KEARIFAN LINGKUNGAN MASYARAKAT DESA JATILUWIH : RELEVANSINYA DENGAN PELESTARIAN WARISAN BUDAYA DUNIA
on
Ni Made Wiasti : Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Jatiluwih : Relevansinya
KEARIFAN LINGKUNGAN MASYARAKAT
DESA JATILUWIH : RELEVANSINYA DENGAN PELESTARIAN WARISAN BUDAYA DUNIA
Ni Made Wiasti
Program Studi Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Denpasar [email protected]
Abstract
Jatiluwih Village and Subak Jatiluwih have been established by the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) as a part of the World Cultural Heritage (WCH). In addition, the village and the subak (Balinese irrigation cooperative) also have the status as a tourist destination having the potential to conversion of paddy fields. This paper examines the knowledge and understanding of the Jatiluwih Village community on the belief and customs behind the pemali of animal cages in paddy fields, garden in the paddy fields and the merger of paddy field plot activities in the subak area becoming the part of the world cultural heritage, namely the Subak Jatiluwih. In this case, pemali (customary prohibition) along with the belief and customs serving as the background is seen as an environmental wisdom.
The conclusion in this paper confirms that the pemali mentioned above are still relevant and important to be understood and actualized in order to preserve the Subak Jatiluwih and to strengthen various regulations having been enacted to protect and preserve the elements of Balinese culture that need protecting and preserving. This strategic measure is to adopt cultural values contained in the belief and customs that underlie the pemali in the regulations made by relevant government authorities and in bylaws (awig-awig) of the Jatiluwih Customary Village and bylaws (awig-awig) of the Subak Jatiluwih.
Keywords: world cultural heritage, environmental conservation, pemali, subak jatiluwih.
Sebagaimana diketahui, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah menetapkan Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali sebagai bagian dari warisan budaya dunia (selanjutnya disebut WBD) yang disebut Lanskap Subak Catur Angga Batukaru. Pada dasarnya WBD dalam hal ini adalah warisan budaya lokal masyarakat Desa Jatiluwih yang merupakan bagian dari warisan budaya Bali. Pengertian warisan budaya Bali dan WBD juga tampak Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1110/03-H/HK/2011 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Dewan Pengelola Warisan Budaya Bali, yakni sebagai berikut.
“bahwa warisan budaya Bali merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan serta kebudayaan, sehingga perlu dilindungi, dilestarikan dan dikembangkan guna pemupukan kesadaran jatidiri bangsa demi kepentingan bersama baik nasional maupun internasional. Bahwa upaya perlindungan, pelestarian dan pengembangan objek-objek warisan budaya Bali yang memiliki nilai-nilai universal yang sangat tinggi perlu dikembangkan sebagai WBD didukung oleh pemerintah maupun masyarakat”.
Surat Keputusan Gubernur Bali ini pada intinya menegaskan budaya Bali yang hendak dikembangkan sebagai WBD adalah objek-objek warisan budaya Bali yang mencerminkan nilai-nilai budaya tertentu sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan.
Mengikuti gagasan pada Surat Keputusan Gubernur Bali di atas, maka perlindungan dan pelestarian sawah yang ada di wilayah Subak Jatiluwih perlu diprioritaskan agar luasnya tidak berkurang. Prioritas ini diperlukan karena sebagaimana dikatakan oleh Winangun (2004 : 73), bahwa makna tanah, termasuk tanah sawah sangat penting bagi manusia, tidak hanya sekadar untuk dimiliki (to have), tetapi juga menyangkut penghayatan hidupnya (to be). Berkenaan dengan masalah tanah di Bali, Bagus (1996 : 323), menegaskan bahwa tidak kecil kemungkinannya perubahan kehidupan jasmani dan rohani yang ditandai dengan konversi lahan dan terjualnya tanah masyarakat Bali dapat membuyarkan keterikatan mereka pada tanah yang secara historis telah menjadi pembuhul kuat mengikat masyarakat Bali dan telah mampu mendukung budaya agraris selama ratusan bahkan ribuan tahun. Kemungkinan seperti ini juga terlihat pada Subak Jatiluwih, mengingat Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih juga merupakan daerah tujuan wisata (DTW) yang sering dikunjungi oleh banyak wisatawan, sehingga orang mungkin saja terangsang untuk membangun fasilitas pariwisata dengan mengalihfungsikan sawah di wilayah subak tersebut. Jika kemungkinan ini menjadi kenyataan maka sawah di wilayah Subak Jatiluwih akan berkurang sehingga label subak itu sebagai WBD ternoda.
Kemungkinan terjadinya alih fungsi sawah seperti itu perlu dicegah dengan berbagai langkah strategis, antara lain dengan mengacu nilai-nilai budaya yang relevan. Ada wacana bahwa nilai budaya yang terkandung dalam konsep Tri Hita Karana yang ada dalam budaya sangat relevan dengan upaya pelestarian lingkungan, namun tampaknya konsep ini sangat sulit diterapkan, sehingga kerusakan lingkungan alam di Bali tetap saja terjadi. Oleh karena itu yang perlu dipahami dan diterapkan dalam rangka melestarikan sawah di wilayah Subak Jatiluwih adalah kearifan lingkungan masyarakat petani anggota subak tersebut, yakni masyarakat Desa Jatiluwih.
Konsep mengenai kearifan lingkungan dapat dipahami dengan mencermati pemikiran para ilmuwan, satu di antaranya adalah pemikiran Hadi (2000 : 18) sebagai berikut.
“.....manusia waspada untuk mengadakan eksploitasi terhadap alam. Oleh karena dianggap bahwa tiap sudut dari alam ini dikuasai oleh
suatu daya-daya kekuatan lain di luar dirinya yang berasal dari dunia adikodrati. Sehubungan dengan kepercayaan ini, maka dibuat pemali-pemali (pantangan-pantangan) untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu Kemauan memelihara hubungan yang serasi dengan alam melahirkan banyak lokal (indegeneous knowledge) yang sangat berguna untuk pelestarian daya dukung lingkungan. ‘Indegeneous knowledge’ yang merupakan kearifan lingkungan (environmental wisdom) itu sampai sekarang masih ada yang dipelihara dengan baik”.
Dengan demikian, kearifan lingkungan dapat dipahami sebagai kepercayaan yang melandasi pemali yang diciptakan untuk melestarikan alam dan menyerasikan hubungan manusia dengan alam. Kearifan lingkungan dalam arti seperti ini kerap diwariskan secara turun-temurun, sehingga menjadi apa yang oleh Giddens (2003: 18), disebut tradisi; dan oleh Chambers (1983: 106-118) disebut pengetahuan tradisional. Menurut Keraf (2002: 289), pengetahuan tradisional dalam arti seperti itu, merupakan kearifan tradisional, dalam arti sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan kearifan tradisional di sini asalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis”.
Dengan demikian, kearifan tradisional ada yang berupa kearifan sosial, yaitu pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan yang memedomani relasi di antara manusia; dan ada pula yang berupa kearifan lingkungan, yaitu pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Kearifan tradisional seperti ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai pengetahuan lokal mengenai berbagai hal yang oleh masyarakat yang bersangkutan digunakan untuk memahami berbagai hal yang ada di dalam lingkungannya (Wiasti, 2011:
8). Secara lebih jauh, berdasarkan hasil pemahaman seperti itu, masyarakat yang bersangkutan melakukan tindakan dalam memperlakukan sumber daya. Hal ini terlihat pula dalam hasil penelitian Wiasti, dkk. (2012), bahwa para perambah hutan lindung (pengawen) di Desa Pengeragoan, Kecamatan Pekutatan, Jembrana, Bali mempunyai pengetahuan tersendiri tentang hutan lindung. Berdasarkan pengetahuannya itu mereka memahami hutan lindung tersebut. Pemahaman yang mereka dapatkan kemudian mereka jadikan acuan dalam melakukan perambahan hutan lindung dan dalam melakukan pembenaran atas aktivitas perambahan hutan lindung yang mereka lakukan.
Berdasarkan konsepsi mengenai kearifan lingkungan di atas, maka secara ringkas kearifan lingkungan dapat dikatakan sebagai pengetahuan dan pemahaman mengenai kepercayaan dan adat-istiadat yang mencakup nilai budaya dan norma-norma yang berkaitan dengan manusia, alam, dan relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis. Kepercayaan dalam hal ini dapat dipahami dengan mengacu gagasan Koentjaraningrat (1980: 229-233), bahwa dalam setiap religi ada sistem kepercayaan tentang dunia gaib, dewa-dewa, dan makhluk-makhluk halus yang ikut mempengaruhi tindakan manusia. Sedangkan adat-istiadat terdiri atas (i) tingkat nilai budaya, (ii) tingkat norma-norma, (iii) tingkat hukum, (iv) tingkat aturan khusus (Koentjarabningrat, 1982 : 11), yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1982 : 5).
Bertolak dari paparan di atas, maka yang hendak dibahas pada tulisan ini adalah pengetahuan dan pemahaman masyarakat Desa Jatiluwih tentang kepercayaan dan adat-istiadat mengenai hubungan mereka dengan sawah yang ada di wilayah Subak Jatiluwih. Pembahasan mengenai hal ini dikaitkan dengan upaya pelestarian lingkungan yang merupakan tujuan utama di balik penetapan Subak Jatiluwih dan Desa Jatiluwih sebagai bagian dari WBD dan DTW.
Fakta-fakta yang digunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui penelitian di Desa Jatiluwih dengan teknik observasi dan teknik wawancara.
Analisisnya dilakukan dengan teknik yang lazim disebut teknik analisis data kualitatif melalui proses reduksi data dilanjutkan dengan penafsiran data, dan penarikan simpulan dalam arti sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992).
Fakta-fakta hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Jatiluwih mempunyai kearifan lingkungan berupa pengetahuan dan pemahaman mengenai kepercayaan dan adat-istiadat yang ada di balik beberapa pemali atau pantangan yang berkaitan dengan dua hal pokok : (1) kandang hewan di sawah, dan (2) kebun dan penggabungan petak sawah. Secara lebih lengkap hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Masyarakat Desa Jatiluwih mengetahui kepercayaan dan norma tentang kandang hewan di sawah. Kepercayaan dan norma tersebut berkaitan dengan pantangan dan/atau keharusan : (1) pantang mendirikan kandang pada petak atau bagian sawah yang paling hulu (luan) dan paling hilir (teben), (2) pantang mendirikan kandang di sawah yang tiangnya memakai sendi atau tiang kandang harus tertancap di tanah. Alasan atas pantangan tersebut adalah bahwa petak sawah atau bagian sawah yang paling hulu dan paling hilir merupakan tempat mendirikan bangunan suci yang disebut sanggah. Pada petak paling hulu adalah tempat mendirikan bangunan suci yang disebut sanggah pengalapan atau disebut juga sangah luan, sedangkan pada petak paling hilir adalah tempat mendirikan sanggah labak atau disebut juga sanggah teben. Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa petak sawah paling hulu dan paling hilir diyakini sebagai tempat yang ideal untuk mendirikan tempat pemujaan dewa-dewi atau makhluk gaib.
Suatu pertanyaan yang menarik atas fakta terurai di atas adalah mengapa pantangan itu bukannya mengisyaratkan larangan mendirikan bangunan suci pada petak sawah paling hulu dan hilir. Atau mengapa petak sawah paling hulu dan paling hilir tersebut tidak diidealkan untuk mendirikan kandang hewan. Tampaknya pertanyaan ini dapat dijawab dengan menelaah fakta di atas secara lebih mendalam dengan menggunakan teori tentang sikap
manusia terhadap yang gaib. Teori ini dikembangkan oleh Rudolf Otto yang menegaskan bahwa semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib yang oleh manusia dianggap maha dahsyat dan keramat; bersifat maha abadi, adil, bijaksana, baik, tak terlihat, tak berubah, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1987 : 65). Dilihat dari sudut teori ini maka fakta di atas terlihat sebagai cerminan dari kepercayaan dan harapan kepada hal yang gaib sebagai sosok pelindung usaha atau milik manusia, seperti usaha bercocok tanam dan hewan piaraan para warga masyarakat Desa Jatiluwih di areal sawah tersebut. Kepercayaan ini dapat pula dilihat sebagai fenomena yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Jatiluwih telah melakukan praktik pemaknaan tergadap roh gaib yang diyakininya dapat melindungi diri beserta milik dan usaha mereka. Dikatakan demikian karena sebagaimana dikemukakan oleh Barker (2014 : 168), “bahwa makna terletak dalam sikap, kepercayaan, tujuan, pembenaran, dan alasan yang digunakan orang sehari-hari”. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat Desa Jatiluwih tadi menunjukkan bahwa telah melakukan praktik pemaknaan terhadap roh gaib. Praktik pemaknaannya itu menghasilkan makna roh gaib sebagai pelindung diri beserta milik dan usaha mereka, yaitu sawah, tanaman, dan hewan piaraannya yang ada di wilayah Subak Jatiluwih.
Berkenaan dengan kepercayaan masyarakat Desa Jatiluwih sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata yang ditemukan dalam pengamatan di wilayah Subak Jatiluwih adalah bahwa pada setiap petak sawah paling hulu dan paling hilir ada sebuah bangunan suci (sanggah), dan tidak ditemukan kandang hewan. Oleh karena itu, pertanyaan penting dalam hal ini adalah mengapa justru bangunan suci untuk memuja yang gaib itu didirikan pada petak sawah paling hulu dan paling hilir, bukan pada petak yang lainnya. Jika pertanyaan ini ditanggapi dengan meminjam pemikiran Barker mengenai makna di atas, maka dapat dikatakan bahwa secara simbolik masyarakat Desa Jatiluwih memaknai petak sawah paling hulu sebagai pintu masuk atau pintu depan, sedangkan petak sawah paling hilir sebagai pintu ke luar atau pintu belakang yang bisa digunakan untuk masuk dan ke luar dari areal sawah yang bersangkutan. Berdasarkan pemaknaannya yang demikian itulah mereka berkeyakinan bahwa
roh gaib yang dipuja pada bangunan suci pada masing-masing petak sawah itu melakukan penjagaan dalam rangka melindungi sawah beserta hewan dan tanaman piaraannya. Dengan demikian, masyarakat Desa Jatiluwih telah memberi makna beragam terhadap petak sawah mereka yang paling hulu dan paling hilir.
Selain itu, masyarakat Desa Jatiluwih juga percaya kepada sanksi religius terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap pemali atau pantangan tersebut di atas. Sanksi religius dalam hal ini bisa berupa sakit dan/atau kerugian yang menimpa pelanggarnya itu, misalnya sakit perut, sakit pinggang, serangan hama tanaman, dan serangan penyakit hewan. Mereka yakin bahwa munculnya penyakit seperti itu bisa saja karena roh gaib telah mempersalahkan (kepongor) dan menjatuhi mereka sanksi religius. Dengan demikian tampaklah masyarakat Desa Jatiluwih memberi makna beragam terhadap roh gaib, di satu sisi dimaknai sebagai pelindung dan di sisi lain dimaknai sebagai pemberi sanksi berupa penyakit melalui “pengadilan” yang dilaksanakan secara niskala. Dengan demikian, di satu sisi fakta ini mendukung penegasan dalam teori Rudolf Otto di atas, bahwa roh gaib itu bersifat memberi kebaikan, namun di sisi lain juga bisa bersifat memberi penyakit yang tentu saja dirasakan tidak baik oleh orang yang terkena penyakit yang diyakini sebagai bentuk sanksi religius, meskipun sanksi religius itu diyakini pula sebagai sanksi yang dijatuhkan oleh “pengadilan” di alam niskala yang dipimpin oleh “hakim” bernama roh gaib.
Khusus dilihat dari perspektif pelestarian sawah, maka tampaklah pantangan mendirikan kandang hewan dan melakukan aktivitas berkebun pada petak sawah paling hulu dan paling hilir itu sebagai upaya untuk mencegah terjadinya konversi atau alih fungsi lahan sawah. Logika yang terkait dengan hal ini adalah bahwa kandang hewan yang sifatnya relatif sementara saja tidak boleh dibangun pada petak sawah paling hulu dan paling hilir tersebut, apalagi rumah hunian permanen. Logika ini didukung pula oleh adanya pantangan mendirikan kandang hewan di sawah dengan tiang yang menggunakan sendi, atau tiang kandang itu harus tertancap di tanah. Ini berarti tiang kandang itu harus terbuat dari pohon atau kayu yang bisa hidup agar bisa bertahan lebih lama dibandingkan kayu yang mati dan mudah lapuk jika tertancap di tanah. Tiang
kandang yang terbuat dari kayu yang hidup tentu saja bisa tumbuh, dimana daun yang secara alamiah bisa rontok dan berjatuhan di sawah kemudian menjadi humus yang kaya dengan kandungan zat hara yang berguna untuk menyuburkan tanah sawah. Tampaknya hal ini telah menjadi norma sebagai pengatur tindakan masyarakat dalam mendirikan kandang hewan di sawah, dan memang terbukti dari hasil pengamatan bahwa di wilayah Subak jatiluwih tidak ditemukan kandang hewan yang tiangnya memakai sendi. Berdasarkan informasi dari Kepala Subak Jatiluwih, pihak UNESCO pun melarang pihak Subak Jatiluwih mendirikan Balai Subak di areal persawahannya dengan maksud agar luas wilayah subak itu tetap utuh. Oleh karena itu Balai Subak Jatiluwih didirikan di ladang, tetapi tetap dekat dengan persawahan yang merupakan wilayah Subak Jatiluwih.
Meskipun di wilayah Subak Jatiluwih tidak ditemukan adanya kandang hewan yang tiangnya memakai sendi, dan semua tiang kandang hewan di sana tertancap di tanah, ternyata ditemukan ada tiang kandang hewan yang memang tertancap di tanah tetapi terbuat dari beton. Hal ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa warga masyarakat yang bersangkutan memaknai pantangan mendirikan kandang hewan dengan tiang tanpa sendi itu sebagai upaya mencegah terjadinya sanksi religius. Memang dampaknya terhadap keutuhan luas sawah tidaklah berbeda dengan dampak kandang hewan dengan tiang yang terbuat dari kayu hidup, karena samasama memerlukan lahan dengan luasan tertentu, misalnya sekitar 2,5 meter x 3 meter. Hanya saja tiang kandang yang terbuat dari beton tentu saja tidak sama dengan tiang kandang yang terbuat dari kayu hidup yang tumbuh daun dan bisa dijadikan bahan pupuk organik untuk kesuburan tanah sawah. Oleh karena itu, tampaknya perlu diadakan sosialisasi pemahaman tentang pantangan mendirikan kandang hewan di sawah yang tiangnya terbuat dari kayu hidup, tetapi jangansampai menghalangi pertumbuhan tanaman padi.
Dilihat dari perspektif nilai budaya, pantangan dan perilaku masyarakat Desa Jatiluwih terurai di atas mencerminkan nilai budaya yang menekankan bahwa sawah sangat perlu dilestarikan dengan cara membuat pantangan mendirikan kandang pada petak sawah paling hulu dan paling hilir dan/atau mendirikan kandang hewan di sawah dengan tiang
tanpa sendi. Pengertian nilai budaya dalam hal ini mengacu kepada penjelasan Koentjaraningrat (1982 : 25), bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yng hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
Masyarakat Desa Jatiluwih, selain mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang pemali atau pantangan yang berkaitan dengan posisi kandang hewan di sawah, juga mempunyai pengetahuan dan pemahaman khusus mengenai pantangan yang berkaitan dengan aktivitas berkebun di sawah. Pantangan tersebut mengisyaratkan bahwa tidak boleh melakukan aktivitas berkebun pada petak sawah paling hulu dan paling hilir. Berkebun dalam hal ini dipahami sebagai usaha bercocok tanam palawija, seperti jagung, kacang-kacangan, semangka, cabai, dan sebagainya. Mereka memahami pemali tersebut dari perspektif kepercayaan bahwa berkebun pada petak sawah tersebut bisa menimbulkan kegagalan dalam upaya mendapatkan hasil kebun yang optimal, bahkan bisa timbul musibah seperti musibah (sakit, kecelakaan) yang menimpa pihak keluarga petani yang bersangkutan. Dengan demikian, kepercayaan ini telah mempengaruhi cara berpikir masyarakat Desa Jatiluwih dalam konteks usaha mereka bercocok tanam di sawah.
Kepercayaan di atas berkaitan dengan kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang diyakini hanya mengijinkan aktivitas berkebun pada petak sawah yang bukan merupakan bagian paling hulu dan paling hilir sawah yang bersangkutan. Sementara itu, diyakini pula bahwa kekuatan gaib mengijinkan usaha bercocok tanam padi pada semua petak sawah. Oleh karena itu ada anggapan bahwa aktivitas berkebun di sawah hanya merupakan pekerjaan sambilan, sedangkan bercocok tanam padi di sawah merupakan pekerjaan pokok. Aktivitas berkebun dianggap sebagai pekerjaan pokok jika dilakukan di ladang. Ini berkaitan dengan pemali yang mengisyaratkan bahwa di ladang tidak boleh melakukan pekerjaan dengan cara yang mirip atau sama dengan cara melakukan pekerjaan pokok di sawah, yakni bercocok tanam padi. Jika hal seperti ini dilakukan, maka diyakini bisa menimbulkan musibah yang menimpa keluarga yang bersangkutan.
Ini berarti bahwa masyarakat Desa Jatiluwih berkeyakinan bahwa ada kekuatan gaib yang bisa mencapuri bahkan mendominasi kehidupan mereka dalam memilih dan menentukan tempat kegiatan bercocok tanam padi dan bercocok tanam pala wija.
Berkenaan dengan kepercayaan atau keyakinan seperti itulah, melalui pengamatan, terlihat bahwa aktivitas berkebun lebih banyak dilakukan di ladang oleh masyarakat petani Desa Jatiluwih. Mereka yang berkebun di sawah memang tampak melakukan aktivitasnya itu di luar petak sawahnya yang paling hulu dan paling hilir. Selain itu, diperoleh informasi bahwa ritual yang dilakukan secara rutin di sawah adalah ritual yang bertujuan untuk memuja Dewi Sri yang diyakini sebagai pemelihara tanaman padi. Boleh dikatakan tidak ada pelaksanaan ritual secara rutin di sawah yang khusus bertujuan untuk memuja Dewi Sri sebagai pemelihara kebun atau tanaman palawija. Ritual untuk memuja Dewi Sri sebagai pemelihara tanaman palawija dilakukan di ladang. Dengan demikian aktivitas bercocok tanam dan aktivitas ritual seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Jatiluwih telah terhegemoni oleh sistem kepercayaan yang telah dipaparkan di atas.
Walaupun begitu, dilihat dari perspektif upaya pelestarian sawah yang ada di wilayah Subak Jatiluwih, aktivitas masyarakat Desa Jatiluwih yang terhegemoni oleh kepercayaan dan adat-istiadat yang ada di balik pemali tersebut tidaklah menjadi persoalan, malahan hal tersebut bisa bermanfaat. Dengan mengutamakan tanaman padi di sawah dan palawija di ladang berarti masyarakat Desa Jatiluwih secara sadar atau tidak telah mencegah konversi atau alih fungsi sawah menjadi lahan perkebunan atau ladang. Hal ini penting, bukan hanya untuk mempertahankan keutuhan luas wilayah subak itu yakni sawah, melainkan juga untuk mempertahankan keutuhan jumlah anggota subak tersebut, yakni para pemilik sawah yang bersangkutan. Jika luas sawah di wilayah Subak Jatiluwih terus berkurang dan akhirnya habis terkonversi, maka pemilik sawah itu tidak lagi menjadi anggota subak tersebut. Akibatnya, sudah dipastikan kondisi sistem subak itu menjadi hancur berantakan, yaitu tinggal nama dan pura subak tanpa sawah dan tanpa anggota subak, sehingga pura subak bisa terbengkalai. Dalam keadaan demikian, citra subak sebagai WBD serta citra Hindu yang direpresentasikan dengan pura subak yang terbengkalai ternoda di mata dunia.
Syukur apabila ada pihak-pihak tidak berstatus sebagai anggota subak tersebut mau ikut mengelolanya seperti yang terjadi dalam kasus pengelolaan pura subak di Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali, yaitu pengelolaan Pura Subak Kedampang yang pernah diteliti oleh Dhana dan Alit Laksmiwati (2008); dan pengelolaan Pura Subak Tegal yang pernah diteliti oleh Dhana (2010).
Khusus berkenaan dengan kepercayaan dan adat-istiadat tentang penggabungan petak sawah, masyarakat Desa Jatiluwih mengenal istilah nyapuh carik, yang diartikan sebagai kegiatan menggabungkan dua atau lebih petak sawah menjadi satu petak. Kegiatan ini bisa mengimplikasikan apa yang lazim disebut perubahan bentang alam, seperti perubahan tofografi pada sawah yang sebelumnya sangat tajam kemiringannya menjadi agak landai. Menurut pengetahuan dan keyakinan masyarakat Desa Jatiluwih atau para petani Subak Jatiluwih, hal ini boleh dilakukan tetapi dengan syarat melakukan ritual khusus yang disebut upacara penyapuh carik yang biasa mereka dilakukan. Oleh karena itu, aktivitas ritual tersebut dapat dimaknai sebagai tanda bukti adanya keyakinan warga yang bersangkutan bahwa sawah itu bukan hanya miliknya saja melainkan juga merupakan milik dewa. Oleh karena itu mereka tidak boleh sembarangan mengubah tofografi sawah tanpa melakukan ritual penyapuh carik dengan tujuan memohon ijin kepada dewa yang diyakini sebagai pemilik sawah tersebut. Jika ketentuan ini dilanggar diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi petani atau anggota keluarga yang bersangkutan.
Berkenaan dengan syarat dan keyakinan tersebut, ada informasi tentang kasus kegiatan nyapuh carik tanpa melakukan ritual sebelumnya. Dalam kasus tersebut ada seorang petani Subak Jatiluwih menggabungkan dua petak sawahnya yang ada di wilayah subak tersebut menjadi satu petak. Beberapa waktu setelah itu, pada bagian kaki anak kandung petani tersebut digigit ular hijau di tegalannya, hingga kaki anaknya bengkak dan diobatai oleh seorang dukun di Desa Babahan, Penebel, Tabanan. Selama lima hari masa pengobatannya ternyata kaki anak itu masih bengkak. Dalam keadaan demikian berdasarkan firasatnya sang dukun menyatakan bahwa dirinya tidak sanggup menyembuhkan anak itu, dan menyarankan agar anak itu dibawa pulang, dan
memperkirakan ada sesuatu perbuatan yang melanggar aturan yang bersifat niskala. Sesuai dengan saran sang dukun, anak itu pun dibawa pulang oleh ayahnya. Setibanya di rumah datang seorang laki-laki tua yang menyarankan agar dilakukan ritual terkait dengan aktivitas nyapuh carik yang dilakukan oleh ayah si anak yang tergigit ular itu. Diyakini gigitan ular itu terjadi karena dewa pemilik sawah itu sudah sangat marah (duka) dan jiwa si anak itu sudah diserahkan oleh dewa itu kepada Bhatara Dalem. Singkat cerita, pihak keluarga yang bersangkutan melakukan ritual yang dimaksud, dan keesokan harinya ternyata bengkaknya kaki si anak yang tergigit ular itu mulai berkurang, dan si anak pun mulai minta makan, padahal sebelumnya tidak mau makan.
Jika dikaji dalam konteks upaya pelestarian alam, tampaklah peristiwa di atas mencerminkan adanya pemali dalam kearifan lingkungan masyarakat Desa Jatiluwih yang mengisyaratkan bahwa tidak boleh sembarangan memperlakukan sawah. Jangankan mengubah persawahan menjadi lahan lain, menggabung dua petak sawah menjadi satu petak saja harus melalui pelaksanaan ritual yang dimaknai sebagai permohonan ijin kepada dewa pemilik sawah untuk melakukan kegiatan menggabung petak sawah (nyapuh carik), sehingga secara niskala kegiatan tersebut dianggap legal. Dengan demikian, nyapuh carik seperti itu dapat dikatakan sebagai kearifan lingkungan yang berpotensi untuk menghambat alih fungsi lahan sawah agar sawah tetap lestari. Tanpa kearifan lingkungan yang mengandung pemali seperti ini bisa jadi muncul anggapan bahwa orang boleh saja memperlakukan lahan sawah sesuai dengan kepentingannya tanpa perlu mempertimbangkan dampaknya secara luas. Misalnya mengubah sawah menjadi ladang untuk berkebun tanaman komoditas yang secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan ketimbang bercocok tanam padi di sawah.
Jika dilihat dari perspektif teori rasionalisme, tampaknya ada kemungkinan bahwa pada era global sekarang ini masyarakat cendering semakin mengutamakan perolehan keuntungan ekonomis. Dalam konteks ini teori rasionalisme mengasumsikan bahwa manusia pada dasarnya rasional dan selalu mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam melakukan setiap tindakan (Basrowi dan Sukidin, 2003; dan Mustain, 2007). Sementara itu, teori tentang “tindakan individu yang rasional”
menyatakan bahwa individu-individu dalam kehidupan bermasyarakat memiliki pertimbangan rasional dan kesadaran akan adanya keuntungan yang dapat diperoleh melalui tindakan-tindakannya (Yunita, 1986). Mengikuti pendapat Habermas (dalan Thompson, 2007), maka prinsip-prinsip seperti itu tampak mencerminkan apa yang disebut “rasio instrumental”, dalam arti bahwa objek-objek dilihat dan diperlakukan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi. Munculnya kecenderungan masyarakat Desa Jatiluwih untuk berprinsip seperti ini pada masa kini dimungkinkan, tidak karena pengaruh globalisasi yang menebarkan ideologi rasionalisme telah merambah ke dalam semua lapisan masyarakat di seluruh pelosok, termasuk ke dalam masyarakat Desa Jatiluwih, antara lain melalui perkembangan pariwisata.
Berdasarkan paparan mengenai kepercayaan dan adat-istiadat terkait dengan pemali yang ada di kalangan masyarakat Desa Jatiluwih yang juga merupakan anggota Subak Jatiluwih maka dapat disimpulkan bahwa pemali-pemali tentang kandang hewan di sawah, kebun di sawah, dan aktivitas menggabung petak sawah yang dilatari oleh kepercayaan dan adat-istiadat tersebut masih relevan dan penting untuk dipahami dan diaktualisasikan dalam rangka melestarikan Subak Jatiluwih yang merupakan bagian dari WBD. Tampaknya hal ini bisa memperkuat berbagai peraturan yang telah diberlakukan untuk melindungi dan melestarikan unsur-unsur budaya Bali yang memang perlu dilindungi dan dilestarikan.
Sehubungan dengan simpulan di atas, saran yang dapat diajukan, baik kepada pihak pemerintah terkait maupun masyarakat Desa Jatiluwih adalah bahwa aktualisasi pemahaman atas pemali-pemali tersebut mesti terus dilakukan, diwariskan, dan diterapkan, baik dalam kehidupan masyarakat Desa Jatiluwih maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Suatu langkah strategis untuk itu adalah mengadopsi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kepercayaan dan adat-istiadat yang melatari pemali-pemali tersebut ke dalam peraturan yang dibuat oleh pihak pemerintah terkait dan ke dalam peraturan (awig-awig) Desa Pakraman Jatiluwih dan peraturan (awig-awig) Subak Jatiluwih.
Daftar Pustaka
Bagus, I Gusti Ngurah. 1996. Masalah Tanah dalam Pembangunan Khususnya Pengembangan Pariwisata di Bali : Dampak terhadap Kehidupan Orang Bali. Makalah dalam Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora III “Mengembangkan Studi Bahasa, Sastra, Budaya, dan Pariwisata dalam Menyongsong Era Globalisasi”. Diterbitkan atas kerja sama Panitia Dies Natalis ke-50 Fakultas Sastra UGM dengan Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (Buletin Humaniora) Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Halalam 318-325.
Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Kanisius, Yogyakarta.
Basrowi, dan Sukidin. 2003. Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Penerbit Insan Cendekia, Surabaya.
Chambers, R. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. (Pepep Sudradjat Penerjemah). LP3ES, Jakarta.
Dhana, I Nyoman dan Ida Ayu Alit Laksmiwati. 2008. Pengelolaan Pura Subak Tanpa Sawah di Desa Kerobokan Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung. Laporan Penelitian Universitas Udayana.
Dhana, I Nyoman. 2010. Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus Ideologi Pasar pada Masyarakat Multikultural : Studi Kasus Pengelolaan Pura Subak Tegal di Perumahan Bumi Dalung Permai, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali. Disertasi Program Doktor Kajian Budaya, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. IRCiSoD, Yogyakarta.
Hadi, Sudharto. P. 2000. Manusia dan Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Keraf, A Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Penerbit PT Dian Rakyat, Jakarta.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS).
Miles, M.B. dan A.M. Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru (Tjetjep Rohindi, penerjemah). Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Mustain. 2007. Petani Versus Negara Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. AR-Ruzz Media, Yogyakarta.
Thompson, John B. 2007. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia (Haqqul Yaqin, penerjemah). IRCiSoD, Yogyakarta.
Wiasti, Ni Made. 2011. Pengetahuan Lokal dan Maknanya dalam Pembangunan. Makalah dalam Workshop di Universitas Udayana, Denpasar.
Wiasti, Ni Made, dkk. 2012. Menangani Kasus Perempuan Ngawen Menuju Kelestarian Hutan serta Kesetaraan dan Keadilan Gender di Kabupaten Jembrana, Bali. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Udayana.
Winangun, Wartaya, Y.2004. Tanah Sumber Nilai Kehidupan. Kanisius, Yogyakarta.
Yunita, T. Winarto. 1986. “Perbedaan Antara interpretasi Neofungsionalisme dan Tindakan In dividu yang Rasional”. Dalam Berita Antropologi Th.XII No.44 Oktober-Desember 1986. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta. Halaman 66-80.
86
Discussion and feedback