Jurnal Bumi Lestari, Volume 18, Nomor 1, Tahun 2018, Halaman 33-40

Potensi Peningkatan Penyerapan Karbon Melalui Sistem Tanaman Sela Berbasis Karet

Sahuri a*

a Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet, Jl. Raya Palembang-P. Balai Km 29, PO BOX: 1127, Palembang-Indonesia

*Email: [email protected]

Diterima (received) 23 Desember 2017; disetujui (accepted) 1 Februari 2018; tersedia secara online (available online) 1 Februari 2018

Abstract

Rubber tree (Hevea brasilliensis) has a very big role in the economy and the absorption of CO2. Rubber plants as well as forest plants capable of processing CO2 as a carbon source that is used for photosynthesis. CO2 absorption can be enhanced through the implementation of rubber based intercrops system. This study aims to determine the potential for carbon sequestration in rubber based intercrops system. The experiment was conducted at the Sembawa Research Station, South Sumatra, with two cropping pattern (PT), namely PT1: rubber plants + intercrops (peneaple, cowpea, sweet sorghum, upland rice, sweet corn, ginseng), and PT2: rubber plant of monocultures. Measurement of carbon reserves consist of tree biomass, intercrops biomass and soil organic matter. The results showed that the absorption CO2 of intercrops i.e: peneaple (5,87 tons/ha), cowpea (4,08 tons/ha), sweet sorghum (12,84 tons/ha), upland rice (8,68 tons/ha), sweet corn (10,63 tons/ha), and ginseng (3,31 tons/ha). The addition of carbon sequestration due to intercrops rubber were 296,59% or 33,96 tons CO2/ha compared to the rubber plant of monocultures.

Keywords: carbon stocks; cropping pattern; intercrops; rubber; sembawa

  • 1.    Pendahuluan

Indonesia menjadi negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Oleh karena itu, perlu upaya untuk meningkatkan kualitas hutan yang luasnya semakin menurun sehingga tetap mampu mempertahankan fungsi ekologi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan (Houghton 2005; Hairiah, K dan Rahayu 2007; Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R.R., dan Rahayu 2011; IPPC 2006). Laju peningkatan emisi CO2 harus diimbangi dengan usaha penyerapannya melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan/tanaman dan organisme lainnya. Penyerapan CO2 dapat ditingkatkan melalui penerapan pola tumpangsari karet dan tanaman kayu. Hal ini karena tanaman karet seperti halnya tanaman hutan mampu mengolah CO2 sebagai sumber karbon yang digunakan untuk fotosintesis (Yulyana 2005; Zhou, Y., Cheng, M.H., Wang, X.B., and Fan 2010; Snoeck, D., Lacote, R., Keli, J., Doumbia, A., Chapuset, T., and Gohet 2013; Cesylia 2009).

Indonesia memiliki luas lahan perkebunan karet terbesar di dunia, dengan luas areal mencapai 3,4 juta ha, mengungguli areal karet Thailand (2,67 juta ha) dan Malaysia (1,02 juta ha) (Ditjenbun 2012). Kemampuan penyerapan karbon oleh perkebunan karet dapat mencapai 4,65 ton CO2/ha tiap tahunnya. Artinya, jumlah karbon yang diserap dalam areal perkebunan karet selama satu siklus penanaman (± 21 tahun) dapat mencapai 97,65 ton CO2/ha. Penyerapan tersebut bersumber dari serasah tanaman karet (64,99 ton CO2/ha) dan biomassa tanaman (32,59 ton CO/ha) (Jacob, J. and Matthew 2006).

Penelitian mengenai penyerapan karbon melalui pola tanaman sela berbasis karet di Indonesia belum banyak dilakukan. Menurut (Montagnini and Nair, 2004), pola tumpangsari sangat strategis untuk pencadangan karbon yang potensial. Rata-rata cadangan karbon melalui pola ini sekitar 9, 21, dan 50 Mg C/ha pada daerah semiarid, subhumid, dan humid.

doi: https://doi.org/10.24843/blje.2018.v18.i01.p05


© 2018 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.

Berdasarkan fakta di atas maka perlu untuk mengkaji penyerapan karbon pada pola tanaman sela berbasis karet. Pola yang terdapat di kebun percobaan Balai Penelitian Sembawa antara lain pola tumpangsari karet+nenas, tumpangsari karet+kacang tunggak, tumpangsari karet+sorgum manis, tumpangsari karet+padi gogo, tumpangsari karet+jagung manis, dan tumpangsari karet+Ginseng. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi penyerapan karbon pada pola tanaman sela berbasis karet.

  • 2.    Metodologi

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan dan Laboratorium Tanah dan Pemupukan Balai Penelitian Sembawa. Waktu pelaksanaan penelitian mulai dari bulan Januari sampai Maret 2016. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1) meteran, tali rapiah, dan patok kayu untuk pembuatan plot contoh, 2) meteran untuk mengukur tinggi pohon, 3) kamera, untuk dokumentasi penelitian, 4) ring sample, bor tanah, pisau cutter, papan kayu ukuran 20 x 20 cm, dan palu untuk pengambilan contoh tanah, 5) kuadran contoh dengan ukuran 1,5 m x 1,5 m, 6) oven untuk mengeringkan tanaman sampai mencapai berat kering konstan, 7) parang dan gunting tanaman untuk pengambilan contoh tanaman, 8) amplop dan kantong plastik untuk wadah contoh tanaman dan tanah, dan 9) timbangan untuk mengetahui berat basah dan kering contoh tanaman.

Pengukuran cadangan karbon dilakukan pada 6 pola tanaman sela karet yang akan dibandingkan dengan pola monokultur. Pola tanaman sela terdiri dari: 1) tanaman karet pola tumpangsari nenas (Ananas comosus L.), 2) tanaman karet pola tumpangsari kacang tunggak (Vigna unguiculata L.), 3) tanaman karet pola tumpangsari sorgum manis (Sorghum bicolor L), 4) tanaman karet pola tumpangsari padi (Oryza sativa L.), 5) tanaman karet pola tumpangsari jagung (Zea mays L.), 6) tanaman karet pola tumpangsari ginseng. Jarak tanam tanaman karet dengan pola tanaman sela dan monokultur adalah 6 x 3 m, dengan populasi 550 tanaman/ha. Sementara itu, jarak tanam nenas (Ananas comosus L.) adalah 100 x 50 cm (populasi 16.000 tanaman/ha), jarak tanam kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) adalah 40 x 20 cm (populasi 100.000 tanaman/ha), jarak tanam sorgum manis (Sorghum bicolor L) adalah 70 x 15 cm (populasi 76.190 tanaman/ha), jarak tanam padi (Oryza sativa L.) adalah 40 x 10 cm (populasi 200.000 tanaman/ha), jarak tanam jagung (Zea mays L.) adalah 80 x 20 cm (populasi 50.000 tanaman/ha), jarak tanam ginseng adalah 50 x 50 cm (populasi 32.000 tanaman/ha).

Cadangan karbon tersimpan dalam pola tanaman sela karet terbagi dalam dua komponen pokok, yaitu biomassa pohon, biomassa tanaman sela dan bahan organik tanah. Pengukuran cadangan karbon pada pola monokultur menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara pengambilan sampel tumbuhan bawah secara purposive sampling. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan purposive melalui pertimbangan bahwa lokasi yang dipilih merupakan perkebunan karet yang disiangi gulmanya setiap empat bulan sekali selama satu tahun. Petak contoh dibuat menggunakan metode teknik sampling kuadran (Quadran Sampling Technique). Petak contoh yang digunakan pada berupa bujur sangkar dengan ukuran 100 cm x 100 cm dengan 3 kali ulangan pada tiap blok di antara karet dan pada bagian barisan karet.

Tumbuhan bawah yang akan dijadikan sampel adalah tumbuhan yang keberadaannya dalam petak contoh atau ≥ 50 % dalam petak contoh. Petak contoh ditempatkan pada bagian tengah di antara tanaman karet dan pada jalur barisan tanaman karet sehingga setiap blok pengamatan didapatkan 6 petak contoh pada setiap blok. Untuk mengetahui jenis tumbuhan bawah yang mendominasi maka dilakukan identifikasi secara morfologis. Jumlah gulma setiap spesies yang tumbuh dihitung pada tiap petak contoh. Tumbuhan yang diidentifikasi adalah tumbuhan yang telah memiliki organ yang lengkap (akar, batang, daun dan bunga).

Pengukuran cadangan karbon pada pola tumpang sari menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara pengambilan sampel tanaman sela secara sengaja (purposive sampling) pada berbagai pola tanaman sela karet. Petak contoh yang dibuat dalam penelitian ini menggunakan metode teknik sampling kuadran (Quadran Sampling Technique). Petak contoh yang digunakan pada berupa bujur sangkar dengan ukuran 100 cm x 100 cm dengan 3 kali ulangan pada tiap blok pola tanaman sela di antara karet. Tanaman sela yang akan dijadikan sampel adalah tanaman yang keberadaannya dalam petak contoh atau ≥ 50 % dalam petak contoh. Petak contoh ditempatkan pada bagian tengah berbagai pola tanaman sela di antara tanaman

karet. Jadi setiap blok tanaman sela didapatkan 3 plot sehingga jumlah keseluruhan petak contoh adalah 18 plot contoh. Rincian pola tanaman sela di antara tanaman karet disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rincian pola tanaman sela di antara tanaman karet

Tanaman Sela Karet

Umur (BST)

Populasi/ha

Nenas

12

16.000

Kacang Tunggak

2

100.000

Sorgum Manis

2

76.190

Padi Gogo

2

200.000

Jagung Manis

2

50.000

Ginseng

2

32.000

Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan jenis tanaman sela dengan cara destruktif sampling atau melibatkan perusakan sample yaitu semua material tumbuhan bawah diambil dan dimasukan ke dalam wadah dan diberi label lalu dibawa ke laboratorium untuk selanjutnya ditimbang berat basahnya sebelum dioven dan berat kering setelah dioven. Sementara itu, pengukuran biomassa tanaman karet dilakukan dengan cara non-destruktiv sampling (tanpa merusak sample) yaitu dengan cara mengukur tinggi dan diameter pohon seinggi dada (1.3 m dari permukaan tanah).

Pengukuran cadangan karbon tanah diukur berdasarkan kandungan karbon organik (C-organik) dengan mengambil sampel tanah utuh menggunakan ring sampel dengan tinggi 7 cm dan diameter 5,5 cm pada kedalaman 0-20 cm. pengambilan sampel contoh tanah dilakukan dalam keadaan air kapasitas lapang.

Hasil pengukuran di lapangan dan laboratorium kemudian ditabulasi dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk mengetahui nilai C yang terkandung dalam tanaman dan tanah, digunakan beberapa persamaan sebagai berikut:

Untuk menduga biomassa pohon digunakan model allometrik biomassa (Ketterings et al., 2001 dalam Murdiyarso et al., 2004) dengan persamaan:

W = Bj 0.19 D2.37

(1)


Untuk menduga biomassa pada tumbuhan bawah digunakan persamaan (Hairiyah & Rahayu, 2007) sebagai berikut:

W = (BK sample / BB sample) × Total BB

(2)


Selanjutnya kandungan C diduga dari biomassa dengan faktor konversi (Murdiyarso et al, 2004) sebagai berikut:

C = 0.5 W

(3)


Untuk menduga kandungan C tanah dilakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Murdiyarso et al., 2004):

KC = B × A × Dt × C

(4)


dimana W adalah biomassa kering pohon (kg); Bj adalah berat jenis tanaman (pohon); D adalah diameter pohon setinggi dada (1,3 m dari permukaan tanah); BK adalahberat kering (g); BB adalah berat basah (g); C adalah kandungan karbon (kg/pohon); KC adalah kandungan karbon (ton/ha); B adalah berat jenis tanah (g/cc atau ton/m3); A adalah luas plot contoh (m2); Dt adalah kedalaman tanah (m) dan C adalah kadar carbon (C-organik) dalam (%).

Penghitungan penyerapan CO2 (Hairiah, K dan Rahayu 2007):

Serapan CO2 = BK pohon (ton/ ha) × 0.46 * ×3.67 * *

(4)


dimana * adalah kadar C dalam bahan organic merupakan nilai kadar terpasang yaitu 46%; dan ** adalah konversi C ke CO2 menggunakan perbandingan antara berat atom CO2/berat atom C.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Potensi Serapan CO2 Pada Tanaman Sela Karet

Hasil penghitungan menunjukan bahwa jumlah penyerapan CO2 tanaman sela nenas (5,87 ton/ha), kacang tunggak (4,08 ton/ha), sorgum manis (12,84 ton/ha), padi gogo (8,68 ton/ha), jagung manis (10,63 ton/ha), dan ginseng (3,31 ton/ha). Total penyerapan CO2 pada tanaman sela berbasis karet adalah 45,41 ton/ha (Tabel 2).

Tabel 2. Potensi serapan CO2 pada setiap jenis tanaman sela karet

Tanaman Sela

Serapan CO2

Per hektar

Per tanaman

Nenas

5,87

0,00037

Kacang Tunggak

4,08

0,00004

Sorgum Manis

12,84

0,00017

Padi Gogo

8,68

0,00004

Jagung Manis

10,63

0,00021

Ginseng

3,31

0,00010

Jumlah

45,41

0,00094

Rata-rata

7,57

0,00016

  • 3.2.    Potensi Serapan CO2 Pada Pola Karet Monokultur

Hasil penghitungan menunjukan bahwa jumlah penyerapan CO2 tanaman bawah Ageratum conyzoides (0,78 ton/ha), Cleome rutidospermae (0,09 ton/ha), Borreria alata (3,22 ton/ha), Eulisene indica (3,59 ton/ha), Digitaria ascendens (3,07 ton/ha), dan Asystasia gangetica (0,70 ton/ha). Total penyerapan CO2 pada tanaman sela berbasis karet adalah 11,45 ton/ha (Tabel 3).

Tabel 3. Potensi serapan CO2 pada tumbuhan bawah pola monokultur

Monokultur

Serapan CO2 (ton/ha)

Ageratum conyzoides

0,78

Cleome rutidospermae

0,09

Borreria alata

3,22

Eulisene indica

3,59

Digitaria ascendens

3,07

Asystasia gangetica

0,70

Jumlah

11,45

Rata-rata

1,91

Penambahan biomassa, cadangan C, penyerapan karbon akibat adanya pola tanaman sela berbasis karet masing-masing adalah 275,24% (68,51 ton/ha), 274,4% (34,19 ton C/ha), dan 296,59% (33,96 ton CO2/ha dibandingkan tanaman karet monokultur (Tabel 4). Menurut (Adinugroho et al., 2011), rata-rata serapan CO2 pada kebun karet campuran mencapai 228,79 ton/ha. (Stevanus dan Sahuri, 2014), pola tumpangsari karet dan tanaman hutan dapat meningkatkan penyerapan CO2 sebesar 9,3% dibandingkan dengan pola karet monokultur. Menurut (Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R.R., dan Rahayu 2011; Cesylia 2009), serapan biomassa pada pola tanam campuran jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur.

Tabel 4. Potensi biomassa, cadangan C, dan serapan CO2 antara pola tumpangsari dengan pola monokultur

Perlakuan

Monokultur

Tumpang Sari

Kenaikan (%)

Biomassa (ton/ha)

24,89

93,40

275,24

Cadangan C (ton/ha)

12,46

46,65

274,40

Penyerapan CO2 (ton/ha)

11,45

45,41

296,59

Berdasarkan data-data di atas menunjukkan bahwa perkebunan karet merupakan tanaman yang ramah lingkungan karena dapat mengurangi emisi CO2. Kontribusi perkebunan karet dalam menyerap CO2 dapat ditingkatkan. Peningkatan penyerapan CO2 di perkebunan karet akan sangat potensial karena rata-rata pertambahan luas areal perkebunan karet sekitar 24.700 ha/tahun (Ditjenbun 2012). Semakin besar proporsi luas tanaman karet maka kecenderungan semakin tinggi serapan CO2nya. Tingginya serapan CO2 dikarenakan umur karet sekitar 25 tahun, sedangkan pada tanaman hutan sekitar 60 tahun (Asmani 2012). Oleh karena itu, tanaman karet dapat sebagai alternatif subsitusi bagi jenis tanaman hutan. Serapan CO2 tanaman karet sebesar 14,24 ton per hektar per tahun, sedangkan serapan CO2 tanaman hutan sebesar 7,34 per hektar per tahun (Rochmayanto dkk., 2010). Jumlah gas CO2 yang diserap perkebunan karet di Indonesia mencapai 291,16 Mton CO2e (Supriadi 2012).

  • 3.3.    Kandungan Karbon Tanah

Penambahan karbon tanah akibat adanya pola tanam sela berbasis karet adalah 55,30% atau 27,30 ton/ha dibandingkan dengan tanaman karet monokultur (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa sistem tanaman sela berbasis karet memiliki cadangan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur.

Tabel 5. Kandungan C-organik dan cadangan C tanah pada tanaman karet pola tumpang sari dan pola monokultur

Perlakuan

Kedalaman (cm)

C-Organik (%)

Cadangan C (ton)

Kenaikan C (%)

Monokultur

0 – 20

2,04

49,37

Tumpang Sari

Nenas

0 – 20

3,11

75,26

52,44

Kacang Tunggak

0 – 20

3,19

77,20

56,37

Sorgum Manis

0 – 20

3,23

78,17

58,33

Padi Gogo

0 – 20

3,21

77,68

57,35

Jagung Manis

0 – 20

3,14

75,99

53,92

Ginseng

0 – 20

3,13

75,75

53,43

Jumlah

19,01

460,04

55,30

Rata-rata

3,17

76,67

Gambar 1. Cadangan karbon pohon dan bahan organik tanah pada pola penggunaan lahan (A: Pola tumpangsari karet dan tanaman kayu dan B: Sistem monokultur)

Pada sistem pola tanaman sela berbasis karet memiliki cadangan karbon tanah lebih tinggi dibandingkan dengan pola karet monokultur. Kandungan C organik tanah pola tumpangsari karet dan tanaman kayu lebih tinggi dibandingan sistem monokultur sehingga pola tumpangsari memiliki cadangan karbon tanah lebih tinggi dibandingkan sistem mnokultur (Gambar 1). Hal ini karena pada pola tumpangsari biomassa pohon dan serasah lebih tinggi sehingga bahan organik akan lebih terjaga. Menurut (Young 1989; Van elsas et al., 2006), kadar bahan organik tanah akan terjaga melalui serasah dan sisa akar/ranting dari pohon sehingga terjadi peningkatan akitivitas fauna tanah. Penjelasan lain dinyatakan oleh (Ito, E., Toriyama, J., Araki, M., Kiyono, Y., Kanzaki, M., Tith, B., Keth, S., Chandararity, L., and Chan 2014), bahwa kandungan karbon tanah nyata dipengaruhi oleh serasah tanaman. Perbedaan rata-rata kandungan C-tanah antara yang memiliki serasah dan tidak memiliki serasah dapat mencapai 67%.

  • 4.    Simpulan dan Saran

Hasil penghitungan menunjukan bahwa jumlah penyerapan CO2 tanaman sela nenas 5,87 ton/ha, kacang tunggak 4,08 ton/ha, sorgum manis 12,84 ton/ha, padi gogo 8,68 ton/ha, jagung manis 10,63 ton/ha, dan ginseng 3,31 ton/ha. Penambahan penyerapan karbon akibat adanya pola tanaman sela berbasis karet adalah 296,59% atau 33,96 ton CO2/ha dibandingkan tanaman karet monokultur.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terimakasih kepada Ir. M. Jahidin Rosyid, MS sebagai peneliti utama yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan makalah ini.

Daftar Pustaka

Adinugroho, W. C., Indrawan, A., Supriyanto, S., & Arifin, H. S. (2016). Kontribusi sistem agroforestri terhadap cadangan karbon di Hulu DAS Kali Bekasi. Jurnal Hutan Tropis, 1(3), 242-249.

Asmani, N. (2012). Penyerapan Emisi Dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Produksi Yang Terdegradasi Melalui Kegiatan Agroforestry Karet. Dalam Seminar Nasional Karet PERHEPI. Jambi, Indonesia, 29 Maret 2012 (pp. 1–10).

Boerhendhy, I., & Agustina, D. S. (2006). Potensi pemanfaatan kayu karet untuk mendukung peremajaan perkebunan karet rakyat. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 61-67.

Cesylia, L. (2009). Cadangan Karbon Pada Pertanaman Karet (Hevea Brasiliensis) Di Perkebunan Karet Bojong Datar PTP Nusantara VIII Kabupaten Pandeglang Banten. Tesis. Bogor, Indonesia: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Stevanus, C. T., & Sahuri, S. (2014). Potensi peningkatan penyerapan karbon di perkebunan karet sembawa, Sumatra Selatan. Widyariset, 17(3), 363-371.

Ditjenbun. (2012). Statistik Perkebunan Indonesia: Karet 2009-2012. Jakarta, Indonesia: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian.

Van Elsas, J. D., Trevors, J. T., Jansson, J. K., & Nannipieri, P. (2006). Modern soil microbiology. Boca Raton, USA: CRc Press.

Hairiah, K., & Rahayu, S. (2007). Pengukuran Cadangan Karbon Dari Tingkat Lahan Ke Bentang Lahan. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF).

Hairiah, K., Ekadinata, A., & Rahayu, S. (2011). Pengukuran Cadangan Karbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Edisi ke-2. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF).

Hendri. (2001). Analisis Emisi Dan Penyerapan Gas Rumah Kaca (Baseline) Dan Evaluasi Teknologi Mitigasi Karbon Diwilayah Perum Perhutani. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Houghton, R. A. (2005). Aboveground forest biomass and the global carbon balance. Global Change Biology, 11(6), 945-958.

IPPC. (2006). IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Switzerland: Intergovernmental Panel on Climate Change. Hayama, Japan: Intergovernmental Panel On Climate Change, National Greenhouse Gas Inventories Programme.

Ito, E., Toriyama, J., Araki, M., Kiyono, Y., Kanzaki, M., Tith, B., Keth, S., Chandararity, L., & Chann, S. (2014). Physicochemical surface-soil properties after litter-removal manipulation in a Cambodian lowland dry evergreen forest. Japan Agricultural Research Quarterly, 48(2), 195-211.

Jacob, J., & Matthew, N. M. (2006). Carbon sequestration potential of natural rubber plantations. Kyoto Protocol and the Rubber Industry. Rubber Research Institute of India, Kottayam, India, 165-176.

Ketterings, Q. M., Coe, R., van Noordwijk, M., & Palm, C. A. (2001). Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and management, 146(1-3), 199-209.

Kraenzel, M., Castillo, A., Moore, T., & Potvin, C. (2003). Carbon storage of harvest-age teak (Tectona grandis) plantations, Panama. Forest Ecology and Management, 173(1-3), 213-225.

Montagnini, F., & Nair, P. K. R. (2004). Carbon sequestration: an underexploited environmental benefit of agroforestry systems. Agroforestry Systems, 61, 281-295.

Murdiyarso, D., Rosalina, U., Hairiah, K., Muslihat, L., Suryadiputra, I. N. N., & Jaya, A. (2004). Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut. Bogor, Indonesia: Wetlands International.

Murdiyarso, D., Widodo, M. & Suyamto, D. (2002). Fire Risk in Forest Carbon Project in Indonesia. Science in China (Series C), 45, 65-74.

Naji, H. R., Bakar, E. S., Soltani, M., Ebadi, S. E., Abdul-Hamid, H., Javad, S. K. S., & Sahri, M. H. (2014). Effect of initial planting density and tree features on growth, wood density, and anatomical properties from a Hevea brasiliensis trial plantation. Forest Products Journal, 64(1), 41-47.

Snoeck, D., Lacote, R., Kéli, J., Doumbia, A., Chapuset, T., Jagoret, P., & Gohet, É. (2013). Association of hevea with other tree crops can be more profitable than hevea monocrop during first 12 years. Industrial Crops and Products, 43, 578-586.

Supriadi, H. (2012). Peran tanaman karet dalam mitigasi perubahan iklim. Jurnal Tanaman Industri dan Penyegar, 3(1), 79-90.

Rochmayanto, Y., Wibowo, A., Lugina, M., Butarbutar, T., Mulyadin, R. M., Wicaksono, D. (2010). Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan Dan Jenis Tanaman Di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Penerbit PT Kanisius.

Young, A. (1989). Agroforestry for soil conservation. Wallingford, UK: BPCC Wheatons Ltd.

Yulyana, R. (2005). Potensi Kandungan Karbon Pada Pertanaman Karet (Hevea Brasiliensis) Yang Disadap (Studi Kasus Perkebunan Inti Rakyat Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Utara). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zhou, Y., Cheng, M.H., Wang, X.B., and Fan, A.N. 2010. Soil Respiration in Relation to Photosynthesis of Quercus Mongolia Trees at Elevated CO2. China: Chinese Academy of Sciences.

Zhou, Y., Li, M. H., Cheng, X. B., Wang, C. G., Fan, A. N., Shi, L. X., Wang, X. X., & Han, S. (2010). Soil respiration in relation to photosynthesis of quercus mongolica trees at elevated CO2. Plos one, 5(12), 1-8.

40