IDEOLOGI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DI BALIK PEMAKAIAN SAPUT POLENG PADA POHON BESAR DI BALI
on
IDEOLOGI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DIBALIK PEMAKAIAN SAPUT POLENG PADA POHON BESAR DI BALI
IKetutSuda
Fakultas IlmuAgama Universitas Hindu Indonesia, Denpasar
Abstract
This study concern to discuss about ideology wich talking about the used of "saput poleng ” in a big tree in Bali. Where for Hindus people means to remains the environment. But infact that’s only just text, because some or maybe much environment be in big trauble. For example, "Vila Bukit Berbunga” case in Tabanan and Buleleng region, the condition of critical area, in forest area is 3.538 ha very critical, 6.286 ha critikal, and 44.201 ha is alittle bit critical, and then all critical area is in 54.205 ha. Then the critical areafarfrom forest area 84.885 ha. Based on Forest Departemen 2002, the damaged offorest in Bali is Caused by fired wich demage 544,19 ha; caused by people (illegal wood cutter) wich demage 83,17 m3∕ph, and caused by "pembibrikan” wich damage 5.245,77 ha. Beside that "Galian C”erotion, tourism development (Bappeda Provinsi Bali, 2006:1X-14—1X-15). Is take a part to damage it. To prevent the damaged environment Balinesse has two way, there are "sekala and niskala’’. Sekala way is make some low to protect forest area and niskala way is make some Hindus ritual.
Key words : saput poleng, ideology, environment, a big tree.
-
1. Pendahuluan IingkungamHalinidimaksudkanagarmenghasilkan
Mengenai masalah lingkungan pemerintah Indonesia telah menyadarinya jauh sebelum dicetuskannya deklarasi lingkungan hidup sedunia 5 Juli 1972 oleh PBB di Stockholm Swedia. Buktinya, tahun 1926 Indonesia telah memiliki UU mengenai gangguan lingkungan, ordenansi perlindungan alam tahun 1941, dan UU pokok kesehatan tahun I960. Masalah lingkungan hidup di Indonesia juga diatur dalam GBHN 1973,1983, dan 1988. Selanjutnya, di era pemerintahan Orde Baru kesadaran pemerintah tentang pentingnya lingkungan bagi kehidupan manusia semakin tampak dengan diangkatnya menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1987 yang disebut Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Linkungan Hidup (Sumarwoto, 2001:60—61).
Diangkatnya menteri negara lingkungan hidup pada waktu itu, menandakan bahwa masalah lingkungan merupakan bagian resmi dari kebijakan pemerintahan negara. Masuknya masalah lingkungan hidup ke dalam kebijakan resmi pemerintah berakibat pembangunan ekonomi yang diselenggarakan di Indonesia, harus berwawasan
pembangunan berkelanjutan (sustainable devalopmem) yang tidak mengalami keambrukan karena rusaknya lingkungan hidup.
Dalam konteks pelestarian lingkungan, secara normatif masyarakat Bali, sejak lama sudah mempunyai ajaran untuk hidup serasi dengan sesama manusia, dengan lingkungan hidupnya, dan dengan Tuhannya yang disebut ajaran Tri Hita Karana. Di dalamnya tercermin suatu kearifan ekologis yang harus dipegang dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Salah satu wujud penerapan ajaran ini, terutama menyangkut hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah dililitkannya saputpoleng (kain kotak-kotak hitam putih) pada pohon-pohon besar, yang secara ideal mempunyai dampak terhadap upaya konservasi lingkungan. Artinya,jika ada pohon besar yang dililit saput poleng, jangankan menebang pohonya, memetik daunya atau rantingnya saja masyarakat tidak berani sembarangan. Jadi, secara normatif pemakaian saput poleng pada pohon besar di Bali, bermakna sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan perilaku masyarakat agar tidak
semena-mena terhadap lingkungan hidupnya.
Namun dalam kenyataan masyarakat dewasa ini, yang tampak justru budaya hidup mewah dan konsumtif berlebihan dengan berbagai simbol status sosialnya. Gaya hidup demikian memicu munculnya keinginan masyarakat untuk berlomba-lomba mencapai status sosial tertinggi dan untuk itu dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal demikian mendorong pula persaingan di antara anggota masyarakat untuk mendapatkan penghasilan yang sebesar-besaranya. Akibatnya, eksploitasi sumber daya alam pun tidak terhindarkan, dan akhir-akhir ini ada kecenderungan trendnya meningkat cukup tajam. Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan selama ini telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang sangat luas dan parah. Contoh, di Provinsi Bali per 2006 dapat digambarkan kondisi lingkungan yang tergolong sangat kritis di dalam kawasan hutan mencapai 3.538 ha; 6.286 ha kritis, dan 44.201 ha agak kritis, totalnya menjadi 54.025 ha. Sementara untuk lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan seluruhnya mencapai 84.885 ha. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali (2002) menunjukkan bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh kebakaran mencapai 544,19 ha; karena penebangan liar/pencurian 83,17 m3∕ph dan karena pembibrikan mencapai 5.245,77 ha. Belum lagi kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan galian C, erosi, dan tidak dapat dipungkiri pula karena pembangunan sektor pariwisata (Bappeda Provinsi Bali, 2006:IX-14—IX-15).
Berangkat dari gambaran di atas, permasalahan krusial yang perlu dikaji dalam kajian ini adalah (1) Ideologi apa yang ada di balik pemakaian saput poleng pada pohon besar di Bali? (2) Bagaimana bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi pada alam Bali saat ini? (3) Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kerusakan lingkungan yang telah mengancam kehidupan masyarakat Bali? Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ideologi yang ada di balik pemakaian saput poleng pada pohon besar, bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi di Bali, serta upaya yang dapat ditempuh untuk meminimalkan terjadi kerusakan lingkungan di Bali.
Kajian ini merupakan kajian pustaka, oleh karenanya beberapa metode yang digunakan meliputi:
Mengingat data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa berbagai informasi yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis, misalnya dari buku-buku teks, majalah,jurnal, surat kabar, bulletin, dan lain-lain, maka metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode pencatatan dokumen. Pencatatan dokumen ini berguna untuk menghimpun data dan informasi dari berbagai sumber tertulis, seperti buku-buku teks, majalah, jurnal, bulletin, surat kabar, dan lain-lain.
h MetodeAnalisisData
Dalam rangka melakukan analisis terhadap data yang telah dikumpulkan penulis melakukan sintesis terhadap beberapa pendapat ahli seperti, Patton (1980:286); Bogdan dan Taylor (1975:79); dan Moleong (1991:103) yang mengatakan bahwa analisis data merupakan suatu proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja yang disarankan data. Langkah selanjutnya data yang berhasil dikumpulkan dianalisis berdasarkan teknik deskriptif kualitatif, yakni dengan cara menyusun secara sistematis data-data yang diperoleh kemudian ditarik simpulan secara umum.
c. Penyjian Hasil Analisis Data
Setelah analisis data dilakukan kemudian langkah selanjutnya adalah menyajikan hasil analisis data dengan cara seluruh hasil analisis dirangkum dan disusun sesuai dengan pokok-pokok/kaedah-kaedah penulisan karya ilmiah.
Pengertian Ideologi
Ideologi menurut Karl Marx dan Karl Mannheim terlebih lagi ideologi politik sebagian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep Mennheim tentang sebuah ideologi total (sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu). Pada intinya pandangan Mennheim sama dengan Marx, dan dalam bukunya Ideology and Utopia ia minta perhatian terhadap kenyataan bahwa
ideologi paling bisa dipahami dalam proses kesejarahan yang terbuka.
Sementara O’neil (2001:33) mengatakan bahwa ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Di sisi lain Thompson (2003:17) menunjukkan bahwa ideologi merupakan sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Lainlagi Montero (2005:220) dalam artikelnya yang berjudul ‘’Psikologi Politik Suatu Perspektif Kritis’’ menjelaskan bahwa:
Ideologi mengacu pada suatu sistem gagasan yang mengembangkan kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan ini secara khusus dibenarkan oleh pengembangan gagasan-gagasan di mana fakta-fakta dan proses sejarah diubah, diingkari, atau disembunyikan. Selain itu, ideologi mengonstruksi realitas dengan suatu cara di mana orang-orang menginternalisasi atribut-atribut negatif tentang dirinya sendiri sebagai sesuatu yang alamiah dan sah melalui proses pemenuhan diri sendiri, orang bertindak sesuai dengan persepsi-persepsi negatif ini.
Berangkat dari beberapa gagasan mengenai ideologi di atas dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan suatu gagasan yang di dalamnya mencakup nilai dan norma yang diyakini benar oleh penganutnya. Oleh karena itu, gagasan tersebut diaktualisasikan sebagai praktik material guna melakukan penataan terhadap kenyataan sosial. Aspek-aspek yang bertentangan dengannya sengaja disembunyikan guna memberikan pembenaran terhadap gagasan yang tercakup dalam ideologi yang mereka anut.
Makna di Balik Pemakaian Saput Poleng pada Pohon Besar
Upaya masyarakat Bali melilitkan Saputpoleng pada pohon besar, bukan sekadar perbuatan iseng yang terjebak pada utopia, melainkan memiliki pula latar belakang ideologis. Artinya, di balik budaya melilitkan saput poleng pada pohon besar, yang merupakan bagian dari sistem nilai (value system) masyarakat Bali, mengandung pula nilai-nilai kearifan ekologis. Maksudnya, paradigma pengelolaan lingkungan dengan konsep antroposentris, biosentris, dan ekosentris (Kraf, dalam Rupawan, 2008:96) tercakup dalam ideologi tersebut, yang dalam ajaran Hindu disebut Tri Hita Karana.
Konsep Tri Hita Karana meliputi harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yang diaktualisasikan dalam bentuk pemujaan yang disebut parhyangan. Demikian pula dalam kehidupan sosial umat Hindu di Bali tidak dapat dilepaskan dari hubungan dengan manusia lainnya yang disebut dengan pawongan. Terakhir adalah harmonisasi hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang disebut palemahan.
Jika konsepsi Tri Hita Karana dikaitkan dengan pandangan Kraf di atas, dapat dikatakan bahwa upaya melilitkan saput poleng pada pohon besar yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali secara filosofi mengandung cara pandang pengelolaan lingkungan dengan konsep antroposentris, biosentris, dan ekosentris. Konsep antroposentrisme berarti bahwa manusia dilihat sebagai pusat dari alam semesta. Manusia sebagai mahluk tertinggi di muka bumi ini, sedangkan alam semesta dianggap sebagai sarana pelengkap dan alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara pandang ini dilengkapi pula dengan pendapat yang menyatakan bahwa tidak saja manusia sebagai titik sentral dalam kehidupan di alam ini, tetapi mahluk lainpun sangat menentukan keberlangsungan planet bumi ini. Dari pandangan tersebut, dapat dijelaskan bahwa manusia tidak hanya dipandang sebagai mahluk sosial, tetapijuga mahluk biologis, dan mahluk ekologis.
Uraian di atas sejalan dengan pandangan Nala (1995:4) tentang kearifan alam yang mengatakan bahwa di alam semesta ini harus ada keseimbangan antara unsur yang tidak hidup yang disebut Panca Mahabhuta, meliputi: sinar matahari (teja), air (apah), udara (bayu), tanah (pertiwi), dan akasa (ether), dengan unsur yang hidup yang disebut sarwaprani. Jika dilogikakan upaya masyarakat Bali melilitkan saput poleng pada pohon besar dapat dijabarkan sebagai berikut. Setiap hari mata hari bersinar menyinari apa saja yang ada di permukaan bumi ini. Sinar matahari yang panas itu, ternyata membuat air laut, air sungai, air danau, dan air apa saja akan menguap. Uap air yang amat ringan ini kemudian terbang ke atas dan berkumpul menjadi awan. Lama kelamaan awan ini akan menggumpal dan akhirnya terjadilah hujan. Air hujan pun turun lagi ke bumi, sebagian langsung mengalir ke laut, dan sebagian lagi meresap ke dalam tanah kemudian muncul lagi menjadi mata air, dan akhirnya membentuk sungai. Airnya kemudian mengalir ke laut atau ke danau, lalu kena sinar mata hari lagi dan menguap ke udara
lanjut menggumpal, dan akhirnya hujan lagi dan begitu seterusnya. Jadi, hujan merupakan suatu rangkaian proses yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Jika salah satu unsur itu hilang atau tidak ada maka proses terjadinya hujan akan terganggu.
Tanpa ada hujan, tanpa ada air, maka kehidupan semua mahluk di muka bumi ini akan terancam. Itulah sebabnya umat Hindu diajarkan agar menghormati, memelihara, dan mengembangkan semua unsur tersebut. Ajarannya tertuang dalam upacara Bhuta Yadnya, yakni korban suci terhadap Panca Mahabhuta. Jadi, melilitkan Scputpoleng pada pohon besar dan acapkali disertai dengan pendirian pelinggih (tempat pemujaan) kepada Ida Hyang Widhi di bawah pohon itu, secara sosiologi agama mengandung nilai-nilai kearifan ekologis, yakni cara pandang pelestarian lingkungan hidup. Sebab perilaku demikian merupakan salah satu bentuk perwujudan dari ucapan terima kasih dan rasa bhakti umat Hindu kepada Tuhan, atas karunianya berupa pohon besar sebagai salah satu unsur ekosistem yang secara alamiah telah mengatur rangkaian proses terjadinya hujan secara terus-menerus. Jika hal itu tidak ada, dapat dibayangkan bahwa kehidupan umat manusia bisa terancam bahkan mungkin bisa mengalami kemusnahan.
Sebenarnya masyarakat Hindu di Bali memiliki banyak nilai kearifan ekologis untuk pelestarian lingkungan. Hanya saja dalam proses sosilisasinya belum banyak yang dilakukan melalui berbagai diskursus yang dapat dipahami masyarakat secara ilmiah. Pada kenyataannya banyak nilai kearifan lokal, dan kearifan ekologis di Bali hanya dipahami masyarakat sebatas tradisi mula keto (memang begitu). Belum banyak upaya yang dilakukan masyarakat untuk menggali nilai-nilai tersebut dengan bersandar pada kerangka berpikir ilmiah.
-
3.2 Kerusakan Alam Bali
Pembangunan Pariwisata yang Kurang Ramah lingkungan
Pariwisata yang dijadikan leading sector dalam pembangunan Bali ternyata di dalamnya sangat rapuh. Betapa tidak tiga pilar ekonomi Bali, yakni pertanian, pariwisata, dan industri kerajinan tidak dikembangkan secara seimbang. Pariwisata yang sebelumnya merupakan sektor pendukung dikembangkan secara membabi buta. Pertanian yang
merupakan sektor andalan malah dikucilkan bahkan dikorbankan demi pariwisata. Sementara sektor industri kecil tetap dijadikan pelengkap dalam memajukan sektor pariwisata.
Akibat kebijakan ini, semua potensi Bali diarahkan untuk mendukung pembangunan pariwisata. Banyak contoh yang bisa dikemukakan betapa sektor pertanian dikorbankan demi pariwisata. Misalnya, sawah yang dulu menghijau kini dikavling-kavling untuk pembangunan hotel atau resort. Pantai yang sebelumnya digunakan untuk upacara agama dan dijadikan sumber mata pencaharian oleh para nelayan kini ditembok, pelabapura yang merupakan kawasan suci pun dicaplok investor, dan banyak lagi kasus lain yang terkait dengan marginalisasi dan hegemoni sektor pertanian oleh sektor pariwisata (Wirata dalam Ajeg Bali, 2004:3).
Berbagai contoh kasus terkait rencana dan program pembangunan yang mengancam kerusakan alam Bali adalah: di Kabupaten Klungkung rencana pembangunan kasino misalnya. Pembangunan tempatjudi yang bertaraf internasional ini, menurut rencana akan dibangun di Nusa Penida dengan alasan meningkatkan pendapatan asli daeah (PAD). Alasan lainnya pembangunan tersebut akan mampu membuka lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya, dan yang lebih parah lagi adalah untuk mendongkrak harga tanah di bumi nan tandus Nusa Penida. Ide itu kandas karena ada penentangan yang kuat dari berbagai elemen masyarakat. Jika pembangunan ini berlanjut sulit dibayangkan bagaimana kerusakan alam Nusa Penida itu terjadi akibat pembangunan sektor pariwisata ini.
Demikian pula kasus yang terjadi di Kabupaten Tabanan dan Buleleng. Pembangunan Vila Bukit Berbunga di Pancasari, adalah salah satu contoh kecil dari kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan pariwisata. Sebab kawasan penyangga air hujan yang dulu ‘’dikeramatkan” kini dibanguni fasilitas pariwisata yang dapat menimbulkan longsoran. Berbagai kerusakan lingkungan yang digambarkan di atas tidak dapat dilepaskan dari masuknya paham modernisme yang mempengaruhi pikiran masyarakat. Paham modernisme ini telah mengubah etika lingkungan ekosentrisme atau holistik yang dianut manusia Bali, menjadi etika antroposentrisme. Artinya, manusia tidak saja mengambil jarak dengan lingkungan alamnya, tetapi juga menganggap dirinya sebagai pusat dari segala-galanya (Kraf, 2002).
Jika mengacu pada Chang (2000) dapat dikatakan bahwa modernisasi mengakibatkan sistem pemikiran ekologis berubah menjadi sistem filsafat Utilitarianisme dan pragmatisme. Artinya, manusia yang menganut filsafat ini selalu berusaha mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari lingkungan tanpa memperhatikan dampaknya. Latar dari tindakan manusia seperti ini bisa dijelaskan dari sudut pandang the will cf power atau kehendak untuk berkuasa. Nietzsche dalam Strathern (2005:49) menyimpulkan bahwa:
Kemanusiaan didorong oleh kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak ini. Seringkali kehendak untuk berkuasa ini diubah dari ekspresinya yang semula, atau bahkan dialihkan ke bentuk lain, tetapi tidak bisa dihindari semua itu selalu bermata air di tempat yang sama.
Dari pandangan Nietzche di atas, dapat dijelaskan bahwa kehendak untuk berkuasa sebagai daya inti yang mendorong tindakan manusia, tidak saja ditujukan terhadap sesama manusia (berupa tindakan politik) tetapi juga terhadap lingkungan alamnya. Artinya, alam sering pula dijadikan medan untuk melampiaskan kehendak manusia untuk berkuasa. Misalnya, dengan cara melakukan eksploitasi terhadap alam untuk memperoleh modal dalam rangka menunjang kehendaknya untuk berkuasa, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam.
Revolusi Hijau dan Pembangunanisme
Dalam konteks perubahan sosial masyarakat Bali, soal pembangunanisme menarik untuk dicermati, terutama yang berkaitan dengan penerapan revolusi hijau (Green Revolution). Jika mengikuti Fakih (2000,2004) dan Atmdja (2005), maka dapat dikatakan revolusi hijau merupakan salah satu bentuk program industrialisasi dan modernisasi pertanian yang sepenuhnya mengikuti logika pertumbuhan (Baca: logika pembangunan). Logika ini menekankan bahwa pertanian tradisional harus dikembangkan ke arah pertanian modern agar hasil bisa meningkat. Terkait dengan itu, penggunaan teknologi hayati kimiawi, bahkan juga teknologi mekanis menjadi suatu keharusan yang semuanya diberi label revolusi hijau. Revolusi ini dianggap obat mujarab untuk meningkatkan produksi pertanian khususnya padi guna meningkatkan kesejahteraan para petani (Atmdja, 2005:34). Hasil dari kebijakan ini terjadilah peningkatan panen secara menakjubkan dan posisi Indonesia berubah total dari negara pengimpor beras,
menjadi negara berswasembada pangan secara penuh.
Bersamaan dengan perubahan itu, Collier at al. (1996) mengemukakan di Indonesia terjadilah apa yang disebut komersialisasi pertanian. Artinya, para petani mulai berpikir komersial terhadap berbagai hasil pertanian yang dihasilkan. Misalnya, petani tidak lagi hanya mengandalkan menanam padi di sawahnya, tetapijuga palawija yang dilakukan secara bergantian dan ujung-ujungnya berorientasi pada kebutuhan pasar. Intinya apapun yang mereka budidayakan di sawah atau ladangnya, kebutuhan akan teknologi kimiawi, seperti pupuk buatan dan anekajenis insektisida merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem bercocok tanam tersebut. Tanpa pupuk kimiawi apapun yang dibudidayakan para petani akan mengalami kesulitan untuk memperoleh hasil yang melimpah untuk memenuhi tuntutan pasar.
Aneka perubahan ini menurut Atmadja (2005:37) mengakibatkan terjadinya detradisionalisasi yang luas dan kompleks pada masyarakat Bali. Gejala ini tidak dapat dilepaskan dari asumsi dasar yang ada di balik revolusi hijau, bahwa dalam rangka meningkatkan hasil pertanian segala sesuatu yang berbau tradisional harus disingkirkan, dan digantikan dengan kemodernan yang berkiblat ke Barat. Akibat penerapan berbagai teknologi modern baik di sektor pertanian, maupun di sektor pariwisata menurut Sutawan (dalam Bagus ed., 2002:216—235) di beberapa wilayah Bali muncul keluhan masyarakat petani, akan adanya pencemaran lingkungan khususnya pencemaran air pada sungai danjaringan irigasi yang diakibatkan oleh limbah industri atau pun hotel dan restoran. Lebih lanjut menurut Sutawan, kecenderungan menurunnya kualitas air ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah industri yang mengeluarkan limbah yang disalurkan, melalui sungai ataupunjaringan irigasi. Terkait dengan masalah ini eksistensi subak sebagai organisasi yang berfungsi sebagai institusi yang terlibat dalam menjaga kelestarian lingkungan mulai terusik, bahkan perannya mulai berkurang. Berkurangnya peranan subak, baik sebagai pengelola air irigasi maupun sebagai penjaga kelestarian lingkungan, dapat dipastikan berakibat pada kerusakan lingkungan karena pemakaian teknologi kimiawi terus meningkat. Hal ini sejalan dengan Giddens (2005) yang mengatakan bahwa telah terjadi dominasi dan hegemoni ilmu serta teknologi tradisional yang disertai dengan refleksivitas. Jadi, program revolusi hijau dan konsep
pembangunanisme yang terlalu berorientasi pada upaya untuk mengejar pertumbuhan tidak hanya dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan secara fisik, seperti pencemaran air, rusaknya unsur hara tanah, tetapi juga mengakibatkan terdegradasinya berbagai nilai tradisional dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bali.
-
3.3 Upaya yang dapat Dilakukan untukPelestarian Lingkungan
Pelestarian Lingkungan Secara Sekala
Perilaku manusia dalam memanafaatkan lingkungannya sangat ditentukan oleh citra lingkungan yang mereka miliki. Citra lingkungan menurut Soemarwoto (1989:94) menggambarkan anggapan orang tentang struktur lingkungan, dalam arti bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap tindakan orang serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Citra lingkungan itu memberi petunjuk tentang apa yang ia boleh lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu. Citra lingkungan bisa bersumberkan pada pengetahuan yang mereka dapatkan dari hubungan mereka dengan lingkungannya, dan atau bisa pula bersumberkan pada agama, kepercayaan, atau pun mistik.
Berangkat dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa citra lingkungan masyarakat Bali selain bersumberkan pada pengetahuan lokal, juga pada agama Hindu. Atau dengan kata lain citra lingkungan masyarakat Bali mengarah pada paham ekosentrisme. Paham ini beranggapan bahwa manusia dan alam dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Artinya, dia tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk memahami sesuatu harus dipahami secara keseluruhan atau holistik. Artinya, ketika masyarakat Bali mau memahami lingkungannya, tidak hanya secara biofisik yang bersifat sekala, tetapi juga berwujud lingkungan supernatural (dewa, roh leluhur, dan mahluk demonik) yang bersifat niskala (Atmadja, 2005:287).
Jadi, upaya pelestarian lingkungan secara sekala dimaksudkan di sini adalah upaya nyata yang dilakukan masyarakat Bali untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup mereka. Misalnya, pada lahan yang berada pada daerah-daerah yang miring dibuatlah teras sering untuk menghindari tanah dari kelongsoran. Demikian pula pada lahan yang gundul dilakukan penghijauan, bahkan secara normatif apa yang diatur dalam UU No. 4/1982 tentang ketentuan-
ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, diejawantahkan pula dalam awig-awig desa pakraman di Bali. Dalam awig-awig desa pakraman secara tegas diatur masalah, sukertha tata parhyangan (menyangkut masalah keagamaan); sukertha tata pawongan (menyangakut masalah krama desa/warga desa); dan sukertha tata palemahan (menyangkut permasalahan lingkungan desapakraman). Dengan demikian awig-awig yang mengatur tata pergaualan hidup krama desa dalam mewajudkanjagadhita tidak saja berfungsi sebagai pengikat persatuan dan kesatuan, tetapi mengatur pula segala perilaku kehidupan yang telah disepakati di desanya. Seperti, pengaturan wilayah dalam tataran trimandala (utama, madya, dan nista), tentang kehidupan beraneka jenis tanaman, hewan piaraan, bangunan, dan lain-lain semua diatur dalam awig-awig desa pakraman. Dimasukannya hal-hal tersebut ke dalam awig-awig desa pakraman, dimaksudkan agar keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan kelestarian lingkungan dalam kehidupan bersama di desa dapat diwujudkan.
Pelestarian Lingkungan Secara Niskala
Selain peraturan perundang-undangan secara nasional yang digunakan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia, masyarakat lokal juga memilki pedoman untuk memanfaatkan sumber daya alam agar tidak merusak lingkungan. Penelitian yang dilakukan Schefold (1985) tentang orang Mentawai menunjukkan bahwa orang Mentawai mempunyai kebiasaan membudidayakan umbi-umbian dan pisang dengan teknologi perladangan berpindah. Hasil penelitian itu menunjukkan meskipun orang Mentawai mempunyai budaya ladang berpindah tetapi mereka pantang membuka hutan dengan cara membakar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal di Indonesia, di samping melaksanakan upaya-upaya pelestarian lingkungan secara fisik (nyata/sekala) mereka juga mempunyai keyakinan yang bersifat supranatural (niskala) untuk melindungi sumber daya alamnya.
Selain masyarakat Mentawai, masyarakat Hindu di Bali juga mengenal berbagai nilai kearifan lokal yang secara filosofi mengandung makna pelestarian lingkungan. Misalnya, upacara Tumpek Bubuh yang jatuh pada Saniscara Kliwon Wariga (setiap 210 hari sekali), dapat dikonseptualisasikan sebagai upaya masyarakat untuk melestarikan lingkungan. Upacara ini dilakukan dalam rangka pemujaan terhadap Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa
Sangkara, yakni dewanya tumbuh-tumbuhan. Upacara ini merupakan upaya masyarakat untuk melestarikan lingkungan secara niskala. Dasar filosofi dilakasanakannya upacara ini menurut Gunadha dan Dharmika (t.t :2) adalah pemikiran untuk memberikan sebelum menikmati. Jika ini dikaitkan dengan upaya pelestarian sumber daya hayati, maka dapat dikatakan bahwa sebelum manusia menikmati harus didahului dengan kegiatan penanaman atau pemeliharaan. Upacara lain, yang masih dalam konteks pelestarian lingkungan bagi Masyarakat Hindu di Bali adalah upacara TumpekKandang yang jatuh pada Saniscara Kliwon Uye (setiap 210 hari sekali). Upacara ini diselenaggarakan sebagi bentuk ucapan terima kasih umat manusia kepada Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati yang telah menciptakan berbagai macam binatang seperti ayam, itik, babi, dan sapi.
JadiJika mengacu pada beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa upaya pelestarian lingkungan, khususnya di Bali dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara sekala, melalui berbagai bentuk peraturan perundang-undangan dan secara niskala melalui berbagai bentuk perayaan upacara keagamaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Umat Hindu khususnya di Bali dalam menginterpretasikan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya berpangkal pada kitab suci Veda, dan kerangka dasar Agama Hindu, yakni tatawa, susial, dan upacara. Ajaran tatwa memberi petunjuk filosofi yang mendalam mengenai pokok-pokok keyakinan ataupun mengenai konsepsi Ketuhanan, selanjutnya ajaran susila merupakan kerangka untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, sedangkan upacara merupakan kerangka untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk persembahan. Jadi, esensi dari pada upacara adalah yadnya (korban suci dengan hati yang tulus dan ikhlas) serta dasar hukum dari yadnya adalah Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, dan Pitra Rna). Andaikan semua ini dicermati secara lebih seksama, maka dapat dipahami bahwa di situ ada nilai-nilai kearifan lokal yang secara konseptual mengandung nilai-nilai pelestarian lingkungan hidup.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik simpulan, yaitu:
-
1) Pemakaian saput poleng pada pohon-pohon besar yang dilakukan umat Hindu di Bali, sebenarnya bukanlah perbuatan iseng yang terjebak pada utopia, akan tetapi merupakan sebuah keyakinan filosofis keagamaan yang mengandung ideologi pelestarian lingkungan hidup;
-
2) Berbagai bentuk kerusakan lingkungan alam Bali telah terjadi akibat pembangunan yang mengikuti logika pertumbuhan. Misalnya, pembangunan Vila Bukit Berbunga di daerah kawasan penyangga hujan di Kabupaten Tabanan dan Buleleng, penggunaan lahan produktif untuk pembangunan prasarana pariwisata, dan terjadinya lahan kritis akibat penebangan hutan secara liar di kawasan Bali Barat, dan banyak lagi bentuk kerusakan lainnya akibat kebijakan menempatkan pembangunan pariwisata sebagai leading sector;
-
3) Secara umum upaya yang dilakukan masyarakat Bali dalam rangka melestarikan lingkungannya adalah dengan dua cara, yakni secara sekala dan secara niskala. Secara sekala dilakukan melalui berbagai bentuk peraturan perundang-undangan dalam bentuk awig-awig desa pakraman yang berfungsi sebagai upaya untuk mengendalikan perilaku manusia agar tidak bertindak semana-mena terhadap lingkungannya. Kedua, dengan cara niskala melalui berbagai bentuk upacara keagamaan, seperti upacara tumpek wariga, tumpek uye dan lain-lain yang kesemuanya mempunyai makna filosofi memberi sebelum menikmati.
Kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia umumnya dan Bali khususnya, mulai dari lapisan masyarakat paling bawah sampai lapisan paling atas disarankan agar menyadari meskipun lingkungan yang dihadapi setiap manusia bervariasi, namun manusia harus selalu mampu merumuskan konsep, strategi, dan berbagai upaya untuk melestarikan lingkungan sekitarnya. Sejumlah pembahasan yang komprehensip mengenai pendekatan lingkungan yang telah dirumuskan para ahli ilmu sosial, yang menggunakan pendekatan ekologi untuk riset dan pengajaran tampaknya perlu juga disosialisasikan kepada masayarakat luas.
Daftar Pustaka
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. Balipada Era Globalisasi, Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penarnpilannya. (DrafBuku).
Bappeda, Provinsi Bali. 2006. Data Bali Membangun. Pemerintah Provinsi Bali Badan Perencanaan Pemabangunan Daerah. Denpasar
Bogdan R. dan S.J. Taylor. 1993. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (A. KhoszinAfandi, Penerjemah). Usaha Nasional, Surabaya.
Chang, W. 2000. Moral Lingkungan Hidup. Kanisius,Yogyakarta.
Collier, W.L at al. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan Jawa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Dinas kehutanan Provinsi Bali. 2002. Hutan dan Kehutanan Provinsi Bali. Dinas Kehutanan pemerintah Provinsi Bali.Denpasar.
Fakih, M. 2000. ‘’Tinjauan Kritis trehadap Revolusi Hijau”. dalam Dadang Yuliantara (ed). Menggeser Pembangunan memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta. Hal aman 3—22.
Fakih, M. 2004. Bebas dari Neolibralisme. INSIST Press Printing, Yogyakarta.
Giddens, A. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. (Nurhadi, Penerjemah).: Press Book, Jakarta.
Gunadha I.B. dan I.B Dharmika, t.t.” Kerangka Konseptual Hindu Mengenai Hubungan Timbal BalikAntara manusia dan Lingkungan”. Makalah diseminarkan dalam Seminar Nasional Nilai-Nilai Agama dan Budaya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Kerja sama DPD RI dengan LP2 M UNHI Denpasar.
Kraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Buku Kompas, Jakarta.
Montero, M. 2005. ‘’Psikologi Politik: PerspektifKritis". Dalam D. Fox dan I Prilleltensky ed. Psikologi Kritis Metaanalisis Psikologi Kritis (A. Chasairi dan I.L Alfian Penerjemah). Mizan Media Utama. Bandung. Halaman 209—228.
Moleong, J. Lexy, 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nala, Ngurah, 1995. Moksartham Jagaddhita. Dalam Nala (ed). Moksartham Jagadditha. Upada Sastra. Denpasar. Halaman 1—16.
O’neil, F. William, 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan. (Omi Intan Naomi, Penerjemah). Pustaka Pelajar, YogyakartaL.
Rupawan, I Ketut. 2008. Saput Poleng dalam Kehidupan Beragama Hindu di Bali. Pustaka Bali Post, Denpasar.
Schefold, Reimar. 1985. ‘’Keseimbangan Mentawai dan Dunia Modern’’, dalam Michael R. Dove (Penyunting). Peranan Kebudayaan Tradisonal Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor. Jakarta.Halaman 215—141.
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. GajahMada University Press ,Yogyakarta.
Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya POP Memetakan Lanskep Konseptual Cultural Studies. CV Qalam. Yogyakarta.
Sutawan, I Nyoman, 2002. Prospek Kajian Subak dalam Pergeseran Masyarakat Agraris Ke Masyarakat Industri. Dalam Bagus, Penyunting) Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Program Studi Magister (S-2) Kajian Budaya Universitas Udaya Denpasar.
Thompson, J.B. 2003. Analisis Ideologi Kritis Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. (HaqqulYaqinPenerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD.
Wirata, Nyoman, 2004. Bali Siapa yang Mesti Menyelamatkan? DalamAyegBali Sebuah Cita-Cita. Denpasar: Bali Post. Halam 2—6.
340
Discussion and feedback