Jurnal Bumi Lestari, Vol. 8 No. 2, Agustus 2008. hal. 145-154

DEGRADASI EKOLOGI SUMBERDAYA HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar Propinsi Riau)

Rifardi

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau

ABSTRACT

The purpose of this study was to clarify relationships between socio-economic activities and forest ecology degradations in Kampar Peninsula, Riau Province, Indonesia. Socio-economic and demographic data were collected from seven districts in three regencies, namely district of Kuala Kampar and Teluk Meranti in Pelalawan Regency, district of Sungai Apit and Dayun in Siak Regency, and district of Merbau, Rangsang and Tebing Tinggi in Bengkalis Regency. All data were collected using Simple Random Sampling and Loting Methods.

Results of this study revealed that there were close relationships between socio-economic activities and forest ecology degradations in Kampar Peninsula. The population growth and improvement of socio-economic activities caused land use in Kampar Peninsula forest getting higher. Kampar Peninsula forests were deforested about 260,348 ha (34%) in the period of 1998-2005. The highest deforestation (20%) occurred in the period of 2000-2005. Land use on this forest had increased since 1990 (25,256 ha) and had became increasing in 2005 (162,413 ha).

Keyword: forest degradation, Kampar Peninsula, socio-economic activities.

  • 1.    Pendahuluan

Sumberdaya hutan dan lahan merupakan sumberdaya yang menjadi andalan dalam aktivitas sosial ekonomi masyarakat terutama di negara berkembang. Oleh sebab itu, dalam satu dekade terakhir negara berkembang menjadi soroton negara-negara maju dalam hal perubahan kualitas lingkungan yang berkaitan dengan perubahan fungsi dan degradasi hutan dan lahan. Pengelolaan yang “benar” akan memberikan dampak yang luas dan berjangka panjang, demikian pula sebaliknya, kesalahan dalam pengelolaan hutan secara bio-fisik dapat menimbulkan degradasi lahan, bahkan berdampak luas, sosial, ekonomi, dan bahkan politik.

Dalam satu dasawarsa sebagian besar hutan di Sumatera termasuk lahan gambut, telah dikonversikan untuk penggunaan yang lain. Ancaman lain seperti illegal loging, perambahan hutan serta kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan membuat kondisi hutan semakin memburuk. Kementerian Lingkungan Hidup (2005), memperkirakan gambut di Riau menyimpan karbon sebesar 14.605 juta ton. Besarnya cadangan karbon ini, jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada pelepasan karbon ke udara sehingga meningkatkan efek rumah kaca. Riau mempunyai kedalaman gambut terdalam di dunia, yakni mencapai 16 meter di wilayah Semenanjung Kampar.

Semenanjung Kampar mempunyai peranan yang cukup besar untuk ikut menahan

laju pemanasan global yang sangat berbahaya bagi kehidupan di muka bumi (WWF, 2006). Oleh karena itu tanpa ada perlindungan dan pengelolaan yang baik terhadap hutan dan lahan di Semenanjung Kampar, maka kawasan ini dapat menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya perubahan iklim global. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menggambarkan aktivitas sosial ekonomi dan hubungannya dengan tingkat degradasi hutan dan lahan di kawasan Semenanjung Kampar.

  • 2.    Metode Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara menemui responden langsung dilapangan dan dilakukan wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun dalam questioner, (Rifardi et al, 2007). Metoda pemilihan terhadap objek penelitian atau responden di masing-masing wilayah desa dilakukan dengan metode simple random sampling dengan metode loting.

Besarnya sampel yang diambil didasarkan pada formulasi Krejcie dan Morgan (Mantra, 1997). Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Data ini berasal dari studi kepustakaan dan analisis data dari berbagai laporan yang terkait dengan kawasan Semenanjung Kampar.

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari hingga April 2007 di Kecamatan yang berada disekitar semenanjung Kampar. Kecamatan yang terpilih sebagai lokasi pengamatan ditentukan secara acak sesuai

dengan kondisi lapangan, dan berdasarkan hal tersebut terdapat 7 (tujuh) kecamatan, nama dan wilayah administrasi masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 1. Lokasi Studi Semenanjung Kampar

No

Kabupaten/

Kecamatan

1.

Kabupaten Pelalawan

Kec. Teluk Meranti

Kec. Kuala Kampar

2.

Kabupaten Siak

Kec. Sungai Apit

Kec. Dayun

3.

Kabupaten Bengkalis

Kec. Merbau

Kec. Ransang

Kec. Tebing Tinggi

Analisis Data

Data sekunder dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan studi dan dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan menafsirkan hasil-hasil perhitungan yang telah ditabulasi (persentase). Dalam hal ini digunakan juga metoda penilaian ahli (profesional judgement), yang disesuaikan dengan pengetahuan dan pengalaman peneliti, guna mendukung data sekunder yang terkumpul serta membandingkannya secara kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Kawasan Semenanjung Kampar mencakup tiga wilayah Kabupaten yang terdiri dari delapan kecamatan mempunyai jumlah penduduk sebanyak 253.856 jiwa, dengan penduduk laki-laki sebanyak 131.166 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 122.690 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk Semenanjung Kampar adalah 23,5 jiwa/Km2, dimana rata-rata setiap penduduk menempati ruang seluas 4,3 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kepadatan Penduduk Wilayah Semenanjung Kampar Menurut Kabupaten dan Kecamatan

No

Kabupaten/ Kecamatan

Luas (Ha)

Jumlah Penduduk

Kepadatan (jiwa/Km2)

1.

Kabupaten Pelalawan

464.033

35.158

7,6

Kec. Teluk Meranti

346.594

16.609

4,8

Kec. Kuala Kampar

117.439

18.549

15,8

2.

Kabupaten Siak

329.511

70.436

21,4

Kec. Sungai Apit

124.907

30.070

24,1

Kec. Dayun

137.352

20.986

15,3

Kec. Bunga Raya

67.252

19.380

28,8

3.

Kabupaten Bengkalis

287.941

148.262

51,5

Kec. Merbau

134.891

50.264

37,3

Kec. Ransang

68.100

28.562

41,9

Kec. Tebing Tinggi

84.950

69.436

81,7

Jumlah

1.081.485

253.856

23,5

Sumber: Kecamatan dalam angka, Tahun 2006

Tingkat kepadatan penduduk paling tinggi terdapat di Kabupaten Bengkalis, yaitu di Kecamatan Tebing Tinggi sebesar 81,7 jiwa/Km2. Jumlah penduduk yang besar dengan luas wilayah hanya ± 84.950 Ha, maka kecamatan ini merupakan kecamatan dengan kepadatan yang tinggi hampir empat kali kepadatan penduduk rata-rata di Semenanjung Kampar. Meskipun Kecamatan Merbau juga mempunyai jumlah penduduk yang besar namun kepadatanya masih rendah apabila dibandingkan dengan kepadatan penduduk di Kecamatan Ransang, hal ini dikarenakan luas wilayah Kecamatan Ransang jauh lebih kecil dari luas wilayah di Kecamatan Merbau. Sebaliknya Kecamatan Teluk Meranti mempunyai luas wilayah yang relatif lebih luas dari kecamatan lainnya, namun tingkat kepadatan penduduk yang paling rendah bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya, hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar

wilayah kecamatan belum dihuni oleh penduduk.

Tingkat pertumbuhan penduduk dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu tingkat pertumbuhan penduduk secara alami yang disebabkan oleh adanya peristiwa kelahiran dan kematian. Pertumbuhan penduduk yang disebabkan adanya migrasi, baik itu migrasi masuk maupun migrasi keluar.

Tingkat pertumbuhan penduduk pada Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan selama lima tahun terakhir (tahun 2000: 7.213 jiwa – tahun 2004: 15.993) dengan tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 30,4 %. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk diduga bukan disebabkan oleh pertumbuhan penduduk alami melainkan disebabkan oleh tingginya tingkat migrasi penduduk (datang) ke daerah wilayah Kecamatan Teluk Meranti. Perubahan jumlah penduduk ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Teluk Meranti Tahun 2000-2005


Tingkat pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak dalam kurun waktu lima tahun terakhir jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Kecamatan Teluk Meranti. Persentase pertumbuhan penduduk selama lima tahun terakhir sebesar 9,6 % yang secara rata-rata pertumbuhan penduduknya pertahun sebesar 2.4 % (tahun

2000: 27.425 jiwa – tahun 2004: 30.070). Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sungai Apit merupakan pertumbuhan penduduk alami, yang disebabkan oleh proses kelahiran dan kematian. Untuk lebih jelasnya tingkat pertumbuhan penduduk di Kecamatan ini, dapat di lihat pada Gambar 3.


Selama lima tahun terakhir pertumbuhan penduduk Kecamatan Merbau sebesar 35,6 % dan secara rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 7,1 % pertahunnya (tahun 2000: 37.065 jiwa - tahun

2005: 50.264 jiwa). Tingginya persentase pertumbuhan penduduk bukan saja karena pertumbuhan penduduk yang alami akan tetapi juga oleh adanya migrasi yang masuk. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.

60.000

50.000

40.000

30.000

20.000

10.000


Ilil


□ Tahun 2000

□ Tahun 2001

□ Tahun 2002

□ Tahun 2003

■ Tahun 2004

Jumlah


Laki-laki


Perempuan


□ Tahun 2005


Gambar 4. Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Merbau Tahun 2000-2005

Jenis mata pencaharian masyarakat di wilayah Semenanjung Kampar (Kecamatan

Sungai Apit, Teluk Meranti, Merbau/Pulau Padang) dapat dilihat pada Gambar 5a.

ProsentasevenisMata Pencahariandi Kecamatan Sungai Apit, Teluk Meranti dan Merbau (Pulau Padang)


□ Petani □BuruhTani ■ Nelayan □ Tukang □ Dagang □ SVvasta □ PNS □ Pembalak

Gambar 5a. Persentase Jenis Mata pencaharian di kecamatan Sungai Apit, Teluk Meranti dan Merbau/Pulau Padang (Jikalahari, 2005).

Secara dominan pekerjaan masyarakat di Semenanjung Kampar adalah petani (53 %), buruh tani 27 %, Nelayan (7%) dan pembalak kayu (5%). Dengan demikian mayoritas masyarakat di Semenanjung Kampar menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alam khususnya lahan pertanian dan hutan,

dimana hutan-hutan tersebut dibuka untuk kebutuhan pembukaan lahan pertanian. Hal ini dibuktikan dengan tingkat ketergantungan masyarakat sekitar Semenanjung Kampar terhadap lahan dan hutan sangat tinggi seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5b.


Gambar 5b. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan di kecamatan Sungai Apit, Teluk Meranti dan Merbau/Pulau Padang (Jikalahari, 2005).

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap hutan berikut lahan yang ada mencapai 73 % sedangkan yang tidak tergantung sebesar 18 % dan ragu-ragu hanya 9%. Ketergantungan masyarakat yang begitu besar terhadap hutan

dan lahan di Semenanjung Kampar akan semakin mengkhawatirkan. Kondisi ini dapat dilihat dari pemahaman masyarakat akan kelestarian kawasan bagi kelangsungan ekosistem sangat rendah sehingga menyebabkan eksploitasi Semenanjung

Kampar seperti pembukaan lahan pertanian/perkebunan maupun kegiatan illegal loging dan tidak ada aturan lokal/kearifan lokal yang mengatur hal tersebut. Hal ini

tergambar dari rendahnya aturan adat masyarakat setempat berkenaan dengan penyelamatan sumberdaya hutan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 6.


Gambar 6. Aturan Adat yang berkenaan dengan Penyelamatan Sumber Daya Hutan Semenanjung Kampar (Jikalahari, 2005).

Berdasarkan gambar tersebut terlihat jelas bahwa hanya 18 % dari kelompok adat masyarakat yang memiliki aturan yang berkenaan dengan penyelamatan hutan, sedangkan 82 % tidak memiliki. Masyarakat yang memiliki aturan adat tersebut adalah masyarakat Kec. Teluk Meranti dan Desa Penyengat Kec. Sungai Apit. Ketergantungan

masyarakat terhadap hutan mengakibatkan terjadinya perubahan luas tutupan lahan dan hutan di Semenanjung Kampar cukup besar sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3. Selain itu juga terjadi perubahan Luas hutan (Ha) Semenanjung Kampar seperti pada Gambar 7.

Tabel. 3. Luas Tutupan Hutan Yang Hilang Di Semenanjung Kampar (WWF, 2006)

Tahun

Luas hutan (ha)

Luas hutan yang hilang (ha)

Persentase tutupan hutan(%)

Total Area Semenanjung Kampar

702,129

Tutupan Hutan 1982

678,055

97%

Tutupan Hutan 1988

650,271

27,785

93%

Tutupan Hutan 1996

648,025

2,246

92%

Tutupan Hutan 2000

583,079

64,946

83%

Tutupan Hutan 2002

544,308

38,771

78%

Tutupan Hutan 2004

472,968

71,340

67%

Tutupan Hutan 2005

441,781

31,186

63%

Gambar 7: Perubahan Luas Hutan (Ha) Semenanjung Kampar (WWF, 2006)


Tabel dan gambar diatas menunjukkan bahwa tutupan hutan di Semenanjung Kampar pada tahun 1982 mencapai 97 % dari luas total areal 702,129 ha. Pada tahun 2005 luas tutupan hutan yang ada hanya mencapai 63% atau telah terjadi deforestasi sebesar 34% dalam kurun waktu 23 tahun (dari tahun 1982 hingga 2005) dari luas keseluruhan Semenanjung Kampar atau sekitar 260,348 ha. Tingkat deforestasi tertinggi yakni 20 % terjadi dalam kurun waktu 5 tahun, sejak tahun 2000 – 2005. Selama masa tersebut telah hilang hutan alam rawa gambut seluas 141,298 ha. Hal ini ditambah pula oleh semakin meningkatnya kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman dan kegiatan lainnya seperti illegal loging yang mengakibatkan semakin berkurangnya luas tutupan hutan.

Menurut Setiabudi (WWF, 2006) luas hutan alam pada tahun 1990 mencapai 674.460 Ha atau 95% dari luas Semenanjung Kampar, namun pada tahun 2004 luas hutan alam telah berkurang menjadi 539.071 ha menjadi 76%

dari luas Semenanjung Kampar. Sementara itu tingkat pemanfaatan lahan di Semanjung Kampar meningkat dari hanya 25.256 ha atau 3% pada tahun 1990 menjadi 162.413 ha atau 21% dari luas Semenanjung Kampar pada tahun 2004 (Gambar 8). Lahan ini dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan sawit, karet, tanaman akasia dan lainnya baik oleh secara perorangan dan kelompok oleh masyarakat tempatan, pendatang, maupun yang dikelola oleh kegiatan industri swasta. Menurut WWF (2006), di Semenajung Kampar hingga tahun 2004 telah ada 12 perijinan perusahaan hutan tanaman industri meliputi lahan seluas 219.910 ha dan 16 perusahaan perkebunan dengan luas meliputi 105.503 ha, akan tetapi sebahagian besar perijinan ini saling tumpang tindih. Selain itu kegiatan illegal loging oleh pihak-pihak yang tidak bertanggunjawab juga telah menambah parah kerusakan dan berkurangnya kawasan hutan Semananjung Kampar.

Gambar 8. Kondisi lahan Gambut Semenanjung Kampar (WWF, 2006)


Berdasarkan data yang dijelaskan diatas terlihat bahwa Semenanjung Kampar secara perlahan-lahan mengalami degradasi atau kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas membuka lahan pertanian dan perkebunan maupun oleh kegiatan industri pertanian, perkebunan dan hutan tanaman ataupun oleh kegiatan illegal loging oleh berbagai pihak-pihak. Kondisi ini dapat menyebabkan Semenanjung Kampar sebagai suatu kawasan yang memiliki lahan rawa gambut yang luas dan dalam akan kehilangan lahan ini dan berbagai fungsi ekologis yang dimilikinya seperti mengatur air didalaman di permukaan tanah. Dengan sifat-sifatnya yang seperti spon, gambut dapat menyerap air yang berlebihan, yang kemudian secara kontinyu dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir dan juga kekeringan (Project FireFight, 2003).

Kemampuan gambut menahan air adalah sebesar 15-20 kali berat kering gambut itu sendiri (WWF. 2006). Dengan demikian, jika hutan rawa gambut ini akan dikonversi menjadi lahan pertanian, perkebunan atau hutan tanaman, maka dapat diduga akan terjadi kekeringan atau kebanjiran, dan lahan gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon dan kemampuannya untuk mengatur keluar-masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering sangat mudah terbakar mengakibatkan kerusakan dan kerugian yang besar terhadap ekosisitem lahan ini. Dengan adanya kebakaran akan merusak beberapa tempat ‘penyimpanan’ karbon terpenting di dunia ini dan melepaskan sejumlah besar karbon ke udara. Sebuah studi terbaru memperkirakan bahwa karbon yang dilepas selama kebakaran-kebakaran lahan gambut pada tahun 1997/98 sama jumlahnya dengan 13 sampai 40% dari emisi tahunan yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil di seluruh dunia (Project FireFight 2003). Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah). Setiap lapisan 1 meter gambut diperkirakan memendam sekitar 7 x 109 ton karbon/Ha (Notohadiprawiro dalam Noor, 2001).

Berdasarkan asumsi bahwa luas lahan gambut Riau 4,044 juta ha (Darajat 2006) dengan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton (Kementerian Lingkungan Hidup, 2005)

sedangkan lahan gambut Semenanjung Kampar hingga 2005 seluas 441.781 Ha, maka kandungan karbon yang tersimpan di wilayah ini 1.596 juta ha, atau sekitar 10% dari total kandungan karbon yang ada di lahan gambut Riau

  • 4.    Simpulan dan Saran

Aktivitas sosial ekonomi baik dalam skala kecil (masyarakat) maupun skala besar (industri) telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis berupa degradasi hutan dan lahan di kawasan Semenanjung Kampar. Hubungan antara aktivitas ini dengan kondisi hutan dan lahan lingkungan Semenanjung Kampar dapat digambarkan sebagai berikut:

  • 1)    Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas sosial ekonomi mengakibatkan         peningkatan

ketergantungan terhadap hutan-lahan.

  • 2)    Terjadi deforestasi Semenanjung Kampar sekitar 260,348 ha (34%) dari 1998 – 2005. Deforestasi terbesar terjadi dalam kurun waktu 2000 – 2005    sebesar   20%.    Tingkat

pemanfaatan lahan meningkat dari 25.256 ha tahun 1990 menjadi 162.413 ha tahun 2005.

  • 3)    Perlu dilakukan penelitian yang komphrehensif untuk mengklarifikasi besarnya kontribusi degradasi hutan dan lahan Semenanjung Kampar terhadap peningkatan suhu.

Daftar Pustaka

Derajat, S. 2006. Konversi Lahan Gambut dan

Perubahan Iklim. Republika. 12 Agustus 2006.

Jikalahari.2005. Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Semenanjung Kampar Dan Pulau Padang. Tim Jikalahari, tidak diterbitkan. Pekanbaru

Kantor Kementerian Lingkungan Hidup. 2005.

Status Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Propinsi Riau dan Antisipasi Negara Tetangga tahun 2005. Lokakarya Pemanfaatan Lahan Gambut Secara Bijaksana untuk Manfaat Berkelanjutan di Pekanbaru, 2005.

Kecamatan Dalam Angka 2006. Kantor Statistika Propinsi Riau. Terbit tahun 2007.

Mantra. 1997. Metode Penelitian dan Penulisan. PPK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Yayasan Kanisisus, Jogyakarta.

Project FireFight. 2003. Burning Issues. Berpikir untuk manajemen kebakaran yang lebih efektif. Membakar lahan gambut sama artinya dengan membuat polusi asap. Project FireFight South East Asia.

Rifardi, Kadarisman, Y., Purnomo, H. 2007. Studi dan Assessment tentang Penebangan Liar (illegal logging) Kebakaran Hutan dan Sosial Ekonomi Masyarakat Semenajung Kampar. Kerjasama dengan PT. Pelangi Energi Abadi Citra Enviro, Pekanbaru (tidak diterbitkan).

WWF Indonesia. 2006. Overview of the Status of Natural Forests in Kuala Kampar, Riau, Sumatera, Indonesia: Proposed Expansion of the Peninsula’s Existing Conservation Areas. Submitted to the Indonesian Ministry of Forestry on 7 February 2006.

154