KELAPA DALAM BUDAYA BALI SERTA UPAYA PELESTARIANNYA
on
Nyoman Adiputra, dkk. : Kelapa Dalam Budaya Bali Serta Upaya Pelestariannya
KELAPA DALAM BUDAYA BALI
SERTA UPAYA PELESTARIANNYA
1)Nyoman Adiputra, 2) I Nyoman Wardi
1)Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar
Grup Riset Pembangunan Berlanjut; Pusat Kajian Ergonomi Universitas Udayana.
2)Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
E-mail: [email protected]
Abstrak
Peran kelapa dalam kehidupan masyarakat Bali sangat besar. Nilai ekonomis kelapa menjadikan tanaman kelapa menjadi salah satu komoditas manusia Bali dalam berkehidupan. Produk pohon kelapa mulai dari daun (muda dan tua), bunga, buah (muda dan tua), dan batangnya semua digunakan manusia Bali. Sebagai bahan utama makanan, bahan bangunan, serta kerajinan tangan. Dalam tulisan ini disoroti penggolongan kelapa menurut budaya Bali, dengan ciri-cirinya. Paling tidak ada 12 macam jenis kelapa di Bali, yaitu : nyuh bulan (kelapa bulan), nyuh udang (kelapa udang), nyuh gading (kelapa kuning), nyuh gadang (kelapa hijau), nyuh sudamala (kelapa suda-mala), nyuh bojog (kelapa kera), nyuh surya (kelapa matahari), nyuh rangda (kelapa rangda), nyuh be julit (kelapa ikan julit), nyuh bongol (kelapa tuli), nyuh mulung (kelapa mulung), dan nyuh harum (kelapa harum). Tujuan pemaparan ini yaitu agar penggolongan etnobotani tersebut dilestarikan sehingga menjadi pemahaman bersama. Tanpa pemahaman maka upaya pelestarian akan menjadi kering tanpa makna. Diharapkan dengan pemahaman timbul kepedulian untuk berpartisipasi dalam pelestariannya.
Kata kunci: kelapa, budaya Bali, kepedulian, pelestarian
COCONUT AND IT’S CONSERVATION IN BALINESE CULTURE
Abstract
The coconut has a meaningful role in Balinese live. Economically, the coconut is becoming one of the commodity of Bali. The coconut products such as young and old leaves, flower, young and old fruits and the coconut stems, all of them used by the Balinese. Coconut is considered as food stuff, building materials, and for handycrafts. This article reports the cultural classification of coconut, based on Balinese way of looking. At least there are 12 kinds of coconut, namely: 1) nyuh bulan, 2) nyuh udang, 3) nyuh gading, 4) nyuh gadang, 5) nyuh sudamala, 6) nyuh bojog, 7) nyuh surya, 8) nyuh rangda, 9) nyuh be julit, 10) nyuh bongol, 11) nyuh mulung, and 12) nyuh harum. The intended coconuts are used mainly for religious ceremony. The aim of this article is to desiminate the intended information for it’s conservation and preservation. By knowing that, as a Balinese, hopefully, that every body fully concerned in the preservation program of coconut until forever.
Key words: coconut, Balinese culture ,concerned, preservation and conservation
Kelapa dengan nama Latinnya Cocos numefora Linn memang banyak tumbuh di daerah tropis, seperti di seluruh kepulauan Indonesia termasuk di Pulau Bali. Hampir setiap keluarga di Bali Tengah sampai ke pesisir, mempunyai pohon kelapa. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa pemanfaatan kelapa sangat dominan dalam kehidupan manusia Bali. Justru keberadaan pohon kelapa menjadi suatu pemandangan unik suatu desa, dengan gambaran daun nyiurnya melambai. Karena itu pula sekarang ada kecenderungan, gardening department hotelhotel berbintang banyak memindahkan pohon kelapa yang sudah dewasa, guna menikmati keindahannya. Dari situ pula unsur gardening menjadi salah satu lapangan kerja yang menjanjikan di Bali. Dalm tulisan ini dicoba diulas pemanfaatan produk tanaman kelapa bagi masyarakat Bali, mulai dari nilai ekonomisnya, nilai kultural, serta upaya pelestariannya.
Penulisan artikel ini dilakukan melalui metode pengumpulan data dengan teknik survei dan wawancara (intrview), serta melakukan studi pustaka. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
Nilai ekonomis kelapa dapat dilihat dari produk tanaman kelapa, seperti daunnya (busung = daun yang muda; selepan = daun yang tua; danyuh = daun kering), buahnya (kuwud = buah muda; nyuh = yang tua), bunga (blangsah = bunga muda ; bungsil = bunga yang sudah akan menjadi bibit buah ), batangnya (empol = ujung tunas muda, seseh = batang tua). Daun kelapa yang muda (busung ) digunakan untuk membuat berbagai janur (sampian) dengan berbagai bentuknya dan ketupat (juga berjenis-jenis) dalam upacara adat (Surayin, 2002a,b; 2004a,b). Bentuk sampian ada yang segi tiga (iluk-iluk, celemik, tangkih dan kojong), segi empat (ceper, taledan), bundar (tamas, taledan) dan berbentuk wakul (Surayin, 2002a,b; 2004a,b; 2007). Demikian pula daun tua yang berwarna hijau (selepan) dipergunakan untuk membuat sampian. Daun tua juga dapat dibuat anyaman penutup kepala (capil) yang banyak dipakai oleh petani Bali. Anyaman lainnya berbentuk kelabang, dipakai untuk dinding dan atap bangunan sementara. Lidi
daun kelapa dapat dibuat sapu, dan anyaman berbentuk piring (ingka).
Buah kelapa yang muda dimanfaatkan untuk rujak (Adiputra, 1999; 2004), untuk obat dan untuk upacara (bungkak atau kelungah). Sedangkan buah tua dapat diolah menjadi minyak kelapa (Arimbawa, 2008) dengan produk sampingan seperti telengis (bahan makanan), dan roroban (air sisa saringannya) untuk makanan ternak. Bunganya yang belum mekar digunakan untuk sesajen khusus dalam pitra dan dewa yadnya (Surayin, 2002a, b; 2004a, b; 2007); sedangkan bunga kelapa yang sudah menjadi calon buah (bungsil) dapat dijadikan bahan pencampur rempah-rempah (Adiputra, 1999). Sementara itu, batangnya yang muda terutama diujung tunasnya (empol) dapat dipakai bahan sayuran. Batang kelapa yang tua merupakan bahan bangunan pengganti kayu yang sangat andal di Bali. Dengan warna seratnya yang hitam, kayu batang kelapa (seseh) dapat dipakai dalam semua unsur bangunan Bali. Malahan bungkil kelapa yang tadinya tidak berguna sekarang sudah diukir menjadi kursi dan meja ukir Bali. Sisa atau produk lainnya setiap bulan dari pohon kelapa dimanfaatkan menjadi kayu api , seperti pelepahnya, daunnya, sabutnya, dan batoknya. Kelapa hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia Bali. Bagi masyarakat pesisir di Bali, tidak sedikit kehidupan mereka mengandalkan kepada produk tanaman kelapa.
Dalam suatu upacara adat dan agama di Bali hampir dapat dipastikan tidak terlepas dari pemanfaatan produk pohon kelapa. Kelabang sebagai produk anyaman dari daun kelapa mempunyai seribu satu kegunaan. Mulai dari pembelat dinding, atap dan dipakai tempat sesajen. Bunga dan buah kelapa sebagai salah satu sarana upakara yang mutlak harus ada. Upakara pembersihan bangunan atau lokasi wilayah atau pembersihan secara spiritual untuk diri sendiri tidak dapat terlepas dari tirhta dari air kelapa muda (kelungah) (Supartha, 1998). Berbagai jenis janur (sampian) di Bali terbuat dari daun kelapa muda (busung). Demikian pula busung dapat dipakai berbagai jenis kulit ketupat (Surayin, 2002a, b; 2007). Dalam berbagai sarana ebatan di Bali daging buah kelapa adalah bahan utamanya dalam membuat lawar, sesate ataupun pesan, atau bentuk lainnya. Berbagai jenis jajan dan
pangan lainnya selalu mengandung parutan daging kelapa atau santan kelapa. Buah kelapa utuh mabungkulan sebagai pengisi sesantun, pajati, daksina ataupun dalam keadaan bersih (makerik). Buah kelapa yang makerik dipakai sarana dalam tabuh rah, diadu sampai pecah. Sabut kelapa dipakai sarana api takep.
Satu hal yang menarik dalam kaitan upacara adat dan agama di Bali adalah pemanfaatan buah kelapa. Semakin utama atau besar tingkatan upacara/yadnya yang dilaksanakan semakin lengkap jenis kelapa yang dipakai. Misalnya dalam membuat sesajen pula kerti, maka semua jenis kelapa diperlukan. Dalam hubungan itulah dikenal penggolongan kelapa , sebagai berikut. 1) Nyuh bulan (kelapa bulan); ciri kulit buah yang muda sampai setengah tua berwarna kuning keputihan;
-
2) Nyuh udang (kelapa udang); ciri kulit buah berwarna hijau tetapi di pangkal tapuk buahnya ada warna merah di sekeliling tapuk buah; ciri itu hanya tampak pada buah yang muda (kelungah sampai kuwud);
-
3) Nyuh gading (kelapa kuning); ciri kulit buahnya yang muda sampai dengan setengah tua berwarna kuning;
-
4) Nyuh gadang (kelapa hijau); ciri kulit buahnya dari muda sampai setengah tua berwarna hijau;
-
5) Nyuh sudamala (kelapa sudamala); cirinya dalam tangkai bunga selalu ada bentukan berupa jengger ayam yang kering. Dalam setangkai bunga kelapa baik sudah dengan buahnya ataupun belum menjadi buah akan dapat banyak bentukan-bentukan itu. Hali ini dapat dilihat dari bawah;
-
6) Nyuh bojog (kelapa kera); cirinya sabut kelapa ini sangat halus serat-seratnya, sehingga tidak dapat dicari urat sabutnya. Seluruh sabutnya (terutama yang masih basah) berwarna abu-abu;
-
7) Nyuh surya (kelapa matahari). Ciri kulit buah kelapa yang muda sampai setengah tua berwarna merah kekuningan.
-
8) Nyuh rangda (kelapa rangda); cirinya seluruh daun kelapa ini menutupi pohonnya, sehingga bagaikan rambut rangda, terutama daun dan pelepahnya yang kering banyak bergelan-
tungan di sekitar batangnya, sehingga sulit untuk menaiki pohonnya. Hal itu mudah dilihat dari jauh;
-
9) Nyuh bejulit (kelapa ikan julit); cirinya daun kelapa ini setiap pelepahnya bersatu pada ujung daunnya (gempel). Hal itu sangat mudah dilihat dari jauh;
-
10) Nyuh bongol (kelapa tuli); cirinya buah kelapa walaupun sudah tua tidak pernah akan kedengaran suara air di dalam buah. Nyuh bongol setiap butirnya lebih berat ukurannya dibandingkan dengan kelapa lainnya. Seperti kelapa lainnya bila sudah setengah tua sampai tua, bila dikocok-kocok kedengarannya ada suara air; tetapi tidak demikian pada kelapa tuli (nyuh bongol);
-
11) Nyuh mulung, dimana tebal daging kelapanya sangat tipis, dan beratnya lebih ringan dari biasanya;
-
12) Nyuh arum (kelapa harum); cirinya kelapa muda (kuwud) kalau dibuka kulitnya sudah mulai berbau harum; sampai kepada airnya terasa dan berbau harum.
Keberadaaan jenis-jenis kelapa tersebut pasti diperlukan dalam upacara utama di Bali. Mengenai dimana didapatkan kelapa tersebut, itulah menjadi tugas warga masyarakat untuk mencarinya. Biasanya di setiap desa pasti ada yang tumbuh jenis kelapa tersebut. Paling mudah untuk mencari jenis kelapa nomor satu sampai jenis nomor lima. Sedangkan untuk jenis kelapa nomor 6 sampai 10 keberadaannya agak jarang dan penduduk lokal banyak yang belum mengetahuinya.
Apakah itu hanya penggolongan secara budaya saja atau memang sebagai suatu sempalan genetis kelapa yang ada? Hanya penelitian yang dapat menjawabnya. Atas dasar keberadaannya, kemungkinan jenis-jenis kelapa nomor 5 sampai 10 tadi merupakan suatu penyimpangan sifat yang diturunkan. Kalau hal itu benar, dalam rangka menjaga keberlanjutannya dan juga dari aspek pendidikan kepada masyarakat perlu diupayakan untuk menyebar-luaskan penanaman kelapa tersebut. Mengapa? Karena upacara agama yang tergolong utama selalu akan terjadi, dan untuk itu jenis kelapa itu diperlukan. Dengan ada penanaman tersebut mempermudah masyarakat untuk memperolehnya.
Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, manfaat kelapa sangat banyak dalam kehidupan orang Bali. Buahnya sebagai sarana dalam upacara adat dan agama (Supartha, 1998; Surayin, 2002a.b, 2004 a,b, 2007). Dalam upacara yang tergolong utama buah kelapa harus ada sebagai sarana isi alam. Kelapa yang diperlukan adalah: nyuh gadang atau mulung yang dalam pangider-ideran dilokasikan di utara, sebagai simbul warna hitam/gelap; nyuh bulan dilokasikan di timur, sesuai dengan warnanya putih (petak); nyuh udang di lokasikan di selatan, karena warna kulit tapuknya merah(bang/barak); nyuh gading di lokasikan di barat, simbul warna kuning; nyuh bejulit dilokasikan di barat laut sebagai simbul warna kulitnya hijau (gadang); nyuh bojog dilokasikan di timur laut, karena warna sabut kelapa agak abu-abu (klawu); nyuh rangda di tenggara sebagai simbul warna ros (dadu); dan nyuh surya di barat daya sebagai simbul warna jingga. Sedangkan nyuh sudamala dilokalisasikan di tengah-tengah. Apa yang dipakai sebagai simbulnya sehingga ia ditempatkan di tengah-tengah. Hal itu jelas akan didapatkan dalam membuat upakara pule kerti atau bagia, dalam upacara tingkatan utama.Sedangkan untuk jenis kelapa lainnya seperti nyuh bongol, nyuh arum biasanya dipergunakan untuk membuat minyak kelapa, dan sering sebagai bahan ramuan obat secara tradisional.
Penempatan jenis kelapa tersebut dalam membuat upakara yadnya dimaksud, sesuai dengan arah pangider-ideran di Bali. Pasangan jenis buah-buahan (panca pala) yang bernilai sama juga adalah sebagai berikut: buah pangi (Pangium edule Reinwe) di utara, buah manas/nenas (Ananas comosus Merr.) di tengah, buah pinang (Areca catechu L.) atau manggis (Garcinia mangostana L.) di selatan, buah tingkih/kemiri (Aleurites moluccana Willd.), di timur, dan buah pisang (Musa paradisiaca L.) atau ceroring/duku (Lancium domesticum Jack.) di barat. Sedangkan untuk daun disebut sebagai panca dala identik dengan buah tadi, yaitu: daun pinang (Areca catechu L.) di utara, daun durian (Durio zibethinus Murr.) di timur, daun rambutan (?) di selatan, daun kelapa muda (Cocos nusifera) di barat, dan daun salak (Salacca edulis Reinwe.), di tengah.
Dengan berbagai produk pohon kelapa, dan dimanfaatkan oleh masyarakat dalam berbagai tujuan dalam kehidupan, maka sangatlah strategis upaya pelestariannya (Adiputra, 2008). Kelapa yang memberikan manfaat ekonomis, religius, nutritif dan magis sudah sepatutnya ada upaya untuk melestarikan secara nyata. Memang tanpa upaya pelestarian pun, kelapa tetap ada. Pelestarian yang dimaksudkan ialah berhubungan dengan jenis kelapa secara budaya di Bali (Supartha, 1998). Mencari kelapa memang mudah, tetapi mencari kelapa sesuai dengan klasifikasi di atas, sangat sulit. Banyak di antara kita orang Bali, tidak dapat mengenali jenis kelapa tersebut. Jenis kelapa itulah yang patut dilestarikan.
Di setiap desa atau banjar wajib ditanam jenis-jenis kelapa tersebut, sehingga pada saatnya dibutuhkan, dengan mudah mencarinya. Penanamannya diupayakan di tempat-tempat yang juga bernilai strategis, seperti misalnya tanah telajakan pura, atau tanah milik banjar, desa pakraman, atau hutan di wilayah sekitar pura. Hal itu dapat menjadikan tanaman kelapa yang sekarang itu bersifat langka akan menjadi lestari, sebab tidak mudah orang untuk mencari dan mencurinya, karena berada dalam kawasan yang disucikan. Pengalaman menunjukkan, bahwa kalau ada upacara besar yang membutuhkan jenis kelapa tersebut, maka masyarakat yang bersangkutan akan mencarinya ke sana ke mari.
Masih bersyukur di beberapa daerah atau desa lainnya keberadaan kelapa tersebut masih ada yang menanam dan memeliharanya. Melihat kejadian tersebut sudah sepatutnyalah ada upaya pelestarian kelapa terutama jenis-jenis kelapa secara budaya Bali tersebut.
Penulis telah beberapa kali menyarankan untuk segera dimulai diupayakan adanya taman tanaman upacara (Adiputra,2004; 2005; 2006.a, b), taman tanaman obat (Adiputra, 2004, 2005, 2006.a, b). Kalau hal itu dapat diwujudkan, maka selain berguna untuk masyarakat, juga menjadi aset pendidikan, pariwisata, dan aset kerja-sama dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri (Adiputra, 2004; 2006.a, b).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1) bahwa secara budaya Bali dikenal berbagai jenis kelapa; 2) beberapa kelapa yang dikenal secara budaya tersebut dipakai dalam upcara dengan tingkatan upacara besar (utama); 3) kelapa tersebut dipakai dalam membuat sesajen seperti pula kerti, dan bagia; 4) pemakaiannya dan penempatan dalam upakaranya sesuai dengan arah pangider-ideran; 4) kelapa bulan di timur , kelapa udang di selatan, kelapa gading di barat, kelapa mulung atau hijau di utara, kelapa sudamala di tengah; sedangkan kelapa be julit di barat laut; kelapa bojog di timur laut, kelapa surya di tenggara, dan kelapa rangda di barat daya; -buah kelapa bongol, harum, dapat dbuat minyak kelapa untuk pengobatan yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan kepala biasa lainnya; 5) semua jenis buah kelapa dapat dpergunakan membuat daksina, pelengkap sorohan, dan sesantun; dan 6) semua jenis produk pohon kelapa di Bali sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Untuk menjaga keberlanjutan keberadaan jenis kelapa-kelapa di atas dapat disarankan sebagai berikut: agar setiap desa pekraman di Bali menanam paling sedikit jenis kelapa gading, bulan, udang, mulung, sudamala, bejulit, rangda, bojog, dan nyuh surya.
Daftar Pustaka
Adiputra, N. 1999. Tanaman obat sebagai Bahan Makanan di Bali. Majalah Kedokteran Udayana. Vol.30(104). April: 62-68.
Adiputra, N. 2004. Tanaman Obat sebagai Bahan Obat, Menurut Lontar Usada Bali. Majalah Kedokteran Udayana.35(123) Januari: 35-44.
Adiputra, N. 2005. Tanaman Hias Beberapa Hotel Berbintang di Denpasar dan Badung yang Bernilai sebagai Tanaman Obat. Majalah Kedokteran Udayana.36(127). Januari: 36-47.
Adiputra, N. 2006.a. Tanaman Hias yang Bernilai Tanaman Obat di Beberapa Kantor Pemerintah di Kabupaten Badung dan Kodya Denpasar. Majalah Kedokteran Udayana.37(131). Januari: 29-38.
Adiputra, N. 2006.b. Tanaman Obat yang Digunakan sebagai Anti-virus di Bali. Majalah Kedokteran Udayana.37(134). Oktober: 255-260.
Adiputra, N. 2007. Otokritik dalam Pemnafaatan Usada sebagai Sumber Informasi Pengobatan Tradisional di Bali. MEDICINA. Vol.38(3). September: 218-224.
Adiputra, N. 2008. Strategi Pelestarian Tanaman Obat dalam Perspektif Budaya. BUMI LESTARI. Jurnal Lingkungan Hidup. 8(1). Februari: 63-73.
Anonim. 1997. Darma Caruban. Penerbit Pelawa Sari. Denpasar.
Arimbawa, 2009. Redesain Peralatan Kerja Secara Ergonomis Meningkatkan Kinerja Pembuat Minyak Kelapa Tradisional di Kecamatan Dawan, Kelungkung. Disertasi. PPS Unud.
Bangli, Ida Bagus Putu, 2006. Warnaning sesayut lan caru. Penerbit Paramita, Surabaya.
LPM UNUD. 2004. Gumi Bali Banten. Udayana Press. Denpasar.
Supartha, Ngurah Oka. 1998. Fungsi tumbuh-tumbuhan dalam upacara agama Hindu di Bali. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Etnobotani III di Denpasar-Bali, 5-6 Mei.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2002.a. Apakah Yajna Seri I. Melangkah ke arah persiapan upakara-upacara yajna. Penerbit Paramita, Surabaya.
Surayin, Ida Ayu. 2002.b. Upakara Yajna Seri V. Pitra Yadnya. Penerbit Paramita. Surabaya.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2004.a. Apakah Yajna Seri IV. Manusa Yajnya. Penerbit Paramita, Surabaya.
Surayin, Ida Ayu Putu.2004.b. Upakara Yajna. Upacara Yajna Seri II. Bahan dan sembah Sesajen. Penerbit Paramita, Surabaya.
Surayin, Ida Ayu Putu.. 2007. Masakan Bali. Penerbit Paramita, Surabaya.
91
Discussion and feedback