Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2, Agustus 2009, him. 288 - 299

SINKRONISASI KEGIATAN PERTAMBANGAN PADA KAWASAN HUTAN

IPGArdhana

Jurusan Biologi FMIPA UNUD

Abstract

This article aims to study the synchronized activity of the mining industry in the forestry zone. This article is composedfrom normative legal research with the statute approach, the case approach and the library approach which used the documents of UKL/UPL and the environmental assessment ofPLTP in Bedugul made by LlPI and PPLH in Unud, as well as the news from Walhi magazine and news paper “Bali Post" newspaper

From the result of this article we know that controversial application of act No. 11 of 1967 andactNo. 41 of1999 have a d,jfererf perception in the uses ofpreservationalforestry area and conservation for the mining activity in almost all forestry area in Indonesia, and with an issue of decision letter by ministry of Ekoin No. KEP-04/M.EKON/09/2000 concerning with the coordinating research team for utilizing forestry area to the mining. The result indicated very cleary that government trully disregarded the safety of preserving and conservative forestry. For this reason we need to revitalize legal de finity, strong prohibitation of using preservational forestry and conservation from the mining industry. And society must take participation to establish activities from the beginning, because community will be able to know the estimation of the result faster.

Key word: act, mining, syncronized, industry, forest

1. Pendahuluan

Kebijakan pemerintah mengizinkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi, mempercepat“kiamat” Indonesia. Industri ini akan mengubah hamparan hutan Indonesia menjadi padang pasir dengan lubang-lubang beracun. Kondisi seperti ini mengancam umat manusia secara global.

Meski luas daratan wilayah Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia, namun memiliki 10% keanekaragaman hayati flora dunia, 12%jumlah mamalia, 17% reptil danbinatang amphibi serta 17% spesies burung dunia sebagai keanekaragaman hayati fauna dunia. Kekayaan dan keanekaragaman hayati itu kini telah banyak menghilang, bahkan

dengan laju yang kian cepat seiring hancurnya ekosistem hutan. 1)

Setidaknya 72% hutan asli Indonesia telah musnah. Studi Bank Dunia terbaru menyebutkan bahwa tingkat laju penurunan hutan (deforestasi) di Indonesia mencapai luas 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996. Laju hilangnya hutan di Indonesia cukup mencemaskan. Selamatahun 1985-1997, sekitar30% dari lahan kehutanan yang ada di Sumatera telah hilang. Di Kalimantan 21% hutan yang ada juga hilang dalam kurun waktu yang sama. Pada tahun 1997, hanya sekitar 35% pulau Sumatera dan 60% Kalimantan masih ditutupi hutan masing-masing seluas 16,6 dan 35,1juta ha.2)

Satu-satunya peruntukan hutan Indonesia yang masih bisa diharapkan dalam kondisi baik adalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Luas kawasan lindung Indonesia sekitar 55,2 juta hektar yang terbagi atas 31,9 juta hektar berstatus sebagai hutan lindung dan selebihnya kawasan konservasi. Perhitungan wilayah hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi serta kondisinya disajikan dalam Tabel 1. Meski punjelas berstatus peruntukan sebagai kawasan lindung dan konservasi, bukan berarti bebas dari ancaman. Praktek penebangan ilegal, kebakaran hutan serta tumpang tindihnya peruntukan antara hutan dan perkebunan kelapa sawit, HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) terus menghantui keberadaan kawasan tersebut.3

Di luar itu, ternyata operasi pertambanganjuga mengincar kawasan hutan lindung dan konservasi. Dari beberapa data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa, saat ini terdapat 150 perusahaan yang telah mengantongi izin Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuka tambang di kawasan-kawasan tersebut. Seratus lima puluh perusahaan ini akan segera membuka usahanya pada kawasan hutan seluas 11.441.852 ha yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Departemen kehutanan telah melakukan evaluasi terhadap 815 buah permohonan konversi lahan yang mencakup 11,4 juta ha. Luas rencana pertambangan dikawasan hutan lindung dan konservasi disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 1. Perhitungan KembaliWilayah Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi serta Kondisinya

Fungsi Hutan

Kondisi Hutan

Hutan Primer

Hutan sekunder, hutan rusak, dan non hutan

Total

Juta hektar

%

Juta hektar

%

Juta hektar

%

Hutan Produksi (dikelola HPH)

18,4

45

22,8

55

41,2

100

Hutan Produksi (dikelola BUMN)

0,6

11

5,1

89

5,7

100

Hutan Lindung

6,7

54

5,8

46

12,5

100

Hutan

Konservasi

10,8

62

6,6

38

17,4

100

Total

36,5

47

40,2

53

76,7

100

Sumber: Departemen Kehutanan, 2000.4

Tabel 2. Luasan Rencana Pertambangan Dikawasan Hutan Lindung dan Konservasi

Pulau

Hutan Lindung

Hutan Konservasi

Total

Konversi tambang

Total

Konversi tambang

Sumatera

7.391.502

2.141.950

4.878.520

689.120

Jawa

728.651

-

468.233

273.300

Sulawesi

4.821.237

996.445

4.821.237

184.617

Nusa

Tenggara

651.257

44.200

567.714

-

Maluku

1.809.634

359.640

443.345

159.000

Kalimantan

6.858.792

1.767.580

4.458.887

-

Papua

11.452.990

3.319.000

7.539.300

1.507.000

TOTAL

33.938.350

8.628.815

20.579.347

2.813.037

Sumber: Departemen Kehutanan, 2000.5)

Namun, dibalik usaha keinginan itu, masih ada halangan yang memuluskan langkah penggalian. Jika dilihat dari kebijakan pemerintah berupa peraturan perundangan yang ada sebenarnya konsepsi dan kriteria-kriteria pertambangan “berkelanjutan” tersebut sudah cukup diakomodasi. Kriteria ekonomi dan sosial untuk kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat secara gamblang disebutkan dalam pasal 33 UUD 1945 yang diterjemahkan lagi dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok pernmbangsn ys11g tatonyi:.....

Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-end^ alam sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah.kekayaan nasionaJ bangsa Indonesia dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Undang-undang tersebut telah pula mengakomodasi konsepsi pertambangan “berkelanjutan” dan kriteria lingkungan, sebagai contohdalampasal^^

Apabilaselesaimelakukanpe⅛ bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang to pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak

menimbulkan bahaya, penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya”.6

Kriteria lingkungan secara lebih tegas diakomodasi dalam Keputusan Menteri PertambangandanEnergiNomor: 1211.K/008/M.PE/ 1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Usaha Kegiatan Pertambangan Umum. Sementara itu Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Nomor 336.K/271/DDJ-P/1996 tentang Jaminan Reklamasi bisa mengakomodasi kriteria lingkungan dan ekonomi. Selain itu ketentuan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), khususnya RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) di bidang pertambangan telah sejak lama diberlakukan. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan di bidang pertambangan sudah cukup mendukung bagi pelaksanaan pertambangan “berkelanjutan”. Lalu seringkali memunculkan permasalahan dari sebagian masyarakat, khususnya pencinta lingkungan, yang mengesankan bahwa kegiatan pertambangan merupakan “perusak” lingkungan?.

Pasal 38 Undang-undangNomor41 Tahun 1999 tentang Kehutanan7telah membatasi ruang gerak

secara formal bagi industri pertambangan mengeksploitasi kawasan hutan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan : “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung”. Namun ayat 3 pasal ini menyebutkan: “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka”. Artinya secara hukum kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung hanya diperbolehkan dengan metode penambangan dibawah tanah (underground mining).8)

Dengan adanya perbedaan kontroversial antara ketentuan pokok pertambangan dan kehutanan itu, pemerintah pusat pun bersikeras untuk melaksanakan rencana kegiatan pembangunan pertambangan di seluruh Indonesia dengan menerbitkan SK Menko Bkota No. ^O^.Eko^/OOnoOO sebagai kebijakan sinkronisasi penerapan peraturan perundang-undangan yang kontroversial antara UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dikaji adalah: (1) bagaimana proses sinkronisasi penerapan peraturan perundang-undangan antara UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung dan konservasi untuk kegiatan pertambangan; (2) dalam bentuk apa sinkronisasi penerapan peraturan perundang-undangan itu dikeluarkan; dan (3) atas dasar apa sinkronisasi penerapan peraturan perundang-undangan pemerintah itu dikeluarkan.

!.MModeMtlao .......

Penelitian mengenai sinkronisasi kegiatan pertambangan pada kawasan hutan termasuk kedalam penelitian hukum normatif. Penelitian ini menganalisis kekaburan norma pada pelaksanaan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan antara UU nomor 11 tahun 1967 dan UU

nomor 41 tahun 1999 tentang pemanfaatan hutan lindung dan hutan konservasi untuk kegiatan pembangunan pertambangan.

Kekaburan tentang norma hukum yang mengatur tentang pelaksanaan UU nomor 11 tahun 1967 dan UU nomor 41 tahun 1999 telah menerbitkan SK Menteri baru dengan melakukan sinkronisasi penerapan peraturan dari kedua perundang-undangan, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya perusakan dan pencemaran sumber daya alam.

Tipe penelitian ini tergolong kedalam penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan bahan hukum kepustakaan maka titik berat penelitian ini mempergunakan bahan hukum bukan data, sehingga data primer yang dipergunakan hanya bersifat memperkuat, melengkapi dan menunjang, kemudian sumber data sekunder dilakukan melalui sumber data kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Adapun bahan hukum primer yang digunakan terutama berpusat dan bertitik tolak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU nomor 11 tahun 1967, UU nomor 5 tahun 1990-,UU~41tahlm1999......

Berikutnya dipergunakan pula bahan hukum sekunder berupa pendapat para ahli hukum, hasil-hasil penelitian, kegiatan ilmiah dan beberapa informasi dari media masa.

Pendekatan masalah yang dipakai terhadap penelitian ini, pendekatan perundang-undangan (the statute approach), studi kasus (the case approach), serta pendekatan kepustakaan (the library approach) dengan menggunakan dokumen-dokumen UkWPL j≡ a^ PLTP ^dnguI masing-masing dari LIPI dan PPLH Unud beserta berita-berita yang berasal dari majalah Walhi dan Mass Media Bali Post..

Jenis bahan hukum yang dipergunakan berupa bahan-bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, surat keputusan Menteri, peraturan daerah, sedangkan bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan-bahan hukum primer yang dapat

membantu menganalisis dan memahami hukum primer seperti : hasil karya ilmiah para sarjana; hasil penelitian; laporan-laporan; dan media massa.

Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi bibliografi atau daftar bacaan.

Adapun metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode gabungan antara bola salju (snowball methode) dengan metode sistematis (systematic methode).

Dari hasil pengumpulan bahan hukum, kemudian bahan hukum dianalisis, dikontruksi dan diolah sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan, kemudian disajikan secara deskriptif.10

3.Pembahasan

  • 3.1.    Sinkronisasi Penerapan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan Dan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Kesan dan pendapat dari masyarakat timbul karena cukup banyak kasus kegiatan pertambangan yang dinilai merusak dan mencemari lingkungan. Sebagai contoh Freeport di Irian Jaya yang dinilai menimbulkan pencemaran berat pada perairan dengan limbah tailingnya dan dinilai telah merusak keberadaan puncak es tropika di Irian Jaya. Disamping itu pula kerusakan lahan bekas tambang dibeberapa wilayah seperti tambang timah di Bangka-Singkep, atau pun kerusakan lahan bekas tambang galian golongan C yang banyak tersebar di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera11.

Kasus pemanfaatan kawasan lindung dan konservasi seluas 42,52 ha juga terjadi di Bali. Rencana kegiatan pembangunan PLTP Bedugul sampai saat ini masih simpang siur apakah rencana kegiatan pembangunan itu akan terus dilaksanakan atau dihentikan.

UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan)∕UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) yang dibuat oleh Puslitbang LIPI pusat dan Amdal dari PPLH Unud agak berbeda sebab UKL∕UPL dari Puslitbang LIPI pusat merekomendasikan bahwa Rencana Kegiatan pembangunan PLTP Bedugul layak untuk dilanjutkan dan secara teknis pelaksanaan pembangunan dilapangan tidak akan menimbulkan dampak yang berarti dan dikatakan pula bahwa buanganlimbah baik padat, cair dan gas akan langsung dimanfaatkan pada saatoperasional12. Sedangkan hasil Andal PLTP Bedugul yang dikaji oleh PPLH Unud memunculkan dampak negatif yang tidak dapat ditoleransi yaitu masalah amblesan atau turunnya permukaan tanah pada saat volume cairan menurun dan tidak dapat diprediksi kapan akan te,jadi'"

Permasalahan sekarang adalah akan terjadi kerusakan hutan lindung yang menyebabkan hilangnya habitat satwa dan akan menurunkan biodiversitas flora dan fauna hilangnya mata air, menurunnya debit air danau dan menurunnya kesakralan kawasan suci yang merupakan hal yang sangat peka bagi masyarakat Bali. Kawasan suci merupakan tanah leluhur yang merupakan landasan jati diri umat Hindu di Bali dan harus dipertahankan keberadaannya. Kedua konsultan Amdal itu sangat kontroversial, sehingga seluruh masyarakat Bali telah menolak rencana kegiatan pembangunan tersebut lewat wakil rakyat DPRD dan DPD RI yang disampaikan langsung oleh Gubernur Bali.

Namun sampai saat ini pemerintah pusat masih bersikeras untuk melaksanakan rencana kegiatan pembangunan tersebut. Rupanya alasan pemerintah pusat untuk meneruskan kebijakan tersebut memiliki alasan yang cukup kuat yaitu negara dalam kondisi krisis ekonomi sehingga prioritas kebijakan pemerintah ditekankan kepada pertumbuhan ekonomi dengan dalih untuk mengurangi tingkat kemiskinan, disamping memang Indonesiaharus membayar utangnya dari desakan International

Monetery Fund (IMF) melalui Letter oflntent (LoI) yang telah ditanda tangani pemerintah dimana salah satu skema yang disetujui adalah konversi hutan alam untuk meningkatkan devisa negara pada waktu i'u∙ „ . .

Desakan pemerintah pusat agar pemerintah daerah beserta masyarakatnya harus menghormati kontrak yang telah ditanda tangani pemerintah sebelumnya. Kontrak yang telah ditanda tangani tidak dapat dibatalkan begitu saja, sebab pengemban telah melakukan kesepakatan tersebut dengan pemerintah RI berdasarkan kesepakatan berbagai instansi14).

Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan negara yang

dilakukan dengan mengundang investor besar. Oleh karena itu, Undang-Undang ini selain bernuansa sentralistik juga sarat dengan orientasi ekonomi (economic and capital oriented). Pengaturan mengeHa, pengUaaaan. pemanfaatan dan penguSahaan s^pe™ usaha bambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara dan menga<ur usaha perIarnbangan rml-k bahan galian C seperti pasir, kapur, belerang dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomi tinggi. Sedangkan bahan gUliantarnbangAdan B seperti tunas. tembaga. nikel, minyak dan gas bumi, batubara. tanah. bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.

Tabel 3. Fungsi, Status dan Pemanfaatan Hutan Berdasarkan UU Kehutanan No. 41/1999

Fungsi Hutan

Status Hutan

Pilihan Penggunaan

Hutan Negara

Hutan Pribadi

Hutan Bukan-adat

Hutan Adat

Izin pengusahaan atas kawasan

Hutan Konversi

Hutan

Konservasi

Hutan       ini

dimanfaatkan untuk perlindungan keragaman hayati.

Penggunaan lain dimungkinkan kecuali    pada

cagar alam, zona inti, dan zona rimba     pada

taman nasional (Pasal 24)

Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya dan hukum (Pasal 37)

Pemilik     dapat

memanfaatkan hutan       yang

tujuannya   untuk

perlindungan  dan

konservasi sepanjang    tidak

bertentangan dengan fungsi yang sudah ditentukan (Pasal 36)

Tidak ada

Hutan Konsefvasi tidak       dapat

dikonversi untuk penggunaan bukan hutan

Hutan Lindung

Hutan Lindung dimanfaatkan untuk      jasa

lingkungan dan pemungutan hasil hutan non kayu

Jika diubah menjadi hutan negara, pemerintah akan memberi kompensasi kepada pemilik (pasal 36)

Tidak ada

Hutan lindung dapat dikonversi untuk penggunaan bukan     hutan

(misal: pertambangan)

Sumber: Rujukan dari internetUUNo. 41 Tahun 1999.15)

Semestinya tidak perlu ada mekanisme pembentukan tim terpadu karena setiap instansi teknis bisa tetap mempunyai wewenang. Dan, manakala satu instansi tidak memberikan izin maka sudah seharusnya perizinan yang lain juga gugur. Dalam kasus tambang di Hutan Lindung misalnya, kalau memang Dephut berpijak sesuai peraturan perundang-undangan semestinya tidak memberi izin penambangan dihutan dan perizinan tambang seharusnya gugur.

Sebagaimana perbandingan di Belanda, berlaku asas persamaan kedudukan di antara berbagai izin danjika salah satu izin dicabut, maka secara otomatis kegiatan yang bersangkutan tidak dapat lagi beroperasi, karena perizinannya tidak lagi lengkap. Asas ini disebut dengan “Specialitet beginseΓ.

Sementara itu pada tingkat global intervensi dilakukan melalui Global Mining Initiatif (GMI)-intervensi dalam bentuk prakarsa global dari puluhan perusahaan pertambangan multinasional yang dimulai sejaktahun 1998.

Perusahaan-perusahaan tersebut dalam operasi tambang mereka diberbagai tempat di dunia (termasuk di Indonesia) memiliki reputasi buruk karena telah menimbulkan berbagai masalah serius bagi penduduk lokal, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Untuk memperbaiki citra sekaligus mencari legitimasi, mereka mempromosikan “Pertambangan Berkelanjutan”. Untuk mencapai hal itu mereka akan berupaya keras untuk “ Secara terbuka menjalin keijasama dengan kelompok lingkungan hidup, HAM dan pemerintah”. Kegiatan kunci GMI adalah Mining Minerals and Sustainable Development (MMSD).

Sampai awal 2001, sekitar 30 perusahaan pertambangan telah bergabung dengan GMI/ MMSD. Untuk mendapat legitimasi, project MMSD sengaja melibatkan kalangan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dan badan-badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai contoh, WorldBusiness CouncilcfSustainableDevelopment (WBCSD)- al s kbU, d„i 120 peal>»»n internasional, memulai MMSD atas permintaan gm

Untuk pelaksana gagasan MMSD, WBSCD memilih, International Institute for Environment and Development (IIED)- satu LSM yang cukup

besar berkantor pusat di London (Inggris). IIED menjalankan studi, mengembangkan metode konsultasi yang luas dan merancang strategi implementasi MMSD.

Program ini diharapkan mengeluarkan draft laporan sekitar tahun 2001 dan laporan akhir 2002. Laporan ini akan menjadi bahan intervensi mereka untuk mempromosikan Pertambangan Berkelanjutan, termasuk pada proses-proses negosiasi World Summit on Sustainable Development (WSSD), Johannesburg, 200216).

  • 3.2.    Bentuk Sinkronisasi Penerapan Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah

Bentuk sinkronisasi penerapan peraturan perundang-undangan pemerintah dalam permasalahan ini adalah dalam bentuk surat keputusan Menko Ekoin nomor: KEP-04/M.EKOIN/ 09/2000 tentang Tim Koordinasi Pengkajian Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Pertambangan telah dikeluarkan dan menyatakan :

  • a.    Bahwa dalam rangka pemulihan ekonomi, diperlukan pengembangan investasi, termasuk investasi dibidang pertambangan.

  • b.    Bahwa salah satu program percepatan pemulihan ekonomi adalah optimalisasi kekayaan tambang.

  • c.    Bahwa usaha pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Dan khusus pada kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola penambangan tertutup.

  • d.    Bahwa sampai saat ini sudah ada sekitar 150 Kontrak Pertambangan dengan seizin pemerintah, telah mengeluarkan biaya investasi yang cukup besar untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tersebut.

  • e.    Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi dengan meningkatkan investasi dan kegiatan di bidang pertambangan, perlu dilakukan kajian pemanfaatan kawasan hutan khususnya kawasan hutan lindung untuk usaha penambangan agar diperoleh nilai tambah yang lebih besar.

Munculnya Surat Keputusan itu sangat jelas menunjukkan bahwa negara begitu mengabaikan keselamatan kawasan konservasi. Sementara fakta di lapangan menunjukkan, pertambangan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan.

Di lokasi-lokasi pertambangan terlihat jelas bagaimana wajah hutan Indonesia yang hancur karena penggalian, pembuangan limbah batuan (over burder) dan limbah tailing serta aktivitas penunjang operasi tambang lainnya. Beberapa perusahaan yang akan menghentikan kegiatan tambangnya, menyatakan tidak mampu menghutankan kembali bekas lubang tambang dan kolam limbah mereka.

Lubang-lubang itu dibiarkan terus menganga dan menjadi danau asam beracun pasca penambangan. Begitu pula kolam limbah tailing akan menjadi hamparan pasir yang mengandung logam berat dalam kurun waktu sangat panjang.

PT. Kelian Equatorial Mining misalnya, akan menutup tambangnya di Kelian, Kalimantan Timur pada tahun 2003. perusahaan milik Rio Tinto ini akan membiarkan lubang tambangnya seluas 1.766.250 m2 sedalam 600 meter tanpa mampu dihutankan kembali. Keterbatasan teknologi dan besarnya biaya yang mereka pakai sebagai alasan menelantarkan tanah yang porak poranda setelah sumberdayanya mereka nikmati dan tak lagi bisa diperah hasilnya.

Hal yang sama dilakukan PT. Freeport Indonesia. Limbah tailing Freeport yang dibuang langsung ke SungaiAjkwa telah mematikan ratusan hektar hutan di kawasan operasi tambangnya. Sementara Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang menutup tambangnya di tahun 2003, menyebutkan meninggalkan enam lubang tambang besar dan dalam yaitu : Mesel, Nibong, Limpoga, Nona Hua dan Pasolo dengan luas totalnya 26 ha.

Mesel merupakan daerah bekas tambang terluas dengan lubang besar sepanjang 700 meter, lebar 500 meter dan kedalaman maksimum 250 meter. Sedang kedalaman lubang lain diperkirakan 100-110 meter. Lebih tragis lagi mereka hanya akan mereklamasi sebesar 15,4% dari wilayah bekas penambangan.

Banyak perusahaan lainjuga tidak mampu atau tidak mau menghutankan kembali bekas galian tambang mereka seperti, PT Indo Muro Kencana di Kalimantan Timur, PT Adaro di Kalimantan Selatan,

PT Timah di Bangka dan Belitung, PT Barisan Tropical Mining di Sumatera Selatan, PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur dan banyak lainnya.

Semua perusahaan ini akan meninggalkan lubang-lubang tambang yang menyerupai danau diakhir operasi pertambangan mereka, di kawasan yang dulunya hutan.

Pemahaman tentang sumber daya alam dalam UUNo. 11 Tahun 1967bersifatreduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam, yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.

Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, UU No. 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan pada eksploitasi (use-oriented) daripada kelestarian sumber daya tambang. Undang-Undang ini hanya memberikan satu Pasal (Pasal 30) untuk mengatur perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan.

Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa : apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain dari masyarakat disekitarnya. Dengan ketentuan semacan itu, maka Undang-Undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya17.

Semestinya Pasal 30 perlu disempurnakan lagi dengan menambahkan pernyataan agar sebelum melaksanakan kegiatan pertambangan pemegang kuasa pembangunan pertambangan diwajibkan untuk melaksanakan Amdal sehingga pengaturan perlindungan dari kegiatan pertambangan bukan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan melainkan mulai dari proses awal untuk memperoleh izin prinsip, izin lokasi dan Amdal mulai dari tahap prakontruksi, kontruksi, pasca kontruksi atau pasca pertambangan sehingga dampak negatif dapat diminimalkan baik dampak fisik, biologi (flora dan

fauna) maupun dampak sosial yaitu sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Disamping itu pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah seperti semula sehingga kondisinya berangsur-angsur pulih kembali dan tidak menimbulkan bahaya penyakit dan bahaya lainnya bagi masyarakat disekitarnya18).

  • 3.3.    Dasar Pemikiran Pemerintah Menerbitkan

SK Menko Ekoin Nomor: Kep-04/M.EKOIN/ 09/2000 ............

Pertama, biaya operasional dikatakan menjadi sangat tinggi bila penambangan dilakukan dengan metode penambangan di bawah tanah. Mulailah perusahaan-perusahaan tambang dan asosiasinya melobi pemerintah untuk mengubah kebijakan kehutanan dengan membuat amandemen pada UU No. 41 Tahun 1999. Mereka berharap agar hutan dengan status apapun bisa ditambang seperti, pernyataan-pernyataan yang kerap dikeluarkan Indonesian Mining Assosiation (IMA) atau Asosiasi Pertambangan Indonesia. Anggota IMA adalah perusahaan-perusahaan tambang yang melakukan operasionalnya di Indonesia, termasuk Freeport, Newmont, Rio Tinto dan banyak lagi lainnya.

Lobi-lobi perusahaan ini ternyata mendapat tanggapan pemerintah dengan keluarnya Keputusan ^o .....l l ..,. .. • kep-04m.EkOin∕09∕2000 tentang Tim Koordinasi Pengkajian Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Pertambangan.

Kedua, desakan dari International Monetary Fund (IMF) melalui Letter ofIntent (LoI) pada saat itu yang telah ditandatangani pemerintah, dimana salah satu skema yang disetujui adalah konversi hutan alam untuk meningkatkan devisa negara. Kedua, adanya dugaan bahwa tekanan IMF ini berkaitan dengan persoalan utang yang harus dibayar dengan kekayaan alam Indonesia, salah satunya disumbang oleh sektor pertambangan. Urusan ini memang sesuai dengan “teori” jebakan utang (debt trap).

Padahal dihitung-hitung kontribusi pertambangan terhadap pemasukan devisa negara sangat kecil dan tidak mungkin menutup tunggakan utang pemerintah yang sudahjatuh tempo itu. Antara

tahun 1993-1995 misalnya, kontribusi sektor pertambangan berkisar antara 2,54-2,92% dari pendapatan kotor domestik/PDB.

Salah satu senjata penting dalam lobi yang dilakukan pelaku pertambangan adalah kasus Pulau Gag di Papua. Menteri ESDM menyebutkan bahwa hasil kajian terhadap Pulau Gag akan menjadi barometer bagi pengembangan kegiatan kegiatan usaha di sektor pertambangan di Indonesia. Pulau Gag memiliki deposit Nikel yang besar, nomer tiga terbesar di dunia setelah Goro di Kalendonia Baru dan Voissey Bay di Kanada.

PFbhp (Brpkep ™ ftoiyMKmton s»t ini memiliki masalah untuk mengelola cadangan nikelnya di Pulau Gag, sejak ditinggal mitra kerja mereka, Falcon Bridge (Canada). Keputusan mengundurkan diri ini terjadi karena status hutan lindung Pulau Gag, PT. BHP membutuhkan dana yang besar dan ketrampilan untuk mengelola cadangan nikelnya, untuk itu mereka mencari mitra yang kuat. Mitra tersebut akan sulit didapatjika Gag masih berstatus hutan lindung19.

Mengubah status lindung Pulau Gag menjadi sangat penting. Ancaman-ancaman kepada pemerintah daerah dan pusat untuk menghentikan sementara (suspension) investasi pertambangan di Gag pun dikeluarkan.

Upaya investor pertambangan mengambil alih kawasan hutan lindung dan konservasi tidak berhenti sebatas lobi. Lebihjauh mereka berusaha mengubah UU Kehutanan, Merubah Status Kawasan Hutan dan Menggeser Tata Batas. Usulan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro kepada Menteri Kehutanan untuk merevisi Pasal 38 Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, bisa jadi buah dari lobi-lobi itu.

Alasan Yusgiantoro mengajukan revisi adalah ketakutan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di Indonesia dipastikan bakal mengalami penurunan tajam. Selain itu, “Saat ini saja sudah ada 99 kontrak pertambangan yang ditandatangani sebelumUUNo. 41/1999 diberlakukan dan belum melakukan kegiatan pertambangan karena terhalang oleh UU tersebut,” katanya kepada wartawan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Yusgiantoro, ketentuan dalam Pasal

38 UU No. 41/1999 berbenturan dengan peraturan pemerintah sebelumnya mengenai perizinan untuk melaksanakan eksplorasi di hutan lindung. Sedangkan dalam UU disebutkan, pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Karena itu, tumpang tindih peraturan mengenai pertambangan tersebut harus segera diklarifikasi. Jika tidak akan membawa dampak negatif kepada dunia pertambangan di Indonesia.

Untuk mengatasi tumpang tindih kepentingan antara sektor kehutanan dan pertambangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup serta Kementerian Koordinator Perekonomian, sepakat membentuk tim soal Pulau Gag.

Hasil kajian tim akan menjadi landasan pemerintah dalam menetapkan status boleh tidaknya dijadikan areal pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Seperti diduga sebelumnya, hasil kajian Tim Terpadu itu pun akhirnya menyetujui proyek pertambangan di Pulau Gag, meskipun putusan akhirnya tetap tergantung Dephut. Dari sinilah awal proses sinkronisasi penerapan UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang pada akhirnya memporak-porandakan kawasan hutan lindung dan konservasi.

Luas areal yang ditambang sudah mencapai 66.891.496 ha atau lebih 35% daratanIndonesia. Ini sudah melebihi dari luasan rencana pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi (Tabel 2) Perizinan ini belum termasuk yang diberikan daerah lewat Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Tentu saja dengan luasan tersebut pertambangan memberikan kontribusi sangat besar bagi penurunan kualitas lingkungan di Indonesia.

Sebagai suatu industri, operasi pertambangan bersifat ekploitatif dan destruktif. Mulai dari penebangan hutan hingga membuat lubang-lubang di perut bumi yang mengandung bahan-bahan beracun.

Dengan beberapa gambaran diatas terlihat bahwa desakan dan inisiatif global untuk mengeksploitasi kawasan hutan lindung dan konservasi akan bergulir terus sampai kepentingan

mereka untuk penumpukan dan perluasan modal benar-benar terwujud.

Untuk mewujudkan rencana tersebut mereka akan menempuh berbagai cara yang tidak bermoral, melanggar ketentuan hukum dan mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat20.

Padahal dari aspek manapun upaya-upaya yang mereka lakukan untuk mengubah fungsi konservasi, lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat. Secara ekonomi, pemanfaatan hutan lindung ujung-ujungnya hanya akan dinikmati beberapa gelintir orang. Masyarakat yang selama ini hidupnya bergantung dari hutan lindung dan konservasijustru semakin terpinggirkan. Sementara kerusakan lingkungan yang timbul akibat perubahan bentang alam menjadi bencana yang dapat mengancam siapa saJa.

Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami pemerintah sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Oleh karena itu, atas nama pembangunan dengan mengejar target ekonomi (economic growth development), maka pemanfaatan dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Dalam pelaksanaan yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan tetapi pasti menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

  • 4. Simpulan dan saran

    Simpulan

Berdasakrn uraian di atas terdapat beberapa simpulan yaitu:

  • 1)    Proses sinkronisasi penerapan peraturan perundang-undangan ini diawali dengan adanya perbedaan kontroversial penerapan peraturan perundang-undangan antara UU no. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan dan UU no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutananyaitu dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung dan konservasi untuk kegiatan pertambangan,

selanjutnya pemerintah melakukan sinkronisasi penerapannya.

  • 2)    Munculnya sinkronisasi penerapan peraturan perundang-undangan itu dalam bentuk SK Menko Ekoin nomor KEP-04/M.EKOIN/09/2000 tentang Tim Koordinasi Pengkajian Pemanfaatan Kawasan Hutan Untuk Pertambangan yang mengabaikan keselamatan hutan lindung dan konservasi.

  • 3)    Dasar pemikiran pemerintah menerbitkan SK Menko Ekoin nomor KEP-04/M.EKOIN/09/2000 tidak lepas dari:

  • a.    Desakan dari International Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intent (LoI)

  • b.    Desakan ini berkaitan dengan persoalan utang yang harus dibayar dengan kekayaan alam Indonesia salah satunya disektor pertambangan.

  • c.    Adanya upaya investor pertambangan dengan lobi-lobi untuk berusaha mengubah status kawasan dan menggeser tata batas.

  • d.    Adanya alasan kuat dari pemerintah dengan alasan negara dalam kondisi krisis ekonomi sehingga prioritas kebijakan pemerintah ditekankan kepada pertumbuhan ekonomi dengan dalih untuk mengurangi tingkat kemiskinan.

Saran

Ada beberapa saran yang perlu dilaksanakan untuk menangani permasalahan tersebut yaitu :

  • 1)    Diperlukan keterpaduan dan sinkronisasi

dengan peraturan perundang-undangan sumber daya alam lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih seperti UU No. 5 Tahun I960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (uup^uUAo; 1L T4hu" I9Tttentang Pengairan; UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

  • 2)    Sangat diperlukan revitalisasi/penguatan penegakan hukum sehingga proses pembangunan pertambangan dapat berjalan dengan sempurna.

  • 3)    Pemerintah harus secara tegas melarang pemanfaatan hutan lindung dan konservasi untuk pertambangan.

  • 4)    Jangan memaksakan diri untuk mengubah fungsi hutan lindung untuk dieksploitasi, sebaiknya segera dihentikan upayanya dan lebih memperhatikan kepentingan masyarakat umum dan lingkungan hidup.

  • 5)    Masyarakat semestinya selalu mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai upaya kontrol terhadap pemerintah berkaitan dengan status peruntukan hutan lindung dan konservasi.

  • 6)    Masyarakat semestinya diajak berpartisipasi dari awal rencana kegiatan pembangunan pertambangan sehingga masyarakat terlebih dahulu akan dapat mengetahui dampak yang akan terjadi baik dampak positif maupun negatifnya.

Daftar Pustaka

Anonim, 1996. UpayaPengelolaanLingkungandan UpayaPemantauanLingkunganKegiatanPemboran dan Uji Produksi Sumur Batukaru-bedugul Bali. Kontrak Operasi Bersama Pertamina-Bali Energy, Ltd., Jakarta

Anonim. 2005. Andal PLTP di Kawasan Bedugul BEL (Bali Energy Limitea). PPLH Unud, Denpasar Bali

Ashshofa, B., 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta

Bali Post, Senin, 18 Juli 2005. PLTP Geothermal Bedugul Potensi Kecil Dampak Besar. Denpasar

Harsono Boedi. 2006. HukumAgrariaIndonesia. Djambatan, Jakarta

Nuijaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Perspektf Antropologi Hukum. Prestasi Pustaka, Jakarta.

Pamulardi Bambang. 1994. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. PT. RajaGrafindo, Jakarta

Khakim, A. 2005. PengantarHukum Kehutanan Indonesia, PT. CahayaAditya Bakti, Bandung

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Scotland, N., J. Smith, H. Lisa, M. Hiller, B. Jarvis, C. Kaiser, M. Leighton, L. Paulson, E. Pollard, D. Ratnasari, R. Ravanell, S. Stanley, Erwidodo, D. Curry, dan A. Setyarso. 2000. Indonesia Country Paper on Illegal Logging, disunting oleh W. Finlayson dan N. Scotland. Laporan yang tidak diterbitkan, disajikan untuk World Bank-World Wide Fund forNature Workshop on Control ofIllegal logging in East Asia. Jakarta, Indonesia.

Walhi, No.2∕th XXII/2002. “Tanah Air”. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup Indonesia. Walhi, Jakarta.

Sumber internet:

DikumpulkandalamsumberelektronikrujukandariintemetUUNo. 11 Tahun 1967. www.minergynews.com/ regulation/regulation e.shtml.

Dikumpulkandalamsumberelektronikrujukandari internetUUNo. 41 Tahun 1999.www.warsi.or.id/Library/ Pustaka _find_result.asp?penerbit=BKSDA%20JAMBI.

299