PELUANG ADOPSI SISTEM AGROFORESTRY DAN KONTRIBUSI EKONOMI PADA BERBAGAI POLA TANAM HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CIAMIS
on
PELUANG ADOPSI SYSTEM AGROFORESTRY
DAN KONTRIBUSI EKONOMI PADA BERBAGAI POLA TANAM HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CIAMIS
BudimanAchmad1)* dan Ris Hadi Purwanto2)
1)Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl. Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, 2)Fakultas Kehutanan Universitas Gadjahmada, Jl Agro No 1 Bulak Sumur, Yogyakarta
*Email: budah59@yahoo.com
Abstract
Agroforestry system as well as the potential species and the corresponding economic values in Ciamis District are very diverse. To encourage farmers adopt agroforestry system, both economical and environmental advantages have to be promoted. This research was conducted at April to July 2010 at Ciomas, Kalijaya and Kertaharja villages in the Panjalu, Banjarsari, and Cimerak sub-Districts respectively. Primary and secondary data were analyzed by quantitative and qualitative descriptive. The result showed that the higher topography, the more simple agroforestry system applied. The narrower forest size managed (strata 3), the higher chance agroforestry system adopted by farmers. Farmers in the high and low topography (Northern and Southern Ciamis regions) had higher chance to adopt agroforestry system, while the moderate topography showed lower adoption chance. The economic contribution of non-forest products (NFPs) influences strongly the farmer decision to adopt agroforestry system. The highest economic contribution of Paraserienthes moluccana was 42.71% in Kalijaya, while the highest economic contribution of non-forest product was 75.00 % in Ciomas.
Keywords : agroforestry, strata, adoption, economic contribution.
Pola tanam pada hutan rakyat dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dikembangkan, budaya setempat dan ekonomi petani. Jika jenis yang dikembangkan hanya satu macam dinamakan monokultur, sedangkan jika jenis yang dikembangkan beragam, maka pola tanamnya dinamakan campuran atau agroforestry. Pola tanam agroforestry dibagi lagi menjadi agroforestry sederhana dengan jenis tanaman kurang dari 6 (enam) macam, dan agroforestry kompleks jika jenisnya lebih dari 6 (enam) macam. Kho (2008) mencatat ada tiga tujuan pengembangan agroforestry. Pertama, untuk meningkatkan produktivitas total yakni meningkatkan output produk persatuan unit dan tenaga kerja. Kedua, meningkatkan stabilitas, yakni mengurangi sensitivitas pada fluktuasi jangka pendek dengan cara menyebarkan resiko ke seluruh jenis penyusun hutan yang beragam. Ketiga,
meningkatkan keberlanjutan yakni dengan cara memelihara produktivitas jangka panjang melalui perlindungan sumber daya pokok.
Hutan rakyat di Kabupaten Ciamis pada umumnya diusahakan secara agroforestry (Diniyati et al., 2010), sehingga dalam satu luasan hutan dijumpai banyak jenis tanaman terdiri dari tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman pangan, tanaman obat dll. Hutan rakyat di Ciamis dicirikan oleh banyaknya jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan (biasanya lebih dari tiga jenis). Ciri lain yang cukup menonjol adalah hutan yang dikelola petani terdiri dari beberapa luasan kecil yang tersebar di beberapa lokasi.
Produksi total diharapkan bisa ditingkatkan melalui pencampuran berbagai jenis pola tanam agroforestry. Selain itu, pencampuran pohon dengan tanaman semusim seperti tanaman pangan, buah dan obat adalah upaya petani dalam menyiasati kebutuhan
sehari-hari. Namun kenyataannya tidak semua kombinasi jenis tanaman pada agroforestry bisa bersinergi menghasilkan total produksi, seperti disinyalir Sanchez (1995) bahwa seringkali hasil dari agroforestry tidak meningkat, malah menurun. Sehubungan dengan masalah tersebut, campuran berbagai jenis pada pola tanam agroforestry yang saat ini dikembangkan masyarakat perlu dikaji sinergisitasnya dan dievaluasi nilai ekonominya, agar tersedia informasi campuran berbagai jenis tanaman yang paling layak dikembangkan pada wilayah tertentu. Selanjutnya, kombinasi berbagai jenis tanaman pada pola agroforestry tersebut diharapkan bisa menjadi model yang bisa diadopsi oleh masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika system agroforestry yang dipraktekkan petani dan untuk mengetahui seberapa besar peluang system tersebut diadopsi petani serta kontribusi ekonomi di wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan dengan pengembangan hutan rakyat, khususnya untuk program pewilayahan komoditas.
Penelitian dilaksanakan di tiga desa yang mewakili wilayah pengembangan Ciamis Utara, Ciamis Tengah dan Ciamis Selatan yakni :
-
1. Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu mewakili wilayah pengembangan Ciamis Utara (dataran tinggi)
-
2. Desa Kalijaya, Kecamatan Banjarsari mewakili wilayah pengembangan Ciamis Tengah (dataran sedang)
-
3. Desa Kertaharja, Kecamatan Cimerak mewakili
wilayah pengembangan Ciamis Selatan (dataran rendah)
Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli 2010.
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sosial dan data fisik, yaitu :
-
1. Data sosial : luas lahan yang dimiliki petani (lahan hutan rakyat, lahan sawah, lahan pekarangan, lahan kolam ikan), status
kepemilikan lahan, jenis-jenis tanaman yang ada di hutan rakyat.
-
2. Data ekonomi meliputi pendapatan petani dari seluruh hasil hutan dari hutan rakyat pola agroforestry yang dikelola.
Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara terhadap responden terpilih menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder meliputi data-data yang berkaitan dengan tema penelitian, seperti data terkait dengan pengembangan wilayah Kabupaten Ciamis, dan dikumpulkan dari laporan penyuluh, monografi desa, laporan hasil penelitian, laporan BAPEDA serta dokumen lain yang mendukung penelitian.
Pengambilan Sampel
a) Petani
Unit analisis yang dijadikan sebagai responden adalah :
-
• Anggota kelompok tani di setiap desa masing-masing sebanyak 20 orang sehingga total responden untuk tiga desa berjumlah 60 orang.
-
• Informan kunci yang mengetahui dan memahami tentang hutan rakyat di setiap lokasi penelitian. Pemilihan informan kunci dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan teknik penilaian (judgment), yakni memilih sampel dari suatu populasi didasarkan pada informasi yang tersedia, sehingga perwakilannya terhadap populasi dapat dipertanggung-jawabkan (Sarwono, 2006). Informan kunci sebanyak 6 orang terdiri dari 1 orang staff perusahaan Bina Inti lestari (BIL), 1 orang karyawan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 1 orang karyawan BAPEDA dan 3 orang penyuluh kehutanan.
Luas Pemilikan Hutan Rakyat
Pemilihan obyek tegakan hutan rakyat dilakukan secara stratified random sampling berdasarkan luas kepemilikan lahan hutan rakyat. Luas kepemilikan lahan dibagi menjadi 3 (tiga) strata yaitu:
-
1. Strata 1 (satu) luas hutan rakyat lebih dari 0.50 ha
-
2. Strata 2 (dua) luas hutan rakyat antara 0.25 ha -0.50 ha
-
3. Strata 3 (tiga) luas hutan rakyat kurang dari 0.25 ha
Responden biasanya memiliki lebih dari satu blok hutan rakyat yang luasannya berbeda-beda. Satu blok hutan dipilih dari setiap responden berdasarkan kriteria luas lahan dan selanjutnya diukur potensi tegakan sengonnya.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan dibahas untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan bagi tujuan kegiatan penelitian ini. Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Analisis deskriptif kualitatif terhadap data sosial sehingga diketahui kondisi kepemilikan dan luasan lahan petani serta kondisi pembangunan hutan rakyat di setiap wilayah pengembangan.
-
2 ) Kontribusi ekonomi dari pohon sengon diperoleh dengan cara membandingkan pendapatan dari pohon sengon dengan pendapatan seluruh hasil hutan dari hutan yang dikelola.
-
3 . Hasil dan Pembahasan
3.1 Kepemilikan Lahan Responden
Peruntukan dan luas lahan yang dimiliki petani mempunyai pengaruh pada status sosial dan ekonomi pemiliknya (Jariyah et al., 2005). Diniyati
(2011) melaporkan bahwa status lahan sawah memiliki nilai sosial yang lebih tinggi dibandingkan lahan darat termasuk lahan hutan rakyat, sehingga semakin luas sawah yang dimiliki semakin tinggi status sosialnya di masyarakat. Secara umum, luas lahan di masing-masing lokasi penelitian diperlihatkan pada Tabel 1 tiga wilayah pengembangan (Utara, Tengah dan Selatan) terdapat beberapa kesamaan, salah satunya adalah usaha hutan rakyat menempati urutan teratas. Lahan tersebut diperoleh dengan cara membeli atau warisan, sehingga lokasi dan kondisi lahannya berbeda-beda serta tidak terletak pada satu hamparan.
Awang (2007) menyatakan bahwa hutan rakyat tidak mengelompok tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan. Pohon atau tanaman berdaur panjang yang tumbuh di hutan rakyat biasa dijadikan tanaman warisan dan biasanya dipertahankan sampai masak tebang. Djajapertjunda (2003) menyatakan bahwa di atas lahan yang sistem pengairannya tidak teratur dan tidak dikelola secara intensif umumnya terdapat tanaman campuran berbagai pohon dalam bentuk kebun yang tidak teratur, yang mungkin didapat secara turun temurun. 1) Terlihat bahwa penggunaan lahan untuk hutan
di Ciomas lebih luas dibandingkan dengan
Tabel 1. Luas lahan berdasarkan pemanfaatannya
No |
Fungsi Lahan |
Lokasi Penelitian | |||||
Desa Ciomas |
Desa Kalijaya |
Desa Kertaharja | |||||
Luasan (ha) |
% |
Luasan (ha) |
% |
Luasan (ha) |
% | ||
1 |
Hutan Rakyat |
0,7737 |
82,07 |
2,078 |
89,33 |
0,7271 |
76,02 |
a. Warisan |
0,3352 |
0,845 |
0,4809 | ||||
b. Beli |
0,4035 |
0,397 |
0,2462 | ||||
c. Sewa |
0,035 |
0,837 |
0 | ||||
2 |
Sawah |
0,0746 |
7,91 |
0,162 |
6,95 |
0,1190 |
12,44 |
a. Warisan |
0,0301 |
0,083 |
0,0665 | ||||
b. Beli |
0,0445 |
0,079 |
0,0455 | ||||
c. Sewa |
0 |
0 |
0,0070 | ||||
3 |
Pekarangan dan Rumah |
0,0539 |
5,73 |
0,073 |
3,12 |
0,1091 |
11,41 |
a. Warisan |
0,0375 |
0,059 |
0,0356 | ||||
b. Beli |
0,0165 |
0,013 |
0,0735 | ||||
4 |
Kolam Ikan |
0,0405 |
4,29 |
0,014 |
0,61 |
0,0012 |
0,13 |
a. Warisan |
0,0104 |
0,006 |
0,0012 | ||||
b. Beli |
0,0300 |
0,008 |
0 |
peruntukan sawah dengan selisih luas mencapai 0.699 ha. Hal ini disebabkan rata-rata Ciamis bagian Utara merupakan dataran tinggi dan berbukit sehingga peruntukan lahannya sangat sesuai sebagai kawasan lindung. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan ditunjukkan masyarakat dengan mengusahakan lahannya menjadi hutan ditumpang-sarikan dengan kapulaga. Ciomas temasuk salah satu desa dalam wilayah perencaan IV yang diarahkan pengembangannya sebagai kawasan lindung, resapan air, peternakan domba, sapi perah dan ayam serta pemukiman (Pemerintah Kabupaten Ciamis, 2007). Sebagian petani menyewa lahan untuk usaha hutan rakyat sehingga bisa dijadikan indikator bahwa usaha hutan cukup menarik di daerah ini. Keterbatasan lahan di Desa ini disiasati dengan mencari kombinasi tanaman yang bisa mendatangkan nilai ekonomi tinggi.
-
2) Rata-rata luas hutan per keluarga petani di Desa Kalijaya adalah 2,327 ha dan merupakan pemanfaatan lahan untuk hutan paling luas diantara ketiga wilayah pengembangan Kabupaten Ciamis. Di daerah ini, 89,33% lahan diusahakan untuk hutan, dan antusiasme masyarakat disektor ini juga ditunjukkan oleh luasnya lahan sewa. Sebagian petani menjalin kemitraan dengan Perhutani melalui program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Hal ini menjadi keuntungan petani Kalijaya dibandingkan di dua daerah lainnya.
-
3) Usaha hutan rakyat di Desa Kertaharja juga menempati urutan terluas dibandingkan usaha lain. Usaha pertanian dilakukan juga pada sawah sewaan karena beberapa alasan diantaranya bisa menghasilkan pangan yang dapat dikonsumsi setiap saat. Diniyati (2011) mencatat bahwa jika petani telah memiliki padi maka akan merasa aman karena kebutuhan pangan keluarga pasti terpenuhi. Hal senada diungkapkan oleh Cahyono et al., (2004) bahwa petani lebih mengutamakan penghasilan yang terjamin kelangsungannya dibandingkan penghasilan yang besar namun tidak
berkelanjutan. Jaminan keamanan ekonomi keluarga merupakan prioritas utama, terutama bagi petani subsisten.
Pemilihan jenis tanaman hutan rakyat tergantung pada situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Jenis-jenis yang tumbuh di pekarangan, kebun dan tegalan suatu wilayah merupakan indikator jenis-jenis tanaman yang disukai oleh penduduk setempat. Pemilihan jenis tanaman diutamakan yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemilihan jenis tanaman kayu-kayuan dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Selanjutnya Nair (1981) menekankan bahwa dengan menanam dua atau lebih tanaman secara bersama-sama, masalah pest tertentu sering bisa diatasi.
Terdapat kecenderungan bahwa semakin jauh lokasi hutan dari rumah, pola tanamnya agroforestry sederhana atau monokultur untuk memudahkan pemeliharaan. Pada lahan yang lokasinya jauh dari tempat tinggal, faktor resiko keamanan tanaman menjadi pertimbangan utama sehingga jenis tanaman yang dikembangkan biasanya berupa tanaman berkayu untuk tabungan jangka panjang. Sedangkan semakin dekat lokasi hutan rakyat dengan tempat tinggal, pola tanamnya akan cenderung agfoforestry kompleks, karena setiap hari bisa dikunjungi untuk dipelihara dan diambil hasilnya. Purwanto et al., (2004) menyampaikan bahwa petani yang lahannya sempit pada umumnya menanam pohon dicampur tanaman lain dengan pola agroforestry, sedangkan petani berlahan luas yang komersial memungkinkan pengembangan hutan rakyat pola monokultur. Meskipun demikian Huxley (1983) mensinyalir bahwa pengembangan hutan rakyat dengan pola monokultur terbukti tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga petani, atau tidak bisa mengoptimalkan penggunaan lahan, tenaga kerja dan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia. Pola agroforestry di Kabupaten Ciamis akan berlainan pada setiap wilayah pengembangan (Diniyati et al., 2010), seperti diuraikan dibawah ini:
-
1) Wilayah Pembangunan Ciamis Utara, teridentifikasi ada 3 bentuk pola agroforestry hutan rakyat, seperti
tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Hutan Rakyat Sengon Pola Agroforestry di Desa Ciomas.
No |
Pola |
Kayu |
Kebun |
Buah |
Obat |
Pangan |
1 |
Kayu+kebun+ buah+ obat |
sengon, mahoni, afrika, manglid |
Kelapa |
Pisang |
Kapulaga |
- |
2 |
Kayu+kebun+buah+ obat+pangan |
sengon, mahoni, afrika |
kelapa |
Pisang |
Kapulaga |
Singkong |
3 |
Kayu+buah+obat |
sengon, mahoni |
- |
Pisang |
Kapulaga |
- |
Sumber: diolah dari data primer 2010
Jenis pohon yang menjadi ciri khas hutan rakyat di Ciamis Utara adalah sengon, mahoni dan mulai dikembangkannya manglid yang dipadukan dengan tanaman pangan seperti singkong, tanaman buah seperti pisang dan tanaman obat seperti kapulaga. Pengembangan kapulaga di wilayah ini sudah dilakukan sejak lama, sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan budidaya tanaman ini. Saat dilakukan penelitian hampir seluruh responden sudah menanami lahan hutan rakyatnya dengan kapulaga. Keterbatasan lahan yang dikelola sebagai hutan rakyat menyebabkan petani harus lebih selektif memilih jenis tanaman yang dikembangkan, sehingga kombinasi pola tanam yang dipraktekkan sangat sedikit, yakni hanya ada tiga pola tanam. Tanaman utama adalah sengon dengan kapulaga, sedangkan kelapa, pisang dan ketela hanyalah sebagai variasi saja.
Tingginya topografi daerah Utara juga menyebabkan jumlah jenis tanaman yang sesuai dengan iklim tersebut juga lebih sempit dibandingkan wilayah lain.
-
2) Wilayah Pembangunan Ciamis Tengah, jenis tanaman penyusun hutan rakyat cukup beragam, di wilayah ini dijumpai pohon jati di lahan hutan rakyat walaupun jumlahnya tidak banyak. Sengon, mahoni serta tisuk merupakan jenis dominan yang banyak terdapat di hutan rakyat. Tanaman kebun yang banyak dijumpai yaitu kelapa dan coklat, serta tanaman buah yang dominan adalah pisang dan mangga, sedangkan tanaman obat adalah kapulaga. Berdasarkan jenis tanaman penyusun hutan rakyatnya maka pola tanam yang dapat diidentifikasi ada 5 pola tanam seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hutan Sengon Pola Agroforestry di Desa Kalijaya.
N |
o. Pola Kayu Kebun Buah Obat | ||||
1 |
Kayu+kebun+buah+ obat |
Sengon, mahoni, tisuk |
Kelapa, coklat |
Pisang, mangga |
Kapulaga |
2 |
Kayu+kebun+buah |
Sengon, mahoni |
Kelapa, coklat |
Pisang, mangga |
- |
3 |
Kayu+buah |
Sengon, mahoni |
- |
Pisang, mangga |
- |
4 |
Kayu+kebun+obat |
Sengon, mahoni |
Kelapa coklat |
- |
Kapulaga |
5 |
Kayu+obat |
Sengon, mahoni |
- |
- |
Kapulaga |
Sumber: diolah dari data primer 2010
-
3) Di wilayah Ciamis Selatan, tanaman obat belum dieksplorasi dengan maksimal, dan pola tanamnya diperlihatkan pada Tabel 4. Jenis dan jumlah pohon yang dikembangkan di wilayah Selatan sudah mulai banyak seperti : jati, huru, ganitri dan akasia. Namun demikian, di wilayah ini sengon dan mahoni masih merupakan tanaman primadona. Tanaman lainnya yang menjadi ciri dari wilayah Selatan adalah melimpahnya tanaman kelapa. Kelapa di Desa Ciomas dan Desa Kalijaya hanya diperuntukkan
bagi kebutuhan rumah tangga. Sedangkan kelapa yang ada di Desa Kertaharja dimanfaatkan secara komersial yaitu untuk gula. Hasil dari penjualan gula kelapa cukup besar dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari petani serta memberikan kontribusi yang besar terhadap total pendapatan hutan rakyat. Petani dengan lahan sempit atau kurang dari 0,25 ha (strata 3) memang lebih mengandalkan hasil lahannya berasal dari hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Tabel 4. Hutan Rakyat Sengon Pola Agroforestry di Desa Kertaharja
No |
Pola |
Kayu |
Kebun |
Buah |
Obat |
Pangan |
1 |
Kayu+kebun+ pangan |
Sengon, mahoni |
Kelapa |
Pisang |
- |
Singkong |
2 |
Kayu+kebun+buah |
Sengon, mahoni, jati, ganitri, huru |
Kelapa, Cengkeh, kopi |
Pisang, petai |
- |
- |
3 |
Kayu+kebun+buah+ obat |
Sengon, mahoni, jati, huru, ganitri |
Kelapa |
Pisang |
Kapulaga |
- |
4 |
Kayu+buah |
Sengon, mahoni, akasia |
- |
Pisang |
- |
- |
5 |
Kayu+kebun+buah+ obat+pangan |
Sengon, mahoni, jati, akasia |
Cengkeh |
Petai |
Kapulaga, merica |
Singkong |
Sumber: diolah dari data primer 2010.
Karena pentingnya peran HHBK tersebut, pada awal tahun 1990-an muncul perhatian besar terhadap HHBK sebagai dasar dari pembangunan berkelanjutan. HHBK merupakan pendukung bagi
proses perkembangan ekonomi dengan cara menyediakan sebuah jejaring pengaman bagi petani untuk memasuki kegiatan ekonomi baru atau pasar (Sills et al., 2004).

Gambar 1. Banyaknya pola tanam pada tiap lokasi

penelitian
Gambar 2. Frekuensi kehadiran jenis tanaman berdasarkan luas garapan di Desa Ciomas


Gambar 3. Frekuensi kehadiran jenis tanaman berdasarkan luas hutan garapan di Desa Kalijaya
Gambar 4. Frekuensi kehadiran jenis tanaman berdasarkan luas hutan garapan di Desa Kertaharja
Di Ciomas dan Kertaharja, semakin sempit lahan semakin beragam pola tanam yang dikembangkan seperti ditunjukkan Gambar 1. Hal ini disebabkan, petani subsisten dengan lahan garapannya sempit (strata 3) lebih memprioritaskan pengembangan berbagai jenis tanaman yang berpotensi bisa menjamin kehidupan sehari-hari. Tanaman pangan selalu hadir dilahan mereka untuk menjamin ketersediaan pangan. Selain itu, tanaman yang bisa mendatangkan uang secara cepat dan berkelanjutan seperti kapulaga juga hadir di hampir semua lahan petani, terutama di Ciomas seperti ditunjukkan Gambar 2 dan 4. Hal ini karena ketergantungan petani di Ciomas dan Kertaharja terhadap hasil hutan. Petani di Ciomas yang umumnya wanita dan berdekatan dengan obyek wisata religi mampu meningkatkan pendapatan melalui difersifikasi pangan yang dihasilkan dari hutan sehingga pendapatan dari sektor jasa cukup tinggi.
Di Kalijaya (Ciamis Bagian Tengah), yang terjadi justru kebalikannya. Petani di daerah ini umumnya sudah kaya dan tidak memerlukan pangan dari usaha taninya, seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dimana tanaman pangan tidak dikembangkan. Tanaman justru didominasi oleh kayu-kayuan, tanaman perkebunan dan buah. Lahan garapan mereka
umumnya lebih luas (strata 1), sedangkan strata 2 dan 3 hanya sedikit. Mereka justru banyak mengkonversi lahan penghasil pangan (sawah) menjadi hutan.
Semangat mengembangkan tanaman sengon diekspresikan petani dengan kesediaannya membeli bibit yang dijual keliling. Sebagian tubusan dari sengon bahkan dicangkok untuk mempercepat pertumbuhan. Bersadarkan alasan tersebut, besarnya kontribusi ekonomi sengon terhadap perekonomian keluarga petani sangat penting untuk diketahui, seperti disajikan di Tabel 5 berikut ini.
Dari hasil perhitungan diketahui bahwa rata-rata besarnya kontribusi sengon di Desa Ciomas pada strata 2 sebesar 38% dan pada strata 3 sebesar 17%. Di Desa Ciomas tidak terdapat strata 1. Rata-rata kontribusi kayu sengon di Desa Kalijaya pada strata 1 sebesar 41%, pada strata 2 sebesar 14% serta pada strata 3 sebesar 60%. Rata-rata kontribusi ekonomi sengon di Desa Kertaharja pada strata 1 sebesar 25,77%, pada strata 2 sebesar 9% dan pada strata 3 sebesar 34,4%.Tabel 5. Kontribusi Kayu Sengon untuk Setiap Pola Tanam Terhadap Total Pendapatan Keluarga
Rata-rata kontribusi sengon di Ciamis ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kontribusi sengon di Desa Pacekelan yaitu sebesar 25,37% (Rp 27.660.000) (Kusumedi, 2005).
Berdasarkan potensinya, Desa Kertaharja mempunyai populasi sengon paling banyak. Akan tetapi, dari hasil perhitungan ternyata kontribusi sengon paling besar terjadi di Desa Kalijaya. Besarnya kontribusi ini erat kaitannya dengan pola penjualan kayu sengon. Dari hasil wawancara dengan responden di Desa Kalijaya diketahui bahwa penjualan kayu sengon dilakukan jika sudah besar (umur berkisar 7 tahun) sehingga harga jualnya akan lebih mahal. Selain itu eforia kayu sengon sedang melanda desa sehingga banyak petani yang mengkonversi lahan sawah menjadi hutan sengon. Disamping itu pengembangan hutan rakyat di desa ini juga didukung oleh luasnya lahan tersedia untuk hutan rakyat.
Kontribusi ekonomi pohon sengon di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu paling kecil, seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Dengan kata lain, kontribusi hasil hutan selain sengon, terumama sektor jasa dan kapulaga menempati porsi lebih besar. Di daerah pengembangan Ciamis Utara memang banyak dikembangkan tanaman kapulaga dan menjadi penghasilan periodik signifikan bagi petani, sehingga status pohon sengon lebih pada sebagai tanaman pelindung kapulaga atau tabungan.
Kontribusi ekonomi kayu sengon di Desa Kalijaya, Kec. Banjarsari (daerah pengembangan Ciamis tengah) adalah paling besar sejalan dengan luasnya hutan di daerah tengah ini dan juga karena adanya kecenderungan pengembangan tanaman kapulaga kurang sesuai didaerah tengah.
Berdasarkan latar belakang ekonomi pemiliknya, kebanyakan pemilik lahan yang luas (strata 1) di daerah tengah ini berekonomi lebih mapan, sehingga hasil hutan non-kayu tidak dibutuhkan. Akibatnya, hutan yang dikembangkan cenderung monokultur dengan alasan kemudahan pengurusan.
Untuk daerah Selatan, sebelum sengon mulai diminati masyarakat, kelapa telah lebih dahulu menjadi andalan petani sehingga kontribusi sengon juga menjadi rendah. Tanaman kapulaga di daerah ini pertumbuhannya kurang baik, karena suhu udaranya terlalu panas.
Pada penelitian ini, penghasilan terbesar dari kayu sengon didapati di Kecamatan Banjarsari dan umumnya pada petani yang memiliki luas hutan lebih dari 0,5 ha (strata 1). Mercer et al.,(2004) mencatat bahwa semakin jauh jaraknya hutan dari tempat tinggal, semakin besar pendapatan dari kayu. Selanjutnya dikatakan bahwa semakin luas lahan pertanian (sawah), dan semakin luas hutan tanaman, semakin kecil peluangnya petani mengadopsi system agroforestry. Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi agroforestry, tetapi faktor paling signifikan adalah kebiasaan petani terhadap teknologi baik yang didapat dari pengalaman maupun dari penyuluhan. Setiap daerah menguasai teknologi budidaya maupun pengolahan hasil hutan berbeda-beda sehingga arah pengembangan komoditas harus diselaraskan dengan kebiasaan tersebut.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi upaya penanaman kembali dan pemanenan hutan. Cubbage et al., (2004) menyatakan bahwa pendapatan petani berpengaruh positif terhadap peluang penanaman kembali hutan tetapi berpengaruh negatif terhadap
Table 6. Rata-rata kontribusi ekonomi hasil hutan berdasarkan lokasi dan luas pemilikan lahan
Desa |
Strata 1(%) |
Strata 2 (%) |
Strata 3(%) |
Rata-rata Sengon(%) |
Rata-rata non sengon (%) |
Ciomas Kalijaya Kertaharja Rata-rata Sengon (%) Rata-rata non-sengon (%) |
- 36; 14; 65; 49 25,77 37,95 62,05 |
42; 33 14 13,57; 3,46 21,21 78,79 |
16; 19; 15 21; 100 90,2; 7,89; 46,15; 17,95; 9,83 34,30 65,70 |
25 42,71 26,85 |
75 57,29 73,15 |
Sumber : diolah dari data primer 2010.

Gambar 5. Pendapatan rata-rata tahunan petani dari berbagai bidang usaha
peluang pemanenan hutan. Sedangkan harga log hanya berpengaruh sedang saja dalam mempengaruhi upaya penanaman kembali hutan tetapi hampir selalu mempengaruhi pemanenan hutan. Subsidi dan bantuan teknis merupakan faktor terbesar dalam mempengaruhi penanaman kembali.
Berdasarkan ragam sumber penghasilannya, petani Ciomas memiliki jenis sumber penghasilan (empat sumber) paling sedikit yaitu dari hutan rakyat, jasa, keluarga dan ternak. Ciomas letaknya berdekatan dengan daerah wisata ziarah di danau Panjalu sehingga petani yang umumnya perempuan mempunyai peluang meningkatkan penghasilan dengan menjual produk pangan dari hutan. Petani memang sangat antusias menanam kapulaga karena telah mempunyai jaringan pemasaran yang mapan. Pada daerah seperti ini peluang mengadopsi pola agroforestry besar sekali, karena hasil dari HHBK sangat dominan dibandingkan kayu. Selain itu, pemilikan hutan juga mayoritas sempit (strata 3) dan terpisah-pisah memaksa petani untuk menanam tanaman pangan diantara tanaman berkayu. Adopsi system agroforestry berkaitan dengan sempitnya lahan garapan dan masih rendahnya kesejahteraan petani.
Petani di desa Kalijaya mempunyai sumber penghasilan paling beragam, teridentifikasi ada 5 (lima) sumber. Faktor yang menunjang beragamnya pendapatan petani Kalijaya adalah lebih beragamnya ketrampilan dan juga luasnya lapangan kerja, serta mudahnya akses ke pusat-pusat kegiatan ekonomi,
terbukti dari besarnya penghasilan keluarga. Di daerah ini rata-rata pemilikan hutannya paling luas (strata 1) dan tingkat kesejahteraannya lebih baik sehingga tanaman cash crops tidak menjadi andalan. Semakin beragam tanaman semakin banyak menyita waktu, dan petani kaya tidak mempunyai cukup waktu luang untuk mengurusi tanaman cash crops karena sibuk bekerja disektor non-hutanan (jasa), sehingga peluang masyarakat mengadopsi system agroforestry kecil. System agroforestry bisa dibangun melalui pola kemitraan dengan petani subsisten mengadopsi pola PHBM di Perum Perhutani. Dari perspektif ekonomi, banyak keuntungan diperoleh dari system agroforestry, antara lain bisa mendukung kebutuhan pokok petani mitra, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan mutu lingkungan. Keuntungan paling penting yang diperoleh petani pemilik adalah, lingkungan pertumbuhan sengon semakin baik sehingga produksi sengon akan juga lebih tinggi. Untuk mendorong petani kaya bersedia mengadopsi system agroforestry, pemerintah perlu mempromosikan keuntungan system agroforestry tersebut melalui penyuluhan dan memberikan insentif lain.
Tercatat ada 4 (empat) sumber penghasilan petani di desa Kertaharja. Ada dua sumber penghasilan yang menonjol yakni dari jasa dan dari sektor perkebunan (kelapa). Meskipun sumber penghasilan beragam, daerah Selatan masih punya peluang mengadopsi agroforestry karena HHBK dari kelapa sangat tinggi dan telah menjadi andalan petani.
Meskipun rata-rata pemilikan lahan relatif sempit, tetapi petani telah merasa nyaman dengan luasan tersebut. Ketika luas lahan garapan diperbesar belum tentu margin kotor (MK) meningkat, ada kemungkinan justru menurun karena terbatasnya modal. Kontribusi kegiatan utama terhadap persediaan pangan total, seringkali lebih penting daripada besarnya MK. Karena alasan tersebutlah, maka petani sering lebih memilih menanam tanaman pangan ketimbang tanaman kayu. Penelitian Huxley (1983) menunjukkan bahwa dibawah tegakan kelapa sangat cocok dikembangkan ubi jalar sebagai sumber pangan. Tanaman sela boleh dikembangkan selama tanaman sela tersebut tidak menyentuh zona perakaran pohon dan mengambil hara pohon.
-
1) Adopsi system agroforestry berkaitan dengan ukuran lahan garapan dan tingkat kesejahteraan petani. Semakin sempit ukuran lahan garapan dan semakin subsisten petani, semakin besar peluang system agroforestry diadopsi.
-
2) Sumber penghasilan yang bukan berasal dari hutan rakyat seperti jasa, luasnya pemilikan hutan, dan jauhnya jarak hutan dari tempat tinggal petani berpotensi memperkecil peluang adopsi agroforestry.
-
3) Petani yang tinggal di dataran tinggi (wilayah pengembangan Ciamis Utara) dan dataran rendah (wilayah pengembangan Ciamis Selatan) mempunyai peluang besar mengadopsi pola tanam agroforestry, karena petani pada kedua wilayah pengembangan tersebut mempunyai HHBK andalan yang telah dikuasai teknologi budidaya dan telah mempunyai pasar yang jelas.
-
4) Jenis HHBK paling potensial di wilayah pengembangan Ciamis Utara adalah kapulaga, di wilayah pengembangan Ciamis Tengah adalah kelapa dan cokelat, dan di wilayah pengembangan Ciamis Selatan adalah kelapa. Sedangkan tanaman berkayu yang dominan di semua wilayah pengembangan Ciamis sama yakni sengon;
-
5) Semakin rendah topografi tempat tumbuh, semakin beragam pola tanam dan jenis tanaman yang dikembangkan.
-
6) Semakin sempit lahan yang dimiliki oleh petani subsisten, semakin beragam pola tanam dan jenis tanaman yang dikembangkan karena lebih berpotensi menjamin kehidupan sehari-hari. Tanaman pangan untuk menjamin ketersediaan pangan dan tanaman yang bisa mendatangkan uang secara cepat dan berkelanjutan selalu hadir dilahan mereka.
-
7) Kontribusi ekonomi kayu sengon terbesar dijumpai di wilayah pengembangan Ciamis Tengah yakni 42,71 % , karena rata-rata pemilikan hutannya juga paling luas dan dikembangkan dengan pola tanam mayoritas monokultur. Kontribusi ekonomi untuk HHBK terbesar dihasilkan oleh petani di Ciomas dengan nilai 75%.
Sengon merupakan kayu pertukangan yang sangat potensial dikembangkan di seluruh wilayah pengembangan Kabupaten Ciamis, apalagi telah didukung oleh pasar yang potensial. Harga pohon sengon dipengaruhi oleh kualitas pohonnya, sedangkan kualitas pohon dipengaruhi oleh mutu bibit dan pemeliharaan. Oleh karena itu untuk meningkatkan kontribusi ekonomi sengon perlu dukungan yang menyeluruh seperti: bibit yang berkualitas prima dan cara pemeliharaan yang benar, dukungan dana untuk pengembangannya serta informasi pasar yang terus menerus.
Ucapan Terima Kasih
Kami ucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Ir. Dian Diniyati, MSc atas dukungan data dan kritik serta sarannya, sehingga tulisan ini bisa terselesaikan.
Daftar Pustaka
Awang. S. A., E.B. Wiyono dan S. Sadiyo. 2007. Unit
Manajemen Hutan Rakyat: Proses Konstruksi Pengetahuan Lokal. Banyumili. Yogyakarta
Cahyono S.A., Nunung P.N. dan Nur A.J., 2004.
Tinjauan faktor kelayakan, keuntungan, dan kesinambungan pada pengembangan hutan rakyat
Cubbage FW, Anthony GS, Karen LA and Robert JM, 2004. Private Forests. Sills EO, Karen LA
(ed). Forest in a Market Economy. Kluwer Academic Publishers.
Diniyati, D., E. Fauziyah, T. Sulistyati W., Suyarno dan E. Mulyati. 2010. Pola Agroforestri Di Hutan Rakyat Penghasil Kayu Pertukanggan (sengon). Laporan Hasil Penelitian Tahun 2010. Pngelolaan hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Ciamis
Diniyati, D. 2011. Status Sosial Lahan Sawah dan Lahan hutan Rakyat Bagi Petani. Al-Basia Vol. 8 No. 1 Juni 2011. Hal. 25 – 33. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Djajapertjunda, S. 2003. Mengembangkan Hutan Milik di Jawa. Alqaprint Jatinangor. Sumedang.
Huxley P.A., 1983. Plant Research and Agroforestry. ICRAF. Nairobi. Kenya.
Jariyah, N. A. dan S. A. Cahyono. 2005. Studi Ketersediaan Kayu Rakyat Di Kabupaten Wonogiri. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Volume 2 No. 1 April tahun 2005. Hal.61 - 74. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor
Kho Ramun M, 2008. Approaches to treeenvironment-crop interactions. Batish Daizy R, Ravinder KK, Shibu J dan Harminder PS (ed). Ecological Basis of agroforestry. CRS Press.
Kusumedi, P. 2005. Potensi Sengon Pada Hutan Rakyat di Desa Pacekelan Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Volume 2 No. 1 April tahun 2005. Hal. 103 – 114. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor
Mercer DE and Subhrendu KP, 2004. Agoforesty adoption by smallhorders. Sills EO, Karen LA (ed). Forest in a Market Economy. Kluwer Academic Publishers.
Nair.P.K.R. 1981. Agroforestry with coconuts and other tropical plantation crops. Proceedings of a Consultative Meeting held in Nairobi, Kenya.
Paner, V.E. Jr (1975). Multiple cropping research in the Philippines. In “Proc. Cropping Systems Workshop”, pp. 188-202. Int. Rice Research Inst., Los Banos, Phillipines.
Pemerintah Kabupaten Ciamis. 2007. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Panjalu Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. PT. Sae Citra Endah. Tidak diterbitkan.
Purwanto, S. Ekawati dan S.A. Cahyono. 2004. Kelembagaan Untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat Produktifitas Tinggi. Prosiding Ekspose terpadu Hasil Penelitian. Hal. 53 – 65. Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yogyakarta.
Rachie, K.O., 1981. Intercropping tree legumes with annual crops. Proceedings of a Consultative Meeting held in Nairobi, Kenya.
Sanchez, P.A. 1995. Science in agroforestry. Agroforestry system 30 ; 5-55
Sills EO, Sharachchandra L, Thomas PH and Subhrendu KP., 2004. Nontimber Forest Products in the Rural Houshold Economy. Sills EO, Karen LA (ed). Forest in a Market Economy. Kluwer Academic Publishers.
26
Discussion and feedback