PEMIKIRAN FILOSOFIS YANG MENDASARI PEMELIHARAAN LINGKUNGAN HIDUP: STUDI KASUS BANJIR DI KAWASAN CENGKARENG JAKARTA BARAT DAN BANJIR DI KAWASAN KELAPA GADING JAKARTA UTARA
on
Pemikiran Filosofis Yang Mendasari Pemeliharaan Lingkungan Hidup :
Studi Kasus Banjir di Kawasan Cengkareng Jakarta Barat dan Banjir di Kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara
Laksmi Gondokusumo Siregar
DepartemenArsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Email: laksmisiregar@yahoo.com
Abstract
To inhabit the earth is a blessing and a responsibility that given by The Almighty God to us as human beings. Accordingly, this paper explores deep thoughts which was necessary to be understood by human who exist on earth. An ethical based behavior and an understanding about thoughts which potentially change natural environment to artificial one was becoming significant to be investigated for the sake of human being in general. When there was a development conducted on one area, it would cause some impacts which should previously cautiously calculate. The impacts would cjfectfar in thefuture, so the area as an architectural creation should had some thoughtful aspects inside its development. Therefore, the architectural design would also maintained and made plan for an steady environment which would keep the city away from floods or any other disasters.
Key words: philosophical thoughts, ethic, l,fe environment, development.
Memahami suatu cara berpikir yang mendalam tentang suatu hal, dapat mendasari cara pikir dan kemungkinan mengubah perilaku kita, yaitu berperilaku lebih bijaksana. Sejak awal abad XIX beberapa filsuf telah banyak yang memberi penekanan pada berbagai cara manusia menghuni dunia ini. Hidup di dunia, manusia biasa hidup secara kelompok dan bermasyarakat, sehingga manusia tidak mungkin hanya memikirkan diri sendiri, tetapi harus secara luas dan bijaksana memikirkan orang lain yang juga menghuni dunia yang sama. Berdasarkan cara berpikir secara luas, dan memiliki kesadaran akan kebijaksanaan perilaku, kita akan sampai pada pemikiran dan pelaksanaan bagaimana sebaiknya cara menjaga dan memelihara suatu lingkungan hidup.
Di dalam tulisan ini, masalah lingkungan hidup yang akan ditelaah adalah tentang masalah banjir yang melanda kota Jakarta khususnya di Cengkareng Jakarta Barat dan Kelapa Gading Jakarta Utara. Kondisi kontur tanah kota Jakarta, dan pembangunan berbagai gedung dan infrastruktur menjadi
penyebab terjadinya air yang membanjiri kota Jakarta.
Dalam hal menata pembangunan di wilayah kota, sangat penting diperhatikan persentasi besaran luas lahan yang disediakan untuk bangunan, untuk taman-taman kota dan luas jalan yang diperlukan. Selain itu yang menjadi kendala paling krusial, dan harus dimonitor sehari-hari dalam pengendalian banjir yaitu saluran-saluran air kota, baik yang kecil maupun saluran besar skala kota. Bila perbandingan dan pengawasan fungsi saluran air kota ini dapat dilakukan dengan konsisten dan dalam pengawasan yang terus menerus, diharapkan genangan air atau banjir air dapat diperkecil atau dihilangkan sama sekali. Tentu saja berbagai kendala harus dengan ketat dilakukan tanpa mengenal lelah.
Secara etika, kitajuga dapat meninjau masalah lingkungan hidup dari sudut etika lingkungan, yang diketengahkan dalam tulisan ini. Sebagai manusia yang bermartabat dan merupakan satu-satunya makhluk hidup yang memiliki akal budi, manusia wajib dan seharusnya sanggup menjaga dan memelihara lingkungan hidupnya secara terus menerus. Sehingga
kehidupan manusia di Iingkungan hidupnya,di dunia ini sejahtera dan aman.
Keterkaitan antara cara berpikir manusia, kemudian menerapkannya pada pola perilaku, dan dilengkapi dengan pemahaman terhdap etika, akan memberi manfaat yang besar bagi dasar penerapan memelihara lingkungan hidup. Dalam tulisan ini lingkungan hidup di khususkan dalam penataan kota yang sering mengalami banjir.
Dalam penulisan ini dipergunakan metode penelitian multiple case studies research dan comparative analysis. Selanjutnya diambil beberapa studi kasus dipemukiman Jakarta dan sekitarnya, untuk dikupas seluruh kegiatan fisik dan sosial yang terjadi di pemukiman tersebut. Berdasarkan hasil beberapa lokasi pemukiman itu didapatkan hasil analisis kegiatan dan perubahan-perubahan yang terjadi, serta tata ruang yang berubah. .
Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian diperbandingkan dengan hasil analisis studi kasus pemukiman -pemukiman terkait dalam kurun waktu tertentu. Kemudian dari hasil analisis tersebut akan dibahas berdasarkan teori-teori terkait sehingga didapatkan simpulan. Korelasi antara pemahaman filosofis dan pemahaman etika, diharapkan dapat mendasari para perencana dan perancang kota serta para pengambil keputusan dipemerintahan kota, dalam penataan kotanya.
membangun sebagai budi-daya dan membangun dalam arti mendirikan bangunan yang terdiri atas bangunan asli, artinya pemukiman. Karakter dasar dari penghunian yaitu : menyelamatkan, melindungi. Menghuni adalah ditempatkan dalam kedamaian, berarti tetap dalam damai di dalam kebebasan, perlindungan yaitu lingkungan bebas yang melindungi. Setelah kita merefleksikan bahwa manusia berada dalam pemukiman dan memang pemukiman dalam arti tinggal dengan makhluk hidup lainnya di bumi.
Heidegger berpendapat, ada kesatuan dari empat hal utama dalam kehidupan ini yaitu : bumi -langit - keTuhan an - makhluk hidup. Keempatnya disebut : fourfold ( rangkap empat ). Adapun penjelasannya sebagai berikut. “ Bumi dan langit merupakan penyangga kehidupan dan batas yang melayani, bersemi dan berbuah, menyebar pada batu dan air, tumbuh pada tanaman dan hewan. Ketuhanan merupakan kurir pemberi isyarat dari Tuhan. Makhluk hidup yang dimaksud disini yaitu manusia. Mahkluk hidup berada dalam fourfold dengan menghuni. Karakter dasar dari menghuni yaitu menyelamatkan dan melindungi. Menyelamatkan bukan melulu merenggut sesuatu dari marabahaya, menyelamatkan sebenarnya berarti membebaskan sesuatu ke dalam keberdayaannya sendiri.
Seorang filsuf Perancis bernama Gaston Bachelard2 mengatakan, rumah adalah salah satu kekuatan utama yang bisa memadukan pikiran, kenangan dan impian-impian umat manusia. Sebuah rumah menyusun sekumpulan citra yang memberikan bukti atau ilusi mengenai kestabilan pada umat manusia.
Bagi banyak orang dalam kultur kita, dan khususnya bagi beberapa kalangan yang membuat kebijaksanaan, ilmu pengetahuan dan teknologi menawarkan satu-satunya harapan bagi pemecahan masalah lingkungan. Isu-isu lingkungan memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apa yang kita nilai sebagai umat manusia, mengenai jenis manusia seperti apa kita ini, dan
mengenaijenis dunia seperti apa yang bisa kita huni.
Pada dasarnya, masalah lingkungan memang memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai etika dan filosofi. Ketergantungan pada ilmu pengetahuan atau teknologi tanpa mempertimbangkan isu-isu etika dan filosofi dapat memunculkan permasalahan yang sama banyaknya dengan pemecahan yang dibuatnya.3. Isu-isu lingkungan memunculkan pertanyaan mendasar mengenai bagaimana seharusnya kita hidup. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu merupakan pertanyaan yang bersifat filosofis dan etis dan perlu dijawab melalui sebuah cara rumit yang filosofisjuga.
Secara umum, menurut Desiardins, etika lingkungan merepresentasikan dan mempertahankan sebuah perhitungan yang sistematis dan komprehensif mengenai hubungan-hubungan moral antara umat manusia dengan lingkungan alam mereka. Etika-etika lingkungan berasumsi bahwa perilaku manusia terhadap dunia alam dapat dan memang diarahkan oleh norma-norma moral. Sehingga sebuah teori mengenai etika lingkungan seharusnya terus melakukan: 1) menjelaskan apa norma-norma itu, 2) menjelaskan kepada siapa atau kepada apa manusia memiliki tanggung jawab, dan 3) memperlihatkan bagaimana tanggungjawab itu dijustifikasi.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa tanggung jawab kita terhadap lingkungan alam hanyalah bersifat tidak langsung. Tetapi para filsuf lain berpendapat bahwa memiliki tanggung jawab langsung, tidak hanya pada tanaman dan binatang, namunjuga pada ekosistem dan species-species. Tanggung jawab tersebut didasarkan pada sikap moral terhadap objek-objek alami tersebut.
Jenis penalaran etika yang diketengahkan disini, menurut Desiardins4 yaitu :
-
1) Etika Deskriptif: Etika ini melibatkan penggambaran, pengklasifikasian, pengurutan dan perangkuman keyakinan-keyakinan etis. Kita semua perlu diajar untuk mengenali dan berpraktek untuk mengenali isu-isu etika. Filsafat dapat membantu melatih kita mengenali isu-isu yang berpeluang untuk terlewatkan. Tujuan utama dari etika deskriptif yaitu secara konstan memperbesar pemahaman kita, serta
membantu kita melepaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan yang implisit dalam cara pikir yang biasa.
-
2) Etika Normatif. Aspek etika ini melibatkan pembuatan penilaian-penilaian etika, pemberian saran dan penawaran evaluasi-evaluasi etis. Tipe penalaran etika yang dikaitkan oleh kebanyakan orang dengan “etika” yaitu etika normative. Banyak pertentangan lingkungan yang melibatkan pertikaian etika-etika normatif. Pergerakan menuju level pemikiran yang lebih abstrak ini sama artinya dengan bergerak dari etika normatif menuju etika filosofis.
-
3) Etika Filosofis, merupakan sebuah level generalisasi dan abstraksi yang lebih tinggi dalam mana penilaian-penilaian normatif dan alasan-alasan pendukung mereka dianalisis dan dievaluasi. Etika lingkungan dalam kaidah ini, merupakan sebuah cabang dari filsafat yang melibatkan studi sistematis dan evaluasi terhadap penilaian-penilaian normatif yangjuga sebagian besar menjadi bagian dari environmentalism.
Demikianlah, ketiga kerangka kerja etika tersebut, menyediakanjawaban awal atas pertanyaan “apa itu etika lingkungan ?”. Etika lingkungan melatih kita sehingga dapat mulai memahami masalah lingkungan dalam kompleksitas mereka, dan menantang kita untuk melepaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan yang berupa perspektif etika yang tidak kritis.
Arsitektur adalah cerminan dari lingkungan masyarakat kita dalam hal tingkah laku, kebiasaan, kebutuhan dan teknologi. Bentuk arsitektur dan kondisi tingkah laku kita, kebiasaan kita dan hubungan antara manusia dengan manusia. Sehingga menciptakan suatu jaringan kerja sama. Sementara itu, kota merupakan jaringan jalan, lalu lintas dan dari arsitektur ke arsitektur. Arsitektur merupakan pelindung umat manusia dari sengatan sinar matahari, perubahan-perubahan iklim, orangorang dan pergerakan binatang. Arsitektur
melindungi dirinya sendiri, barang milik dan kegiatan. Arsitektur memberikan wadah. Arsitektur berada pada dan memberi wadah bagi falsafah, estetika dan diskursus-diskursus yang menjabarkannya. Keterkaitan antara arsitektur dan rumah di mana falsafah, estetika dan diskursus, berjalan dengan asumsi bahwa sifat yang diwadahinya sedemikian rupa sehingga mempersatukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Eisenman5 mengatakan bahwa arsitektur tidak bisa terwujud kecuali kalau arsitektur terus menerus menjauhkan dirinya dari batas-batasnya sendiri. Arsitektur selalu berada dalam proses perwujudan, perubahan, sekaligus menetapkan dan melembagakan diri.
Dalam hal yang berkaitan dengan arsitektur, Heidegger berpendapat, bahwa pemukiman berarti “keberadaan di dunia”. Pemikiran ini kemudian diuraikan oleh pemikir-pemikir selanjutnya seperti misalnya Norberg-Schulz. Lebih lanjut Norberg-Schulz menyatakan, bahwa arsitektur turut memikirkan arti eksistensial yang didapat dari fenomena alami, manusiawi dan spiritual dan hal itu dialami sebagai tatanan dan karakter. Arsitektur menerjemahkan arti-arti tersebut ke dalam bentuk-bentuk spatial yang harus dimengerti dalam kaitan dengan bentuk-bentuk simbolis yang penuh arti. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa tempat berarti sesuatu yang lebih dari sekedar lokasi. Hal itu diartikan memiliki semangat, dan memprasyaratkan suatu
identifikasi dengan lingkungan. Tempat adalah dimana manusia bermukim, dan arti bermukim bila ia mungkin mengkonkritkan dunia dalam bangunan dan benda-benda. Bermukim adalah suatu konsep eksistensial yang mampu menunjukkan kemampuan mensimboliskan arti-arti. Karenanya hasil-hasil karya arsitektur merupakan naungan dari kemampuan simbolis dari manusia untuk berada di dunia.
Realitas fisik arsitektur terdiri atas struktur bangunan, danjuga orang yang tinggal di dalamnya yang dianggap sebagai organisme biologis. Pengetahuan ilmiah mengenai realitas fisik arsitektur diberikan oleh berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu bangunan, ilmu lingkungan dan ilmu perilaku.
Demikianlah, arsitektur memiliki potensi besar untuk mengubah suatu lingkungan dengan berbagai desain yang disajikan.
Studi kasus ini diawali dengan memahami keadaan kota Jakarta. Ada delapan penyebab banjir di Jakarta (Sumber: Sudin Pengairan, DKI Jakarta -2008), yaitu:
-
1. Kondisi Topografi. Seperti dikatakan bahwa 40
% dataran rendah di Jakarta di bawah muka laut pasang penanggulangan, telah dilakukan perbaikan tanggul pasang laut juga dilakukan normalisasi Waduk Pluit (Penjaringan Jakarta Utara)
kondisi Tofografi

Gambar 1. Peta dataran rendah di Jakarta

Gambar 2. Perbaikan tanggul pasang laut
-
2. Kondisi Demografi. Jumlah penduduk Jakarta kurang lebih 9,06juta ( BPS 2007). Siang hari jumlah penduduk 10,20 juta. Kepadatan penduduk 13.000 - 15.000 jiwa / km 2 ( pada daerah tertentu mencapai 20.000 - 30.000jiwa/
km2, misal: Tambora, KaliAnyar, Tanah Sereal) Total penduduk Jabodetabek : kurang lebih 25.000jutajiwa.
-
3. Perubahan Lahan Terbangun Di Jabodetabek.
Gambar 3. Peta Jakarta 1992 - 2005
-
4. 13 sungai mengalir ke Jakarta.
Gambar 4. Peta 13 aliran sungai di Jakarta
-
5. Penurunan muka tanah
-
6. Pasang laut
-
7. Curah hujan lebih besar dari kemampuan menyerap air dan mengalirkan air hujan
-
8. Perilaku masyarakat. Penyempitan sungai karena bantaran sungai dijadikan hunian.
Gambar 5. Daerah-daerah yang rawan banjir karena perilaku warga
Dalam penulisan ini, lebih ditekankan pada masalah perubahan lahan terbangun di Jabodetabek, dan masalah kondisi topografi serta masalah nonstruktural. Untuk itu pada tulisan ini diketengahkan dua kecamatan di Jakarta yang rawan banjir yaitu:
Kecamatan Cengkareng terletak di wilatah Jakarta Barat. Jumlah kelurahan yang menjadi tanggungjawab kecamatan ini sebenyak tujuh kelurahan yaitu kelurahan : Tomang, Cengkareng Timur,Cengkareng Barat, Kapuk, Kedaung kaliangke, Duri Kosambi dan Rawa Buaya.
Dari keenam kelurahan tersebut, yang mengalami banjir tiap tahun yaitu : kelurahan Rawa Buaya dan Duri Kosambi. Lokasi kelurahan Rawa Buaya diapit oleh Kali Angke, Kali Mookervart dan Cengkareng drain (Gambar 6 a ). Dalam kenyataannya di lapangan daerah
aliran sungai hanya 6-10 meter, sedangkan rencana ideal lebar daerah aliran sungai selebar 40 meter. Rencana ideal untuk lebar Cengkareng Drain 100 meter. Tetapi kondisi itu belum terlaksanajuga.
Luas lahan terbangun di kawasan ini sangat cepat pembangunannya, selain bangunan perumahan juga ada pabrik, yang dibangun di atas kali yang seharusnya berfungsi sebagai saluran kota untuk air hujan, seperti halnya yang terjadi di atas kali Apuran. Bangunan yang terbangun di atas kali ini memenuhi kali selebar 10 meter dan panjang 2 kilometer (Kompas, 11 Oktober 2008) Kali Apuran menghubungkan Kali Pesing dan Cengkareng Drain di Jakarta Barat di kawasan dataran rendah dan padat penghuni.
Dengan kondisi lahan yang terbangun seluas itu dan terletak diatas kali, dapatlah disimpulkan bahwa daerah itu merupakan daerah rawan banjir.

Gambar 6. Peta Kecamatan Cengkareng (Sub Dinas Tata Kota Kecamatan)

Kecamatan Kelapa Gading
Sebelumnya wilayah Kelapa Gading merupakan wilayah sawah dan rawa, dan juga merupakan daerah resapan air. Kini peruntukannya menjadi kurang jelas, ada yang meyakininya sebagai ruang terbuka hijau, ada yang mengatakan itu sebagai wilayah hunian. Ada yang salah dalam penataan ruang di wilayah itu, karena ketika terjadi musibah banjir bulan Februari 2002, di Kelapa Gading air masuk rumah setinggi lutut orang dewasa, sedangkan pada tahun 2007 banjir merendam setinggi ukuran badan orang dewasa. Berdasarkan keadaan ini dapat disaksikan dari gambar berikut.

Gambar 7. Peta Kecamatan Kelapa Gading

Gambar 7 a. Daerah perumahan Casablanca, Mediterianen
Ketika tahun 2002, belum dibangun perumahan Casablanca, perumahan Mediterianen yang terletak di kelurahan Kelapa Gading Barat. Pada waktu itu lahan di perumahan tersebut diatas masih merupakan lahan kosong. Termasuk juga daerah sekeliling gedung pertemuan yang terletak bersebelahan dengan kedua daerah perumahan itu.
Terjadinya banjir pada tahun 2007 yang lebih
tinggi daripada banjir tahun 2002 diperkirakan karena kurangnya resapan bagi curah air hujan dan ditimbun/ diurugnya lahan di daerah yang dibangun perumahan, sehingga air mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah dari lahan yang sudah ditimbun (diurug) tersebut . Perhatikan gambar potongan lahan daerah perumahan dan pembangunan di daerah Jakarta pada umumnya (gambar 8)

Gambar 8. Potongan lahan umumnya di Jakarta (Sumber : rovicky.wordpress.com)
Setelah memperhatikan adanya berbagai masalah yang mengakibatkan banjir di Jakarta, hal yang ditelaah di sini yaitu beberapa penyebab banjir yang dapat dimasuki unsur-unsur pemikiran secara filosofis dan etika lingkungan. Dalam jangkauan peta ilmu filsafat, etika merupakan salah satu bagian dari axiologi filsafat, selain estetika dan logika. Karena itu dari berpikir secara filosofis, akan timbul pertanyaan bagaimana filsafat ini akan menjadi dasar berpikir dan berperilaku ?. Hal itu akan mampu di terapkan melalui etika, dalam kaitan dengan penulisan ini yaitu etika lingkungan.
Banjir merupakan masalah yang terjadi di kota Jakarta. Penyebab banjir telah dikemukakan di atas. Dalam pembahasan ini ditekankan pada penyebab banjir seperti antara lain : keadaan topografi, perubahan lahan terbangun. Hal ini mengingat keterkaitan tulisan ini dengan bidang arsitektur yang merupakan bagian dari ilmu membangun . Lahan terbangun akan berhubungan dengan kegiatan manusia membangun secara arsitektural maupun membangun infrastrukturnya. Beberapa kecamatan di kota Jakarta menjadi contoh dalam pembahasan ini, yaitu Kecamatan Cengkareng dan Kecamatan Kelapa Gading
Keadaan topografi kota Jakarta, merupakan pemikiran dasar yang harus diperhatikan. Dikatakan 40 % wilayah kota berada di bawah permukaan laut. Seharusnya kondisi inilah yang diprioritaskan untuk menjadi titik tolak Iandasan menata kota dengan baik. Usaha kota Jakarta membuat tanggul-tanggul penahan pasang laut, yang hanya di beberapa lokasi, merupakan keadaan yang seharusnya dipikirkan lebih jauh, apakah tanggul harus dibangun menerus sepanjang pantai di utara Jakarta, atau dibangun hanya pada beberapa lokasi saja. Berkaitan dengan pembangunan tanggul, kita berhadapan dengan keadaan alam yang terkesan akan di lawan/ dihadapi secara teknologis dengan mendirikan penggalan tanggul penahan pasang laut tersebut. Selain itu adanya pembangunan hunian di tepi pantai, mengakibatkan dibukanya dan hilangnya hutan bakau. Kondisi ini menyebabkan terkikisnya batas pantai di utara Jakarta. Seperti contohnya pembangunan kawasan Pantai Mutiara, dan kawasan Pantai Indah Kapuk di kawasan Jakarta Utara. Telah kita ketahui bahwa kondisi topografi Jakarta yang 40 % di bawah permukaan pasang laut, maka sebaiknya pembangunan yang menyebabkan terkikisnya pantai tidak dilakukan. Karena hal itu akan menyebabkan masuknya pasang laut yang akan menerobos lebih jauh ke arah kawasan pemukiman dan pusat kota yang merupakan dataran rendah.
Selajutnya, mengenai keadaan lahan terbangun di kota Jakarta, seperti pada gambar peta Jakarta 1992
- 2005, kondisi tersebut meliputi juga lahan terbangun di Jabodetabek. Seperti diketahui, lahan terbangun merupakan ulah manusia yang membangun dan menciptakan karya arsitekturnya. Keadaan ini sudah sangat memperlihatkan bahwa pemrakarsa pembangunan wujud arsitektur, termasuk di dalamnya para arsitek, warga masyarakat pemberi tugas, para pengambil keputusan pemerintah kota. Mereka merupakan pemberi kontribusi yang sangat besar terhadap kondisi lahan terbangun. Hal ini disebabkan karena pada daerah lahan terbangun ini terdapat banyak perkerasan pada bangunan dan perkerasan lahan di luar bangunan, sehingga kekurangan daerah resapan untuk menampung curah air hujan (gambar 9 ). Terbatasnya resapan disertai tersumbatnya (kurangnya pemeliharaan) pada saluran-saluran air kota, menyebabkan banjir besar yang mengganggu kehidupan warga.
Demikian seperti dikatakan Heidegger, bahwa sepanjang orang menghuni maka ia harus dapat pula menghargai, melindungi, menjaga serta memelihara bumi yang dihuni tersebut. Membangun dalam arti mendirikan bangunan terdiri atasi bangunan asli. Artinya permukiman sebagai karakter dasar dari penghunian adalah menyelamatkan dan melindungi. Menyelamatkan artinya bukan melulu merenggut sesuatu dari marabahaya, tetapi sebenarnya berarti membebaskan sesuatu ke dalam keberdayaannya sendiri. Heidegger juga mengatakan lebih lanjut bahwa menghuni ditempatkan dalam kedamaian,

Gambar 9. Peta infiltrasi di Jakarta
berarti tetap dalam damai di dalam kebebasan, perlindungan merupakan lingkungan bebas yang melindungi. Dis inilah makna pemikiran filosofis dari menghuni, yang kemudian dikaitkan dengan menjaga tempat di mana kita menghuni.
Pemikiran filosofis tersebut, bila dikaitkan dengan harapan perilaku manusia pada umumnya, maka penerapannya akan berupa suatu etika dalam berperilaku, seperti misalnya perilaku terhadap lingkungan hidup. Berbicaratentang etika, maka kita sampai pada masalah tanggung jawab kita sebagai manusia yang merupakan satu-satunya mahkluk hidup yang memiliki akal- budi, mengerti akan etika. Penekanan dalam tulisan ini, etika dikaitkan dengan lingkungan hidup kita. Tanggung jawab manusia terhadap lingkungan bukan saja terhadap tanaman dan binatang, tetapijuga pada ekosistem dan spesies-spesies yang ada di alam ini. Tanggung jawab tersebut dilandasi oleh sikap moral terhadap kekayaan alam tersebut. (Desiardins, 1993). Etika lingkungan melatih sehingga kita dapat mulai memahami masalah lingkungan hidup dalam kompleksitasnya, demikian seperti dikatakan Desiardins.
Pembahasan inijuga berkaitan dengan masalah arsitektur, seperti halnya membangun daerah-daerah pemukiman dan fasilitas umum. Tentu saja erat hubungan antara membangun di atas bumi dan bumi dimana kita membangun. Bumi yang berhubungan erat dengan alam semesta, seharusnya dipelihara dengan bersikap penuh pemahaman etika dan tanggung jawab sebagai penghuni bumi. Pembangunan yang diakibatkan oleh kebutuhan manusia dalam berkegiatan (misal: menghuni, rekreasi, bekerja dan sebagainya) akan menyebabkan terbangunnya kawasan dengan pesat. Apabila
Daftar Pustaka
kepesatan itu kurang dikendalikan dengan baik dan kurang memperhatikan hal-hal yang menyangkut lingkungan hidup, sebagai tempat manusia menghuni, maka terbangunnya kawasan secara tak terkendali menyebabkan terjadinya berbagai musibah, seperti banjir yang sangat merugikan warga kota.
Berdasarkan i pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
-
1) Penataan lahan terbangun yang berdasarkan perbandingan kondisi demografi dan luas lahan menjadi prioritas utama penyelenggaraan pengendalian banjir. Pengendalian dimaksudkan yaitu seharusnya sudah mempertimbangkan perancangan dan pemeliharaannya, sehingga cukup daerah resapan air hujan dan daerah aliran air hujan.
-
2) Keadaan lahan yang terbangun secara pesat, menjadi penyebab utama terjadinya banjir, misalnya terbangunnya hunian yang tak terkendali, hunian yang terbangun di atas daerah aliran sungai, perkerasan pada lahan (yang menghalangi resapan air ke dalam tanah), termasuk pembuatanjalan lingkungan maupun jalan besar. Pengurugan daerah-daerah yang menyebabkan daerah lainnya tidak pernah terkena banjir sebelumnya, kemudia mengalami banjir Karena makna dari menghuni adalah melindungi dan memelihara, maka dengan demikian memahami pemikiran filosofis yang tertuang di dalam etika lingkungan diharapkan dapat menjadi landasan berpikir bagi mereka yang berperan dalam melindungi dan memeliharaan lingkungan hidup, termasuk lingkungan di kota besar seperti Jakarta.
Desiardins, Joseph R. 1993 Environmental Ethics. Routledge, London-NewYork
Heidegger. 1971. Poutry, Language, Thought. TranslByAlbertHofstadter. HarperandRowPublishersNY
Leah, Neil. 1997. Rethinking Architecture. Routledge, London, NY
Lincourt,M. 1999. In Search of Elegance .'Towards an Architecture of Satisfaction. Liverpool University Press
Laksmi G Siregar. 2005 Fenomenologi Dalam Konteks Arsitektur. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
47
Discussion and feedback