PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PADA LANSKAP SAWAH TERAS DAN FAKTOR PENYEBABNYA DI HOKUDAN CHO, HYOGO PREFECTURE, JEPANG

I G.A.A.Rai Asmiwyati 1), Nurhayati Hadi Susilo Arifin 2)

  • 1)    PS Arsitektur Pertamanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, UNUD

  • 2)    Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB

Abstract

The research were identified terraced land use change and its causality as well as analyzed the relationship with irrigation management systems in a terraced paddy landscape in Hokudan-Cho, Awaji Island, Hyogo Prefecture, Central Japan. Between 1963 and 2000. As the result, the land use change from 1963 to 2000 was dominated by the decrease of terraced paddy field into other utilizations. It became clear that the social factors which cannot be seen directly in the field induced influences on the pattern of landscape change and the land management in the two types of irrigation system. Customary social rules which is contained in Tazu system were strongly contributed to the sustainability of the terraced paddy fields. Hoping this research also can be an inspiration to conserve the landscape of terraced paddy field in Bali Island.

Keywords : rice terraced irrigation, land use change, rice terraced landscape

  • 1.    Pendahuluan

Pertanian padi telah lama dikenal dunia. Aplikasinya di lereng pegunungan terwujud melalui rangkaian perubahan lahan oleh manusia dalam praktek-praktek pertanian, sehingga tercipta lanskap sawah yang berteras. Budaya sawah teras diduga merupakan budaya khas bangsa-bangsa di Asia Pasifik yang telah diwariskan turun temurun oleh masyarakat tradisionalnya (Von Droste et al. 1995).

Upaya memanfaatkan fungsi alami pegunungan dalam bentukan teras

menunjukkan tingkat pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan pangan serta kearifan masyarakat tradisionalnya dalam mengkonservasi alam. Perpaduan aktivitas produksi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat serta aspek biofisik/alam menciptakan karakter lanskap sawah teras tersendiri yang unik dan khas di masing-masing wilayah, sekaligus menciptakan kenyamanan visual dan fungsi-fungsi ekologis seperti habitat satwa liar, penyimpan air, dan pengendali banjir yang harus dilindungi. Akan tetapi

saat ini di seluruh dunia kondisi lanskap sawah teras menunjukkan kondisi yang semakin terancam menyempit karena beralih fungsi atau tidak terurus.

Berbagai usaha untuk melanjutkan lanskap sawah teras telah dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat, baik di tingkat lokal hingga internasional. Pada tahun 1995, World Heritage Committee menetapkan sawah teras di pegunungan Cordilleras, Philipina sebagai warisan budaya dunia (world heritage). Demikian juga di Negara Jepang, pihak pemerintah baik pusat maupun lokal, perguruan tinggi, non pemerintah dan masyarakat telah memberikan perhatian dalam upaya pelestarian lanskap sawah teras melalui aktivitas-aktivitas seperti pemberian insentif kepada petani, perbaikan fisik sawah teras dan struktur pendukung, penelitian, ownership system dan wisata (Nakajima, 1996 dan Shigematsu, 2000).

Di Jepang sawah teras dibangun pada lereng-lereng pegunungan dengan mengubah hutan alami dan mengkonstruksi dinding sawah teras dengan batu (Fukamachi, et al., 2001), namun kini pengelolaan untuk menjaga kelestariannya mengalami kesulitan akibat menurunnya jumlah tenaga kerja, surplus beras dan kebijakan pemerintah Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan lanskap sawah teras yang terjadi di tahun 1963-2000

dan faktor-faktor penyebabnya serta menganalisis interaksi antara perubahan yang terjadi dengan dua sistem pengelolaan irigasi yang ada di lokasi penelitian.

  • 2.    Metode Penelitian

    2.1.    Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Hokudan-Cho, Propinsi Hyogo, Jepang pada bulan September 2002-Februari 2003. Luas area penelitian 83 ha, dengan ketinggian elevasi bervariasi 93 m hingga 283 m di atas permukaaan laut. Presipitasi curah hujan tahunan bervariasi antara 03000 mm, dengan temperatur maksimim 270C terjadi di bulan Agustus dan temperatur minimum 50C terjadi di bulan Februari.

Area ini dipilih karena mampu merepresentasikan bentukan teras-teras padi secara umum dari Hokudan-Cho. Untuk mengatasi kondisi curah hujan yang rendah, jumlah sungai yang sedikit dan kondisi yang berlereng, para petani membangun kolam penampungan sebagai sumber irigasi sawah teras dengan sistem pengelolaan yang cukup kompleks. Kawasan penelitian memiliki dua tipe sistem pengelolaan irigasi kolam untuk sawah terasnya. Satu dari sistem tersebut disebut Tazu, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki hak atas penggunaan sumber air (kolam). Luas sawah petani yang

menggunakan sistem ini adalaha 43 ha. Petani yang tergabung dalam tazu harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan, menentukan alokasi air dan merawat fasilitas (Cheng et al., 2000). Sistem irigasi lainnya adalah sistem pengelolaaan irigasi pribadi yang disebut Kojin, seluas 40 ha. Pada sistem ini, kolam irigasi terletak berdekatan dengan rumah tinggal petani dan sawahnya. Batas area tazu dan kojin menjadi pertimbangan dalam menentukan batas wilayah penelitian.

  • 2.2.    Alat

Alat yang digunakan adalah kamera digital, komputer, peta foto udara tahun 2000, peta topografi skala 1:2500 tahun 1963 dan 2000, kompas, alat tulis, software GIS (Geographical Information System) TNT MIPS.

  • 2.3.    Metode Penelitian

Identifikasi perubahan lahan yang terjadi tahun 1963-2000 dilakukan melalui analisis peta menggunakan software TNT MIPS. Peta topografi dengan format vektor didigitasi sehingga penggunaan lahan dapat diklasifikasikan menjadi hutan kayu, hutan bambu, sawah, pertanian lahan kering, kebun buah, padang rumput, kolam, selokan, pemukiman, jalan, kuburan, dan lahan kosong. Klarifikasi perubahan sawah teras selama periode tersebut dan faktor-faktor pendorong perubahan lahan dilakukan melalui analisis peta dan wawancara. Peta topografi tahun 1963, 2000 serta foto udara tahun 2000 dapat dilihat pada Gambar 1.

Peta topografi tahun 1963


Peta topografi tahun 2000


Foto udara tahun 2000

Gambar 1. Peta Topografi tahun 1963 dan 2000 dan Peta Foto Udara tahun 2000


Evaluasi peta foto udara tahun 2000 dengan survei lapang dilakukan untuk memperkuat tipe penggunaan lahan dan mengetahui kondisi hutan bambu di setiap periode. Hal ini terkait dengan tingginya perbedaan jumlah hutan bambu yang ada di lapang namun tidak didukung dengan penggolongan hutan bambu pada peta topografi.

Perubahan sosial yang menjadi penyebab perubahan lanskap, penggunaan lahan, pengelolaan irigasi, dan peraturan pemerintah diidentifikasi melalui wawancara dengan pegawai pemerintah yang terkait dan

penduduk petani di lokasi penelitian. Wawancara terhadap penduduk dilakukan secara berkelompok dan individu. Responden berjumlah tiga puluh orang adalah petani sawah teras yang menggunakan sistem irigasi tazu dan ataupun kojin untuk mengairi sawahnya.

  • 3.    Hasil

    3.1.    Pola Lanskap Sawah Teras

Sawah teras mendominasi penggunaan lahan. Dua buah kolam penampungan air yang besar dibangun di tempat tertinggi untuk mengairi area tazu,

sementara itu sejumlah kolam kecil dibangun pada area milik pribadi sebagai suatu sistem irigasi kojin. Kedua sistem irigasi ini dipisahkan ke dalam dua area yang jelas.

Letak rumah di area kojin berjauhan satu dengan lainnya. Bentukan lahan pertanian seperti sawah, kebun, ataupun pertanian lahan kering mengelilingi rumah-rumah para petani dan dihubungkan oleh jalan permanen yang sempit. Di area tazu, rumah petani terletak dalam beberapa unit

pemukiman. Sawah teras petani saling berhubungan menjadi lanskap sawah teras yang sangat luas, sedangkan bentukan hutan melingkar secara menyebar.

Pada tahun 1963, sawah teras mendominasi lanskap (57,3% dari total area), diikuti penggunaan hutan kayu (21,4%), padang rumput (6,3%)dan pemukiman (5,7%).Perubahan lanskap yang terjadi pada tahun 1963 dan 2000 tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Transformasi penggunaan lahan tahun 1963 dan 2000.

Penggunaan lahan

1963

2000

Ha

%

Ha

%

Hutan kayu

17.7

21.4

13.5

16.3

Hutan bambu

0.7

0.8

3.9

4.7

Sawah

47.6

57.3

36.8

44.3

Pertanian lahan kering

0.0

0.0

3.6

4.4

Kebun buah

1.0

1.2

0.5

0.6

Padang rumput

5.2

6.3

9.7

11.6

Kolam

4.4

5.3

3.9

4.7

Selokan

0.4

0.5

0.5

0.6

Pemukiman

4.7

5.7

5.9

7.2

Jalan

1.1

1.4

4.4

5.3

Kuburan

0.1

0.1

0.1

0.1

Lahan kosong

0.0

0.0

0.1

0.1

Jumlah

83.0

100.0

83.0

100.0

Sepanjang 37 tahun, area sawah menunjukkan penurunan 13 poin sedangkan hutan kayu 5,1 poin. Peningkatan penggunaan lahan yang substansial terjadi pada pertanian lahan kering, padang rumput, dan hutan bambu.

Padang rumput meningkat 53 poin dan hutan bambu meningkat 39 poin. Pada tahun 1963 hampir seluruh area ditutupi oleh sawah dan kebun buah dan tidak ditemukan adanya penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering. Pada

tahun 2000, 4,4% dari keseluruhan area digunakan sebagai pertanian lahan kering dengan mengubah kolam irigasi terutama yang berukuran kecil dan terletak berdekatan dengan rumah petani.

  • 3.2.    Perubahan Sawah di Area Tazu dan Kojin.

Baik di di area tazu maupun kojin perubahan penggunaan lahan tertinggi terjadi pada sawah. Namun bila dibandingkan, perubahan sawah tertinggi terjadi di area kojin. Di area tazu perubahan sawah tertinggi menjadi padang rumput (37,7%), diikuti

pertanian lahan kering (15,7%). Di area kojin perubahan sawah didominasi menjadi pertanian lahan kering (28,6%), diikuti padang rumput (26,3%), jalan (14%) hutan kayu (12,1%), pemukiman (9,9%) dan hutan bambu (6,5%).

Perubahan penggunaan sawah menjadi bentuk lain seperti kolam, selokan, dan lahan gundul juga terjadi tetapi tidak mempengaruhi struktur sawah teras di setiap area irigasi. Gambar 1 dan 2 menunjukkan penggunaan lahan tahun 2000 dan 1963. Perubahan sawah di area tazu dan kojin tahun 1963 dan tahun 2000 tersaji pada

pemukiman (21,7%), jalan (16,2%) dan Tabel 2.

Pengggunaan Lahan Tahun 2000


Pengggunaan Lahan Tahun 1963

Gambar 2. Hasil Analisis Penggunaan Lahan Tahun 2000 dan 1963.

Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan sawah tahun 1963 dan tahun 2000 di area tazu dan kojin

Penggunaan Lahan

Area Tazu

Area Kojin

Luas Area

(m2)

Persentase (%)

Luas Area

(m2)

Persentase (%)

Padang rumput

20205

37.7

18898

26.3

Pemukiman

11615

21.7

7100

9.9

Jalan

8672

16.2

10080

14.0

Pertanian lahan kering

8400

15.7

20567

28.6

Kebun buah

1949

3.6

1414

2.0

Hutan kayu

1746

3.3

8722

12.1

Hutan bambu

800

1.5

4677

6.5

Lainnya

193

0.4

438

0.6

Total

53580

100.0

71896

100.0

4. Pembahasan                           mengurangi penanaman padi dan

Kebijakan pemerintah Jepang untuk memberikan dukungan dana bagi pertanian mengatasi masalah surplus beras dengan cara dengan kultivar lain memberikan pengaruh

yang sangat besar pada perubahan sawah teras di area tazu dan kojin. Faktor lain yang turut mempengaruhi perubahan sawah teras terjadi akibat pesatnya pembangunan industri dan meningkatnya peluang kerja di kota yang berdampak pada menurunnya minat generasi muda di kawasan studi untuk melanjutkan budaya sawah teras. Sementara itu, usaha untuk bertahan mengelola sawah teras membutuhkan banyak biaya dan energi. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, para petani kemudian menyeleksi sejumlah petakan sawahnya untuk diubah menjadi penggunaan lainnya atau bahkan meninggalkan seluruh sawahnya sehingga terbengkalai atau menjadi lahan kosong.

Perbedaaan dalam pola transformasi sawah teras ditentukan oleh jarak tempuh yang berbeda dari rumah petani/pemukiman dan topografi setiap unit lahan. Dari hasil survei lapang, sebagian besar sawah teras yang berubah fungsi tersebut memiliki kondisi fisik yang jauh dari tempat tinggal petani dan terletak pada kelerengan yang curam sehingga sulit untuk dijangkau dengan mesin pertanian. Faktor lain yang turut mempengaruhi pola transformasi sawah teras adalah perbedaan sudut pandang dari petani terhadap nilai penting setiap unit lahan yang dimilikinya. Sawah teras yang terletak di puncak lereng di area kojin umumnya lebih mudah mengalami perubahan menjadi lahan yang ditinggalkan atau hutan karena dinilai

tidak efisien. Transformasi ini semakin banyak terjadi setelah kejadian gempa bumi hebat tahun 1995 yang banyak menghancurkan kolam irigasi petani.

Petani memilih untuk mengganti fungsi sawah dengan dasar pertimbangan biaya, energi dan perlu tidaknya produksi untuk kebutuhan sehari-hari,. Di area kojin, transformasi sawah teras lebih banyak menjadi pertanian lahan kering, sedangkan di area tazu transformasi sawah teras lebih banyak menjadi padang rumput. Perubahan sawah di area kojin lebih banyak terjadi pada petakan sawah teras yang letaknya berdekatan dengan rumah petani.

Secara sosial, perubahan sawah di area kojin lebih mudah terjadi karena petani tidak terikat dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Secara fisik, mudahnya perubahan tersebut disebabkan oleh lokasi sawah yang dikelilingi oleh jalan, dinding lereng atau bentukan lainnya. Sehingga, perubahan sawah yang terjadi tidak akan mengganggu keberlangsungan sawah teras milik petani lain yang berdekatan. Berbeda di area tazu, setiap unit kepemilikan sawah saling berdekatan sehingga perubahan yang terjadi di setiap unit kepemilikan lahan akan berdampak pada keberlangsungan sawah teras petani lainnya dalam kelompok tazu. Sehingga bila ada anggota tazu yang mengubah sawahnya, akan tetap dikenakan

kewajiban untuk tetap mengelola lahan dan jaringan irigasi.

Pengelolaan sawah yang dilakukan secara rutin di area tazu mempengaruhi keragaman biodiversiti. Sebagai contoh, pemangkasan rumput liar dan vegetasi bambu (Bambussa sp.) sangat efektif untuk menurunkan luasan hutan bambu dan spesies liar yang bila tidak ditangani berdampak pada menurunnya keanekaragaman hayati. Dampak lain yang diperoleh dari tindakan perawatan yang teratur terhadap sistem jaringan irigasi adalah untuk menjaga hak air dan menjaga keharmonisan antara anggota kelompok, lebih lanjut tindakan tersebut juga dapat menyediakan habitat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman air dan hewan.

5. Simpulan dan Saran

Perubahan penggunaan lahan tahun 1963 dan 2000 didominasi oleh perubahan sawah menjadi penggunaan lainnya. Faktor-faktor sosial yang tidak bisa dilihat secara langsung memberikan pengaruh yang sangat besar pada pola perubahan lahan dan bentuk pengelolaan lahan pada dua tipe sistem irigasi yang berbeda. Peraturan sosial yang

mengikat di area tazu secara kuat memberikan pengaruh pada keberlanjutan lanskap sawah teras.

Konservasi pada lanskap sawah teras adalah salah satu tujuan yang penting untuk menjaga keberlanjutan aspek sosial dan budaya. Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sistem pengelolaan air dan lahan yang tepat dalam mendukung konservasi lanskap sawah teras diperlukan. Usaha ini harus memperhatikan sistem pengelolaan tradisional seperti halnya dengan sistem tazu dan menemukan suatu cara untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi pada sistem tersebut.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Hyogo dan Awaji Landscape Planning and Horticulture Academy (ALPHA) yang telah membiayai penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Tomohiro Ichinose, Miwa Kataoka dan Asada M. atas segala fasilitas dan bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Cheng S, Asada M, Ichinose T. 2001. Topography and the Tazu System of Awaji’s Rainwater Storage Pond (Tameike)- A Comparison Study of The Farming Social Structure in Hokudan-Cho and Mihara-cho, Hyogo Prefecture. Journal of Landscape Planning and Horticulture. 1(2) (hlm..9-14).

Fukamachi, K., Hirokazu, O. and Nakashizuka, T. 2001. The Change of a Satoyama Landscape and Its Causality in Kamiseya, Kyoto Prefecture, Japan, Between 1970 and 1995. Journal of Landscape Ecology 16, (hlm.703-717).

Nakajima M. 1996. Sustainability of Rice Terraces. Journal of Geography. 105(5) (hlm.547-568).

Shigematsu T. 2000. Woodland Improvement and Restoring Terraced Paddy Fields as Rural Landscape and Wildlife Habitats by The International Conservation Volunteer Activities. Seminar 10th IFLA Eastern Regional Japan: 5 p.p.

Von Droste B, Platcher H, and Rossler M. 1995. Cultural Landscape of Universal Value. Gustav Fischer Verlag Inc, New York.