DINAMIKA SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT BADUY DALAM MENGELOLA HUTAN DAN LINGKUNGAN

Gunggung Senoaji

Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu E-mail: senoajil211@gmail.com

Abstract

Baduy community is a Sundanese ethnic isolating themselves around Kendeng Mountarns, South Banten. They occupy an area about 5101.8 hectares of land in which the property rights were granted from the government. The people strictly adhere to their customary rules and norms. The increase of population has resulted in changes in social and cultural aspect of this community. Hence, this study aimed to investigate social and cultural dynamics ofBaduy community in managing itsforests and environments. The technique ofPartisipatory Rural Apraisal surveys were employed in the study. Data were collected by conducting participating observations and open in-depth interviews in the Kanekes Village, Leuwidamar, Lebak, Banten. The results showed that there have been some dynamic changes in terms of social and cultural of the community in managing their forests and environment. These changes were believed to be initiated by the decrease of availability of cultivated areas due to thepopulation growth. The Baduy community started adjusting their ways of life in order to survive. Customary rules (pikukuh karuhun) which were originally applicable to all people have been shifting. The evidence was clearfrom the obvious differences in the Ife of the people of Baduy-Luar and Baduy-Dalam. There has been, for example, an alteration in the people’s status in the society. It was all community members that have to obey the pikukuh karuhun rules. However, currently Baduy-Luar community has also been helping to maintain the persistence of Baduy-Dalam's pikukuh karuhun. Basic rules that must be followed by Baduy’speople includefarmingprocedures andpost-productions, the treatment to theforest and environment, and the implementation of the Sunda Wiwitan pillars. These customary rules were absolutely compulsoryfor the Baduy-Dalam s people. However, there are some exceptions for Baduy-Luar community members, particularly in relations to fulfilling their daily life necessities. Some socio-cultural changes in the life of Baduy s people include dress codes, the use of manufactured goods, land preparation methods, variety of cultivated crops and plantations, the use of transportation means, and the design of residential buildings.

Key words : Baduy community, forests and environments, social and cultural dynamics

  • 1.    Pendahuluan

Masyarakat Baduy adalah kelompok masyarakat Sunda yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak, 2001). Masyarakat Baduy ini merupakan salah satu suku di Pulau Jawa yang hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Di perkampungan Baduy tidak ada

listrik, tidak ada pengerasanjalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana. Aturan adat melarang warganya untuk menerima modernisasi pembangunan. Untuk mencapai ke lokasi pemukiman, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak tanpa pengerasan. Masyarakat Baduy menempati wilayah seluas 5.101,8 hektar berupa hak

ulayat yang diberikan oleh pemerintah.

Pola kehidupan masyarakat Baduy sangat ditentukan oleh aturan-aturan dan norma-norma yang berperanan penting dalam proses kehidupan sosial mereka. Aturan dan norma-norma yang berlaku membentuk homogenitas prilaku dan sosial ekonomi masyarakatnya. Hikmahnya agar mereka mampu memperkokoh benteng kehidupan anak turunan, menjalin tatanan hidup yang terus berkesinambungan dan dominan. Aturan dan norma itu dijabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan sebagai alat pengayom bagi seluruh warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tertib hukum, untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya. Homogenitas masyarakat Baduy dapat dilihat dari kesamaan tempat tinggal, kepercayaan, mata pencaharian, pakaian, dan perilaku sehari-hari dalam menyikapi alam lingkungan dan masyarakat luar. Berdasarkan perilaku dan sosial budayanya, masyarakat Baduy dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok, yaitu Baduy-Dalam dan Baduy-Luar (Senoaji, 2003).

Masyarakat Baduy mempercayai bahwa mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci (taneuh titipan) yang menjadi pusat bumi. Sebagai pusat bumi, tanah larangan Baduy tidak boleh rusak; gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak, aliran air tidak boleh diganggu dan lembah tidak boleh dirusak (Rangkuti, 1988a). Aturanadat telah mengatur hubungan manusia dengan alam sehingga manusia dengan alamnya hidup berdampingan dan berkesinambungan (Djoewisno, 1987).

Mampukah aturan adat masyarakat Baduy bertahan dalam kondisi modernisasi yang pesat dengan luas lahan pertanian yang dimilikinya terbatas ? Menurut Soeprapto (2002), perubahan dalam masyarakat bisa terjadi pada nilai dan norma sosial, susunan kelembagaan sosial, interaksi sosial, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala normal yang memiliki prinsip saling menyambung antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya; sehingga sangat sulit bagi suatu masyarakat untuk menutup diri dari adanya rembetan perubahan sosial. Masyarakat yang sedikit sekali perubahannya dan berjalan sangat lambat disebut masyarakat statis, sedangkan masyarakat yang cepat sekali mengalami perubahan sosial disebut masyarakat dinamis.

Rangkuti (1988b) menjelaskan bahwa pada kehidupan masyarakat Baduy sedang terjadi perubahan-perubahan sosial dan budaya. Selama ratusan tahun orang Baduy mampu beradaptasi dengan dunia luar dan bisa mengatasi tantangan zaman. Sebagai masyarakat petani, pertambahan penduduk yang meningkat akan meningkatkan kebutuhan lahan pertanian; sedangkan luas wilayahnya tetap. Keterbatasan lahan pertanian menjadi masalah dalam kehidupannya. Bagaimana norma dan aturan adat masyarakat Baduy mengatasi permasalahan ini ? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika sosial budaya masyarakat Baduy dalam mengelola hutan dan lingkungan serta pergeseran aturan-aturan adat yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Baduy dan lingkungannya.

  • 2.    Metode Penelitian

Kegiatan penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dinamika sosial dan budaya masyarakat Baduy dalam mengelola hutan dan lingkungannya sejalan dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat dan tekanan modernisasi dari masyarakat luar serta pergeseran aturan-aturan adat yang mengatur kehidupannya. Penelitian ini dilakukan di wilayah ulayat Baduy yakni di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada bulan Juni-Agustus 2009.

Metode yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan beberapa teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) seperti : pemetaan kawasan, penelusuran lokasi, alur sejarah, dan wawancara semi terstruktur. Teknik pemetaan (mapping) adalah teknik PRA untuk menggambarkan keadaan wilayah desa dan lingkungannya. Teknik penelusuran wilayah (transek) adalah teknik PRA untuk menggali informasi tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan, melalui pengamatan langsung ke lapangan dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa dan mengikuti lintasan tertentu yang disiapkan. Teknik alur sejarah berupa kegiatan untuk mengungkap kembali sejarah masyarakat Baduy dengan cara memaparkan kejadian-kejadian penting yang terjadi di masa lampau. Teknik wawancara semi terstruktur merupakan teknik penggalian informasi berupa tanya jawab yang sistematis tentang pokok-pokok tertentu, bersifat semi terbuka tetapi pembicaraannya dibatasi

oleh topik yang telah ditentukan.

Data dan informasi tentang kondisi wilayah Baduy, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat serta dinamika perubahannya termasukan pergeseran-pergeseran aturan adat dalam mengelola hutan dan lingkungannya, dianalisis melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran dinamika masyarakat Baduy dalam mengelola hutan dan lingkungannya serta sejauh mana pergeseran aturan adat yang berlaku..

  • 3.    HasildanPembahasan

    3.1    PetaWilayahMasyarakatBaduy

Wilayah ulayat Masyarakat Baduy memiliki luas sekitar 5.101,8 hektar, terletak di sebelah Barat Pulau Jawa, di sekitar Pegunungan Kendeng. Secara administrasi pemerintahan, wilayah ini dikukuhkan menjadi Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Secara geografis lokasinya terletak pada 6° 27’ 27" - 6° 30’ Lintang Utara dan 108° 3’ 9" - 106° 4’ 55" Bujur Timur. Wilayahnya berbukit-bukit, tersusun oleh sambung menyambung bukit dan lembah. Pemukiman biasanya terletak di wilayah lembah bukit, pada daerah yang lebih datar dekat dengan sumber air tanah atau sungai (Iskandar, 1992).

Batas-batas wilayah Baduy sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bojongmenteng, Desa Cisimeut, dan Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar; sebelah Baratberbatasan dengan Desa Parakanbeusi, Desa Keboncau, dan Desa Karangnunggal Kecamatan Bojong Manik; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan Cijaku; dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karangcombong dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang. Sedangkan batas-batas alamnya sebelah Utara adalah Sungai Ciujung, sebelah Selatan Sungai Cidikit, sebelah Barat Sungai Cibarani, dan sebelah Timur Sungai Cisimeut (Pemda Kabupaten Lebak, 2001).

Topografi daerah Masyarakat Baduy berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 45 %, sedangkan tinggi daerah dari permukaan laut berkisar antara 300 - 1200 meter dari permukaan laut dengan suhu berkisar 20° C - 22° C dan curah hujan berkisar 3000 mm/tahun (Djoewisno, 1987). Keadaan tanah dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu pegunungan vulkanik di sebelah Utara, endapan

tanah pegunungan di bagian tengah, dan campuran tanah pegunungan serta endapannya di bagian Selatan. Jenis tanahnya berupa latosol coklat, alluvial coklat, dan andosol (Garna, 1993).

  • 3.2    MasyarakatBaduy

Jumlah penduduk Baduy di wilayah Desa Kanekes sampai dengan bulan Juni 2009 adalah 11.172 jiwa terdiri dari 2.948 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 58 kampung. Berdasarkanjenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki 5.624jiwa, dan perempuan 5.548jiwa (PemerintahDesa Kanekes, 2009). Struktur masyarakat Baduy dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu masyarakat Baduy-Dalam (Baduy Tangtu) dan Masyarakat Baduy-Luar (Baduy Panamping). Wilayah Baduy-Dalam luasnya sekitar 1.975 hektar denganjumlah penduduk 1.083 orang (281 KK) yang tersebar di tiga kampung; sedangkan wilayah Baduy-Luar luasnya 3.127 hektar dengan jumlah penduduk 10.089 (2.667 KK) tersebar di 55 kampung. Laju pertumbuhan penduduk masyarakat Baduy mulai dari tahun 1988 - 2009 adalah 1,69 % pertahun. Hal ini menjadi permasalahan yang besar, mengingat luasan wilayah masyarakat Baduy tetap.

Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang padi tanah kering. Sistim perladangannya adalah berladang berpindah dengan masa bera (mengistirahatkan lahan), selama 5 tahun. Mata pencaharian sampingan saat menunggu waktu panen atau waktu luang adalah membuat kerajinan tangan dari bambu (asepan, boboko, nyiru, dll), membuat kcja (tas dari kulit kayu), masuk ke dalam hutan mencari rotan, pete, ranji, buah-buahan dan madu, berburu, membuat atap dari daun kirai, membuat alat pertanian seperti golok dan kored. Perempuan Baduy, selain membantu suaminya di ladang kegiatan di waktu luangnya adalah bertenun. Mereka menenun kain menggunakan alat sederhana yang dibuatnya sendiri (Permana, 2001). Bagi Baduy-Luar selain kegiatan tersebut, mata pencaharian lainnya adalah menyadap nira untuk membuat gula, bertani tanaman semusim seperti kopi dan cengkeh, menanam kayu sengon, berdagang, dan menjadi buruh. Pekerjaan yang dilakukan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dilarang memproduksi berlebihan.

Masyarakat Baduy tidak mengenal sistem pendidikan atau sekolah formal. Adat melarang warganya untuk bersekolah. Mereka berpendapat bila orang Baduy bersekolah akan bertambah pintar,

dan orang pintar hanya akan merusak alam sehingga akan merubah semua aturan yang telah ditetapkan oleh karuhun. Walaupun tidak berpendidikan formal, masyarakat Baduy ada yang mengenal baca, tulis dan berhitung. Mereka belajar dari orang luar yang datang ke lingkungannya. Pendidikan informal yang diperoleh masyarakat Baduy dilakukan melalui ujaran-ujaran yang disampaikan oleh orang tuanya, terutama buyut karuhun (larangan leluhur) tentang bagaimana memanfaatkan alam lingkungannya.

Kepercayaan orang Baduy disebut agama sunda wiwitan, yaitu percaya serta yakin adanya satu kuasa, yakni Batara Tunggal, yang tidak bisa dilihat dengan mata tetapi bisa diraba dengan hati, maha segala tahu yang bergerak dan berusik di dunia ini. Sebutan lain bagi batara tunggal adalah Nungersakeun (Yang Maha Menghendaki), dan Sang Hiyang Keresa (Yang menghendaki). Masyarakat Baduyjuga percaya adanya hidup, mati, sakit, dan nasib, yang semua itu berada pada kekuasaan Sang Hyang Batara Tunggal. Dalam keyakinannya merekapun mempunyai nabi yaitu Nabi Adam. Selain kepercayaan kepada Batara Tunggal, masyarakat Baduy juga mempercayai bahwa untuk mengayomi dan menjaga terhadap ciptaan Batara Tunggal itu ada pula kekuatan gaib dari roh nenek moyang mereka yang disebut karuhun/leluhur.

  • 3.3    Norma dan Adat Masyarakat Baduy dalam

    mengelola Lingkungan

Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut karuhun yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun (ketentuan atau larangan adat). Dalam kehidupannya puun sebagai pimpinan tertinggi adat Baduy adalah keturunan batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda wiwitan yang harus ditaati segala perintah dan perkataannya. Rukun agama sunda wiwitan (rukun Baduy) yang terdiri dari : ngukus, ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan, dan ngareksakeun sasaka pusaka; harus ditaati oleh seluruh masyarakat Baduy. Aturan dan tata cara pelaksanaan rukun Baduy ini dipimpin

oleh puun sebagai ketua adat masyarakat Baduy. Kedudukan para pimpinan adat memiliki peranan dan kekuasaan luas terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Wewenang dan kedudukan itu sudah ditentukan oleh karuhun dengan maksud untuk menyelamatkan taneuh titipan yang merupakan intinyajagat.

Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah:

  • 1)    Dilarang merubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengolah sawah, mengatur drainase, dan membuat irigasi. Sistem pertanian padinya adalah padi ladang; pertanian padi sawah dilarang di komonitas masyarakat Baduy;

  • 2)    Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat sumur, meratakan tanah untuk pemukiman, dan mencangkul tanah untuk pertanian;

  • 3)    Dilarang masuk hutan titipan (leuweung titipan) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya.;

  • 4)    Dilarang menggunakan bahan kimia, seperti : pupuk, pestisida, minyak fosil, sabun, ditergen, pasta gigi, dan racun ikan;

  • 5)    Dilarang menanam tanaman budidaya perkebunan seperti : kopi, kakao, cengkeh, kelapa sawit, dan sebagainya;

  • 6)    Dilarang memelihara binatang ternak kaki empat, seperti kambing dan kerbau;

  • 7)    Dilarang berladang sendiri-semdiri, harus sesuai dengan ketentuan adat;

  • 8)    Dilarang berpakaian sembarangan. Baduy-Dalam berpakaian putih-putih dengan ikat kepala putih; Baduy-Luar berpakaian hitam dengan ikat kepala hitam.

Buyut dan Pikukuh karuhun dilafalkan dengan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang selalu disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada anaknya. Ujaran-ujaran ini dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy, di antaranya (hasil wawancara dengan Jaro Dainah dan Panggiwa Baduy, 2009):

Pondok teu meunang disambung Lcjor teu meunang dipotong Nagara tilupuluh tilu Pencar salawe nagara Kawan sawidak lima Rukun garapan dua welas Mipit kudu amit Ngala kudu menta Ngagedag kudu bewara Ngali cikur kudu matur Ulah goroh ulah linyok Ngadeg kudu sacekna Ulah sirik ulah pidik

Ulah ngarusak bangsa jeung nagara Gunung teu meunang dilebur Lebak teu meunang dirusak


Pendek tidak boleh disambung

Panjang tidak boleh dipotong

Negara tigapuluh

Terbagi dua puluh lima negara

Sungai enampuluh lima

Warga dua belas yang mengolah dunia

Panen harus minta ijin

Ngambil harus meminta

Berbuat harus memberi tahu

Ngambil kencur harus bicara

Jangan banyak omong jangan berbohong

Pendirian harus tegas

Jangan sirikjangan dengki

Jangan merusak bangsa dan negara Gunung tidak boleh dihancurkan Lembah tidak boleh dirusak


Masyarakat Baduy juga berpegang teguh kepada pedoman hidupnya yang dikenal dengan dasasila,yaitu (Djoewisno, 1987) :

  • 1)    Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh orang lain)

  • 2)    Moal mibanda pangaboga nu lian (tidak mengambil barang orang lain)

  • 3)    Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak berbohong)

  • 4)    Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak mabuk-mabukan)

  • 5)    Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati pada yang lain/poligami)

  • 6)    Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung peting (tidak makan malam hari)

  • 7)    Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai wangi-wangian)

  • 8)    Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam tidur)

  • 9)    Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik, atau nyanyian)

  • 10)    Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas atau permata)

Dasar aturan inilah yang melekat pada diri masyarakat Baduy, menyatu dalamjiwa dan menjelma dalam perbuatan, tidak pernah tergoyah dengan kemajuan zaman. Hubungan dengan alam, hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, hubungan antara laki-laki dengan perempuan, diatur dengan jelas dan tegas dan dipahami oleh semua masyarakat

Baduy. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut berupa hukuman oleh ketua adatnya, mulai dari hukuman disuruh kerja, diasingkan ke suatu tempat atau bahkan sampai dikeluarkan dari komunitas masyarakat Baduy. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan zaman dan pesatnya pengaruh dari luar, mulai terjadi pelonggaran terhadap aturannya. Masyarakat Baduy yang semula hanya satu komunitas akhirnya dibagi menjadi dua, yakni Baduy-Dalam yang harus tetap berpegang pada aturan adat dan Baduy-Luar yang sudah mulai ada kelonggaran-kelonggaran aturan adat (Adi, 1988); yang selanjutnya dikenaljuga Baduy-Muslim, yakni masyarakat Baduy yang keluar dari komunitasnya dan bergabung dengan masyarakat luar (Senoaji, 2003).

  • 3.4    Dinamila Sosial dan Budaya Masyarakat Baduy

Perubahan sosial hanya bisa diamati, diketahui, atau diketemukan oleh seseorang melalui pengamatan mengenai struktur dan institusi suatu perikehidupan tertentu di masa lalu, dan sekaligus membandingkannya dengan susunan, struktur dan institusi suatu perikehidupan di masa kini (Soekanto, 1997). Perubahan masyarakat ada yang statis dan ada yang dinamis. Secara prinsip antara masyarakat dinamis dan masyarakat statis memiliki kemampuan untuk merubah dirinya sendiri, artinya tidak ada masyarakat di dunia ini secara sosial tidak mengalami perubahan (Soeprapto, 2002).

Perubahan sosial dan budaya masyarakat Baduy dikatagorikan ke dalam perubahan statis,

karena perubahan sosial yang terjadi sangatlah lambat. Sampai sekarang terlihat pola kehidupan yang sangat berbeda dengan masyarakat luar pada umumnya. Walaupun demikian, sengaja atau tidak disengaja telah terjadi perubahan sosial di pemukiman masyarakat Baduy. Perubahan penentuan masa bera lahan pertanian yang semula 7 tahun ke atas, sekarang hanya 5 tahun bahkan 3 tahun merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan itu. Pertambahan penduduk yang menyebabkan berkurangnya lahan garapan adalah pangkal dari terjadinya perubahan sosial ini; karenanya itu masyarakat Baduy mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mempertahankan hidupnya.

Rangkuti, (1988b) menjelaskan bahwa bertambahnya penduduk dan berkurangnya pemilikan lahan setiap keluarga menjadi penyebab terjadinya penyesuaian-penyesuaian dalam tatanan aturan adat. Penyesuaian atau pergeseran yang terjadi bukan pada aturan adatnya tetapi pada obyek pelaksana aturan adat, yakni masyarakat Baduy sendiri. Pada tahun 1891 di wilayah Baduy terdapat 3 kampung Baduy-Dalam dan 1 kampung Baduy-Luar. Pada tahun 2009 ini,jumlah kampung Baduy-Dalam masih tetap 3 kampung, sedangkan kampung Baduy-Luar telah berkembang menjadi 55 kampung. Masyarakat Baduy-Luar inilah yang mulai diberi kelonggaran tentang larangan aturan adat; sedangkan masyarakat Baduy-Dalam harus tetap patuh pada aturan yang berlaku (Garna, 1988).

Saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada kehidupan masyarakat Baduy-Luar dan Baduy-Dalam. Perubahan status masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy. Awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut bertapa menjaga alam lingkungannya; sekarang ini hanya Baduy-Dalam yang tugasnya bertapa, Masyarakat Baduy-Luar tugasnya hanya ikut menjaga dan membantu tapanya orang Baduy-Dalam. Masyarakat Baduy-Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah masyarakat luar. Untuk menambah pendapatannya pada lahan mereka di luar Baduy, diperbolehkan ditanami beberapajenis tanaman perkebunan seperti cengkeh, kopi, kakao, dan karet yang di wilayah Baduy dilarang.

Hubungan yang terbina karena “bisnis” sewa menyewa dan jual beli ladang, membentuk suatu interaksi yang cukup antara masyarakat Baduy

dengan masyarakat luar. Interaksi ini berdampak pada perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy-Luar sudah mulai memakai baju buatan pabrik, kasur, gelas, piring, sendok, sendal jepit, blue jeans, sabun, sikat gigi, senter, dan patromaks; bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang telah menggunakan telepon seluler. Larangan penggunaan kamera dan video camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy-Dalam; sedangkan pada Baduy-Luar sudah sering stasiun TV mengekspose kehidupan mereka. Beberapa masyarakat di Baduy-Luar sudah ada yang berdagang di kampungnya masing-masing. Dalam hal kepemilikan lahan, yang semula semua lahannya milik adat, khusus di Baduy-Luar telah menjadi milik perorangan dan bisa diperjualkan sesama orang Baduy.

Program pemerintah melalui Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Baduy, memberi peluang terjadinya migrasi besar-besaran dari masyarakat Baduy, khususnya Baduy-Luar. Sampai dengan tahun 2000 tercatat 725 Kepala Keluarga orang Baduy yang bermigrasi ke luar pemukiman Baduy (Dinas Sosial Kabupaten Lebak, 1999). Lokasi pemukimannya masih di sekitar wilayah Baduy tetapi di luar tanah larangan. Kepemilikan lahan yang terbatas, larangan intensifikasi pertanian, dan keinginan maju seperti masyarakat luar, membuat sebagian warga Baduy menerima program pemerintah itu. Di pemukiman yang baru, mereka mendapatkan lahan satu setengah hektar, bibit pertanian, perkebunan, dan peternakan, rumah tinggal seperti aslinya, pupuk dan obat hama, bimbingan sosial, dan jaminan hidup selama enam bulan. Berangkat dari cara hidupnya yang suka bekerja keras, banyak warga yang telah berhasil, mampu bersaing, dan berbaur dengan masyarakat luar. Beberapa orang telah menunaikan ibadah haji, anak-anaknya sudah sekolah, dan sebagian lagi telah menikah dengan masyarakat luar. Kelompok masyarakat yang sudah keluar dari kehidupan masyarakat Baduy disebut Baduy-Muslim.

Dinamika sosial dan budaya masyarakat Baduy berdampakjuga pada pengelolaan hutan, lahan, dan lingkungannya. Peningkatanjumlah penduduk yang mengakibatkan berkurangnya luas kepemilikan lahan pertanian setiap keluarga, selalu menjadi perhatian ketua adat. Masyarakat Baduy-Luar yang sudah tidak memiliki lahan pertanian di dalam wilayah Baduy diharuskan mengolah lahan di luar wilayah,

sedangkan masyarakat Baduy-Dalam mulai memperpendek masa bera lahannya. Ketua adat Baduy selalu mengingatkan kepada seluruh warganya untuk tidak membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian. Musyawarah tentang larangan membuka hutan selalu disampaikan setiap tiga bulan sekali yang dihadiri oleh seluruh kepala kampung Baduy. Pertemuan rutinan itu dilanjutkan dengan pemeriksaan seluruh batas kawasan hutan Baduy untuk melihat kondisi hutannya dan mengingatkan tentang batas-batas kawasan hutan kepada seluruh warga Baduy.

Bertambahnya jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan kayu pertukangan untuk membuat rumah. Satu rumah untuk keluarga Baduy rata-rata membutuhkan 300 batang kayu tiang (10 cmx 10cmx3 m), 150batangkayupapan(10cmx2,5 cmx 3 m), 30 lembar bilik bambu (2,7 mx 3 m), 600 lembar atap daun kirai, dan 30 batang bambu untuk lantainya (palupuh). Bahan untuk membuat atap rumah, bilik, dan lantai tidak menjadi permasalahan karena jumlahnya melimpah dan mudah untuk dibudidayakan. Kebutuhan akan kayu pertukangan yang menjadi masalah dalam membuat rumah.

Awalnya kebutuhan kayu pertukangan dapat diperoleh dari ladangnya yang sudah di-bera-kan lebih dari 10 tahun. Ladang yang di-bera-kan lebih dari 10 tahun akan menghasilkan jenis-jenis kayu yang dapat digunakan untuk tiang seperti kayu kecapi, kihiang, dan sebagainya. Namun, dengan perubahan masa bera menjadi 5 tahun, jenis-jenis kayu tersebut belum layak untuk dijadikan tiang. Untuk mengatasi hal tersebut, aturan adat yang semula melarang menanam tanaman kayu di ladang berangsur-angsur mulai mengendur.

Dalam lima belas tahun terakhir ini, masyarakat Baduy-Luar diperbolehkan menanam tanaman kayu di ladangnya. Jenis tanaman kayu yang ditanam masyarakat Baduy-Luar di ladangnya diantaranya adalah sengon, mahoni, kayu atrika, sungkai, aren, dan mindi. Tanaman kayu tersebut akan ditebang pada saat akhir masa bera. Kayu hasil penebangannya ada yang dipakai sendiri dan ada pula yang sebagian dijual ke masyarakat luar. Dari sisi konservasi, penanamanjenis-jenis tanaman kayu selama menunggu masa bera dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus melindungi tanah dan lahannya dari erosi; sedangkan dari segi ekonomi akan meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mengatasi masalah kekurangan kayu. Saat ini,

seluruh lahan yang dikelola oleh masyarakat Baduy-Luar ditanami tanaman kayu yang penanamannya dilakukan bersamaan pada saat menanam padi. Untuk di Baduy-Dalam, penanamanjenis tanaman kayu di ladang tetap dilarang; hanya saja masyarakat diperbolehkan mengambil kayu di hutan dengan batasan diameter yang boleh ditebang tidak lebih dari 20 cm.

Dampak lain yang berpengaruh terhadap lingkungan akibat dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Baduy adalah penggunaan ditergen, sabun, dan makanan pabrik. Masyarakat Baduy-Luar dan wisatawan yang berkunjung ke Baduy, sudah diperbolehkan mandi dan mencuci menggunakan sabun dan pasta gigi. Sungai-sungai di wilayah Baduy yang semulajernih dan bebas dari ditergen serta bebas dari sampah plastik, sekarang ini sudah mulai tercemar ditergen dan banyak dijumpai ceceran sampah plastik bekas ditergen dan lainnya. Kondisi ini sangat berbeda dengan sungai-sungai di wilayah Baduy-Dalam, yang masih sangat jernih dan bebas dari sampah-sampah plastik. Di wilayah Baduy-Dalam larangan menggunakan sabun, ditergen, odol, dan sejenisnya masih tetap berlaku baik untuk masyarakat Baduy sendiri ataupun masyarakat luar yang berkunjung ke Baduy.n kayu nservasi, penanamanjenis- yang ditanam masyarakat Baduy-Luar di ladangnya diantaranya adalah sengon, mahoni, kayukaligus riksaan selutetapkan sebagai areal perlindungan lingkungan selalu disampaikan setia

Seberapa besar dan lama “kekuatan” buyut dan pikuh karuhun yang menjadi pedoman hidup masyarakat Baduy bertahan pada kehidupannya ? Bagi masyarakat Baduy-Dalam menjalankan buyut danpikukuh karuhun ini mutlak harus dilaksanakan. Untuk masyarakat Baduy-Luar, cenderung ada kelonggaran-kelonggaran aturan adat, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Ketentuan-ketentuan mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah tata cara perladangan dan olah hasilnya, perlakukan terhadap lingkungan hutannya, dan pelaksanaan rukun-rukun sunda wiwitan.

Dinamika sosial budaya masyarakat Baduy yang telah terjadi dan mempengaruhi kehidupannya serta tata cara pengelolaan lahan, hutan, dan lingkungannya adalah :

  • 1)    Masyarakat Baduy-Luar telah berpakaian seperti halnya masyarakat umum. Pakaian

berwarna hitam-hitam hanya dipakai jika bepergian ke luar atau upacara-upacara adat.

  • 2)    Masyarakat Baduy-Luar telah menggunakan bahan dan peralatan rumah tangga buatan pabrik, seperti: piring, gelas, panci, kasur, sabun, minyak tanah, dan sebagainya.

  • 3)    Masyarakat Baduy-Luar telah mengolah lahan di luar wilayah Baduy dengan sistem bagi hasil dan atau sewa serta telah menanami berbagai jenis tanaman perkebunan seperti kakao, cengkeh, kopi, dan karet.

  • 4)    Perubahan masa bera lahan; yang semula di atas 7 tahun sekarang ini hanya 5 tahun, bahkan ada yang 3 tahun.

  • 5)    Masyarakat Baduy-Luar telah menanami tanaman kayu di areal ladangnya seperti : sengon, mahoni, dan kayu afrika.

  • 6)    Masyarakat Baduy-Luar telah menggunakan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi di luar wilayah Baduy.

  • 7)    Masyarakat Baduy-Luar telah menggunakan paku, kayu yang dihaluskan, dan tanah yang di datarkan saat membuat rumah.

4. Simpulan

Masyarakat Baduy adalah kelompok masyarakat Sunda yang mengasingkan diri di sekitar Pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Mereka tinggal pada suatu wilayah yang luasnya 5.101,8 hektar berupa hak ulayat dari pemerintah. Tatanan kehidupannya sangat berpegang teguh kepada aturan dan norma adat. Sejalan dengan perkembangan jaman dan meningkatnya jumlah penduduk mulai terlihat adanya perubahan sosial

Daftar Pustaka

dan budaya pada masyarakat Baduy dalam perikehidupannyaa dan tata cara pengelolaan lahan, hutan, dan lingkungannya. Perubahan sosial dan budaya masyarakat Baduy dikatagorikan kedalam perubahan statis, karena perubahan sosial yang terjadi sangatlah lambat. Sampai sekarang terlihat pola kehidupan yang sangat berbeda dengan masyarakat luar pada umumnya.

Masyarakat Baduy mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menjalani dan mempertahankan hidupnya. Ketentuan adat (pikukuh karuhun) yang semula berlaku untuk semua masyarakat Baduy mulai mengalami pergeseran, dengan munculnya komunitas Baduy-Dalam dan Baduy-Luar. Perubahan status masyarakat telah terjadi, awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut mentaati pikukuh karuhun, sekarang ini Baduy-Luar tugasnya ikut menjaga dan membantu bertahannya pikukuh karuhun orang Baduy-Dalam. Ketentuan-ketentuan mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah tata cara perladangan dan olah hasilnya, perlakukan terhadap lingkungan hutannya, dan pelaksanaan rukun-rukun sunda wiwitan. Untuk masyarakat Baduy-Luar ada kelonggaran aturan adat, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Beberapa perubahan sosial budaya yang terlihat pada kehidupan masyarakat Baduy diantaranya adalah dalam hal cara berpakaian, penggunaan barang-barang buatan pabrik, pengolahan lahan pertanian,jenis tanaman pertanian dan perkebunan, penggunaan alat transportasi, dan bangunan pemukiman.

Adi, S. 1988. HitamdanPutihdalamBusanadalamBaduydariIntiJagad. Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa, Yogyakarta.

Dinas Sosial Kabupaten Lebak, 1999. Informasi Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak. Rangkasbitung, Lebak.

Djoewisno, MS. 1987. PotretKehidupanMasyarakatBaduy. Percetakan Setia Offset, Jakarta.

Garna, J. 1988. PerubahanSosialBudayaBaduydalamOrangBaduydariIntiJagad. BentaraBudaya, Harian Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa, Yogyakarta.

Garna, J. 1993. Masyarakat Baduy di Banten dalam Koentjaraningrat (ed), Masyarakat terasing di Indonesia. Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia, hal 120 - 152, Jakarta.

Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan Indonesia : Studi Kasus dari Daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat. Djambatan, Jakarta.

Pemerintah Daerah Kabupataten Lebak, 2001. Peraturan Daerah No.32 tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Rangkasbitung.

Pemerintah Desa Kanekes, 2009. Rekapituasi Buku IndukDesa Kanekes. Kanekes, Leuwidamar, Lebak.

Permana, CE. 2001. KesetaraanGenderdalamAdatIntiJagadBaduy. WedatamaWidyaSastra, Jakarta.

Rangkuti, N. 1988a. Sehari bersama Orang Baduy dalam Baduy dari Inti Jagad. Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa, Yogyakarta.

Rangkuti, N. 1988b. Gelegak Tradisi Tua Tanah Kanekes dalam Baduy dari Inti Jagad. Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa., Yogyakarta.

Senoaji, G. 2003. KearifanLokalMasyarakatBaduydalammengelolaHutandanLingkungannya. Thesis Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Soekanto, S. 1997. SosiologiSuatuPengantar. Rajawali Press, Jakarta.

Soeprapto, R. 2002. Interaksionisme Simbolik. Perspektif Sosiologi Modern. Pustaka Pelajar, Averroes press. Malang - Yogyakarta.

310