ISSN 1410-4628

PENGARUH BUDAYA TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN

Adji Pratikto

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Email : [email protected]

Abstact: Cultural Influence On Economic Performances. In the analysis of economics, cultural influences on the performance of an economy still an assumption of binding, due to the difficulty of economics to understand it. It is difficult to quantify the variables associated with culture, and also because the culture itself is embedded everywhere as in tastes, habits and so forth. But in its development, economists began to recognize that culture has an important role in supporting the performance of the economy, because it is associated with the formation of trust within the group, thereby reducing transaction costs.

Abstrak: Pengaruh Budaya terhadap Kinerja Perekonomian. Di dalam analisis ilmu ekonomi, pengaruh budaya terhadap kinerja suatu perekonomian masih menjadi suatu asumsi yang mengikat karena kesulitan ilmu ekonomi untuk memahaminya. Hal ini terkait dengan sulitnya mengkuantifikasi variabel budaya. Di samping itu budaya itu sendiri melekat di mana-mana, seperti dalam selera, kebiasaan, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam perkembangannya, para ekonom mulai mengakui bahwa budaya memiliki peranan yang cukup penting di dalam mendukung kinerja perekonomian karena terkait dengan pembentukan trust di dalam kelompok sehingga mengurangi biaya transaksi.

Kata kunci: budaya, kinerja perekonomian, trust, biaya transaksi, dan pendidikan.

PENDAHULUAN

Pengaruh budaya terhadap kinerja suatu perekonomian masih menjadi suatu asumsi yang mengikat dalam analisis ilmu ekonomi, khususnya dalam analisis ekonomi neoklasik. Hal ini terkait dengan kesulitan ilmu ekonomi untuk memahami peranan budaya itu sendiri. Selain itu juga karena sulitnya mengkuantifikasi variabel budaya atau karena budaya itu sendiri melekat di mana-mana, seperti dalam selera, kebiasaan, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam perkembangan yang terakhir, para ekonom mulai mengakui bahwa budaya memang berpengaruh terhadap kinerja ekonomi. Namun, ada bagian dari budaya yang tidak dapat dijelaskan atau sebaiknya tidak dijelaskan oleh ilmu ekonomi (Casson, 1993).

Keterbukaan pemikiran di kalangan ekonom ini cukup menggembirakan, karena itu berarti bahwa ilmu ekonomi tetap dapat menjelaskan segala sesuatu yang mempengaruhi kinerja perekonomian. Hal itu juga memperluas ruang lingkup ilmu ekonomi dengan mengidentifikasi kan isu-isu sosial baru yang dapat dibahas oleh para ekonom.

Mark Casson dalam artikelnya yang berjudul “Cultural Determinants of Economics Performance” berargumentasi bahwa metodologi ilmu ekonomi juga sebaiknya mencoba untuk menjelaskan budaya. Hal itu penting karena adanya pengalaman kesuksesan metode tersebut dalam area ilmu ekonomi itu sendiri, seperti dalam penentuan harga (price determination). Di samping itu juga dalam area-area lainnya, seperti pemilihan publik

(public choices), demografi, kriminologi, dan sebagainya. Selain alasan tersebut, juga diungkapkan adanya keterbatasan ilmu lainnya, seperti psikologi sosial dan antropologi sosial untuk menjelaskan budaya secara lebih mendalam. Hal ini terjadi karena mereka telah gagal mengembangkan paradigma dominan (dominant paradigm), yang dapat menghasilkan sebuah cumulative body of research yang dapat diakses oleh ilmu-ilmu lainnya (Whitley, 1984). Oleh karena itu, metodologi ilmu ekonomi diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk menjelaskan budaya secara lebih mendalam.

Artikel ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendahuluan, tinjauan teoretis, dan studi empiris, yang telah dilakukan untuk mempelajari peranan budaya terhadap pembangunan ekonomi di beberapa negara. Dalam tinjauan teoretis, sumber utama bacaan penulis berasal dari artikel “Cultural Determinants of Economics Performance” karangan Mark Casson, yang dimuat pada Journal of Comparative Economics, pada tahun 1993. Sebaliknya untuk studi empiris, sumber utama bacaan penulis berasal dari dua artikel, yaitu “Culture and Economics Performance: Policy as Intervening Variable” karangan H. Peter Gray, yang juga dimuat pada Journal of Comparative Economics, pada tahun 1996 dan ”Cultural Roots of Economic Performance: a Research Note” karangan Richard H. Franke, Geert Hofstede, dan Michael H. Bond, yang dimuat pada Strategic Management Journal pada tahun 1991. Dengan demikian, ada tiga artikel yang menjadi sumber bacaan utama untuk penulisan paper ini.

KAJIAN PUSTAKA

Kajian Teori

Dalam terminologi ilmu ekonomi, budaya itu sendiri didefinisikan dalam kerangka bahwa perilaku seorang individu adalah melakukan optimisasi untuk mencapai kondisi keseimbangan ekonomi. Kondisi keseimbangan inilah, yang kemudian dipandang sebagai refleksi nilai

dan beliefs pemimpin kelompok di mana individu tersebut berasal. Hal ini perlu karena dalam membahas budaya dalam ilmu ekonomi diasumsikan bahwa seorang individu merupakan bagian dari sebuah grup yang memiliki pemimpin dan pemimpin tersebut membangun budaya grup tersebut (Casson, 1991). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya dari suatu kelompok sangat dipengaruhi oleh nilai dan beliefs pemimpin kelompok tersebut.

Konsep Dasar Budaya

Budaya itu sendiri didefinisikan sebagai subjektivitas kolektif (Casson, 1992). Subjektivitas mempunyai dua arti dalam ilmu ekonomi. Teori nilai subjektif (The Subjective Theory of Value) menekankan bahwa preferensi seorang individu tidak dapat diukur dan secara tidak langsung hanya tercermin dalam perilaku individu tersebut. Sebagai contoh, apabila seseorang lebih sering memakan soto daripada sate (perilaku), maka kemungkinan kita dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut lebih menyukai soto daripada sate (preferensi). Penggunaan kedua dari subjektivitas adalah dalam konteks probabilitas. Tanpa adanya informasi tentang frekuensi relatif, seorang individu akan semata-mata mengaitkan probabilitas personalnya pada suatu kejadian. Probabilitas ini tidak dapat diukur, tetapi ketika individu tersebut memaksimumkan expected utility-nya, maka perubahan dalam perilakunya dapat dikaitkan dengan perubahan probabilitas subjektifnya. Kedua konsep subjektivitas ini sering digunakan karena preferensi atau beliefs yang menjadi dasar tindakan seseorang tidak dapat langsung diobservasi. Selain itu, subjektivitas juga sering dikaitkan dengan individualitas sehingga sering ditekan kan bahwa preferensi dan beliefs antarindividu berbeda-beda. Akan tetapi, simpulan seperti ini terlalu

berlebihan karena ada kemungkinan bahwa subjektivitas pun dapat bersifat kolektif. Individu yang menjadi bagian dari suatu kelompok, ada kemungkinan memiliki preferensi dan beliefs yang mirip. Sebagai contoh, mungkin orang dari suku Jawa akan lebih menyukai makanan yang manis daripada makanan yang pedas. Sebaliknya, orang dari suku Padang, mungkin lebih menyukai makanan yang pedas daripada yang manis.

Alasan yang paling sering di ungkapkan untuk menjelaskan kemiripan preferensi dan beliefs dalam suatu kelompok adalah bahwa preferensi dan beliefs bersifat lentur (malleable). Dengan demikian, individu yang terus-menerus menerima pengaruh yang sama, cenderung terpengaruh. Pengaruh ini mem perlihatkan budaya kelompok dari individu tersebut.

Seperti diketahui bahwa kelompok itu sendiri memiliki banyak sekali bentuk, yaitu dari kelompok yang kecil, seperti keluarga dan RT/RW, sampai dengan kelompok yang sangat besar, seperti negara dan partai politik. Pada setiap kelompok, budaya kelompok tersebut akan mempengaruhi perilaku individu anggotanya melalui preferensi dan beliefs dari individu tersebut. Pada akhirnya perilaku individu tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain. Pada dasarnya, pengaruh budaya terhadap perilaku individu anggotanya dapat dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek moral dan aspek teknikal dari budaya.

Aspek moral budaya akan mempengaruhi preferensi, sedangkan aspek teknikal budaya akan mempengaruhi beliefs (Casson, 1991). Walaupun kedua aspek ini dibedakan, aspek ini saling berkaitan satu sama lain.

Aspek moral budaya meliputi kebiasaan kelompok yang akan mendorong perilaku seseorang untuk memperlakukan orang lebih baik,

seperti kejujuran, integritas, dan lain sebagainya. Hal ini akan memperbaiki koordinasi keputusan individu-individu yang berbeda-beda sehingga pada akhirnya akan menurunkan biaya transaksi. Sebagai contoh, apabila kita mengetahui bahwa orang tersebut jujur dan mempunyai integritas, maka kita akan lebih mudah mempercayainya sehingga kita akan lebih mudah melakukan transaksi dengan orang tersebut. Dengan demikian, perilaku tersebut dapat mendorong efisiensi dari kelompok tersebut.

Selain menurunkan biaya transaksi, dampak dari aspek moral terhadap efisiensi juga meng kompensasikan hak kepemilikan yang hilang. Hal ini terkait dengan kemungkinan adanya pekerjaan-pekerjaan yang penting, tetapi kurang memberikan imbalan berupa materi yang cukup. Sebagai contoh pekerjaan sebagai tentara, abdi dalem, guru, pastor, dan sebagainya. Budaya mungkin menanamkan nilai-nilai moral ke dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut sehingga tetap ada orang yang bersedia untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Sebaliknya aspek teknikal budaya merupakan kebiasaan yang mendorong perilaku seseorang untuk lebih membangun lingkungan yang mendukung efisiensi, seperti kerja keras, penghargaan terhadap waktu, dan sebagainya. Hal ini dapat mendukung peningkatan teknologi melalui inovasi sehingga efisiensi dari kelompok tersebut dapat meningkat. Seperti telah diketahui, bahwa kinerja suatu kelompok tidak hanya terkait dengan efisiensi, tetapi juga terkait dengan keadilan (equity) . Bila dikaitkan dengan keadilan, ternyata aspek moral dari budaya yang lebih berbicara (Casson, 1993). Sebagai contoh adalah kebiasaan untuk menghargai nilai moral dari setiap individu, biasanya akan lebih mendorong altruism, tidak hanya

kepada orang-orang yang terlahir dalam lingkungan yang miskin. Akan tetapi, juga pada orang-orang yang menjadi miskin karena kejadian buruk yang menimpa mereka. Di samping itu, mereka tidak memiliki asuransi yang cukup untuk menangani kejadian buruk tersebut. Dalam kasus yang terakhir ini, yaitu miskin karena kurangnya asuransi menunjukkan

bahwa efisiensi dan keadilan sangat terkait. Artinya kurangnya asuransi mencerminkan tingginya biaya transaksi akibat adanya masalah moral hazard dan adverse selection.

Untuk lebih jelasnya dampak aspek moral dan aspek teknikal budaya terhadap kinerja suatu kelompok dirangkum dalam tabel 1.

Tabel 1.

Peranan Budaya Dalam Meningkatkan Kinerja Kelompok

Aspek Kinerja Kelompok

Aspek Budaya

Efisiensi

Keadilan

Moral

1. Mengurangi       biaya

transaksi

1. Meredistribusikan kembali pendapatan

2. Mengkompensasikan hak kepemilikan yang hilang

untuk

mengkompensasikan

distribusi kepemilikan awal yang kurang baik

2. Mendukung intergenerational altruism

Teknikal

  • 1.    Memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih baik

  • 2.    Mendukung pengembangan teknologi       melalui

inovasi

  • 3.    Kemungkinan meningkatkan sistem monitor dan supervisi

Sumber: Mark Casson (1993)

Cultural Framing of Optimizing Behaviour

Di dalam ilmu ekonomi dikenal istilah rasionalitas yang mendasari pengambilan keputusan individu. Dengan demikian, pada saat menganalisis pengambilan keputusan seorang individu, diasumsikan bahwa individu tersebut adalah rasional. Pada tahap ini dicoba dilihat bagaimana subjektivitas kolektif dapat direkonsiliasikan ke dalam asumsi rasionalitas tersebut. Jawaban yang sederhana untuk pertanyaan tersebut adalah bahwa subjektivitas kolektif tersebut tetap cocok dengan asumsi rasionalitas selama individu tersebut tetap

diasumsikan melakukan optimisasi dengan perkiraan kendala tertentu (perceived constraints). Hal ini juga terjadi karena preferensi mereka lebih bersifat lentur (malleable) dan bukan tetap sehingga dapat terpengaruh oleh subjektivitas kolektif. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa kendala mereka tidak diperkirakan secara benar (not be correctly perceived).

Jawaban sederhana ini tidak menjelaskan bagaimana preferensi dan beliefs itu terbentuk. Sehubungan dengan itu, mungkin dapat diberikan jawaban yang lebih kuat, yaitu bahwa tiap-tiap kelompok diasumsikan memiliki

pemimpin dan pemimpin tersebut memiliki preferensi dan beliefs tertentu (Casson, 1991). Pemimpin ini mengerti bagaimana interaksi yang terjadi antara anggota-anggota kelompok tersebut sehingga dapat menghitung kemungkinan kondisi keseimbangan yang terjadi di dalam kelompok tersebut dengan kondisi preferensi dan beliefs yang beraneka ragam dari para anggotanya. Kemudian pemimpin tersebut mengarahkan preferensi dan beliefs para pengikutnya agar dapat mencapai hasil yang diinginkannya. Preferensi dan beliefs para pengikut dapat diprediksi oleh model, ketika preferensi dan beliefs pemimpin kelompok tersebut diketahui. Oleh karena itu, model tersebut dapat memberikan gambaran yang komprehensif bagaimana kinerja suatu kelompok sangat tergantung dari karakteristik pemimpinnya. Interaksi perilaku antarpengikutnya pun dapat diprediksi oleh model. Hal itu terjadi karena hal tersebut merupakan crucial link antara perilaku pemimpin dan kinerja kelompok (Casson, 1993).

Mungkin menjadi pertanyaan mengapa para pengikut itu begitu mudah diarahkan? Bukankah pengalaman konsumsi mereka sendiri yang akan menentukan bentuk preferensi mereka dan pengalaman hidup mereka sendiri yang akan memberitahukan bentuk kendala yang dihadapi? Kemungkinan jawaban yang dapat diberikan untuk pertanyaan seperti ini adalah bahwa preferensi perlu dilegitimasi dan pengalaman hidup perlu diinterpretasikan (Casson, 1993). Pernyataan di awal membutuhkan sistem moral karena aspek moral dari budaya akan mempengaruhi preferensi individu. Sebaliknya pernyataan terakhir membutuh kan scientific theory tertentu agar pengalaman hidup seseorang dapat diinterpretasikan. Mungkin contoh yang cukup ekstrem untuk menjelaskan pernyataan di awal bahwa preferensi perlu dilegitimasi ialah mengenai penerapan metode tertentu untuk menggali keterangan dari para teroris yang

ISSN 1410-4628 tertangkap untuk memerangi terorisme itu sendiri. Pada saat ini masih menjadi perdebatan yang hangat apakah metode tersebut layak untuk diterapkan atau tidak. Hal ini berarti bahwa terkait dengan sistem moral yang dianut oleh kelompok tersebut sehingga pemilihan penerapan metode interogasi tertentu (menunjukkan preferensi) membutuhkan legitimasi dari sistem moral tersebut.

Pernyataan berikutnya bahwa pengalaman hidup memerlukan scientific theory tertentu untuk menginterpretasikan nya terkait dengan aspek teknikal budaya untuk memastikan bahwa pengalaman hidup merupakan pembelajaran untuk meningkatkan kinerja kelompok tersebut. Seseorang yang memiliki keuntungan komparatif dalam area ini, mungkin karena usia, pendidikan, atau hal-hal lainnya dapat menjadi pemimpin kelompok tersebut dan membangun sistem moral sebagai pelayanan kepada anggota lainnya. Dengan membangun dan meng interpretasikan sistem tersebut, pemimpin dapat melegitimasi tindakan tertentu dan tidak mendukung tindakan lainnya (Casson, 1993).

Sama seperti model ekonomi lainnya, model inipun masih mengandung kelemahan dalam menjelaskan kompleksitas situasi dunia nyata. Kelemahan inilah yang kemudian memerlukan penilaian individual (individual judgement) apakah hal tersebut merefleksikan kesalahan fundamental dari model tersebut ataukah sesuatu yang kurang berarti seperti kesalahan pengukuran (Casson, 1993).

Prasyarat Budaya untuk Pembangunan Berkelanjutan

Pada bagian ini dibahas mengenai karakteristik kunci dari suatu budaya yang mempengaruhi kinerja ekonomi suatu kelompok. Yang pertama adalah perbedaan antara science dan moral. Di dalam masyarakat yang lebih maju, moralitas dikaitkan dengan legitimasi dari tujuan, sedangkan science menjelaskan pilihan dari sarana-sarana yang dapat digunakan

untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam masyarakat yang lebih tradisional, kadang kala perbedaan antara kedua hal tersebut kurang jelas. Sebagai contoh agama dalam masyarakat tradisional, kadangkala mencampuradukkan antara segala sesuatu yang memang terjadi dengan segala sesuatu yang seharusnya terjadi. Sebagai contoh adalah kadang kala mengaitkan suatu kejadian buruk yang menimpa seseorang dengan ketidaktaatan orang tersebut kepada Tuhan. Alam dipandang sebagai anthropomorphically, dan dipahami bukan dari sisi scientific law, tetapi dipahami sebagai manifestasi dari relevant spirit.

Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat maju merupakan masyarakat yang sekuler, karena kemungkinan mereka masih memiliki agama yang membedakan secara jelas antara science dan moral. Sebagai contoh dalam agama yang monotheistic, Tuhan yang dimiliki tidak lagi mengintervensi kehidupan mereka dari hari ke hari. Di pihak lain science dapat digunakan untuk memahami hukum alam, sedangkan masyarakat mendasari aturan moral berdasarkan agama yang dianut (Casson, 1993).

Perbedaan antara science dan moral ini akan menyebabkan pembangunan ekonomi melalui perkembangan teknologi sehingga memungkinkan masyarakat berproduksi tidak sekedar hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence level). Hal itu berarti bahwa pada saat kepemilikan material lebih tinggi, maka standar kehidupan masyarakat akan semakin meningkat. Dengan demikian dari kacamata moralitas, kebutuhan untuk mencuri atau melakukan korupsi agar tetap hidup akan semakin menurun.

Dorongan untuk mencapai standar kehidupan yang lebih tinggi ini akan mengarahkan masyarakat menjadi masyarakat tekanan tinggi (high tension society), yaitu suatu masyarakat yang secara terus menerus berusaha untuk meningkatkan kapabilitasnya. Atau dengan kata lain, masyarakat tersebut

ISSN 1410-4628 tidak pernah merasa puas dengan pencapaian yang telah dihasilkannya. Hal ini sering dibandingkan dengan masyarakat tekanan rendah (low tension society), yaitu apabila telah menyelesai kan suatu permasalahan, mereka akan beristirahat, sampai permasalahan berikut nya muncul. Perbedaan yang paling penting antara kedua masyarakat ini adalah perbedaan pandangan terhadap tekanan (aggression). Pada masyarakat tekanan tinggi (high tension society), tekanan lebih dapat diterima, karena hal itu akan mendorong pencapaian standar kehidupan yang lebih tinggi. Sebaliknya pada masyarakat tekanan rendah (low tension society), tekanan lebih dipandang sebagai gangguan. Oleh karena itu, masyarakat tekanan tinggi (high tension society) dapat dipandang sebagai karakteristik kunci dari suatu budaya untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Atomistic dan Organic Societies

Manifestasi yang lebih tepat dari masyarakat tekanan tinggi (high tension society) tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut memandang diri mereka sendiri. Ada dua pandangan ekstrem berkaitan dengan hal tersebut, yaitu pandangan atomistic dan pandangan organic. Pandangan atomistic lebih menekankan pada pentingnya individu sehingga moralitas dari pandangan ini lebih menekankan pada hak individu daripada kewajiban individu tersebut terhadap masyarakat. Sebaliknya pandangan organic lebih menekankan pada pencapaian kolektif seperti pembentukan masyarakat yang baik atau sebuah welfare state. Moralitas dari pandangan ini lebih menekankan pada kewajiban sosial.

Kedua pandangan ini dapat mendukung kerja keras dan tingkat tabungan yang tinggi, tetapi proses dari legitimasi moral yang melandasinya adalah sangat berbeda (Casson, 1993). Pada pandangan atomistic, kerja keras merupakan sarana untuk aktualisasi diri, dan orang yang tidak bekerja keras akan kehilangan

reputasi karena terlihat seperti orang yang menyerah. Sebaliknya dalam pandangan organic, kerja keras dipandang sebagai bentuk dedikasi terhadap masyarakat. Pandangan atomistic inilah yang menjadi karakteristik kunci dari budaya dalam mendukung pembangunan ekonomi.

Tingkat Kepercayaan (Level of Trust)

Ketika individu memandang hukum lebih sebagai instrumen scientific dan bukan sebagai sebuah kode moral (moral code), maka sering kali akan lebih menguntungkan untuk melakukan kecurangan terhadap perjanjian. Pada kasus seperti ini, ada kemungkinan mekanisme pasar tidak berjalan karena tingginya biaya transaksi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah orang dapat dipercaya untuk menghormati perjanjian meskipun tidak ada imbalan material untuk melakukan hal tersebut. Pertanyaan inilah yang sering timbul dalam masyarakat yang memiliki pandangan atomistic (high tension atomic society) karena pada masyarakat tersebut individu-individu menggantungkan kondisi kesejahteraan mereka pada mekanisme pasar. Mereka dapat menikmati keuntungan sesaat dengan menyediakan produk berkualitas rendah, berkompetisi secara tidak adil, dan lain sebagainya. Hal ini sangat mungkin terjadi untuk masyarakat atomistic yang sangat mobile, dimana banyak transaksi yang terjadi hanya satu kali saja (one time affairs). Sehubungan dengan itu, pasar harus bekerja pada kondisi kepercayaan yang didorong oleh moral. Apabila agen-agen ekonomi yang melakukan transaksi tersebut mempunyai kepercayaan satu sama lain, maka keseimbangan akan terjadi sebaliknya apabila tidak ada kepercayaan, maka mereka akan saling mencoba untuk melakukan kecurangan satu sama lain, sehingga perdagangan menjadi sulit untuk dilakukan. Dengan demikian, tingkat kepercayaan ini menjadi

ISSN 1410-4628 karakteristik kunci keempat dari budaya dalam mendukung pembangunan ekonomi.

Pandangan atomistic sulit untuk mendukung perdagangan. Jika orang lain yang dipercaya adalah egois dan materialistis daripada altruistic, maka mereka diperkirakan akan melakukan kecurangan. Pandangan seperti inilah yang disebut dengan pandangan pesimistis terhadap human nature. Dengan demikian dibutuhkan pandangan yang optimis terhadap human nature sebagai prasyarat supaya mekanisme pasar dapat bekerja.

Teori, Pragmatisme dan Penilaian (Judgement)

Di dalam masyarakat yang saling percaya (high trust society) akan terjadi pembagian tenaga kerja yang baik. Hal itu terjadi karena mereka percaya untuk mendelegasikan keputusan penggunaan sumber daya yang dimiliki kepada orang lain yang akan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan mereka. Sebagai contoh yang paling gampang adalah jasa pengelolaan keuangan dalam bentuk unit link yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. Apabila di dalam masyarakat tersebut tidak ada kepercayaan, maka mungkin jasa pengelolaan keuangan tersebut tidak akan berkembang. Oleh karena itu mereka akan melakukan spesialisasi karena setiap orang percaya bahwa orang yang diserahkan tanggung jawab (the specialists) tidak akan mengecewakan.

Bagaimana orang ini (the specialist) mengambil keputusannya? Budaya memiliki peranan yang penting di sini untuk melakukan analisa terhadap pengambilan keputusan banyak tersebut. Akan tetapi dalam kasus ini, aspek teknikal dari budaya lebih berbicara daripada aspek moral (Casson, 1993) .

Beberapa budaya menekankan pentingnya teori, yang digunakan untuk memahami situasi yang terjadi sebelum mengambil keputusan. Akan tetapi, ada budaya lain yang lebih pragmatis, yang mendasarkan pengambilan keputusan

berdasarkan pengalaman masa lalu. Perbedaan antara budaya teoretis dan budaya pragmatis juga direfleksikan dalam organisasi sosial. Pandangan umum tentang cara yang tepat untuk membuat keputusan akan terlihat pada kriteria pemilihan the specialist tersebut. Artinya, apakah lebih memperhatikan pemahaman orang tersebut akan teori yang mendasari pengambilan keputusannya ataukah lebih memperhatikan pengalaman yang relevan (pragmatism).

Karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memahami teori secara baik, maka penekanan pada kriteria teoretis akan cenderung untuk menghasil kan masyarakat yang lebih elitis. Di sisi lain, seperti diketahui bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan akumulasi pengalaman meskipun tentu saja terdapat perbedaan kemampuan untuk belajar dari pengalaman tersebut. Budaya pragmatis biasanya mensyaratkan kriteria umur karena umur dapat menjadi proksi pengalaman yang dimiliki. Budaya pragmatisme juga akan menghasilkan generalist decision maker daripada specialist decision maker, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada budaya teoretis, pengambil keputusan akan cenderung young elitist specialist, sedangkan pada budaya pragmatis, akan cenderung meng hasilkan older generalist dengan latar belakang pengalaman yang lebih baik.

Pada kenyataannya, tidak ada formula yang pasti untuk menjamin keberhasilan pengambilan keputusan. Pengetahuan tentang suatu teori menjadi berguna untuk melakukan interpretasi terhadap suatu pengalaman, tetapi seperti yang telah dibahas sebelumnya, tidak ada teori yang sempurna. Begitu juga halnya dengan pandangan pragmatis, karena tidak ada pengalaman yang benar-benar independen dari teori. Teori diperlukan untuk melakukan interpretasi pengalaman tersebut. Akan tetapi, implicit theory of pragmatist mungkin lebih buruk daripada explicit theory, karena kelemahan explicit theory

ISSN 1410-4628 minimal dapat diketahui sehingga dapat diantisipasi (Casson, 1993).

Kombinasi teoretis dan pragmatis inilah yang memerlukan judgement. Penilaian diperlukan selama dapat mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik manakala teori yang ada tidak memadai untuk melakukan hal tersebut. Penilaian inilah yang merupakan hallmark dari keberhasilan seorang pemimpin. Dengan demikian, karakteristik kunci kelima dari budaya dalam pembangunan ekonomi adalah judgement.

Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat lima karakteristik kunci dari budaya dalam mendukung pembangunan ekonomi yaitu scientific differentiation, high tension, atomism, high trust, dan judgement. Kelima karakteristik tersebut dieksplorasi lebih lanjut oleh Casson untuk melihat bagaimana kaitan antara kelima faktor kunci tersebut dengan kinerja perekonomian suatu negara. Pembahasan lebih lanjut mengenai keterkaitan hal-hal tersebut, diuraikan pada bagian berikut.

Ideologi Persaingan

Mungkin akan menjadi pertanyaan mengapa teori tidak mampu memprediksi budaya seperti apa yang akan efektif untuk mendukung pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi selain karena teori itu sendiri mengandung kelemahan, juga mungkin kita dapat berargumentasi bahwa budaya itu sendiri tidak ada karena konsep dari budaya itu sendiri terlalu sempurna. Kalau dilihat dari kelima karakteristik kunci dari budaya, seperti yang telah dibahas, mungkin empat karakteristik dapat dicapai secara simultan, akan tetapi tidak kelima-limanya. Hal itu terjadi karena adanya keterbatasan pada human nature.

Memang ada kemungkinan untuk menolak argumentasi ini dan berargumentasi secara sederhana bahwa konvergensi dari budaya yang ideal merupakan proses sejarah yang sangat lambat. Salah satu faktor yang menghambat konvergensi ini

adalah kualitas yang rendah dan fokus yang terlalu sempit pada debat secara ideologi (ideological debate). Selama abad ke 19 dan ke 20, perdebatan kaum intelektual di dunia barat terfokus pada dua pandangan yang bertentangan satu sama lain, yaitu competitive individualism dan kekuatan kolektif (coercive collectivism). Kedua pandangan ini mereprensentasikan pandangan atomistic dan organistic seperti yang telah dibahas sebelumnya. Sebagai catatan tambahan, individualism cenderung untuk memperluas partisipasi dari masyarakat, yang merupakan esensi dari pengambilan keputusan pragmatis. Hal itu terjadi karena seperti yang telah dibahas sebelumnya, pengambilan keputusan pragmatis mendasarkan diri pada pengalaman sehingga lebih banyak orang yang dapat terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini berbeda dengan pandangan collectivism yang lebih cenderung mengambil keputusan berdasar kan teori sehingga para pengambil keputusan cenderung lebih elitis (Casson, 1993).

Walaupun memiliki pandangan yang sangat berbeda terhadap proses pengambilan keputusan, mereka memiliki kesamaan dalam memandang low trust culture, yang merupakan hasil dari pessimistic view of humanity. Oleh karena itu, ideologi yang dikembangkan berdasarkan high trust culture harus terus didorong.

Pada kasus masyarakat yang kolektif (collectivist societies), low trust culture sering dianggap sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan karena ketidakmampuan pemimpin untuk mengantisipasi respon yang tidak diinginkan dari anggota kelompoknya, sehingga pemimpin tersebut cenderung membangun rejim politik yang bersifat represif untuk mempertahankan kepemimpinannya. Sebaliknya, pada kasus masyarakat yang individualistis, low trust culture lebih dipandang sebagai bentuk validasi dari tekanan persaingan antarindividu (Casson, 1993).

Bagaimanapun juga persaingan itu sendiri dapat dipandang dari sisi yang berbeda. Dengan pandangan yang lebih optimis tentang human nature, maka persaingan dapat dilihat sebagai sporting game yang menyebabkan seseorang untuk mencapai norma sosial yang lebih tinggi (Knight, 1933). Persaingan juga dianggap penting untuk mengetahui kapabilitas seseorang. Hal itu penting karena orang tersebut tidak akan mengerti apakah dia mempunyai kapabilitas untuk mencapai sesuatu apabila tidak mencobanya. Usaha dari orang lain akan dapat menjadi perbandingan (benchmark) untuk menilai kinerjanya. Dengan demikian, persaingan dapat menjadi sarana kerjasama bagi para anggota kelompok tersebut untuk mencapai standar yang lebih tinggi.

Elemen kerja sama ini dapat diperkuat dengan mengorganisasikan persaingan sebagai suatu pertandingan, bukan antarindividu, akan tetapi antar kelompok, yaitu kelompok yang paling sukses menunjukkan koordinasi internal yang paling efektif sehingga hal ini akan mendorong etos kerja sama di dalam kelompok tersebut. Tiap-tiap kelompok memerlukan kelompok lainnya untuk memperkuat kesetiakawanan dan komitmen di antara anggota kelompok tersebut.

Pembahasan tentang persaingan di atas memperlihatkan bahwa suatu kelompok sebaiknya dipandang untuk mengurangi intensitas persaingan pada tingkat individu, agar eksternalitas negatif dari persaingan itu sendiri dapat diminimalisasi. Pada dasarnya, perusahaan sebagai salah satu agen yang penting dalam perekonomian dapat dipandang sebagai kelompok.

Filosofi dari competitive individualism cenderung untuk tidak terlalu menilai secara berlebihan. Pada kenyataan hampir seluruh aktivitas produksi diorganisasikan (dilakukan) oleh perusahaan. Dengan demikian, hal itu cenderung mengabaikan dampak dari koordinasi antarperusahaan terhadap kinerja perekonomian secara

keseluruhan. Hal itu juga gagal melihat peranan dari budaya nasional dalam mengembangkan budaya kerjasama antar perusahaan.

Dari sudut pandang competitive individualism, perusahaan hanya dipandang sebagai nexus of contracts. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian adalah individu-individu yang masing-masing memiliki peranan tertentu. Para karyawan melakukan kontrak dengan para manajer bahwa mereka akan melakukan pekerjaan dengan baik sehingga dapat mencapai target produksi yang telah disepakati bersama sebagai balasannya, karyawan tersebut mendapatkan imbalan tertentu. Para manajer melakukan kontrak dengan para pemegang saham untuk mencapai target laba tertentu sebagai balasannya, para manajer tersebut pun mendapatkan imbalan tertentu. Demikian pula dengan pemegang saham, sebagai penanggung risiko akhir dari perusahaan.

Kelemahan dari sudut pandang ini adalah mengabaikan dimensi sosial dari perusahaan. Dari sisi budaya, perusahaan merupakan bagian dari suatu negara sehingga sama seperti negara dapat berfungsi sebagai kelompok sosial. Dengan demikian, menghadapi permasalahan koordinasi yang sama, yang akan menyebabkan adanya biaya transaksi. Pada kedua kasus tersebut, sumber permasalahan utamanya adalah ketidak percayaan (distrust). Permasalahan tersebut juga dapat diatasi dengan pendekatan budaya, seperti yang telah dibahas sebelumnya, yaitu mengenai pentingnya peranan pemimpin perusahaan untuk mengarahkan anggota-anggota kelompoknya agar memiliki preferensi dan beliefs yang sama.

Voluntary Association

Pada bagian ini dibahas mengenai voluntary association sebagai pendekatan alternatif terhadap low trust ideology dari competitive individualism dan kekuatan kolektif (coercive collectivism). Pada dasarnya pemikiran utama dari ideologi

ISSN 1410-4628 ini adalah bahwa individu-individu pada dasarnya secara natural akan saling berhubungan satu sama lain, baik untuk kebutuhan produksi maupun untuk kebutuhan aktivitas-aktivitas lainnya. Perusahaan merupakan salah satu bentuk manifestasi dari asosiasi.

Ideologi asosiasionis ini cocok dengan prinsip ekonomi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, yaitu individu diasumsikan rasional dan akan melakukan optimisasi, tetapi dalam kondisi konteks tertentu. Hal ini sering dikatakan sebagai rasionalitas kondisional (conditional rationality) untuk membedakan nya dengan bounded rationality, yang kadang kala menekankan pentingnya asumsi tentang perilaku tertentu. Preferensi individu memiliki komponen material dan emosional. Komponen emosional dapat diarahkan oleh sistem moral yang dibangun oleh pemimpin kelompok di mana individu tersebut berasal.

Kelompok memainkan peran yang penting dalam asosiasionisme (associationism). Individu lahir di keluarga tertentu, yang merupakan anggota komunitas kelompok tertentu. Individu tersebut tidak dapat benar-benar memisahkan diri dari kelompok tersebut. Di sisi lain, individu juga dapat memasuki kelompok lainnya atas kemauan sendiri, seperti kelompok kerja, hobi, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada kelompok-kelompok yang dapat dengan mudah ditinggalkan oleh individu dan ada kelompok lainnya, yang mungkin sulit untuk keluar begitu saja atau dengan kata lain costly. Hal ini mempunyai implikasi terhadap pemilihan kelompok yang dilakukan oleh individu, karena ada kemungkinan bahwa dia harus mengubah preferensinya ketika dia masuk ke kelompok tertentu.

Dalam ideologi asosiasionisme, individu-individu yang memiliki preferensi dan beliefs yang mirip bebas membentuk kelompok sosial mereka sendiri sehingga

ada kebebasan untuk menjadi pemimpin kelompok tersebut. Akan tetapi, tidak semua anggota dari kelompok mempunyai kapabilitas untuk menjadi pemimpin. Adanya kebebasan untuk menjadi pemimpin tersebut dan didukung oleh keanggotaan yang sifatnya sukarela, menyebabkan pemimpin bersaing dengan anggota lainnya. Oleh karena itu, di butuhkan dibutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya dan mempunyai komitmen yang tinggi dalam pencapaian misi kelompok tersebut.

Walaupun asosiasionisme ini mendukung pandangan yang demokratis bahwa hampir semua individu mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin, pandangan ini pun juga memiliki elemen elitis. Dikatakan oleh karena adanya perbedaan kapabilitas dari seorang individu untuk menjadi seorang pemimpin.

Ideologi asosiasionisme ini lebih dari sekadar kompromi antara individualisme dan kolektivisme. Hal itu terjadi karena seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa ideologi ini mensyaratkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ideologi lainnya. Akan tetapi, bagaimanapun juga bukan berarti ideologi tersebut adalah utopia, dan mengasumsikan bahwa secara natural individu dapat dipercaya. Hal itu penting karena kepercayaan yang disyaratkan oleh ideologi ini merupakan hasil dari kepemimpinan yang baik.

Konsistensi dari Teori Assosiasionis (Associationist Theory)

Ideologi competitive individualism dan pemaksaan kolektif (coercive collectivism) mempunyai bandingan di dalam ilmu ekonomi. Teori neoklasik konvensional memiliki sudut pandang yang sama dengan competitive individualism, sedangkan teori neo Ricardian dan Marxist memiliki sudut pandang yang sama dengan kekuatan kolektif. Hal ini berlaku juga pada

ISSN 1410-4628 ideologi asosiasionisme yang direpresentasi kan dalam ilmu ekonomi kelembagaan.

Karena asosiasionisme mengkom promikan posisi antara individualisme dan kolektifisme, maka dapat diharapkan bahwa teori asosiasionis akan kuat (Casson, 1993). Dalam hal tertentu, hal tersebut dapat didukung karena teori asosiasionis memperlihatkan konsistensi internal yang lebih besar bila di bandingkan dengan teori individualistik. Sebagai contoh, teori konvensional tentang pasar neoklasik memasukkan kombinasi dari teori persaingan sempurna dari Walrasian dengan strategic theory of oligopoly. Hal ini menimbulkan kerancuan karena dalam model persaingan sempurna, setiap orang percaya pada Walrasian auctioneer, yang memonopoli intermediasi. Sebaliknya pada teori oligopoli tidak ada seorang pun yang mempercayai orang lainnya. Dengan demikian, ada inkonsistensi di dalam teori tersebut.

Sebagai tambahan dapat dikemuka kan bahwa potensial teori asosiasionis ini juga mampu digunakan untuk membentuk model yang memasukkan dampak dari aspek-aspek budaya terhadap kinerja perekonomian. Akan tetapi, tidak seperti teori sosiologi, yang secara langsung mengkaitkan budaya dengan perilaku kolektif, teori asosiasionis tetap mempertahankan metodologi individualisme dalam analisis ekonomi, yaitu bahwa individu adalah rasional dan melakukan optimisasi. Di samping itu juga perlu ditambahkan bahwa pemimpin memiliki peran yang penting dalam teori asosiasionis. Teori ini menghubungkan nilai-nilai kultural dengan kinerja ekonomi dan pemimpin merupakan bagian dari mekanisme yang menghubungkan keduanya.

Kajian Empiris

Pada bagian ini dibahas mengenai studi empiris yang telah dilakukan untuk menganalisis karakteristik budaya yang melekat dalam masyarakat di suatu negara

atau daerah dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian negara atau daerah tersebut.

Peranan Lima Karakteristik Kunci dari Budaya dalam Kinerja Perekonomian

Dalam pembahasan tinjauan teoretis telah dibahas lima karakteristik kunci dari budaya, yaitu scientific differentiation, high tension, atomism, high trust dan judgement, yang dianggap penting untuk mempertahankan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Perkiraan kasar dari hubungan kelima karakteristik kunci

ISSN 1410-4628 tersebut dengan kinerja perekonomian ditampilkan pada tabel 3. Ada beberapa justifikasi yang dilakukan dalam penyusunan tabel tersebut, yaitu mengenai masalah apakah karakteristik yang melekat adalah lemah ataukah kuat. Adapun perekonomian yang dijadikan objek penelitian adalah dua jenis perekonomian, yaitu perekonomian yang kurang maju (Less Developed Country / LDC dan Eropa Timur) dan perekonomian yang maju (Amerika Serikat dan Jepang). Untuk lebih jelasnya akan ditampilkan tabel berikut:

Tabel 2.

Lima Karakteristik Kunci Budaya

Faktor

LDC

Eropa Timur

Amerika Serikat

Jepang

Scientific

Lemah

Kuat

Kuat

Kuat

differentiation

High Tension

Lemah

Kuat

Kuat

Kuat

Atomism

Lemah

Lemah

Kuat

Lemah

High Trust

Lemah

Lemah

Lemah

Kuat

Judgement

Lemah

Lemah

Kuat

Kuat

Sumber: Mark Casson (1993)

Dari kelima faktor tersebut, ada dua faktor yang dianggap paling penting sebagai prasyarat untuk pembangunan ekonomi, yaitu sistem moral yang jelas dan harmonis dengan pandangan scientific (scientific differentiation) dan high tension culture di mana tekanan disalurkan agar dapat menjadi dorongan untuk mencapai norma sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Di negara yang perekonomiannya kurang maju (Less Developed Country), kelima faktor tersebut berada dalam kondisi lemah (weak). Hal ini menimbulkan tingginya biaya transaksi yang harus ditanggung oleh masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi rendah.

Organisasi politik yang dibentuk biasanya hanya berdasarkan nepotisme, yaitu tingkat kepercayaannya hanya terbatas pada kelompok keluarga dan atau kelompoknya, tetapi menaruh curiga terhadap anggota kelompok lainnya. Hal ini menyebabkan pemimpin yang diharapkan mampu menjadi panutan

dalam mendorong perbaikan norma sosial dan ekonomi ke arah yang lebih baik dan cenderung lebih memperhatikan kepentingan kelompok nya saja. Selain itu, karena isu moral dan scientific tidak secara jelas dibedakan, maka akan menyebabkan kualitas judgement yang digunakan untuk mengambil keputusan pun menjadi lemah.

Tidak seperti di negara yang kurang maju, negara Eropa Timur memiliki dua faktor kunci yang dianggap paling penting, yang tentu saja dengan kualifikasi tertentu, yaitu lingkungan budaya yang dimiliki pada abad ke-19 mirip dengan lingkungan budaya di Eropa Barat. Akan tetapi, memang pemisahan antara science dan moral tidak sejelas di Eropa Barat. Hal itu terjadi karena dampak dari Protestanism tidak terlalu signifikan dan adanya pengaruh dari eastern religious juga tampak di beberapa negara Eropa Timur.

Sebenarnya, negara Eropa Timur ini memiliki prasyarat untuk pembangunan

ekonomi yang lebih baik. Akan tetapi, high tension personal aggresion mereka diarahkan untuk melakukan external defense terhadap negara kapitalis barat dan untuk pencapaian kolektif dalam penelitian scientific dan dalam industrialisasi. Mungkin masih menjadi pertanyaan apakah perkembangan budaya dalam perekonomian Eropa Timur masih mengalami hal seperti ini. Tulisan yang menjadi rujukan dalam penulisan paper ini ditulis pada tahun 1993, tetapi saya belum menemukan tulisan yang membahas perkembangan budaya di negara Eropa Timur. Akan tetapi, mungkin ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari tulisan tersebut yaitu bahwa low trust dan poor judgement menjadi dasar yang lemah untuk membangun sistem ekonomi pasar, untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Perekonomian Amerika Serikat dan Jepang, yang dianggap sebagai negara maju, memiliki kekuatan hampir di semua faktor tersebut. Memang selama ini, Amerika Serikat bukanlah suatu masyarakat yang memiliki high trust yang tinggi, tetapi pada awalnya nilai-nilai Protestanism seperti komitmen untuk bekerja memberikan dasar yang relatif baik untuk melakukan koordinasi di antara para elit politik dan bisnis (Casson, 1993). Seiring dengan perkembangan waktu, pengaruh nilai-nilai Protestanism tersebut relatif mengalami penurunan. Akan tetapi, digantikan oleh sistem hukum yang baik sebagai mekanisme koordinasi utama.

Selama tahun 1970 sampai dengan 1980 Jepang dapat menjadi model yang lebih baik dibandingkan dengan Amerika Serikat untuk memperlihatkan high trust society. Akan tetapi Jepang tidak memiliki tradisi individualism, yang membuatnya kurang menarik, bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, dalam menyediakan model untuk perekonomian yang baru diliberalisasi (newly liberalized economies) seperti yang dialami oleh negara-negara Eropa Timur. Dengan demikian, yang mungkin paling di butuhkan oleh negara-negara Eropa Timur adalah elemen-elemen terbaik, baik dari

Amerika Serikat maupun Jepang untuk membangun model yang cocok di negara tersebut.

Dampak Cultural Traits terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dalam buku Culture’s Consequences (selanjutnya disebut sebagai CC) Hofstede memperlihatkan indikator budaya yang dihasilkan dari survei terhadap 72.215 karyawan IBM empat puluh negara antara tahun 1967 dan 1973. Data yang lebih besar dihasilkan dengan tambahan sepuluh negara dan tiga region. Terdapat empat indikator budaya yang penting, yaitu individualism, masculinity, power distance, dan uncertainty avoidance. Dua faktor pertama, yaitu individualism dan masculinity dihasilkan dari analisis faktor, sedangkan dua lainnya diturunkan dari konsep teoritis. Keempat indikator tersebut dihasilkan berdasarkan respons terhadap pertanyaan yang dibentuk oleh peneliti sosial barat (western social scientist).

Individualism (IDV) adalah kecenderungan individu-individu untuk memperhatikan diri mereka sendiri atau keluarga dekat mereka. Sebaliknya kebalikan dari indikator ini adalah integrasi dari orang ke dalam kelompok yang solid. Masculinity (MAS) merupakan orientasi persaingan seperti perbedaan peran gender, sedangkan kebalikannya adalah perilaku saling mem perhatikan satu sama lain. Power distance index (PDI) dapat dilihat sebagai pandangan dari masyarakat tentang ketidakadilan dan kebalikannya adalah ekspektasi dari keadilan relatif dalam organisasi dan institusi. Hal yang terakhir adalah Uncertainty Avoidance Index (UAI) yang merupakan perasaan tidak nyaman dalam kondisi yang tidak biasa, sedangkan kebalikannya memperlihatkan toleransi dari kondisi yang baru.

Selain keempat indikator tersebut, juga dikembangkan Rokeach’s Value Survey (RVS) yang juga memiliki sudut pandang dari dunia barat. Survei ini dilakukan pada tahun 1979 terhadap 1.000

siswa di sembilan negara, yang menghasilkan lima faktor budaya. Akan tetapi, karena keterkaitannya yang sangat erat dengan ke empat indikator di atas, maka dalam pembahasannya hanya digunakan keempat indikator tersebut untuk merepresentasikan pandangan barat terhadap faktor budaya.

Studi ketiga yang dilakukan, tidak berdasarkan pandangan barat, tetapi ber dasarkan empat puluh nilai fundamental dan dasar dari masyarakat Cina, yang disusun oleh Michael Bond dengan bantuan dari tujuh peneliti sosial Cina. Penelitian dilakukan antara tahun 1983 dan 1985 terhadap 100 siswa di 22 negara (baik di negara Barat maupun Timur). Dari survei tersebut (yang dikenal sebagai Chinese Values Survey /CVS) dihasilkan empat faktor budaya yaitu Confucian Work Dynamism, integration, human heartedness dan disiplin moral.

Confusian dynamism (CONDYN) adalah penerimaan terhadap legitimasi hierarki dan penilaian terhadap perseverance dan hidup hemat. Sebalik nya, integration (INTEG) merupakan indeks dari derajat toleransi, harmoni dan persahabatan dalam masyarakat. Human heartedness (HUMHT) merupakan keterbukaan hati dan kebaikan, sedangkan disiplin moral (MORDIS) merupakan keterikatan pada aturan yang kaku.

Dari perbandingan cross sectional terhadap dua puluh negara dan regions, yang berkaitan dengan penelitian CC, terlihat adanya korelasi yang signifikan dalam tiga dari empat indikator CVS dengan tiga dari empat indikator CC. Indikator yang saling independen dengan faktor-faktor lainnya adalah Confusian Dynamism (pada CVS indikator) dan Uncertainty Avoidance (pada CC indikator). Confusian Dynamism diperkira kan berkorelasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara.

METODE PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi delapan belas

ISSN 1410-4628 negara yang disurvei baik oleh CC maupun CVS. Kedelapan belas negara tersebut terdiri atas sembilan negara kaya dan sembilan negara ‘miskin’ berdasarkan kriteria yang diberikan oleh Hofstede. Adapun kriteria negara kaya adalah memiliki pendapatan nasional per kapita di atas US$1300, sedangkan negara miskin adalah yang memiliki pendapatan di bawah US$1300. Adapun negara kaya tersebut adalah Australia, Kanada, Jerman Barat (karena masih berpisah dengan Jerman Timur), Jepang, Belanda, Selandia Baru, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat dengan rentang antara US$1693 (Selandia Baru) dan US$3710 (Amerika Serikat) dengan tahun dasar 1965. Adapun negara yang dikategorikan miskin adalah India, Pakistan, Filipina, Thailand, Brasil, Hongkong (karena belum bergabung dengan Cina), Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Akan tetapi, saya pikir kriteria ini tidak menjadi masalah karena tidak dianalisis dan ada pergeseran kategori dari tahun 1965 ke tahun 1987, yang semula masuk sebagai negara miskin pada tahun 1965, menjadi negara kaya pada tahun 1987 seperti Singapura.

Untuk negara-negara tersebut, digunakan data dari karyawan IBM dari tahun 1967 sampai dengan 1973 untuk pengukuran CC, data dari mahasiswa selama tahun 1983 -1985 untuk pengukuran CVS, dan data ekonomi dari Bank Dunia pada tahun 1965 -1980 dan 1980 -1987.

Untuk studi CVS, ditambahkan dua negara Afrika yang masuk dalam kategori negara miskin, yaitu Nigeria dan Zimbabwe. Sebaliknya untuk studi CC dimasukkan tambahan dua region yaitu Afrika Barat dan Afrika Timur untuk merepresentasikan tambahan dua negara Afrika yang masuk dalam studi CVS sehingga hasil dari studi-studi tersebut dapat dibandingkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Variabel Budaya dan Tingkat Pendapatan per Kapita

Metode yang digunakan untuk mengukur korelasi antara variabel-variabel budaya (baik budaya barat maupun budaya timur) adalah Spearman Rank Order Coefficient dan Pearson

Product Moment Correlation. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi ukuran sampel yang kecil yang kemungkinan akan menghasilkan outliar. Hasil penghitungannya disajikan dalam tabel 3.

Tabel 3.

Koefisien Korelasi Spearman dan Pearson (sampel 18 negara)

BDl IDV MAS LAl CONDYN INTEG UUMIIT MORDIS

IDV

-0.75”

-0.61”

MAS

0.13

0.05

-0.13

0.37

UAl

-0.02

-0.23

0.23

0.03

- 0.31

-0.02

CONDYN

0.35

-0.46

0.05

0.24

0.35

-0.40

-0.29

0.22

INTEG

0.56*

0.63”

0.09

0.06

-0.16

-0.67’*

0.64**

0.37

0.17

-0.18

IIUMIIT

0.11

-0.01

0.70”

-0.04

0.04

0.03

-0.01

0.27

0.67**

-0.20

-0.14

0.26

MORDIS

0.63* *

-0.64”

0.21

0.37

0.11

-0.31

-0.02

0.54*

-0.67’*

0.13

0.47

0.18

-0.32

-0.13

GNP/CAP. 1965

-0.78"*

0.85”

-0.01

-0.19

-0.36

0.65”

0.05

-0.59”

-0.72**

0.77*“

0.20

-0.23

-0.20

0.69”

0.28

-0.63”

CιNP∕CAP, 1980

-0.71”

0.76”

0 06

-0.17

-0.22

0.68”

0.10

-0.56’

-0.70* *

0.71”

0.23

-0.16

-0.18

0.68”

0.36

-0.59”

Mean

52.72

51.39

51.17

52.94

46.28

0.4(1

0.68

-0.19

S.D.

19.33

29.16

20.08

21.32

26.40

0.54

0.54

0.51

Notes: Pcarson above Spcarman correlation coefficient. GNP per capita for 1965 and 198(1 is expressed in constant 1987 U.S. dollars.

*p < 0.05. **p < 0 01. two-tailed.

Sumber: Franke et al. (1991)

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa keempat variabel budaya barat (pengukuran CC) tidak saling terkait satu sama lain, kecuali antara power distance dan individualism, yang mempunyai korelasi negatif. Hal ini berarti bahwa di dalam masyarakat yang lebih mementing kan diri sendiri atau keluarga dekatnya, maka masyarakat lebih cenderung dapat menerima ketidakadilan. Hal ini sesuai dengan perkiraan Hofstede sebelumnya. Akan tetapi, overlap dari kedua variabel ini dapat membatasi interpretasi dari hubungan tersebut. Hal itu terjadi oleh karena memiliki nilai korelasi yang lebih besar daripada 0,5, yang mengindikasikan bahwa terjadi multikolinieritas rendah karena tidak melebihi nilai 0,8.

Keempat variabel budaya timur (pengukuran CVS) sama sekali tidak menunjukkan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Dari keempat variabel budaya timur tersebut, hanya variabel Confucian dynamismyang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan variabel budaya barat. Sebaliknya ketiga variabel lainnya, masih memiliki keterkaitan dengan variabel budaya barat, seperti variabel integration terkait dengan variabel power distance dan individualism.

Korelasi antara variabel integration dan variabel power distance bernilai negative. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi toleransi, harmoni, dan kesetia kawanan (integration), akan menyebabkan masyarakat lebih cenderung untuk tidak dapat menerima ketidakadilan (power distance). Sebaliknya, korelasi antara 112

variabel integration, dan individualism adalah bernilai positif, sehingga hal itu berarti bahwa semakin tinggi toleransi, harmoni dan kesetiakawanan (integration), akan menyebabkan masyarakat lebih cenderung untuk tidak mementingkan kelompoknya saja.

Terkait dengan hubungan antara variabel ekonomi dan budaya, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di negara yang lebih kaya, cenderung tidak menerima ketidakadilan di dalam organisasi (nilai PDI yang lebih rendah). Selain itu, mereka juga lebih tidak mementingkan kelompoknya saja (nilai IDV yang lebih besar), lebih toleran dan harmonis (nilai INTEG yang lebih besar), serta tidak terlalu terikat pada aturan yang kaku (nilai MORDIS yang lebih rendah).

Pengaruh Variabel Budaya terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Untuk melihat bagaimana pengaruh variabel budaya terhadap tingkat

ISSN 1410-4628 pertumbuhan ekonomi digunakan stepwise multiple regression dengan menggunakan kontrol dengan tingkat signifikansi 5% dan multikolinieritas (toleransi >0,19).

Dari penghitungan yang telah dilakukan, diketahui bahwa variabel confucian dynamism merupakan variabel yang selalu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, baik untuk sampel 18 maupun 20 negara dan dalam periode 1965 -1980 dan 1980 dan 1987. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut merupakan karakteristik budaya yang potensial dan stabil dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Apabila dilihat lebih jauh, sebenarnya hasil ini mendukung teori pertumbuhan ekonomi neoklasik karena salah satu sifat yang terkait dengan variabel confucian dynamism adalah hidup hemat, sehingga dapat memiliki tingkat tabungan dan investasi yang lebih tinggi, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya disajikan tabel berikut.

Tabel 4.

Persamaan Regresi untuk Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Franke et al. (1991)


Penelitian ini kemudian dikembangkan oleh H. Peter Gray, yang memasukkan variabel kebijakan sebagai variabel intervening, karena adanya hubungan antara budaya dan kebijakan, yaitu derajat cultural constraint dan hukum yang ada untuk menghambat pemerintah untuk menetapkan kebijakan tertentu. Dari hasil penelitian, didapatkan simpulan yang mirip dengan penelitian sebelumnya, yaitu bahwa variabel confucian dynamism memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa variabel budaya memiliki peranan yang cukup signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Apabila dikaitkan dengan Indonesia maka diperlukan pemimpin yang sangat kuat untuk dapat memimpin Indonesia, karena tingkat heterogenitas masyarakat Indonesia. Hal ini berdampak pada tingginya biaya transaksi yang ditanggung oleh masyarakat karena adanya perbedaan budaya tersebut. Sebenarnya Indonesia sebagai bangsa sudah memiliki nilai-nilai luhur yang dapat digunakan untuk mendorong perbaikan norma sosial dan ekonomi, seperti yang tercantum di dalam Pancasila. Akan tetapi, karena pengalaman pada masa Orde Baru, yaitu Pancasila hanya sebatas pada tataran teoretis, tetapi tidak pada implementasinya, maka terjadi skeptisisme di kalangan masyarakat akan nilai-nilai luhur tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang sangat kuat, agar implementasi nilai-nilai luhur tersebut dapat dilakukan. Hal itu penting karena dari pembahasan di atas, terlihat pentingnya nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila, seperti toleransi, keadilan, kebersamaan, dan sebagainya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena dapat mengurangi biaya transaksi yang terjadi.

Sebenarnya pendidikan dapat mengatasi permasalahan tersebut karena dengan pendidikan, baik formal maupun

ISSN 1410-4628 nonformal, maka pemikiran seseorang dapat menjadi lebih terbuka dan lebih toleran terhadap perbedaan. Di samping itu dapat mendorong scientific differentiation sehingga kualitas judgement dari seorang pemimpin dapat ditingkat kan. Hal ini dapat mengurangi biaya transaksi yang terjadi di masyarakat.

Apabila budaya itu dipandang sebagai suatu kekuatan yang dimiliki Indonesia, maka sebenarnya mungkin industri pariwisata yang sebaiknya didorong dalam perekonomian Indonesia. Hal itu perlu dilakukan karena dimilikinya berbagai macam budaya unik yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. Sebenarnya Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tinggi di dalam hal ini. Akan tetapi, karena tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang baik, maka industri pariwisata kurang berkembang, khususnya di daerah terpencil.

Hal lain yang juga diperlukan adalah perangkat hukum yang baik agar dapat menjamin keadilan dan hak kepemilikan. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan karena hak kepemilikan tanpa keadilan akan menghambat pertumbuhan ekonomi, karena dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan yang tinggi dalam perekonomian. Sebaliknya, keadilan tanpa hak kepemilikan, juga tidak mungkin karena konsep keadilan itu sendiri bersifat abstrak. Oleh karena itu, dapat di interpretasikan beraneka ragam di samping itu dapat mendorong menjadi perekonomian sosialis.

REFERENSI

Casson, Mark. 1993.    “Cultural

Determinants of Economic Performance.”     Journal of

Comparative Economics. Vol. 17. pp. 418. – 442.

Casson, Mark. 1991. Economics of Business Culture: Game Theory, Transaction Costs, and

Economics    Performance.    Oxford:

Clarendon Press

Casson, Mark. 1993. ‘Enterpreneurship and Business Culture.’ In J. Brown and M.B. Rose, eds. ,Enterpreneurship, Networks and Modern Business,pp.30. – 54. Manchester:          Manchester

University Press.

Franke, Richard H. et al. 1991. “Cultural Roots of Economic Performance: A Research Note.” Strategic Management Journal. Vol. 12. 163. – 173.

Gray, H. Peter. 1996. “Culture and Economic Performance: Policy as an Intervening Variable.” Journal of Comparative Economics. Vol. 23, pp. 278. – 291.

Whitley, R. 1984. The Intellectual and Social Organization of the Sciences. Oxford: Clarendon Press.

BULETIN STUDI EKONOMI, Volume 17, No. 2, Agustus 2012

115