index ini dalam penelitian mereka. Index ini digunakan oleh Slocombe and Bluedorn (1999), Kaufman-Scarborough and Lindquist (1999), Keating and Murgolo-Poore (2001) serta Lee et al. (2005) dalam penelitian mereka.
-
2) Inventory of Polychronic Values (IPV): Dalam upaya memperbaiki PAI, Bluedorn et al. (1999) mengembangkan 10-item skala pengukuran polychronicity pada lingkungan kerja. Skala IPV ini merupakan indikator pengukuran yang paling banyak digunakan oleh penelitian yang dikaji dalam kajian literatur ini (Adams & van Eerde, 2010; Arndt et al., 2006; Bluedorn, 2007; Conte & Gintoft, 2005; Conte et al., 1999; Davis et al., 2009; Goonetilleke & Luximon, 2010; Persing, 1999). Skala IPV berisikan 10 pernyataan yang diukur dengan tujuh poin skala Likert yang merupakan modifikasi dan penambahan dari PAI dalam upaya untuk mencapai tingkat reliabilitas yang lebih tinggi yakni Cronbach Alpha 0,89.
-
3) Modified Polychronic Attitude Index 3 (MPAI3), merupakan modifikasi dari PAI yang dilakukan oleh pencetus dari PAI yakni Kaufman-Scarborough & Lindquist, (1999). Pengukuran ini digunakan dalam penelitian Lee et al., (2005); Zhang et al., (2005).
-
4) Polychronic-Monochronic Tendency Scale (PMTS): Pengukuran ini adalah kepanjangan dari PAI atau hasil modifikasi PAI dan MPAI3. Indikator pengukuran ini juga dikembangkan oleh Lindquist and Kaufman-Scarborough (2007). Metode pengukuran ini merupakan metode interdisipliner yang menjangkau situasi dan konteks yang lebih luas. Menggunakan lima-item indikator, PMTS diakui memiliki kekuatan pengukuran psikometri yang lebih baik dari metode sebelumnya. Pencetus metode ini menyarankan para peneliti menggunakan PMTS dalam mengukur orientasi polychronic dan juga orientasi monochronic. Berdasarkan kajian literatur Konig et al., (2010), metode ini belum pernah digunakan sebagai pengukur orientasi polychronic sehingga hasilnya belum dapat dianalisis.
-
5) Multitasking Preference Inventory (MPI): Metode ini menggunakan 14-item pengukuran yang dikembangkan oleh Poposki and Oswald (2010). Pengukuran ini disesuaikan dengan
definisi polychronicity yang peneliti tersebut kembangkan. Skala pengukuran ini memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang baik dan dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan psikometri dari PAI dan IPV. Skala pengukuran ini diakui mampu mengukur kondisi tingkatan ekstrim dari orientasi polychronic.
Orientasi Polychronic dan Performa Kerja (Performance)
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menginvestigasi hubungan antara orientasi polychronic dengan performa kerja. Hasil secara empirik menunjukkan inkonsistensi temuan. Beberapa riset menemukan hubungan yang positif antara orientasi polychronic dengan performa kerja (Conte & Gintoft, 2005; Onken, 1999) namun penelitian lain menunjukaan hubungan yang negatif (Conte & Jacobs, 2003; Kaplan & Waller, 2007). Bahkan beberapa penelitian menunjukkan sama sekali tidak ada hubungan antara orientasi polychronic dengan performa kerja (Payen & Philo, 2002).
Menurut Konig and Waller (2010) terdapat dua penjelasan tentang inkonsistensi temuan ini. Pertama, perbedaan hasil kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan interpretasi dari sampel ataupun partisipan studi. Kedua, orientasi polychronic ataupun monochronic akan memiliki dampak besar jika terdapat kesesuaian seorang karyawan dengan lingkungan kerjanya (person-envirintment fit) lebih mengkhusus pada kesesuaian dengan jenis pekerjaan yang mereka lakukan (person-job fit). Argumen ini diungkapkan oleh Bluedorn & Jaussi (2007) serta Jansen & Kristof-Brown (2005). Penelitian yang mereka lakukan mengungkapkan bahwa (1) tidak ada dari kedua jenis orientasi baik itu orientasi polychronic maupun orientasi monochronic yang salah satunya lebih berpengaruh besar pada performa kerja; dan (2) orientasi polychronic akan memiliki peran yang besar pada performa jika lingkungan kerja membutuhkan multitasking. Dengan kata lain pekerjaan yang memiliki tuntutan multitasking yang tinggi akan mendapatkan manfaat yang besar jika dilakukan oleh karyawan dengan orientasi polychronic. Demikian juga terdapat jenis pekerjaan yang memang sesuai bagi karyawan dengan orientasi monochronic.
Teori person environtment-fit seperti sudah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini menyatakan bahwa kesesuaian karakteristik individu dengan lingkungannya dapat menghasilkan hal yang positif seperti kepuasan, performa kerja dan perasaan
sejahtera (Kristof et al., 2005). Bukti empirik kesesuaian yang erat antara teori person-environtment fit dengan pengaruh dari orientasi polychronic ke performa ditunjukkan oleh penelitian dari Slocombe and Bluedorn (1999). Mereka menemukan bahwa orientasi polychronic tim atau kelompok sesuai dengan orientasi polychronic yang ditunjukkan oleh anggota kelompok dan mempengaruhi performa kelompok. Madjar and Oldham (2006) membuktikan bahwa orientasi polychronic karyawan berpengaruh pada performa kreativitas mereka pada aktivitas yang membutuhkan tingkat multitasking yang tinggi.
Walaupun performa merupakan variabel yang paling penting dari perspektif organisasi, riset lanjutan pengaruh orientasi polychronic haruslah diteliti juga pada variabel lain. Konig and Waller (2010) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan variabel yang menarik dan sangat tepat diteliti jika dikaitkan dengan teori person environtment-fit maupun person job-fit. Pendapat ini didasari oleh temuan penelitian Hecht & Allen (2005) yang membuktikan bahwa person environment-fit memiliki pengaruh yang besar pada kepuasan kerja.
Berdasarkan kajian yang telah dijabarkan diatas, maka tulisan ini akan menyajikan penelusuran literatur orientasi polychronic dan kepuasan kerja. Dari hasil penelusuran, ditemukan terdapat variabel lain yang juga dipengaruhi oleh orientasi polychronic. Sajian berikut akan berfokus pada orientasi polychronic dalam hubungannya dengan kepuasan kerja serta variabel lain seperti keadilan distibutif dan keinginan berpindah kerja.
Orientasi Polychronic, Kepuasan Kerja, Keadilan Distributif serta Keinginan Berpindah Kerja
Kajian literatur hubungan variabel ini dilakukan dalam upaya memahami lebih dalam dan mengetahui riset-riset serta bukti empirik dari interaksi variabel-variabel ini. Sebelumnya sudah dijelaskan tentang hubungan orientasi polychronic dengan performa kerja. Para peneliti menyarankan riset terkait topik ini semestinya juga menelaah hubungan orientasi polychronic dengan aspek lain dalam organisasi. Aspek kepuasan kerja merupakan aspek yang diduga kuat dipengaruhi oleh orientasi polychronic. Hal ini didasari bukti empirik yang menemukan bahwa person job-fit memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja dan perasaan bahagia (well being) (Hecht & Allen, 2005).
Berdasarkan kajian literatur ditemukan bahwa kepuasan kerja juga berimbas pada aspek lain seperti
keinginan berpindah kerja/tidak berpindah kerja dan performa kerja. Tulisan ini memfokuskan pada kajian literatur interaksi antara variabel orientasi polychronic dengan kepuasan kerja, keadilan distributif dan keinginan berpindah kerja.
Kepuasan kerja atau Job satisfaction diartikan sebagai perasaan puas yang dimiliki karyawan terkait situasi pekerjaan mereka. Vroom (1964) dalam Poznanski (1997) menggambarkan kepuasan kerja sebagai “memiliki sikap positif terhadap pekerjaan individu”. Kepuasan kerja oleh Luthans (1987) didefinisikan sebagai the way an employee feels about his or her job. Jadi kepuasan kerja berkaitan dengan individu yang bersangkutan dalam melakukan pekerjaannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Arndt, et al., (2006) menemukan bahwa orientasi polychronic karyawan frontline pada peritel apotik di Amerika memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja serta keadilan distributif. Semakin tinggi orientasi polychronic karyawan akan mampu meningkatkan kepuasan kerja serta keadilan distributif yang dirasakan karyawan frontline. Penelitian ini juga membuktikan bahwa kepuasan kerja dan keadilan distributif berpengaruh negatif pada keinginan berpindah kerja.
Penelitian yang dilakukan pada karyawan hotel di Amerika juga membuktikan bahwa polychronicity berpengaruh positif pada kepuasan kerja karyawan hotel dan berpengaruh negatif pada keinginan berpindah kerja (Jang dan George, 2011). Penelitian ini juga menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif pada keinginan berpindah kerja. Keinginan berpindah kerja (turnover intention) merupakan gejala awal dari turnover atau perpindahan kerja karyawan (Bluedorn, 1999).
Keadilan distributif merupakan karakteristik fundamental dari kepuasan karyawan, di mana hal ini mengacu kepada perasaan puas terkait keadilan dalam pekerjaan seorang karyawan. Pada perusahaan ritel, seorang dengan tipe monochronic akan merasa terbebani dengan banyaknya pekerjaan dalam satu waktu serta keharusan mereka untuk berpindah aktivitas dalam satu periode waktu yang pendek (Arndt et al., 2006).
Kondisi ini dapat menyebabkan tingkat stress yang tinggi dan akan berpengaruh pada ketidakpuasan mereka dalam pekerjaannya. Berbeda dengan tipe orang yang polychronic yang tidak akan merasa terbebani dengan situasi tersebut, sehingga keadilan distributif akan lebih tinggi dan berdampak pada kepuasan kerja mereka (Arndt et al., 2006).
Banyak kajian penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa kesesuaian pekerjaan seseorang akan berpengaruh pada keinginan berpindah kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Carless (2005) menemukan bahwa kesesuaian kepribadian seseorang dengan kebutuhan pekerjaannya (job-fit) memainkan peranan penting dalam menurunkan tingkat perpindahan kerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Jang dan George (2012) membuktikan bahwa orientasi polychronic karyawan berpengaruh negatif pada keinginan berpindah kerja mereka.
Orientasi polychronic merupakan salah satu personality traits atau karakteristik kepribadian (Slocombe dan Bluedorn, 1999) yang berhubungan dengan keinginan berpindah kerja. Merujuk pada teori personal job-fit atau teori kesesuaian kerja, sangat penting mempertimbangkan seberapa tepat seorang individu sesuai dengan pekerjaannya (Edwards, 1991 dan Kristof, 1996).
Hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja (job satisfaction) dengan keinginan berpindah kerja (turnover intention) sudah banyak diteliti. Penelitian yang dilakukan menemukan bukti bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah kerja (Arndt et al., 2006; Jang dan George 2012). Penelitian yang dilakukan Syafrizal (2011) membuktikan secara empirik bahwa kepuasan kerja karyawan hotel di Semarang berpengaruh negatif pada keinginan berpindah kerja. Ketidakpuasan dalam pekerjaan sering diindikasikan sebagai alasan yang paling utama bagi para profesional untuk meninggalkan pekerjaanya (Robinson, Aprilla 2005). Hal ini sesuai seperti yang disampaikan oleh Irvin dan Evans (1992) dalam Robinson, Aprilla (2005) yang melaporkan ada hubungan sebab akibat signifikan antara keinginan untuk berpindah, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional. Menurutnya, faktor intrinsik seperti otonomi, pengakuan dan faktor ekstrinsik seperti gaji, shiftwork dan workload disebutkan sebagai variabel yang berhubungan dengan kepuasan kerja.
Memperkuat pernyataan diatas adalah apa yang disampaikan oleh Passewark dan Strawser (1996) yang menemukan bahwa kepuasan kerja dan keinginan berpindah kerja memiliki hubungan negatif. Pernyataan ini juga sesuai dengan hasil penelitian Robinson dan Aprilla (2005) yang menyebutkan kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah. Price dan Mueller (1981) dalam Robinson dan Aprilla (2005) telah menyebutkan secara empiris bahwa ketidak puasan kerja memiliki pengaruh yang tidak langsung terhadap turnover
melalui pengaruh langsungnya terhadap formasi untuk meninggalkan tempat kerja.
Keadilan distributif atau distributive fairness merupakan karakteristik fundamental dari kepuasan karyawan, di mana hal ini mengacu kepada perasaan puas terkait keadilan dalam pekerjaan seorang karyawan. Para peneliti keadilan telah secara konsisten mengidentifikasi tiga tipe persepsi keadilan, yaitu: distributif, prosedural, dan interaksional (Colquitt dalam Byrne et al., 2003). Persepsi keadilan distributif menunjuk pada penilaian tentang keadilan hasil yang diterima oleh individu. Penemuan penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa keadilan distributif berhubungan dengan persepsi individu atas hubungannya dengan individu lain yang memiliki sumber daya (Marshall et al., 2001).
Hubungan antara keadilan distributif (distributive fairness) dengan kepuasan kerja (job satisfaction) dikemukakan oleh Adams (1963) dan juga telah banyak diteliti oleh para akademisi. Ketika karyawan merasa diperlakukan adil oleh perusahaan (diantaranya dengan membandingkan hasil berupa gaji, pengakuan kerja dengan input yang mereka beri seperti usaha dan kinerja) maka karyawan tersebut akan lebih merasakan kepuasan kerja yang tinggi.
Penelitian Ghaziani et al., (2012) membuktikan bahwa ketiga tipe keadilan organisasi yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Bakhshi et al., (2009) menambahkan pada penelitiannya yang melibatkan 128 karyawan pada fakultas kedokteran yang menunjukkan bahwa hanya keadilan distributif dan keadilan prosedural yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Pada industri ritel, kajian yang pernah dilakukan membuktikan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif pada keinginan untuk bertahan pada tempat kerja dan berpengaruh negatif pada keinginan untuk berpindah kerja (Darden, et al., 1987; Lucas, 1985; Rhoads et al., 2002; Schultz et al., 1987).
Robbins (1996) telah mengembangkan suatu model umum perilaku organisasi untuk mengklasifikasikan tingkat pergantian karyawan (turnover) sebagai variabel dependent untuk mencerminkan determinan kritis dari keefektifan sumber daya manusia dalam suatu organisasi, disamping kepuasan kerja (job satisfaction), produktivitas dan kemangkiran (absenteeisme). Turnover merupakan masalah tersendiri yang dihadapi organisasi, karena berkaitan dengan jumlah individu yang meninggalkan atau keluar dari organisasi
pada periode tertentu, sedangkan keinginan berpindah kerja (turnover intention) mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelangsungan hubungan dengan organisasi dan belum terwujud dalam tindakan pasti (Suwandi & Indriantoro, 1999).
Tinggi rendahnya turnover karyawan pada organisasi mengakibatkan tinggi rendahnya biaya perekrutan, seleksi, dan pelatihan yang harus ditanggung organisasi. Hal tersebut dapat mengganggu efisiensi operasional, bila karyawan yang meninggalkan organisasi memiliki pengetahuan dan pengalaman, sehingga organisasi memerlukan persiapan dan biaya untuk penggantinya. Dampak positif turnover adalah jika menimbulkan kesempatan untuk menggantikan individu yang berkinerja tidak optimal, dengan individu yang berketerampilan dan motivasi tinggi (Mowday dan Porter, 1979).
Menurut Bluedorn (1999) turnover intention adalah kecenderungan sikap atau tingkat di mana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaanya. Lebih lanjut dijelaskan keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal terjadinya turnover dalam sebuah perusahaan. Intensi keluar (turnover intensions) juga dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Beberapa penelitian terdahulu mengemukakan bahwa intention to leave adalah penyebab langsung turnover karyawan (Mowday & Porter 1987; Michaels & Spector, 1982). Intentions to leave atau turnover intentions mengacu pada niat karyawan untuk mencari alternatif pekerjaan lain dan belum terwujud dalam bentuk perilaku yang nyata (Pasewark dan Strawser, 1996).
Penelusuran penelitian terkait orientasi polychronic dengan keinginan berpindah kerja menghasilkan kesimpulan bahwa hanya sedikit yang meneliti hubungan ini (Arndt et al., 2010; Jang dan George, 2011). Sedikitnya penelitian mungkin disebabkan penelitian tentang hubungan orientasi polychronic dengan aspek lain dalam organisasi termasuk kajian baru. Hasil empirik memperlihatkan bahwa pada lingkungan kerja yang memang sesuai dengan orientasi polychronic, keinginan berpindah kerja memiliki hubungan yang negatif dengan orientasi polychronic (Arndt et al., 2010; Jang dan George, 2011).
Penelitian yang mengeksplorasi interaksi antara keempat variabel ini masih perlu untuk dilakukan. Identifikasi jenis pekerjaan yang membutuhkan karyawan dengan orientasi polychronic sebelumnya perlu dipetakan. Hal ini akan mempermudah
penelitian yang dilakukan, sehingga pemahaman teori person environtment-fit dalam kaitannya dengan orientasi polychronic menjadi lebih baik. Dengan memahami interaksi antara variabel orientasi polychronic, kepuasan kerja, keadilan distributif dan keinginan berpindah kerja diharapkan pengaturan sumber daya manusia dalam organisasi menjadi lebih baik. Disamping itu penelitian pada variabel-variabel ini dapat membuka kemungkinan penelitian orientasi polychronic pada aspek lain dari organisasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Kajian literatur ini dilakukan untuk memetakan riset orientasi polychronic. Hasil penelusuran kajian literatur akan sangat berguna dalam memahami lebih dalam teori orientasi polychronic dan interaksinya dengan variabel lain dalam organisasi. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kajian literatur ini akan dipaparkan berikut ini.
Dari penelusuran diketahui bahwa masih terdapat ambiguitas terkait definisi tepat orientasi polychronic terutama dalam kaitannya dengan perilaku multitasking. Menurut peneliti, definisi dari Bluedorn et al., (1999) dan Konig dan Waller (2010) merupakan definisi yang paling tepat dalam menggambarkan orientasi polychronic. Kesimpulannya adalah seorang yang berorientasi polychronic (polychronicity) cenderung atau senang melakukan multitasking (Konig dan Waller, 2010).
Metode pengukuran orientasi polychronic yang paling banyak digunakan adalah Inventory of Polychronic Value (IPV) yang dikembangkan oleh Bluedorn et al. (1999). Terdapat metode baru yakni Polychronic-Monochronic Tendency Scale (PMTS) yang dikembangkan oleh Lindquist dan Kaufman-Scarborough (2007) dan Multitasking Preference Inventory (MPI) oleh Poposki dan Oswald (2010). Kedua metode ini diyakini lebih tepat dalam mengukur orientasi polychronic seseorang terutama dari sisi psikometri, namun dari hasil penelusuran literatur, kedua metode ini belum diterapkan oleh para peneliti. Kondisi ini merupakan celah untuk penelitian lanjutan topik ini.
Hubungan orientasi polychronic dengan performa kerja harus didasarkan pada teori person environtment-fit dan person job-fit. Berdasarkan hasil penelusuran diketahui bahwa tidak semua tipe pekerjaan membutuhkan orang dengan orientasi polychronic, sebagian pekerjaan justru membutuhkan orang dengan orientasi monochronic. Analisis dan klasifikasi tipe pekerjaan dengan tuntutan orientasi polychronic menjadi tema penting pada riset lanjutan orientasi polychronic dalam hubungannya
144 Jurnal Buletin Studi Ekonomi Vol. 22, No. 2, Agustus 2017 dengan teori person environtment-fit dan performa kerja.
Riset yang meneliti hubungan orientasi polychronic dengan kepuasan kerja, keadilan distributif dan keinginan berpindah kerja masih sangat sedikit. Penelusuran hanya menemukan dua riset yang meneliti interaksi variabel-variabel ini. Satu riset pada peritel apotik di Amerika (Arndt et al., 2006) dan yang lainnya dilakukan pada karyawan front office hotel juga di Amerika (Jang and George, 2011). Riset pada jenis pekerjaan dan tipe perusahaan yang berbeda menarik untuk dilakukan. Di Indonesia sendiri riset terkait orientasi polychronic dalam organisasi sangat jarang dilakukan. Kondisi ini dapat menjadi celah penelitian selanjutnya. Jika dikaitkan dengan budaya sebagai prediktor orientasi polychronic, menarik untuk meneliti kondisi di Indonesia sebagai sebuah budaya atau pada budaya yang beragam di Indonesia.
REFERENSI
Abelson, MA. 1987. Examination of Avoidable and Unavoidable Turnover, Journal of Applied Psychology, 72: 382-386.
Adams, S. J., & van Eerde, W. 2010. Time use in Spain: Is polychronicity a cultural phenomenon? Journal of Managerial Psychology, 25, 764–776
Adams, S. J., & van Eerde, W.2012. Polychronicity in modern Madrid: An interview study. Time & Society, 21, 175–202.
Andrews, M. C., Baker, T., and Hunt, T. G. 2011. Values and person–organization fit: Does moral intensity strengthen outcomes? Leadership & Organization Development Journal, 32(1): 519.
Arndt, Aaron., Todd J.Arnold dan Timothy D.Landry. 2006. The Effect of Polychronic-orientation Upon Retail Employee Satisfaction and Turnover, Journal of Retailing, 4(82): 319-330.
Bakhshi, Arti., Kumar, Kuldeep., dan Rani, Ekta.
2009. Organizational Justice Perceptions as Predictor of Job Satisfaction and Organizational Commitment. International Journal of Business and Management, 4(9): 145-154.
Benabou, C. 1999. Polychronicity and temporal dimensions of work in learning organizations. Journal of Managerial Psychology, 14, 257–270.
Bluedorn, Allen C. 1982. A Unified Model of Turnover from Organizations, Human Relations, 35 (2): 135–154.
Bluedorn, Allen C., Thomas J. Kalliath, Michael J. Strube and Gregg D. Martin. 1999. Polychronicity and the Inventory of Polychronic
Values (IPV) the Development of an Instrument to Measure a Fundamental Dimension of Organizational Culture, Journal of Managerial Psychology, 14 (3/4): 205–230.
Bluedorn, A. C. 2007. Polychronicity, individuals, and organizations. Research in the Sociology of Work, 17, 179–222.
Bollen, K.A. 1989. Structural Equations with Latent Variables, New York: John Wiley & Sons, Inc.
Boon, C., and Den Hartog, D. N. 2011. Human Resource Management, person–environment fit, and trust. Trust and human resource management, 109-121.
Brayfield, A. H., & Crocket, W. H. 1955. Employee Attitudes and Employee Performance. Psychological Bulletin, 52: 396-424.
Brown, Steven P. & Robert A. Peterson. 1994. The Effect of Effort on Sales Performance and Job Satisfaction, Journal of Marketing, 58 (Apr): 70–80.
Byrne, Zinta S., Rupp, Deborah E., and Eurich, Tasha. 2003. Effects of Discrete Emotions on Distributive, Procedural, and Interactional Justice. www.ilir.edu
Capdeferro, Neus, Margarida Romera and Elena Barbera. 2014. Polychronicity: Review of The Literature and A New Configuration for The Study of This Hidden Dimension of Online Learning, Distance Education. Rouledge. Taylor and Francis Group.
Caplan, R. D. 1987. Person-environment fit theory and organizations: Commensurate dimensions, time perspectives, and mechanisms. Journal of Vocational Behavior, 31: 248-267
Carlson, S. 1951. Executive behavior: A study of the workload and working methods of managing directors. Stockholm: Strömbergs
Carless, S.A. 2005. Person–job fit versus person– organization fit as predictors of organizational attraction and job acceptance intentions: a longitudinal study. Journal of Occupational and Organizational Psychology. 78: 411–429.
Circella, G., Mokhtarian, P. L., & Poff, L. K. (2012). A conceptual typology of multitasking behavior and polychronicity preferences. Electronic International Journal of Time Use Research, 9, 59–107.
Conte, J. M. 2007. Measuring temporal constructs across multiple levels of analysis. In F. Dansereau & F. Yammarino (Eds.), Research in multi-level issues (Vol. 6, pp. 225–237).
Conte, J. M., & Gintoft, J. N. 2005. Polychronicity, big five personality dimensions, and sales performance. Human Performance, 18, 427444.
Cotte, J., & Ratneshwar, S. 1999. Juggling and hopping: What does it mean to work polychronically? Journal of Managerial Psychology, 14, 184-204.
Darden, William R., Ronald D. Hampton and Earl W. Boatwright. 1987. Investigating Retail Employee Turnover: An Application of Survival Analysis, Journal of Retailing, 63 (1), 69-89.
Davis, J. M., Lee, L. S., & Yi, M. Y. 2009. Timeuser preference and technology acceptance: Measure development of computer polychronicity. American Journal of Business, 24, 23-32.
Dessler, Gary. 2005. Human Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia) edisi kesembilan jilid 2, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Indeks, Jakarta.
Edwards, J.R. 1991. Person-job fit: a conceptual integration, literature review and methodological critique. International Review of Industrial/ Organizational Psychology 6, 285-357.
Edwards, J. R., dan Shipp. A. J. 2007. The relationship between person-environment fit and outcomes: An integrative theoretical framework. In C. Ostroff & T. A. Judge (Eds.), Perspectives on organizational fit (pp. 209-258). San Francisco: Jossey-Bass.
Festinger, L. 1957. A theory of cognitive dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.
Frei, Richard L., Bernadette Racicot and Angela Travagline. 1999. The Impact of Monochronic and Type A Behavior Patterns on Research Productivity and Stress, Journal of Managerial Psychology, 14 (5), 374-384
French, J. R. P., Jr., Caplan, R. D., & Harrison, R. V. 1982. The mechanisms of job stress and strain. London: Wiley.
Friedman dan Rosenman, 1974. Type A Behavior and Your Heart, New York : Afred A. Knop, p.84.
Ghaziani, Fatemeh Ghorbanalizadeh., Shafania, Alimohammad., and Tayebi, Seyed Morteza. 2012. Impact of Organizational Justice Perceptions on Job Satisfaction and Organizational Commitment: the Iran’s Ministry of Sport Perspective. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(7), pp: 179-188.
Gonzalez, V. M., & Mark, G. 2005. Managing currents of work: Multi-tasking among multiple collaborations. In H. Gellersen, K. Schmidt, M. Beaudouin-Lafon, & W. Mackay (Eds.), ECSCW 2005: Proceedings of the Ninth European Conference on Computer-Supported Cooperative Work (pp. 143-162). Dordrecht, The Netherlands: Springer.
Goonetilleke, R. S., & Luximon, Y. 2010. The relationship between monochronicity, polychronicity and individual characteristics. Behaviour and Information Technology, 29, 187198.
Hall, Edward T. 1959. The Silent Language. Garden City, New York : Doubleday.
Hall, Edward T. 1983. The Dance of Life: The Other Dimensions of Time. New York, NY: Anchor/Doubleday.
Hall, Edward T., and Mildred Reed Hall. 1987, Hidden Differences: Doing Business with the Japanese. Garden City, New York: Anchor Press/Doubleday.
Hecht, Tracy and Natalie Allen. 2005, Exploring links between polychronicity and well-being from the perspective of person-job fit: Does it matter if you prefer to do only one thing at a time? Organizational Behavior and Human Decision Processes 98(2):155-178.
Harris, Lynette. 2002. Achieving a Balance in Human Resourcing between Employee Rights and Care for the Individual. Business and Professional Ethic Journal, 21(2), 45-60.
Hutchinson, S, J Villalobos and Beruvides, M. 1997. Effects of high turnover in a serial assembly environment, International Journal of Production Research, 35, pp. 3201-23
Jang, Jichul & R. Thomas George. 2011. Understanding the Influence of Polychronicity on Job Satisfaction and Turnover Intention: A study of Non-Supervisory Hotel Employees. International Journal of Hospitality Management (31) p 588-595.
Jewell & Siegall. 1990. Psikologi Industri/ Organisasi Modern: Psikologi Terapan untuk Memecahkan Berbagai Masalah di Tempat Kerja, Perusahaan, Industri, dan Organisasi. Terjemahan oleh: A. Hadyana Pudjaatmaka, Meitasari. 1998. Penerbit Arcan. Jakarta
June, Sethela dan Rosli Mahmood. 2011. The Relationship between Person-Job Fit and Job Performance: A Study Among The Employees of the Service Sector SMEs in Malaysia.
International Journal of Business, Humanities and Technology, Vol 1. No.2.
Kaufman, Carol Felker, Paul M. Lane dan Jay D. Lindquist. 1991. Exploring More than 24 h a Day: A Preliminary Investigation ofPolychronic Time Use, Journal of Consumer Research, 18 (3), p 392-401.
Kaufman-Scarborough, C., & Lindquist, J. D. 1999. Time management and polychronicity: Comparisons, contrasts, and insights for the workplace. Journal of Managerial Psychology, 14, 288-312.
Keating, S., & Murgolo-Poore, M. 2001. Technology and its impact on polychronic time use: A research plan. Management Research News, 24, 1-16.
Kersley, B and Martin, C. 1997. Productivity growth, participation and communication, Scottish Journal of Political Economy, 44, pp. 485-501.
Konig, C. J., Buhner, M., & Murling, G. (2005). Working memory, fluid intelligence, and attention are predictors of multitasking performance, but polychronicity and extraversion are not. Human Performance, 18, 243-266.
Kraemer, T. & Gouthier, M.H.J. 2014. How Organizational Pride and Emotional Exhaustion Explain Turnover Intentions in Call Centers. Journal of Service Management, Vol.25, p 125-148
Kristof, A.L. 1996. Person-organization fit: an integrative review of its conceptualizations, measurement, and implications. Personnel Psychology 49, 1-49.
Kristof-Brown, A.L., Zimmerman, R.D., dan Johnson, E.C. 2005. Consequences of individuals’ fit at work: A meta-analysis of person-job, person-organization, person-group, and person - supervisor fit. Personnel Psychology, 58, 281-342.
Kristof-Brown, A., & Guay, R. P. 2011. Personenvironment fit. APA handbook of industrial and organizational psychology, Vol. 3, pp 350.
Kurke, L. B., & Aldrich, H. E. 1983. Mintzberg was right!: A replication and extension of the nature of managerial work. Management Science, 29, 975-984.
Lee T.W dan Mowday. 1987. Voluntarity Heaving an Organization. An empirical Investigation of The Steers and Mowday Model of Turnover, Academy Management Journal, 30:721-743.
Lee, H. 1999. Time and information technology: Monochronicity, polychronicity and temporal
symmetry. European Journal of Information Systems, 8, 16-26.
Lee, W., Tan, T. M., & Hameed, S. S. 2005. Polychronicity, the internet, and the mass media: A Singapore study. Journal of Computer-Mediated Communication, 11, 300-316.
Liao, Hui. dan Aichia Chuang. 2004. A Multilevel Investigation of Factors Influencing Employee Service Performance and Customer Outcomes, Academy of Management Journal, 47 (1), 4159.
Lindquist, J. D., & Kaufman-Scarborough, C. 2007. The polychronic-monochronic tendency model: PMTS scale development and validation. Time & Society, 16, 253-285.
Lucas, George H. 1985. The Relationships Between Job Attitudes, Personal Characteristics, and Job Outcomes: A Study of Retail Store Managers, Journal of Retailing, 61 (1), 35–63.
Luthans, F. 2011. Organizational Behaviour, Mc. Graw-Hill.
Madjar, N., & Oldham, G. R. 2006. Task rotation and polychronicity: Effects on individuals’ creativity. Human Performance, 19, 117-131
Maier, N.R.F. 1970. Problem Solving and Creativity in Individuals and Groups.
Monterey, Brooks/Cole Publishing. California.
Marshall, Sheila., Adams, Gerald., & Ryan, Bruce A. 2001. Distributive Justice
Reasoning in Families with Adolescent. Journal of Family Issues, 22(1), 107-123.
Molefi A.Molefakgotla, N. Dinah Moroke and Katlego Thloloe. 2014. The Impact of Staff Turnover on Performance: A Case of The North West Provincial Department of South Africa. Mediterranean Journal of Social Science. Vol. 5 No. 23
Moustafa, K. S., Bhagat, R. S., & Babakus, E. 2005. A cross-cultural investigation of polychronicity: A study of organizations in three countries. Paper presented at the 48th Midwest Academy of Management annual conference, Chicago, IL.
Mowday, R.T., R.M., Steers, & L.W., Porter. 1979. The Measurement of Organizational Commitment. Journal of Vacational Behavior, Vol. 14.
Muchinsky, P. M., dan Monahan, C. J. 1987. What is person-environment congruence? Supplementary versus complementary models of fit. Journal of Vocational Behavior.
Munandar, A.S. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Netemeyer, Richard G., James S. Boles, Daryl O.McKee dan RobertMcMurrian. 1997. An Investigation into the Antecedents of Organizational Citizenship Behaviors in a Personal Selling Context, Journal of Marketing, 61 (July), 85–98.
Onken, M. H. 1999. Temporal elements of organizational culture and impact on firm performance. Journal of Managerial Psychology, 14, 231-244.
Palmer, D. K., & Schoorman, F. D. 1999. Unpackaging the multiple aspects of time in polychronicity. Journal of Managerial Psychology, 14, 323–345.
Payne, S. C., & Philo, J. 2002. Identifying those who prefer to do more with less. Paper presented at the 17th annual convention of the Society of Industrial and Organizational Psychology, Toronto, Canada.
Peng, Yuwen dan Chao Mao. 2014. The Impact of Person–Job Fit on Job Satisfaction: The Mediator Role of Self Efficacy. Social Indicators Research, Springer Science+Business Media Dordrecht,Volume 121, Issue 3, pp 805–813.
Poposki, E. M., & Oswald, F. L. 2010. The multitasking preference inventory: Toward an improved measure of individual differences in polychronicity. Human Performance, 23, 247– 264.
Poznanski, Peter, J., dan Baline, Dennis, M. 1997. Using Structural Equation Modeling toInvestigate The Causal Ordering of Job Satisfaction and Organizational Commitment Among Staff Accountant. Behavioral Research in Accounting, vol. 9, Printed in USA.
Pasewark, W.R, dan Strawser, J. 1996. The Determinants and Outcomes Associated with Job Insecurity in a Professional Accounting Environment, Behavioral Research in Accounting, 8:91-113.
Persing, Lynne D. 1999. Managing in Polychronic Times: Exploring Individual Creativity Performance in Intellectually Intensive Venues, Journal of Managerial Psychology, 14 (5), 358–373.
Rhoads, Gary K., William R. Swinyard, Michael D. Geurts and William D. Price. 2002. Retailing as a Career:AComparative Study of Marketers, Journal of Retailing, 78 (1), 71–78.
Robinson, Nila Aprila. 2005. Pengaruh Komitmen Organisasi, Kepuasan Kerja, dan Keperilakuan Etis terhadap Keinginan Berpindah Pada
Profesional Bidang Teknologi Informasi. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Volume 5. No. 1.
Robbbins dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat
Robbins, Stephen P. 2015. Organizational Behavior: Concepts, Controversies Applications. A Simon and Schuter Company.
Schulz, Richard M., William J. Bigoness and Jean Paul Gagnon. 1987. Determinants of Turnover Intentions Among Retail Pharmacists, Journal of Retailing, 63 (1), 89–99.
Schultz, D. & Schultz, S. E. 2006. Psychology and work today: an introduction to industrial and organizational psychology, New Jersey, Pearson Educational International.
Siebert W. Stanley, Nikolay Zubanov, Arnaud Chevalier and Tarja Viitanen. 2006. Labour Turnover and Labour Productivity in a Retail Organization., IZA Disscusion Paper, Institute for The Study Of Labor, Bonn-Germany No. 2322.
Slocombe, T.E., dan Bluedorn, A.C. 1999. Organizational behavior implications of the congruence between preferred polychronicity and experienced work-unit polychronicity. Journal of Organizational Behavior 20, 75– 99.
Smith, P.C., L.M. Kendall, and C.L. Hulin. 1969. The Measurement of Satisfaction in Work and Retirement. Chicago: Rand McNally.
Smith, P.C., O.W. Smith, and J. Rollo. 1975. Factor Structure for Blacks and Whites of the Job Descriptive Index and Its Discrimination of Job Satisfaction. Journal of Applied Psychology, Vol 74, 99-100.
Suwandi & Indriantoro. 1999. Model Turnover Pasewark & Strawser: Studi Empiris
pada Lingkungan Akuntan Publik. JRAI, Vol. 2.
Tett, Robert, P., & John Meyers. 1993. Job Satisfactions, Organizational Commitment, Turnover Intentions and Turnover: Path Analysis Based on Meta Analystic Finding. Personel Psychology, Vol. 46.
Thornhill, Adrian., & Saunders, Mark N. K. 2003. Exploring Employees’ Reactions To Strategic Change Over Time: The Utilization of an Organizational Justice Perspective. Journal of Management, 11(1), 66-84.
Tinsley, C. H. 1998. Models of conflict resolution in Japanese, German, and American cultures. Journal of Applied Psychology, 83, 316-323.
Vigoda, Eran. 2000. Organizational Politics, Job Attitudes, and Work Outcomes: Exploration and
Implications for the Public Sector. Journal of Vocational Behavior, 57, 326-347
Van Vianen, A. E. 2000. Person–Organization Fit: The Match Between Newcomers’ and Recruiters’ Preferences for Organizational Cultures. Personnel Psychology, 53(1), 113– 149
Vroom, V.H. 1964. Work and Motivation. New York: Wiley.
Waller, M. J., Giambatista, R. C., & Zellmer-Bruhn, M. E. (1999). The effects of individual time urgency on group polychronicity. Journal of Managerial Psychology, 14, 244–257.
Whitford, Andrew.B dan So-Young Lee. 2011. Exit, Voive and Loyalty with Multiple Exit Options: Evidence From Th U.S. Federal Workforce., Maxwell School of Citizen and Public Affair, Syracuse University Press.
Withey, Michael J. and William H. Cooper. 1989. Predicting Exit, Voice, Loyalty, and Neglect, Administrative Science Quarterly, 34 (4), 521– 539.
Zhang, Y., Goonetilleke, R. S., Plocher, T., & Liang, S.-F. M. (2005). Time-related behaviour in multitasking situations. International Journal of Human-Computer Studies, 62, 425-455.
Discussion and feedback