Jurnal Bumi Lestari, Volume 21, Nomor 02, Tahun 2021, Halaman 43-52

Kapasitas Penyerapan Limbah Fosfat oleh Dua Tanaman Air yang Melimpah di Bali (Eichornia crassipes dan Salvinia molesta)

Kintanijaya a, Ima Yudha Perwira a*, Ni Putu Putri Wijayanti a

a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana. Jl. Raya Kampus Unud, Bukit Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, Indonesia.

*Email: ima.yudha@unud.ac.id

Diterima (received) 7 September 2021; disetujui (accepted) 4 November 2021; tersedia secara online (available online) 7 November 2021

Abstract

Phosphate is known to be one of many pollutants in the aquatic environment causing environmental degradation. This study aimed to know the absorption rate of phosphate by two most abundant water plant in Bali (Eichornia crassipes and Salvinia molesta). This study used three treatments: treatment A (using Eichornia crassipes), treatment B (using Salvinia molesta), and treatment C (combination of both plants). Each treatment was performed in triplicate. The phytoremediation process was carried out in 14 days, and the measurement of phosphate in the water was carried out in every 7 days (day 1, day 7, and day 14). The other parameters measured in this study were: temperature, pH and Total Dissolved Solid (TDS). The concentration of phosphate was measured using Hanna HI-713 KIT, while temperature, pH and TDS were measured using thermometer, pH meter, and TDS meter, respectively. Result showed that the most efficient treatment to absorb the phosphate in the water was shown by treatment using Eichornia crassipes (up to 37.4%).

Keywords: phosphate; absorption; Eichornia crassipes; Salvinia molesta; Bali

Abstrak

Limbah fosfat diketahui menjadi salah satu limbah pencemar perairan yang dapat mendegradasi lingkungan perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penyerapan limbah fosfat oleh dua jenis tanaman air yang melimpah di Bali, yaitu: Eichornia crassipes dan Salvinia molesta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan yang berbeda, yaitu: perlakuan A dengan menggunakan Eichornia crassipes, perlakuan B dengan menggunakan Salvinia molesta, dan perlakuan C dengan menggunakan kombinasi dari keduanya. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Proses fitoremediasi dilakukan selama 14 hari, dan pengukuran fosfat pada air dilakukan setiap 7 hari (hari ke-1, hari ke-7 dan hari ke-14). Selain fosfat, parameter lainnya yang diukur adalah: suhu, pH, dan jumlah padatan terlarut (TDS). Konsentrasi fosfat pada air selama penelitian diukur dengan menggunakan KIT Hanna HI-713, sedangkan suhu, pH dan TDS diukur dengan menggunakan thermometer, pH meter, dan TDS meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat efisiensi paling baik dalam menyerap kandungan fosfat (37,4%) ditunjukkan oleh perlakuan dengan menggunakan Eichornia crassipes.

Kata kunci: fosfat; penyerapan; Eichornia crassipes; Salvinia molesta; Bali

  • 1.    Pendahuluan

Penurunan kondisi lingkungan perairan di Indonesia telah menjadi perhatian utama oleh banyak pemerhati lingkungan yang ada di Indonesia. Hal ini diketahui berhubungan secara langsung dengan adanya input bahan pencemar ke dalam lingkungan perairan. Berbagai jenis kegiatan antropogenik diketahui memberikan dampak secara nyata terhadap peningkatan input bahan pencemar ke dalam lingkungan

doi: https://doi.org/10.24843/blje.2021.v21.i01.p05


© 2021 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.

perairan. Beberapa diantara kegiatan antropogenik tersebut antara lain: pemukiman, industri, dan pertanian (Purwantara, 2015; Nasir dan Saputro, 2015; Yunita et al., 2016). Salah satu bahan pencemar perairan yang umum ditemukan di lingkungan perairan adalah senyawa fosfat yang digunakan sebagai bahan penyusun pestisida dan deterjen (Daely dan Manurung, 2020; Zairinayati dan Shatriadi, 2019). Senyawa fosfat ini mengalir melalui saluran pembuangan limbah, kemudian masuk ke perairan sungai dan pada akhirnya mengalir menuju ke perairan pesisir dan laut. Jika hal tersebut dibiarkan berlarut-larut dan secara terus-menerus, maka akan terjadi penurunan daya tampung lingkungan hidup (Djoharam et al., 2018; Rahadi et al., 2019). Salah satu dampak nyata dari tingginya senyawa fosfat di dalam air akan menyebabkan peningkatan populasi alga secara tidak terkendali (Rumanti et al., 2014). Ketika hal tersebut terjadi, maka akan terjadi pergeseran keseimbangan ekosistem yang dapat merubah struktur yang ada di ekosistem tersebut. Kompetisi oksigen terlarut di perairan akan terjadi secara masif antara alga dengan biota perairan lainnya. Selain itu, beberapa jenis alga juga diketahui dapat menghasilkan racun atau toksik yang memberikan dampak negatif bagi biota lainnya di lingkungan perairan (Choirun et al., 2015).

Beberapa cara dan metode telah dikembangkan oleh banyak peneliti untuk mengatasi masalah pencemaran senyawa fosfat di perairan tersebut. Beberapa metode yang telah dikembangkan antara lain pemanfaatan mikroorganisme, kogulasi secara kimiawi, maupun elektrokoagulasi (Zairinayati dan Shatriadi, 2019; Astuti et al., 2016; Rozana et al., 2020). Pemanfaatan mikroorganisme untuk penghilangan senyawa fosfat pada air diketahui membutuhkan proses yang panjang dan rumit. Proses isolasi belum tentu menghasilkan bakteri pendegradasi fosfat yang efektif. Selain itu potensi kontaminasi juga menyebabkan rendahnya efektifitas dari metode ini. Selanjutnya metode koagulasi secara kimiawi juga berpotensi menyebabkan efek samping karena menggunakan bahan kimia yang tidak alami. Sedangkan metode elektrokoagulasi membutuhkan energi listrik yang proses instalasinya juga dirasa cukup rumit. Oleh karena itu dibutuhkan revitalisasi metode bioremediasi yang lebih sederhana, murah, dan alami. Salah satu cara yang perlu digunakan adalah eksplorasi penggunaan tanaman air lokal untuk bioremediasi senyawa fosfat tersebut. Tanaman air memiliki kemampuan khusus dalam menetralisir kadar pencemar di air, dan penggunaan tanaman air dalam proses fitoremediasi ini telah berlangsung sejak lama (Astuti dan Indriatmoko, 2018). Sedangkan studi tentang kapasitas penetralan limbah fosfat oleh tanaman air masih bersifat umum, dan belum spesifik pada asal wilayah dari jenis tanaman tersebut. Kajian tentang kapasitas absorpsi limbah fosfat oleh tanaman air lokal dirasa penting untuk dilakukan.

Pemilihan jenis tanaman air untuk proses fitoremediasi senyawa fosfat menjadi hal yang krusial demi menjaga efisiensi proses tersebut. Penggunaan tanaman air yang kelimpahannya tidak begitu besar tentunya akan menurunkan tingkat efisiensi proses fitoremediasi ini, sebab untuk penggunaan dalam skala besar juga dibutuhkan jumlah tanaman air dengan jumlah yang banyak. Beberapa jenis tanaman air yang sangat mudah ditemukan di wilayah Bali adalah: Eceng gondok (Eichornia crassipes) dan Kiambang (Salvinia molesta) (Dewi et al., 2018; Purnamawati et al., 2019; Pradnyawathi dan Kartini, 2019). Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa kedua tanaman air tersebut mampu menurunkan kandungan fosfat dalam air hingga lebih dari 80% (Astuti dan Indriatmoko, 2018; Nurfita et al. 2017). Lebih lanjut, Riyanto (2011) dalam penelitiannya menjelaskan sifat tanaman air tersebut sebagai hiperakumulator yang tinggi dengan kapasitas pertumbuhan yang cepat. Selain itu, kedua tumbuhan ini juga memiliki perakaran yang banyak sehingga dapat menyerap senyawa organik serta menyaring senyawa anorganik (Firmansyah, 2017). Dengan demikian, tanaman-tanaman air tersebut dapat dimanfaatkan sebagai fitoremediator untuk menurunkan limbah fosfat di wilayah sekitar Bali. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kapasitas fitoremediasi dari tanaman air yang berasal dari wilayah sekitar Bali (khususnya Eichornia crassipes dan Salvinia molesta) untuk menurunkan limbah fosfat.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental, dengan menggunakan 3 perlakuan yang berbeda yaitu: Perlakuan A (Fitoremediasi dengan menggunakan Eichornia crassipes), Perlakuan B (Fitoremediasi dengan menggunakan Salvinia molesta), dan Perlakuan C (Fitoremediasi dengan menggunakan kombinasi

keduanya). Masing-masing perlakuan dalam penelitian ini diulang sebanyak 3 kali. Proses fitoremediasi dilakukan pada sebuah wadah berukuran 5 L yang telah diisi dengan air yang mengandung Fosfat sebesar 50 ppm. Proses fitoremediasi dilakukan selama 14 hari, dan proses pengukuran dilakukan pada hari ke-0,

  • 2.2.    Persiapan Penelitian

Proses persiapan penelitian diawali dengan persiapan air media yang akan digunakan dalam penelitian ini. Uji kapasitas penurunan fosfat ini dilakukan pada air media yang mengandung fosfat sebesar 50 ppm. Air media ini dibuat dari campuran antara akuades dengan KH2PO4. Eichornia crassipes (250 g) dan Salvinia molesta (250 g) masing-masing ditimbang seberat 250 g untuk ditempatkan pada wadah yang berbeda. Sedangkan untuk perlakuan kombinasi, digunakan campuran antara Eichornia crassipes (175 g) dan Salvinia molesta (175 g) sebagai perlakuan kombinasi.

Proses berikutnya adalah persiapan bahan yang akan digunakan dalam proses pengukuran Fosfat. Bahan yang digunakan untuk mengukur Fosfat adalah reagen Hanna HI 713. Adapun larutan standar pada penelitian ini dibuat dari larutan induk Fosfat 1000 ppm. Konsentrasi larutan standar yang digunakan adalah: 0,0; 0,1; 0,2; 0,5; 1,0 ppm. Berdasarkan larutan standar tersebut, maka didapatkan kurva standar dengan persamaan y = ax + b (R2=0,99).

  • 2.3.    Proses Fitoremediasi

Proses pemeliharaan tanaman dalam media dilakukan selama 14 hari (2 minggu) dari tanggal 17 hingga 29 Maret 2021. Pengukuran kandungan fosfat dalam media dilakukan selama 3 kali, yaitu: pada awal (sebelum penelitian), pada hari ke-7, dan pada hari ke-14. Berdasarkan data nilai absorbansi yang diperoleh selama masa penelitian 14 hari, maka dapat dilakukan analisa tingkat efisiensi tumbuhan air dalam menyerap limbah fosfat.

  • 2.4.    Pengukuran Fosfat pada Air

Proses pengukuran Fosfat pada air dilakukan dengan menggunakan reagen Hanna HI 713. Sampel air diencerkan terlebih dulu dengan pengenceran sebesar 20 kali untuk meningkatkan validitas data, dikarenakan batas deteksi Fosfat oleh Hanna HI 713 adalah sebesar 2,5 mg/L. Sampel air (1 mL) dicampurkan dengan 0,018 g reagen Hanna HI 713. Setelah itu dilakukan homogenisasi, dan ditunggu selama 3 menit hingga terjadi perubahan warna pada larutan. Nilai absorbansi larutan dibaca dengan menggunakan Spektrofotometer pada Panjang gelombang 525 nm. Nilai kandungan Fosfat pada air didapatkan melalui proses pensejajaran antara nilai absorbansi sampel dan nilai absorbansi larutan standar.

  • 2.5.    Pengukuran Kualitas Air

Proses pengukuran kualitas air dilakukan pada beberapa parameter, seperti: suhu, pH dan jumlah partikel terlarut (TDS). Suhu pada air diukur dengan menggunakan thermometer, pH air diukur dengan menggunakan pH meter, sedangkan TDS air diukur dengan menggunakan TDS meter.

  • 2.6.    Analisa Data

Seluruh data pada penelitian ini ditampilkan dalam bentuk rata-rata ± standar deviasi. Tingkat efisiensi fitoremediasi fosfat (%) oleh masing-masing perlakuan diukur dengan menggunakan formula seperti di bawah ini:

1       1∙  ∙ ~ n         (Konsentrasi awal-Konsentrasi akhir) iλλ,1,

(1)


Efisensi fitoremediasi fosfat (%) =                                × 100%

Konsentrasi awal

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Penurunan Kandungan Fosfat pada Air

Hasil pengukuran fosfat pada air selama pemeliharaan tanaman air menunjukkan bahwa perlakuan A yang menggunakan Eichornia crassipes dapat menurunkan kandungan fosfat dari 0,58 mg/L menjadi 0,34 mg/L dalam kurun waktu 14 hari (Tabel 1). Kemudian pada perlakuan B, Salvinia molesta mampu menurunkan kandungan fosfat air dari 0,48 mg/L menjadi 0,31 mg/L. Pada perlakuan C mampu menurunkan kandungan fosfat dari 0,54 mg/L menjadi 0,35 mg/L.

Tabel 1. Kandungan Fosfat pada Air Selama 14 Hari Proses Fitoremediasi

Perlakuan

Ulangan

Hari ke-

0

7

14

1

0.64

0.48

0.35

Eichornia crassipes (A)

2

0.50

0.42

0.32

3

0.61

0.46

0.35

Rata-rata + SD

0.58

0.45

0.34

1

0.46

0.42

0.30

Salvinia molesta (B)

2

0.42

0.42

0.29

3

0.56

0.45

0.34

Rata-rata + SD

0.48

0.43

0.31

1

0.58

0.43

0.39

Kombinasi (C)

2

0.53

0.43

0.33

3

0.52

0.43

0.34

Rata-rata + SD

0.54

0.43

0.35

Grafik penurunan kandungan fosfat pada air yang disajikan pada Gambar 1 menghasilkan data perlakuan A pada setiap kali pengukuran dapat menurunkan kandungan fosfat dari 58 mg/L pada hari ke-0, 45 mg/L pada hari ke-7 dan menjadi 34 mg/L pada hari ke-14. Perlakuan B menurunkan kandungan fosfat dari 48 mg/L pada hari ke-0, 43 mg/L pada hari ke-7 dan menjadi 31 mg/L pada hari ke 14. Sedangkan perlakuan C menurunkan kandungan fosfat dari 54 mg/L pada hari ke-0, 43 mg/L pada hari ke-7 dan menjadi 35 mg/L pada hari ke-14. Penelitian ini membuktikan jika Eichornia crassipes, Salvinia molesta dan kombinasi keduanya dapat menurunkan kadar limbah fosfat dalam air secara efektif. Hasil penurunan fosfat yang dihasilkan pada setiap perlakuan tidak berbeda jauh antara setiap perlakuannya.

Gambar 1. Penurunan kandungan fosfat pada air

  • 3.2.    Persentase Penurunan Fosfat pada Air

Berdasarkan penelitian, dapat diketahui efisiensi penurunan kandungan fosfat dari 9 perlakuan yang diukur selama 14 hari menghasilkan data bahwa perlakuan A merupakan perlakuan yang paling efektif dalam menurunkan kadar limbah fosfat di air, yakni bernilai sebesar 37,4% (Gambar 2). Sementara itu perlakuan C merupakan perlakuan yang diketahui paling rendah nilai persentasenya dalam menurunkan kadar limbah di air, yakni memiliki nilai sebesar 34,1%.

Berdasarkan data yang telah disajikan, Eichornia crassipes memiliki nilai yang paling tinggi dalam mengurangi tingkat cemaran limbah fosfat dikarenakan organ tumbuhan yang berperan penting dalam penyerapan fosfat, yakni akar, terdapat mikroba dalam jumlah banyak yang berperan aktif dalam menyerap senyawa fosfat di air. Mikroba rhizosfera merupakan salah satu mikroba yang berasosiasi dengan Eichornia crassipes dalam menyerap senyawa fosfat dengan cara mengakumulasikan senyawa fosfat pada akar Eichornia crassipes yang lebat dan panjang. Mikroba rhizosfera juga memiliki kemampuan untuk mengubah fosfat organik menjadi fosfat anorganik, dimana proses pengubahan tersebut dibantu oleh enzim fosfatase (Amarullah dan Triastianti, 2019). Efisiensi penurunan konsentrasi fosfat ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014), dimana Eichornia crassipes lebih efektif dalam menurunkan kadar fosfat di air karena menghasilkan tingkat efisiensi sebesar 28,01%. Penelitian yang dilakukan oleh Yuliana (2013) juga semakin menguatkan penelitian yang telah dilakukan karena dapat membuktikan Eichornia crassipes memiliki tingkat efisiensi paling baik dalam menyerap limbah fosfat yakni memiliki nilai sebesar 60%.

Salvinia molesta juga memiliki kemampuan untuk menyerap limbah fosfat dengan cukup efektif karena menghasilkan nilai efisiensi dengan persentase sebesar 37,1%. Nilai ini tidak berbeda jauh dari perlakuan A, karena Salvinia molesta juga memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap dan mengakumulasi senyawa fosfat melalui akar dan daunnya. Nilai persentase ini juga didukung oleh jumlah Salvinia molesta yang banyak. Semakin banyak jumlah tanaman yang digunakan, maka semakin efektif penyerapan fosfat yang dilakukan. Hasil ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Wuran et al. (2018), dimana salah satu perlakuannya menggunakan Salvinia molesta dengan berat sama dengan yang digunakan yaitu 250 g. Penelitian tersebut membuktikan jumlah Salvinia molesta yang banyak dapat mereduksi limbah fosfat paling efektif dibandingkan dengan perlakuan lain yang menggunakan jumlah tanaman 150 g dan 200 g.

Meskipun Salvinia molesta dinilai efektif dalam menurunkan kadar limbah fosfat, namun jika dibandingkan dengan Eichornia crassipes, Salvinia molesta tergolong lebih rendah nilai persentasenya. Hal ini dikarenakan struktur tumbuhan Eichornia crassipes yang memiliki akar, batang dan daun sehingga proses penyerapan limbah fosfat semakin efektif. Sesuai dengan pernyataan dari Purwasari et al. (2012)

yang menyebutkan bahwa Eichornia crassipes memiliki struktur anatomi tumbuhan yang lengkap dibandingkan dengan Salvinia molesta. Eichornia crassipes memiliki batang yang berongga dan akar yang lebat yang berfungsi untuk melakukan proses evapotranspirasi sehingga dapat menyerap unsur hara dan bahan organik yang terdapat dalam air limbah secara lebih efektif. Evapotranspirasi pada tanaman Eichornia crassipes merupakan proses penguapan dan penyerapan bahan organik yang terdapat dalam air limbah yang diproses pada sistem perakaran dan daun Eichornia crassipes, sehingga bahan-bahan organik dapat diserap dengan cepat melalui akar, batang dan daun Eichornia crassipes

Eichornia crassipes dan Salvinia molesta merupakan tanaman-tanaman yang efektif dalam mengurangi cemaran limbah fosfat meskipun kedua tanaman tersebut memiliki struktur anatomi tumbuhan yang berbeda, sehingga menghasilkan cara yang unik dalam menyerap kadar limbah fosfat di air. Namun jika kedua tanaman tersebut disatukan meskipun memiliki berat yang sama dengan perlakuan yang lain, data efisiensi penurunan fosfat pada perlakuan C tidak seefektif perlakuan A dan perlakuan B. Hal ini diduga karena limbah fosfat tidak diserap secara merata oleh kedua kombinasi tanaman tersebut. Eichornia crassipes yang memiliki berat 175 g lebih cepat menyerap limbah fosfat dan selanjutnya limbah fosfat diserap secara perlahan oleh Salvinia molesta karena hidup di permukaan air. Wuran et al. (2018) menyatakan bahwa tumbuhan dapat menyerap unsur hara dan bahan organik yang terdapat di air sedalam atau sejauh akar tanaman dapat tumbuh. Hal ini membuktikan bahwa proses penyerapan limbah fosfat yang dilakukan oleh tanaman di perlakuan C lebih dominan diserap oleh Eichornia crassipes karena memiliki fisik tumbuhan yang lebih besar dan memiliki akar yang mencapai dasar wadah dibandingkan dengan Salvinia molesta yang hanya mengambang di permukaan air yang memiliki akar tumbuhan yang lebih kecil dan pendek.

Gambar 2. Persentase Penurunan Fosfat pada Air

  • 3.3.    Suhu, pH, dan TDS Selama Proses Fitoremediasi

Berdasarkan nilai suhu terhadap ketiga perlakuan yang disajikan dalam Tabel 2, suhu yang diukur selama 3 kali pengukuran berfluktuatif antara 28°C sampai 29,4°C. Suhu yang diukur selama pengukuran sampel tergolong normal dan kondisi cuaca selama pengukuran sampel cukup terik. Hasil pengukuran suhu yang relatif tinggi disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang langsung masuk ke media perlakuan tanpa terhalang apapun sehingga suhu air relatif tinggi. Semakin tinggi paparan sinar matahari yang masuk ke dalam media perlakuan, maka semakin tinggi suhu yang dihasilkan (Marlina et al., 2017). Suhu yang diukur pada ketiga perlakuan tersebut masih dalam batas normal suhu perairan di Indonesia yang berkisar antara 20-30°C (Patty, 2013). Sementara itu jika suhu suatu perairan tidak optimal yang berada pada suhu <10°C dan >40°C dapat menghentikan laju pertumbuhan tanaman air (Dahruji et al., 2017).

Data parameter pH yang menghasilkan nilai antara 6,7 sampai 6,9, menunjukkan jika pada awal sampai akhir pengukuran sampel terdapat kenaikan pH. Naiknya nilai pH pada tiap pengukuran sampel

menunjukkan jika terdapat proses fotosintesis oleh fitoplankton yang terjadi pada siang hari selama pengukuran sampel. Proses fotosintesis membutuhkan karbondioksida, jika karbondioksida menurun maka nilai pH akan naik. Namun, jika karbondioksida meningkat yang disebabkan oleh aktivitas respirasi oleh tanaman dan mikroorganisme dalam air, maka nilai pH akan menurun (Izzati, 2012). Kenaikan pH juga disebabkan oleh bagian tanaman yang layu dan mati diuraikan oleh mikroorganisme sehingga proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tersebut mempengaruhi pH. pH yang berkisar antara 6-8 sangat optimal untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga proses dekomposisi bahan organik semakin baik (Putra et al., 2017). Nilai pH yang dihasilkan selama masa penelitian termasuk dalam kategori aman untuk keberlangsungan kehidupan biota perairan. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 menyebutkan jika pH yang baik untuk perairan berkisar antara 6-9, sehingga pH dari ketiga perlakuan tersebut diketahui baik dan aman untuk perairan.

Pengukuran parameter TDS pada penelitian ini dapat diketahui jika perlakuan A merupakan perlakuan yang terlihat paling signifikan dalam menurunkan kadar TDS dalam air karena berhasil menurunkan 978 mg/L menjadi 122 mg/L dibandingkan dengan perlakuan B yang menurunkan 986 mg/L menjadi 244 mg/L dan perlakuan C yang menurunkan 961 mg/L menjadi 345 mg/L. Eichornia crassipes menyerap fosfat yang larut dalam air melalui akarnya yang lebat dan panjang. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Febrianda et al. (2018), Eichornia crassipes memiliki akar yang lebat dimana mikroorganisme berkembang dengan baik sehingga perombakan senyawa kimia oleh mikroorganisme pun semakin tinggi sehingga nilai TDS menurun. Adanya mikroorganisme yang bekerja dalam air dan akar tanaman dapat menguraikan bahan organik berupa senyawa kimia fosfat dalam air, sehingga nilai TDS menurun (Kustiyaningsih dan Irawanto, 2020). Lama waktu kontak juga berpengaruh terhadap penurunan TDS yang diserap oleh tanaman pada masing-masing perlakuan (Safitri et al., 2019). Penelitian yang dilakukan selama 14 hari membuktikan bahwa penurunan TDS terjadi secara signifikan yang dibuktikan oleh data penurunan konsentrasi TDS dari awal pengukuran sampai hari ke-14. Dari hasil penelitian ini, ketiga perlakuan mampu menyerap zat organik, unsur hara, dan bahan kimia yang terdapat dalam air dengan baik, sehingga nilai TDS mengalami penurunan dari awal sampai akhir pengukuran. Namun, perlakuan A merupakan perlakuan yang paling terlihat hasil nyata dalam menurunkan TDS, sehingga perlakuan A merupakan perlakuan yang paling baik dalam menurunkan TDS.

Tabel 2. Kondisi Kualitas Air selama Proses Fitoremediasi 14 Hari

Perlakuan

Parameter Kualitas Air

Hari ke-0

Hari ke-7

Hari ke-14

Suhu (oC)

28.2

28.1

29.1

Eichornia crassipes (A)

pH

6.7

6.8

6.9

TDS (mg/L)

978

457

122

Suhu (oC)

29.4

28.9

28.0

Salvinia molesta (B)

pH

6.7

6.9

6.9

TDS (mg/L)

986

907

244

Suhu (oC)

29

29

29

Kombinasi (C)

pH

6.7

6.9

6.9

TDS (mg/L)

961

769

345

  • 4.    Simpulan

Efisiensi Eichornia crassipes, Salvinia molesta dan kombinasi keduanya berada pada rata-rata persentase 37,4%; 37,1%; dan 34,1%. Perbandingan parameter kualitas air pada ketiga perlakuan menghasilkan data parameter suhu yang berfluktuatif dengan suhu tertinggi 29,4°C dan terendah 28°C. pH pada setiap perlakuan mengalami kenaikan yang terlihat jelas pada masing-masing perlakuan, dengan nilai

pH yang berada antara 6,7 sampai 6,9. Pada parameter TDS menghasilkan data jika perlakuan Eichornia crassipes lebih baik dalam menurunkan kadar TDS dalam air karena berhasil menurunkan TDS sebesar 978 mg/L menjadi 122 mg/L.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak tim editor Jurnal Bumi Lestari Universitas Udayana karena telah berjasa dalam proses perbaikan dan publikasi jurnal penulis, juga kepada pihak Laboratorium Perikanan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian.

Daftar Pustaka

Amarullah, Z. N. & Triastianti, R. T. (2019). Pemanfaatan “floating plant” dalam horizontal sand filter terhadap Penurunan Kadar PO43- pada Limbah Cair laundry. Jurnal Rekayasa Lingkungan, 19(2), 9098.

Astuti, L. P. & Indriatmoko. (2018). Kemampuan Beberapa Tumbuhan Air dalam Menurunkan Pencemaran Bahan Organik dan Fosfat untuk Memperbaiki Kualitas Air. Jurnal Teknologi Lingkungan, 19(2), 183-190.

Astuti, W. T. D., Joko, T., & Dewanti, N. A. Y. (2016). Efektivitas larutan kapur dalam menurunkan kadar fosfat pada limbah cair RSUD Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4(3), 941-948.

Choirun, A., Sari, S. H. J. S., & Iranawati, F. (2015). Identifikasi Fitoplankton Spesies Harmfull Algae Bloom (HAB) saat Kondisi Pasang di Perairan Pesisir Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan), 25(2), 58-66.

Daely, A. T. I. & Manurung, R. (2020). Pemanfaatan Hidrofobik deep eutectic solvents dalam Penyisihan Dimetoat, Klorpirifos, dan Profenofos pada Buah Tomat dan Sayur Brokoli. Jurnal Teknik Kimia USU, 9(1), 7-10.

Dahruji, Pipit, F. W., & Totok, H. (2017). Studi Pengolahan Limbah Usaha Mandiri Rumah Tangga dan Dampak bagi Kesehatan di Wilayah Kenjeran. Aksiologiya: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 36-44.

Dewi, N. P. B. Y., Arthana, I. W., & Wijayanti, N. P. P. (2018). Keanekaragaman dan Kelimpahan Tumbuhan Air di Subak Pulagan, Tampaksiring, Gianyar, Bali. Current Trends in Aquatic Science, 1(1), 40-46.

Djoharam, V., Riani, E., & Yani, M. (2018). Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 8(1), 127-133.

Febrianda, E., Harahap, S., & Purwanto, E. (2018). Efektivitas Penggunaan Biofilter dengan Proses Anaerob, Aerob, Eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk Menurunkan Kadar TSS, TDS pada Limbah Cair Laundry. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Perikanan dan Ilmu Kelautan, 5(1), 1-10.

Firmansyah, E. (2017). Pertumbuhan dan Morfologi Akar Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) pada Salinitas Genangan Berbeda Groista. Jurnal Agroteknologi, 1(2), 181-191.

Izzati, M. (2012). Perubahan Konsentrasi Oksigen Terlarut dan pH Perairan Tambak setelah Penambahan Rumput Laut Sargassum plagyophullum dan Ekstraknya. Buletin Anatomi dan Fisiologi, 16(2), 6069.

Kustiyaningsih, E. & Irawanto, R. (2020). Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS) dalam Fitoremediasi Deterjen dengan Tumbuhan Sagittaria lancifolia. Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan, 7(1), 143148.

Marlina, N., Hudori., & Hafidh, R. (2017). Pengaruh Kekasaran Saluran dan Suhu Air Sungai pada Parameter Kualitas Air COD, TSS di Sungai Winongo menggunakan Software QUAL2Kw. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, 9(2), 122-133.

Nasir, M. & Saputro, E. P. (2015). Manajemen Pengelolaan Limbah Industri. BENEFIT Jurnal Managemen dan Bisnis, 19(2), 143-149.

Nurfita, A. E., Kurniati, E., & Haji, A. T. S. (2017). Efisiensi Removal Fosfat (PO43-) pada Pengolahan Limbah Cair Laundry dengan Fitoremediasi Kiambang (Salvinia natans). Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 4(3), 18-26.

Patty, S. I. (2013). Distribusi Suhu, Salinitas dan Oksigen Terlarut di Perairan Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, 1(3), 148-157.

Pradnyawathi, N. L. M. & Kartini, N. L. (2019). Pengolahan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) untuk Peningkatan Pendapatan Masyarakat dan Pelestarian Danau Batur di Desa Buahan Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli Propinsi Bali. Buletin Udayana Mengabdi, 18(1), 48-52.

Purnamawati, N. W. I., Arthana, I. W., & Saraswati, S. A. (2019). Kandungan Nitrat, Fosfat dan Pertumbuhan Biomassa Basah Kiambang (Salvinia molesta) di Perairan Danau Buyan, Buleleng, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 5(1), 55-63.

Purwantara, S. (2015). Dampak Pengembangan Permukiman Terhadap Air Tanah di Wilayah Yogyakarta dan Sekitarnya. Jurnal Geoedukasi, 4(1), 31-40.

Purwasari, R., Fauzie, M. M., & Haryono, H. (2012). Pengaruh Fitoremediasi Eichornia crassipes terhadap Kadar Fosfat dan Ammonia di Instalasi Pengolahan Limbah Cair RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3(4), 15-166.

Putra, A. F. A., Diara, I. W., & Wiyanti. (2017). Fitoremediasi Air Irigasi menggunakan Tanaman Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dan Teratai (Nymphae sp.) di Subak Sembung Kelurahan Peguyangan Denpasar Utara. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, 6(2), 206-217.

Rahadi, B., Suharto, B., & Monica, F. Y. (2019). Identifikasi daya tampung beban Pencemar dan Kualitas Air Sungai Lesti sebelum Pembangunan Hotel. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 6(3), 110.

Republik Indonesia. (2001). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153. Jakarta, Indonesia: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Riyanto, A. (2011). Aplikasi Metodelogi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rozana, K., Prabasiwi, D. S., & Ariany, D. P. (2020). Penurunan Konsentrasi Anion Fosfat dan Sulfat dalam Air Limbah Hasil Proses Pengolahan Senotim dengan Metode Elektrokoagulasi. Jurnal Eksergi, 17(2), 51-55.

Rumanti, M., Rudiyanti, S., & Nitisupardjo, M. 2014. Hubungan antara Kandungan Nitrat dan Fosfat dengan Kelimpahan Fitoplankton di Sungai Bremi Kabupaten Pekalongan. Diponegoro Journal of Maquares, 3(1), 168-176.

Safitri, M., Mukarlina, & Setyawati, T. R. (2019). Pemanfaatan Lemna minor L. dan Hydrilla verticillata (L.f) Royle untuk Memperbaiki Kualitas Air Limbah Laundry. Protobiont, 8(1), 39-46.

Sari, E. (2014). Inventarisasi Tanaman Potensial Penyerap Limbah Cair Industri Rumah Tangga di Kecamatan Rumbai Pekanbaru. Jurnal Pendidikan Biologi, 1(2), 14-23.

Wuran, V., Febriani, H., & Subagiyono. (2018). Fitoremediasi Tanaman Kiambang (Salvinia molesta) terhadap Penurunan Kadar Phospat pada Air Limbah Usaha Binatu. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(2), 42-47.

Yuliana, M. (2013). Efektivitas dan Efisiensi Fitoremediasi Orthofosfat Pada Detergen dengan Menggunakan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes). Skripsi. Kepulauan Riau, Indonesia: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Raja Maritim Raja Ali Haji.

Yunita, L., Marsudi, E., & Kasimin, S. (2016). Pola Pemanfaatan Limbah Pertanian untuk Usahatani di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah, 1(1), 369-375.

Zairinayati & Shatriadi, H. (2019). Biodegradasi Fosfat pada Limbah Laundry menggunakan Bakteri Consorsium Pelarut Fosfat. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 18(1), 57-61.

52