Jurnal Bumi Lestari, Volume 23, Nomor 2, Tahun 2023, Halaman 102-114

Mitosis dan Ritual Mohon Air Hujan di Kawasan Pura Batukaru Kabupaten Tabanan-Bali: Perspektif Ekologi

Budaya

I Nyoman Wardi a*

a Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar, Bali-Indonesia

*Email: wardiecoculture@gmail.com

Diterima (received) 8 Juni 2023; disetujui (accepted) 29 Juli 2023; tersedia secara online (available online) 1 Agustus 2023

Abstract

Batukaru Temple Cultural Reserve is one of the Kahyangan Jagat (State Temple) in Bali, and its area has been designated by UNESCO (2012) as one of the World Cultural Heritage of Bali. This study aims to reveal the meaning of the ritual of asking for rainwater (pakelem ritual) for traditional farming communities (subak) in the Batukaru Cultural Heritage Area of Tabanan Regency. The study was conducted by collecting data through observation, interviews, and literature study. The collected data were analyzed descriptively qualitatively using the cultural ecology approach. Successively, sacrificial rituals and offerings (mapag/mendak toya rituals) are performed every year. In the pakelem/pangeleb ritual at Lake Tamblingan, the sacrificial means offered is sudamala buffalo (kebo ius merana). The implementation of the mendak toya and pakelem rituals every year in different places implicitly represents the knowledge of farming communities (subak) related to natural ecosystems that are interdependent, namely in particular water ecosystems related to climate (rainfall), mountain and forest ecosystems (wana-giri), watersheds and lake ecosystems. Implicitly these rituals reflect the awareness of the farming community (Subak) on the importance of water resources for agricultural life and other interests.

Keywords: myth; pakelem ritual; water; subak; Batukaru Temple

Abstrak

Cagar Budaya Pura Batukatu merupakan salah satu Kahyangan Jagat (State Temple) yang ada di Bali, dan kawasannya telah ditetapkan oleh UNESCO (2012) sebagai salah satu World Cultural Heritage of Bali. Kajian ini bertujuan untuk mengungkap makna ritual mohon air hujan (ritual pakelem) bagi komunitas petani tradisional (subak) di Kawasan Cagar Budaya Batukaru Kabupaten Tabanan. Studi dilakukan dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya. Secara berturut-turut ritual kurban dan persembahan (ritual mapag/mendak toya) dilakukan setiap tahun. Dalam ritual pakelem/pangeleb di Danau Tamblingan, sarana kurban yang dipersembahkan adalah kerbau sudamala (kebo ius merana). Pelaksanaan ritual mendak toya dan pakelem setiap tahun pada tempat yang berbeda-beda tersebut secara implisit merepresentasikan pengetahuan masyarakat petani (subak) terkait dengan ekosistem alam yang bersifat interdependensi, yaitu khususnya ekosistem air yang terkait dengan iklim (curah hujan), ekosistem gunung dan hutan (wana-giri), Daerah Aliran Sungai (DAS) dan ekosistem danau.Secara implisit ritual tersebut merefleksikan kesadaran masyarakat petani (Subak) terhadap pentingnya sumberdaya air untuk kehidupan pertanian dan kepentingan lainnya.

Kata Kunci: mitos; ritual pakelem; air; subak; Pura Batukaru

doi: https://doi.org/10.24843/blje.2023.v23.i02.p11


© 2023 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.

  • 1.    Pendahuluan

Warisan budaya Pura Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede berada pada lereng selatan Gunung Batukaru, merupakan kawasan hulu Kabupaten Tabanan (833 m dpl). Selain sebagai Pura fungsional Subak, Pura Batukaru juga berkedudukan sebagai salah satu Kahyangan Jagat yang ada di Pulau Bali. Cagar Budaya Pura Batukaru berada di tengah-tengah hutan lindung Batukaru. Kini kawasan hutan Batukaru yang masuk dalam landskap warisan Budaya Dunia (WBD) terdiri atas Hutan Lindung Batukaru (luas 6886,177 ha). Cagar Alam Batukaru (luas 1821,553 ha), TWA Danau Buyan-Tamblingan (luas 1223,926 ha), serta enclave seluas 23,0839 ha.

Pada era kolonial Belanda berkuasa di Bali, warisan budaya ini pernah dikunjungan oleh Nieuwenkamps (tahun 1918) dan juga seorang ahli Filologi Belanda, yaitu Hoykaas. Berdasarkan keberadaan ekofak batu berdiri tegak (menhir) yang jumlahnya cukup banyak ditemukannya pada bangunan palinggih, yang situsnya juga disebut kompleks lingga kuno (archaic “lingga sanctuary”) diasumsikan bahwa tempat suci atau Pura Batukaru terkait dengan kompleks pemujaan arwah leluhur (ancestral sanctuary) (Kempers, 1977). Dalam Babad Pasek ada disebutkan, bahwa dewa yang berstana di Kahyangan Batukaru yaitu Sang Hyang Tumuwuh (Dewa Tumbuh-Tumbuhan) (Budiastra & Wardha, 1989). Tampaknya nama dewa Sang Hyang Tumuwuh merupakan Dewa Lokal yang cukup populer sebelum menguatnya pengaruh budaya (agama) Hindu di Bali.

Di Era Global yang cenderung diwarnai dengan kehidupan yang materialistik dan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan berdampak pada terjadinya krisis ekologis, keberadaan warisan Budaya Batukaru dengan segala mitos dan ritualnya dipandang penting untuk dikaji. Pauline M.Rosenau, menyatakan, bahwa terkait dengan terjadinya krisis modern. Salah satu faktor penyebabnya, yaitu karena ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia, karena terlalu menekankan atribut fisik individu. Ilmu pengetahuan moderen tidak lagi diakui sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan untuk menjawab dan menyelesaikan semua persoalan. Dalam konteks berkelanjutan (sustainability), sistem pengetahuan lokal mendapatkan tempat tersendiri. Sekalipun pengetahuan ini lahir dari coba-coba (trial and error) dan jauh dari kaidah-kaidah ilmiah, tetapi sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai penghormatan lingkungan dan memelihara keberlangsungan alam (Susilo & Rachmat, 2012).

Demikian pula Henryk Skolimowski mengisyaratkan, perlunya dikonstruksi kembali kosmologi religius dengan pemikiran-pemikiran segar karena telah ditinggalkan oleh dunia ilmiah (modern) yang positivistik dan cenderung bersifat eksploitatif terhadap alam. Pentingnya kosmologi religius karena bersifat imperatif ekologis serta dibangun dari warisan spiritual yang bersifat etis dan filosofis dari masa lalu. Di dalamnya terdapat harta karun etika, moral dan spiritual yang terkait dengan kearifan lingkungan (Skolimowski, 2004).

Sejalan dengan perubahan sosial budaya dan lingkungan yang begitu cepat dan dinamis yang digerakkan oleh arus globalisasi, khususnya di Bali melalui industri pariwisata, kajian ini dipandang cukup penting. Kajian ini berharap dapat mengidentifikasi pengetahuan lokal (local knowledge) atau etnosains, khususnya kearifan lingkungan (environmental wisdom) yang terekspresikan secara implisit dalam mitos dan ritual pakelem (ritual mohon air hujan) di Kawasan Cagar Budaya Batukaru Kabupaten Tabanan-Bali.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1.    Pengumpulan Data

      • 2.1.1.    Observasi

Observasi dilakukan dengan terjun langsung ke objek penelitian guna mengamati situasi dan kondisi lingkungan. Pada kajian ini dilakukan juga observasi-partisipatif dengan terjun langsung dan ambil bagian pada situasi atau kegiatan sosial dan budaya yang diamati (Sumanto, 1995). Teknik observasi-partisipatif dipandang relevan untuk mengamati aktivitas sosial dan budaya yang bersifat tradisional, seperti kegiatan rapat lembaga subak atau pengelola warisan budaya (pengemong, pemaksan pura), proses ritual, dan kegiatan sosial dan budaya lainnya. Selama observasi dilakukan perekaman atau pencatatan data secara

verbal maupun visual dengan bantuan peralatan mekanik yaitu kamera digital/handicamp, dan alat tulis menulis.

  • 2.1.2.    Wawancara (interview)

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan untuk mengumpulkan data tentang berbagai hal dari seseorang atau kelompok orang (Sumanto, 1995). Dalam hal ini digunakan teknik wawancara mendalam (depth-interview) dengan menggunakan pedoman wawancara. Dalam penelitian ini narasumber yang berhasil diwawancarai, yaitu: para pemangku pura (jero mangku, jero gede/jero kubayan), para tetua desa, anggota subak dan pekaseh (kepala subak), pengurus lembaga Subak Sabantara Tabanan, dan narasumber lainnya.Selama wawancara berlangsung disertai dengan pencatatan atau perekaman data secara manual dan dengan bantuan alat mekanik, yaitu alat perekam suara (voice recorder).

  • 2.1.3.    Studi pustaka/dokumen

Studi pustaka/dokumen dipandang sangat penting dalam penelitian yang bersifat kualitatif. Studi pustaka dilakukan dengan menjelajahi sumber-sumber informasi tertulis secara komprehensif. Penjelajahan data tertulis, yaitu berupa hasil penelitian atau opini yang bersifat teoretik dari para ahli, baik yang dipublikasikan dalam bentuk buku, jurnal, media masa (koran), data internet. Tujuannya yaitu untuk mendapatkan data sekunder, serta untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori-teori serta preposisi umum terkait dengan permasalahan yang diteliti.

  • 2.2.    Analisis dan Interpretasi Data

    • 2.2.1.    Analisis deskripsi-kualitatif

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Terkait dengan analisis kualitatif, Bogdan yang dikutif oleh Sugiyono (2010: 334) menyatakan, analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga mudah dapat dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola-pola, dan memilih mana yang penting dan yang akan dikaji, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami.

Dalam konteks penelitian ini, seluruh data yang terkumpul, seperti catatan lapangan dari hasil observasi, wawancara dan hasil pengambilan gambar (foto), dokumen, serta jenis data lain, terlebih dahulu direduksi melalui editing data serta mengkategorikan atau memilah-milah data (menyederhanakan data) sesuai dengan jenis dan karakteristiknya dalam menjawab permasalahan atau fokus penelitian. Data yang dipandang kurang valid dan tidak relevan disisihkan dan tidak disertakan dalam analisis dan interpretasi.

Analisis deskriptif kualitatif dalam kajian ini menganalisis dan mendeskripsikan data-data kualitatif dalam bentuk artefak (bangunan suci/palinggih, arca, babad/lotar, sarana ritus), monumen, ekofak, situs/tata ruang, sistem ritual, mitos, insititusi, ideologi suatu kegiatan (aktivitas pembangunan), data kualitatif berupa rekaman/catatan hasil observasi dan wawancara, baik dalam bentuk data verbal (pengetahuan, pernyataan, opini, saran, pendapat, sikap dan persepsi ) subjek penelitian maupun data visual dalam bentuk foto/gambar.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Sejarah Cagar Budaya Pura Batukaru dan Pengelolaannya

Secara administratif cagar budaya Pura Luhur Batukau (Batukaru) terletak di bagian hulu (kaje/utara) Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Pura Batukaru berada di tengah hutan lindung Batukaru. Pura Luhur Batukau (Pura Penataran Batukaru) berada pada ketinggian 833 m di atas permukaan laut (dpl). Secara geografis pura terletak pada titik koordinat 50 L 0291058, 9074070 UTM (akurasi 3 meter) (Tenaya & Gede, 2014).

Menurut informasi dari narasumber (pengempon pura), Pura Luhur Batukaru memiliki luas lahan 2600 m2, dan lahan laba pura berupa sawah sekitar 2 ha (lahan milik pura). Warisan budaya Pura Batukaru merupakan salah satu Kahyangan Jagat atau Sad Kahyangan Bali. Berikut di bawah ini adalah foto Pura Batukaru.

Sejarah keberadaan Pura Luhur Batukaru yang terletak di kaki Selatan Gunung Batukaru (833 m .dpl) mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keberadaan Kahyangan Pucak Kedaton Batukaru yang terletak di puncak Gunung Batukaru (pada ketinggian 2.275 m dpl), dan juga dengan keberadaan Pura Luhur Pakendungan yang terletak di pesisir (38 m dpl.), yaitu di Desa Beraban Kecamatan Kediri-Tabanan, dan Pura Ulun Danu Tamblingan Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng.

Keberadaan Kahyangan Pucak Kedaton dan Pura Batukaru, terungkap dalam mitos yang mengisahkan tentang pasangan dua tokoh dewa dan dewi yang berstatus sebagai suami-istri (alaki-rabi/raja dan ratu) dan berkedudukan sebagai penguasa sebuah kerajaan kosmis (kedatuan/kedaton atau keraton) di kawasan Batukaru. Hingga dewasa ini, di puncak Gunung Batukaru (ketinggian 2.275 m dpl), terdapat sebuah palinggih bebaturan (tahta batu) yang berudak (berteras) dua, dan di atasnya berdiri sebuah menhir yang terbuat dari batu alam sebagai media pemujaan Bhatara Pucak Kedaton-Batukaru (Sang Hyang Tumuwuh). Foto berikut di bawah merupakan Palinggih Bhatara Pucak Kedaton yang teletak di Puncak Gunung Batukaru.

Gambar 1. Pura Batukaru dengan latar belakang Gunung Batukaru.

Nama Sang Hyang Tumuwuh (Bhatara Pucak Kedaton) yang berstana di Puncak Gunung Batukaru juga disebut dalam babad Pasek Kayu Selem: “Bhatara Tumuwuh aparyyangan maring Ghiri Watukaru” (Budiastra & Wardha, 1989). Kahyangan Pucak Kedaton sekarang diempon (dikelola) oleh dua Desa Adat, yaitu Desa Adat Piling-Kecamatan Penebel dan Desa Adat Sanda-Batungsel (Kecamatan Pupuan-Kabupaten Tabanan). Sementara itu, palinggih untuk pemujaan Bhatari (permaisuri Bhatara Pucak Kedaton) yang ada di Pura Penataran Batukaru tidak diketahui secara jelas. Diperkirakan, palinggih candi induk yang tinggi dan ramping (pengaruh budaya Jawa Timur) dengan struktur atap tumpang tujuh yang ada di halaman jeroan menjadi palinggih utama dan menjadi pusat media pemujaan dalam ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat pangempon dan penyungsung (pemuja) pura Batukaru di Tabanan (Bali) menjadi sthana beliau (Bhatari Sakti Batukaru).

Di antara bangunan suci (palinggih) yang ada di halaman jeroan Pura Batukaru, yaitu palinggih utama dalam wujud Prasada Tumpang Tujuh (Pitu) sthana Ida Panembahan Sakti Luhur Penataran Bali; Palinggih Meru Tumpang Tiga sebagai stana Ida Bhatara Taksu Jagat; Palinggih Meru Tumpang Pitu (7) stana Ida Bhatara Demade (Bhatara Pr. Tambawaras); Palinggih Gedong sebagai tempat Penghayatan Ida Bhatara Pura Luhur Pakendungan; Palinggih Padma stana Karihinan Sakti Kubayan; Padma sebagai sthana Ida

Bhatara Bagus Panji; Palinggih Gedong sebagai tempat pemujaan Karihinan (leluhur) Cokorda Tabanan;

Palinggih Gedong sebagai tempat penghayatan Karihinan (leluhur) Cokorda Badung, dan yang lainnya.

Gambar 2. Palinggih Bhatara Pucak Kedaton/SH Tumuwuh (1275 m dpl) berupa tahta batu dengan menhir di atasnya ditutupi kain wastra.

Kesejarahan Pura Batukaru juga disebutkan dalam lontar Usana Bali, yaitu Mpu Kuturan (XI M) yang juga bergelar Mpu Rajahretha membangun parhyangan (angawe parhyangan) atau pura di Bali, diantaranya ada disebutkan Bhatara ring Batukaru…. Foto di bawah merupakan palinggih candi utama stana Ida Bhatara Panembahan Sakti Penataran Batukaru.

Gambar 3. Ritual persembahan sesajen Subak Sabhantara Tabanan pada palinggih utama Penataran Pura Batukaru (jeroan) pagi pk.0900 (purnama IV tgl.12 Okt 2013), sebelum pendakian spiritual ke Pucak Kedaton-Gunung Batukaru.

Selain itu, keberadaan Pura Batukaru atau Kahyangan Puncak Kedaton di Puncak Gunung Batukaru juga ada diuraikan dalam sebuah lontar yang berjudul Tatwa Purana Hyang Ning Wukir yang berasal dari Geriya Madhu. Di dalam lontar tersebut juga ada diungkap kaitan antara Hyang Ning Wukir (Sang Hyang Giri Putri) yang beristana di Pura Pucak Kedaton (Pura Batukaru) dengan Pura Hyang Api yang terletak

di sebelah timur Pura Pakendungan, dan dengan Pura Pakendungan, Pura Tanah Lot, dan dengan Pura Batu Mejan.

Belakangan, Nieuwenkamps ketika Bali di bawah masa pemerintahan kolonial Belanda (tahun 1918), beliau pernah melakukan kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Belakangan seorang ahli Filologi Belanda, yaitu Hoykaas juga pernah melakukan kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Beliau menyatakan, bahwa warisan budaya Pura Luhur Batukaru yang terletak di lereng selatan Gunung Batukaru merupakan puncak daerah Kabupaten Tabanan. Berdasarkan keberadaan ekofak batu berdiri tegak yang jumlahnya cukup banyak ditemukannya pada bangunan palinggih, yang situsnya juga disebut kompleks lingga kuno (archaic lingga sanctuary”) diasumsikan, bahwa tempat suci atau Pura Batukaru terkait dengan kompleks pemujaan arwah leluhur (ancestral sanctuary) (Kempers, 1977).

Berdasarkan cerita mitos yang bersifat oral tradition dan mitos yang tertuang secara vebal tertulis dalam lontar tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa Sang Hyang Tumuwuh merupakan dewa alam yang dikaitkan dengan pemujaan Dewa Gunung, khususnya Gunung Batukaru. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci atau sthana arwah leluhur sudah dikenal pada masa prasejarah, khususnya Zaman Megalithik. Pemujaan Dewa Gunung (Sang Hyang Tumuwuh) yang berstana di Pucak Kedaton atau di Puncak Gunung Batukaru dapat dipandang sebagai sistem religi masyarakat asli lokal (authochtonic) dan dipandang sebagai Dewa Tertinggi.

Sebagai Dewa Tertinggi, Sang Hyang Tumuwuh yang berstana di Pucak Kedaton mempunyai hubungan kosmis magis dengan Danau Tamblingan, Jajar Kemiri Catur Angga Pura Batukaru (Pura Muncaksari, Tambawaras, Pucak Petali dan Pura Besi Kalung) dan pura lain di sekitarnya. Demikian pula dengan Pura Segara (Pura Laut), yaitu Pura Luhur Pakendungan/Pura Tanah Lot di Desa Beraban

Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.

Gambar 4. Citra satelit denah lokasi Pura Pucak Kedaton di Puncak G. Batukaru dan Pura Luhur Batukaru di lereng kaki selatan

Kini Cagar Budaya Pura Batukaru diempon oleh delapan Desa Adat. Ke delapan Desa Adat selaku Panjak Pekandelan Ida Bhatara Batukaru tersebut, yaitu terdiri atas: Desa Wongaye Gde; Desa Adat Tengkudak; Desa Adat Kloncing; Desa Adat Batu Kambing; Desa Adat Bengkel; Desa Adat Penganggahan; Desa Adat Amplas, dan Desa Adat Sandan. Kahyangan Jagat Batukaru dan lingkungannya tidak hanya difungsikan sebagai tempat suci (pura), tetapi juga sebagai daya tarik wisata yang dikelola secara otonom oleh organisasi pengemong pura yang berasal dari delapan Desa Adat tersebut.

Cagar budaya Pura Batukaru memiliki multi status dan fungsi, yaitu sebagai: (1) Pura Genealogis, (2) Pura Ulun Subak/Ulun Swi, (3) Kahyangan Jagat (Pura Gunung) Kerajaan Tabanan, dan (4) Kahyangan

Jagat (Sad Kahyangan) Bali.Kini sejak 29 Juni 2012, Cagar Budaya Pura Luhur Batukaru dengan jajar kemiri catur angganya (Pura Muncaksari,Tambawaras, Pucak Petali, dan Pura Besi Kalung) statusnya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu bagian dari World Cultural Landscape of Bali Province. Penetapan status sebagai salah satu world cultural landscape secara tidak langsung berpengaruh signifikan pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke situs-situs tersebut.

  • 3.2.    Mitos dan Ritual Mohon Air Hujan

Menurut A Mircea Eliade (dalam Susanto, Hary, 1987:91-97) menyatakan, bahwa mitos bukan hanya merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan dunia ilahi. Bagi masyarakat Arkhais, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh model (role model) bagi tindakan manusia (imitation dei), memberikan makna dan nilai kehidupan ini. Mitos menceritakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu primordial pada awal mula (in illo tempore). Mitos menceritakan bagaimana suatu realitas mulai bereksistensi melalui tindakan makhluk supra-natural. Ciri khas mitos yang terpenting ialah kekuatannya untuk mewahyukan realitas kudus. Dalam alam pemikiran mitis dari manusia Arkhais, yang kudus adalah realitas yang sunguh-sungguh merupakan realitas sejati.

Mitos dan ritual merupakan dua hal yang sangat terkait dan sulit dipisahkan dalam aktivitas religi. Durkheim (2006) menyatakan, religi berawal dari ritual suku (tribal ritual) yang kemudian memberikan kebangkitan terhadap kegembiraan kolektif dan menciptakan perasaan awal terhadap kesakralan. Lebih lanjut dinyatakan, ketika masyarakat bersahaja (savages) tidak pada hari perayaan (holiday), mereka berada pada perasaan dan hidup yang terasa monotun, berkepanjangan dan menjenuhkah. Aktivitas yang sekuler dari kehidupan masyarakat bersahaja sehari-hari penuh dengan ketegangan dan kejadian-kejadian yang mengerikan, seperti: guntur dan petir, dalam perburuan dan perang. Mereka (singers of the hymn) akan menyanyi dan komunitas suku menari sepanjang malam dalam ritual itu untuk melepas ketegangan (tensions). Dalam hal ini emosi dan nafsu/naluri (desire) memainkan peranan besar di dalamnya.

Bagi Horrison hal ini merupakan gejala awal sejarah terbentuknya religi seperti yang ada dalam pemikiran Arkeologi. Masing-masing zaman memproduksi seorang tokoh dewa yang mencerminkan kapasitasnya. Bagi Horrison, ritual adalah ungkapan-ungkapan dari sebuah emosi, ungkapan sesuatu yang dirasakan, di dalam bentuk perbuatan (in action), sementara itu mitos ada dalam bentuk kata-kata atau pemikiran.Tetapi dalam ritual harus sudah ada dan melibatkan beberapa abstraksi dan stereofikasi di luar dari sekadar reaksi emosi. Dalam ritual selalu berisi khayalan mental dan hal-hal yang bersifat simbolik. Tetapi kata-kata (mantera), khayalan (imagines), dan symbol merupakan bahan baku yang ada di samping mitos dan menyatu dalam ritual sebagai sebuah aksi (tindakan). Keduanya, yaitu ritual dan mitos berjalan berdampingan (hand in hand).

Senada dengan pendapat di atas, C.A. van Peursen (1989: 35) menyatakan, upacara-upacara dari suku-suku primitif menunjukkan, bahwa ritual tidak hanya berfungsi untuk menangkis mara bahaya, tetapi sering juga berfungsi untuk saling menabahkan (meneguhkan) hati warga masyarakat dalam mengahadapi berbagai kesulitan-kesulitan hidup, seperti penyebaran wabah dan resiko kekeringan (musim kemarau). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritual dapat berfungsi sebagai mekanisme atau strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi rintangan dan tantangan hidup yang ada di sekitarnya.

Tekait dengan pendapat atau teori dari para ahli tersebut di atas, dalam kajian di kawasan Gunung dan Hutan Batukaru ini ditemukan mitos dan beberapa jenis ritual terkait dengan aktivitas kehidupan pertanian. Pertama, yaitu terkait dengan mitos yang menyangkut kosmogoni alam gunung dan danau.

Dalam kesusastraan klasik seperti Catur Bhumi, Raja Purana, Roga Sengara Bhumi ada diungkapkan bahwa setelah terciptanya Pulau Bali, Sang Hyang Widhi (Tuhan) menitahkan para dewa untuk menciptakan gunung-gunung, sungai-sungai, bukit-bukit, danau-danau dan lereng-lereng sehingga terbentuknya alam sedemikian rupa dan memungkinkan manusia untuk bertani dan bercocok tanam. Berdasarkan titah tersebut, para dewa beryoga-semadhi sehingga tercipta gunung-gunung, sungai-sungai, danau, bukit dan lereng-lereng yang curam dan kemudian menjadi sthana para dewa (Dinas Kebudayaan

Provinsi Bali, 2004: 129-130). Dalam menciptakan gunung-gunung dan danau di Bali, di dalam kosmogoni itu disebutkan, bahwa:

  • a.    Hyang Mahadewa menciptakan Gunung Lebah, yaitu gunung yang berdekatan dengan Gunung Agung dan berkahyangan di sana;

  • b.    Dewa Indra menciptakan Gunung Andakasa ( Bukit Huluwatu) di pantai Selatan Pulau Bali dan berstana di sana;

  • c.    Hyang Maheswara menciptakan Gunung Salak dekat Gunung Rinjani di Lombok dan berkahyangan di sana;

  • d.    Hyang Wisnu menciptakan Gunung Batur dan Lereng Gunung Batur (Toya Bungkah-Batur) dan beliau berstana di sana;

  • e.    Hyang Shangkara menciptakan Gunung Pulaki dengan barisan lerengnya yang memanjang ke timur yang dinamai Pegunungan Nagaloka, Gunung Bratan, dan Gunung Silangjana serta langsung berkahyangan di sana;

  • f.    Hyang Lumanglang menciptakan Gunung Batukaru dan beliau berkahyangan di sana;

  • g.    Hyang Ludra menciptakan Bukit Rangda dan terus berkahyangan di situ;

  • h.    Hyang Brahma menciptakan Gunung Brahma di Tepi Timur Laut Tanah Baru yang bernama Gunung Tambora dan sebuah Gunung Abang yang terletak dekat dengan Gunung Tulukbiyu dan beberapa bukit lainnya dan langsung berkahyangan di sana;

  • i.    Hyang Çiwa menciptakan Gunung Taksari dengan pegunungan di sebelah-menyebelah dan langsung berkahyangan di sana;

  • j.    Hyang Sambhu menciptakan Gunung Tulukbiyu dekat Gunung Abang dan Gunung Lebah dan berkahyangan di sana;

  • k.    Hyang Iswara menciptakan Gunung Karang (Gunung Lempuyang ) dan Gunung Seraya serta langsung berkahyangan di sana;

  • l.    Bhatara Guru beryoga dan masuk ke dalam tanah dan menciptakan gunung-gunung dan bukit-bukit sehingga digelari Sang Hyang Giri Natha ( Dewa Raja Gunung);

  • m.    Sementara itu Dewi Uma (Bhatari Uma Dewi) sebagai sakti (istri) Dewa Çiwa (Bhatara Guru) digelari Sang Hyang Ayu (Dewi Kecantikan) menciptakan 4 danu (danau) di Bali, yaitu : (1) Danu Batur sebagai Kahyangan Bhatari Uma, (2) Danu Bratan sebagai kahyangan Dewi Laksmi, (3) Danu Buyan sebebagai Kahyangan Dewi Gangga, dan (4) Danu Tamblingan sebagai kahyangan Bhatari Gori. Keempat Bhatari ini melakukan yoga-samadhi agar danau-danau tersebut berisi air yang jernih untuk memenuhi kebutuhan hidup semua makhluk hidup. Air danau kemudian mengalir melalui sungai-sungai besar maupun kecil yang merupakan saluran air dalam hubungan dengan pengairan di sawah dan untuk kepentingan lain.

Dalam budaya subak, khususnya aktivitas pertanian di sawah, kahyangan (pura) yang ada di masing-masing danau (danu) lazim disebut Pura Ulun Danu. Pura Ulun Danu merupakan sthana Dewi Danu (Dewi Gangga) sebagai sumber air utama untuk kegiatan irigasi pertanian, perkebunan, air bersih untuk konsumsi masyarakat, dan untuk kepentingan lainnya. Khusus untuk Subak di Kabupaten Tabanan, Danau Tamblingan dianggap sebagai sumebr air utama untuk irigasi pertanian (sawah).

Terkait dengan ritual mohon air hujan, secara tradisional disebut mapag toya atau mendak toya. Kata kapag/mendak memiliki arti yang sama, yaitu ‘menyambut’ (kedatangan), sedangkan toya adalah suatu istilah yang cukup umum untuk menyebut air yang bersifat profan. Untuk air suci disebut dengan istilah tirtha. Secara harfiah mendak/mapag toya dapat diartikan menyambut (kedatangan) air. Dalam konteks pertanian (subak), ritual mapag toya dikaitkan dengan menyambut kedatangan dan turunnya air hujan (blabur pertama setelah musim kemarau) dari langit agar petani dapat memulai aktivitas pertanian, khususnya dalam budidaya tanaman padi di sawah. Dalam ritual mapag toya biasanya disertai dengan ritual mulang pakelem yaitu persembahan binatang kurban dengan sesajen selengkapnya.

Sementara itu, kata pakelem (Bhs. Bali) secara morfologis terbentuk dari prefiks (awalan) pa- yang membentuk kata benda, dan dengan kata dasar kelem yang artinya tenggelam (kurban). Secara harfiah kata pakelem berarti penenggelaman atau melepas sesuatu atau kurban (ke air: sungai, danau, laut, ke bumi, ke tengah hutan). Ritual Pakelem (upacara penenggelaman/pelepasan kurban) tampaknya cukup bervariasi dalam konteks dan tujuannya, demikian pula maknanya. Namun secara umum kata pakelem atau mulang

pakelem dapat diartikan “memasukkan dan menenggelam sesuatu/kurban ke air, ke perut bhumi, atau melepas kurban ke tengah hutan, laut atau alam bebas sebagai kurban dalam ritual religi di Bali.

Ritual pakelem di puncak gunung (tengah hutan), di air danau atau sungai yang terkait dengan ritual mapag toya/mendak toya di Tabanan dilakukan setahun sekali, terutama pada akhir musim kemarau (peralihan musim kemarau ke musim hujan). Ritual mapag toya yang disertai dengan ritual pakelem dilakukan setiap bulan purnama pada sasih kapat (bulan IV menurut perhitungan kalender Bali) yang jatuh sekitar Oktober – November.

Selain ritual mapag toya di tingkat jagat (kabupaten atau provinsi), di tingkat yang lebih rendah, yaitu satu kesatuan organisasi unit Subak juga dikenal ritual mapag toya di hulu sungai (hulu bendungan) ketika mereka hendak memulai aktivitas bertani di sawah. Umumnya ritual mapag toya di kesatuan subak masing-masing dilakukan setelah ritual mapag toya di tingkat regional yang dilakukan antarsubak (organisasi Subak Sabhantara Kabupaten Tabanan) di Puncak Kedaton Batukaru, hulu DAS Mawa, atau di Pura Ulun Danu Tamblingan. Dalam sumber kesusasteraan klasik disebutkan:

“Niyan tingkah ing mapag toya ring hempelan, lwirnia, banten sorohan, 2, soroh. Katur ring Bedugul, 1, ring pang hulun empelan, ,1, rawuh ring pacarwan panca satha. Ring penampin toya asoroh, maduluran gayah, nasinia beras hacatu,lebengnia dadi pangkonan, 1, jajatah gayah lembat asem, jajatahnia hanut kaideran gayah manistha, madya utama, jinah daksinania, utamania ,1700, madya,700,nistha 500, nisthan ing nistha 250. Salarnia genep, bebek putih, hayam putih, bras ketan hinjin, tegen-tegenan pada macatu, tibakna ring toya, telas”.

dilakukan oleh komunitas subak di Tabanan khususnya, dan pada tempat lain di Bali pada umumnya, tentu mempunyai akar sejarah yang cukup dalam. Secara historis, ritual kurban dan persembahan untuk mendatangkan (memohon) air hujan diperkirakan sudah muncul pada masa prasejarah. Hal ini diindikasikan dari penemuan nekara perunggu yang berhiaskan binatang kodok yang tersebar di wilayah Asian Tenggara Daratan maupun Asia Tenggara Kepulauan (maritime southeast Asia), seperti halnya di Indonesia. Hiasan kodok terutama ditemukan pada nekara tipe Heger I yang diperkirakan berasal dari rentangan waktu antara abad IV Sebelum Masehi (SM) hingga abad I Masehi (M).

Kodok dikenal sebagai binatang yang dekat dengan air. Dengan adanya hiasan binatang kodok itu, maka nekara yang berfungsi sebagai benda sakral diperkirakan dipergunakan sebagai media pemujaan dan persembahan kepada para dewa dan arwah leluhur untuk memohon air hujan. Jadi ritual kurban dan persembahan memohon air hujan terutama yang dilakukan pada akhir musim kemarau atau peralihan dari musim kemarau ke musim hujan (Oktober), tampaknya bersifat universal, karena tradisi budaya tersebut juga dikenal pada suku-suku bangsa lain di Asia Tenggara atau belahan dunia lainnya.

Namun keunikan ritual kurban dan persembahan (mendak toya/mapag toya) yang dilakukan oleh komunitas Subak di kawasan Gunung Batukaru, yaitu ritual dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda-beda setiap tahun (setiap purnamining sasih kapat/Purnama bulan Oktober) dalam siklus tiga tahunan. Secara berturut-turut ritual kurban dan persembahan (ritual mapag/mendak toya) tersebut dilakukan dalam waktu tahunan (setiap purnamaing sasih Kapat atau purnama bulan Oktober) dalam siklus 3 tahunan, yaitu: a. Purnamaning Sasih Kapat I, ritual dipusatkan di kahyangan Pucak Kedaton (Puncak Gunung Batukaru=

1275 m dpl). Ritual persembahan dan kurban di puncak Gunung Batukaru ini dilakukan secara khusus untuk memuliakan Dewa Pucak Kedaton (Sang Hyang Tumuwuh) dan Dewa Langit (Dewa Hujan) pada waktu malam hari sekitar pk 00.00. Wita. Ritual ini sebenarnya dimulai pada pagi hari sekitar pukul 9.00 Wita di Pura Penataran Batukaru. Dalam hal ini, ritual dipusatkan pada Ida Panembahan Sakti Luhur Penataran Bali di prasada/candi tumpang tujuh (pitu) sebagai sthana. Setelah ritual persembahan dan pemujaan, air suci (tirtha) dibagi-bagikan kepada para perwakilan subak (pekaseh) untuk didistribusikan lagi kepada krama subaknya pada masing-masing desa, dan kemudian dipercikan pada masing-masing sawahnya. Setelah ritual pemujaan di Pura Penataran Batukaru berakhir, sebagian perwakilan subak, perwakilan pemerintah Tabanan yang terkait, dan masyarakat umum lain melanjutkan prosesi ritual ke Kahyangan Pucak Kedaton yang terletak di puncak Gunung Batukaru. Prosesi berlanjut melalui jalan pendakian spiritual dari barat pura Batukaru (menyeberangi Tukad Mawa), menelusuri hutan di lereng menuju ke puncak gunung Batukaru. Para peserta ritual (para bhakta) tiba di Pucak Kedaton sekitar pukul 17.00- 18.00 Wita. Ritual pada tengah malam purnama (purnama IV) di puncak gunung ini berlangsung sangat kidmat. Waktu malam purnama seperti itu

dipandang waktu yang terbaik dan paling kramat bagi turunnya berkah dari para dewa, khususnya Bhatara Pucak Kedaton Batukaru (Sang Hyang Tumuwuh). Foto di bawah merupakan ritual mulang pakelem-mapag toya di hulu Sungai Mawa yang terletak di Barat Pura Batukaru.

  • b.    Ritual Purnama-Sasih Kapat tahun II, dilakukan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Mawa yang terletak di sebelah Barat Pura Batukaru-Desa Wongaya Gede (Dekat Pura Dalem). Binatang kurban yang dipersembahkan pada pakalem/mendak toya di Pucak Kedaton dan di Tukad Mawa ini di antaranya bebek selem/hitam sepasang (pejantan-betina), ayam putih sepasang,yaitu ayam sepit gunting ( bulu ekor keluar 2 bulu) yang kondisinya masih suci/sukla (belum pernah kawin), dan sesajen perlengkapan lainnya.

  • c.    Ritual kurban dan persembahan terakhir (purnamaning sasih kapat tahun III), yaitu puncak ritual mapag toya (dalam siklus 3 tahunan) dipusatkan di Pura Ulun Danu/Danau Tamblingan (Dewi Danu Tamblingan) yang termasuk wilayah Catur Desa Dalem Tamblingan Kecamatan Banjar-Kabupaten Buleleng.

Khusus dalam ritual mendak toya dan kurban pakelem puncak di Pura Ulun Danu Tamblingan ini, tugas dalam mempersiapkan sesajen dibagi tiga desa pemucuk yang ada di hulu, yaitu: (1) Desa Wongaya Gede (Batukaru) mendapat tugas dan kewajiban membuat banten pangeleb/pakelem; (2) Desa Jatiluwih mendapat tugas mempersiapkan banten tembuku; dan (3) Desa Soka mendapatkan tugas ngaturang pengodalan (menyelenggarakan piodalan) di Pura Dalem Gubug -Danau Tamblingan (Pura Ulun Danu Tamblingan). Dalam Ritual Pakelem/Pangeleb di Danau Tamblingan, sarana kurban yang dipersembahkan, yaitu: kerbau sudamala (kebo ius merana), yaitu satu pasang (2 ekor) kerbau jantan-muda bertanduk emas, pipis bolong (uang kepeng) asli, bebek hitam dan bebek putih jambul, ayam dan sesajen pelengkap lainnya. Gambar di bawah ini adalah proses ritual puncak mulang pakelem-mapag toya (tiga tahun sekali) dengan sepasang kerbau bertanduk emas di Pura Ulun Danu Tamblingan.

Gambar 4. Ritual mendak toya-pakelem di Ulun Danu Tamblingan, Purnama IV


Siklus tiga tahun berikutnya ritual persembahan dan kurban (pakelem) mendak toya kembali digelar di Pucak Kedaton (Puncak Gunung Batukaru), dan demikian berikutnya tahun II di hulu DAS Mawa, dan III di Danau Tamblingan. Demikian seterusnya ritual mendak toya/mapag toya (mohon air hujan) dan kurban pakelem dilakukan secara sirkuler oleh komunitas subak (petani) di Kabupaten Tabanan (Subak Sabhantara).

Dalam setiap ritual mapag toya dan persembahan kurban pakelem pada purnamaning sasih kapat tersebut, selalu diawali dengan ritual persembahan sesajen dan pemujaan pada Dewa yang berstana pada palinggih utama Candi Tumpang 7 di halaman jeroan Pura Batukaru. Ritual biasanya dipimpin oleh Jero Kubayan (Mangku Gede /Utama Pura Batukaru) dan didampingi (disaksikan) oleh Cokorde dari Puri Agung Tabanan selaku pangerajeg /panganceng dan dari petinggi atau staf pemerintahan daerah Kabupaten Tabanan yang terkait.

Besar kemungkinan ritual mapag/mendak toya yang disertai dengan ritual kurban (pakelem) di kawasan Batukaru tersebut (Pucak Kedaton, hulu DAS Mawa dan Danau Tamblingan) selain pemujaan pada dewa-dewa lokal-setempat, ritual masih terkait dengan pemujaan Dewa Langit/Dewa Hujan (Dewa

Indra) walaupun pada awalnya mungkin nama tokoh dewa tersebut dikenal dengan nama local, yaitu Sang Hyang Tumuwuh.

  • 3.3.    Makna Ritual Mohon Air Hujan

Secara ekologi budaya, ritual mendak toya dan persembahan kurban pakelem yang dilakukan secara terstruktur pada tiga situs tersebut merefleksikan bahwa masyarakat petani (subak) di Tabanan sangat mengapresiasi keberadan sumberdaya air dan memandang air sebagai berkah dari Dewa Langit. Ritual mendak toya dan pakelem yang dilakukan pada lokasi yang berbeda-beda tersebut secara implisit merefleksikan etnosains terkait dengan peradaban hidraulik (ekosistem air) dari masyarakat petani tradisional (Subak) di Tabanan-Bali. Pesembahan kurban mulang pakelem dalam upacara mapag toya tersebut secara implisit menunjukkan pengetahuan etnosains (kearifan budaya) masyarakat petani (subak) dalam sistem pengelolaan atau manajemen sumberdaya air secara komprehensif. Pelaksanaan ritual mendak toya dan pakelem setiap tahun secara berturut-turut dari Puncak Gunung Batukaru (Pucak Kedaton)-hulu DAS Mawa- Danau Tamblingan secara implisit merepresentasikan pengetahuan masyarakat petani (subak) terkait dengan ekosistem alam yang bersifat interdependensi, khususnya ekosistem air yang terkait dengan iklim (curah hujan), ekosistem gunung dan hutan (wana-giri), Daerah Aliran Sungai (DAS) dan ekosistem danau.

Menurut Jero Kubayan (Narasumber: Mangku Gede Pura Batukaru/12 Okt 2013), danau ibaratkan gebeh (tempayan/wadah air) alam atau telaga/kolam penampungan air hujan dari langit. Bagi jero mangku, ritual pakelem/mapag toya dimaknai secara simbolis yaitu identik dengan mulang dasar (membuat dasar bangunan), dasarnya harus baik dan kukuh. Ketika sudah ada air hujan turun dari langit, air akan ditampung di kolam (danau/gebeh alam), dan agar air nanti keluar bagus. Jika kolam sudah penuh, airnya akan mengalir di sekitarnya, zone tengah dan akhirnya ke hilir sebagai sumber kesuburan, kemakmuran dan keselamatan hidup bagi masyarakat, khususnya bagi para petani (subak), dan lingkungannya.

Secara implisit ritual mendak toya/pakelem tersebut mengekspresikan makna, yaitu jika iklim berubah atau tidak teratur (anomali), maka akan berpengaruh dan berdampak pada perubahan lingkungan dan ekosistem wana-giri (gunung-hutan), ekosistem danau, ekosistem sungai, dan akhirnya terhadap kehidupan masyarakat (subak dan krama desa) dan makhluk hidup lainnya. Sebaliknya, jika ekosistem wana-giri (gunung-hutan) rusak, hal ini akan sangat berdampak pada perubahan ekosistem danau, sungai dan juga akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat manusia dan makhluk hidup lainnya. Demikian pula perubahan tersebut akan berdampak terhadap perubahan iklim mikro, bahkan dapat mempengaruhi iklim global, jika di tempat-tempat lain (negara lain) juga mengalami hal yang serupa (kerusakan ekosistem wana-giri).

Dalam hal ini sangat tepat disampaikan moto ekologis yang cukup popular, yaitu: “think it globally act locally”. Secara bebas ungkapan tersebut dapat diartikan: ‘pahami dan berpikirlah secara komprehensif (luas) tentang ekosistem alam, dan lakukan suatu hal yang positif, sekecil apapun yang bermanfaat untuk keamanan, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat (manusia) dan kelestarian ekosistem alam di sekitarnya’.

Etnosains yang terkandung dalam ritual pakelem dalam upacara mapag toya tersebut juga dapat dimaknai secara imperatif etis, yaitu jika masyarakat ingin hidup dalam kemelimpahan sumberdaya air untuk pertanian dan untuk kepentingan lain, mereka harus menjaga, merawat, melindungi dan melestarikan ketiga ekosistem dan sumberdaya alam tersebut ( huntan-gunung, danau, sungai) di hulu untuk survival dan pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development). Jika sumberdaya yang sangat vital tersebut tidak disakralkan, tidak dipelihara, tidak dijaga dan dirawat dengan baik, dan tidak mendapat perlindungan, maka nasib manusia akan menemukan penderitaan (lara, pāpa, petaka) seketurunan dalam berbagai bentuk bencana alam (kelangkaan sumberdaya alam/air, kekeringan, kebakaran hutan, erosi, longsor, banjir, dsb), dan kemudian munculnya bencana wabah penyakit. Selain itu, kerusakan ekosistem tersebut juga dapat menimbulkan bencana konflik sosial terkait dengan perebutan dalam pemanfaatan sumberdaya alam (sumberdaya alam vital: hutan, air, tanah/lahan) yang semakin langka di tengah pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat.

Upacara religi (agama) bukan hanya berperan untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat, tetapi juga untuk berbakti kepada para dewa, leluhur (makhluk suci lain) atau Tuhan-nya (bhuwana agung/makrokosmos). Tentu demkian pula halnya terhadap ritual pakelem yang dilakukan oleh masyarakat subak di Tabanan (Bali).Selain itu, tindakan ritual dan upacara religi (agama) juga dimaksudkan untuk melakukan kewajiban sosial (ngayah-bhakti) dengan maksud agar dapat hidup damai, aman dan selamat (rahayu), makmur (wibhuh) dan sejahtera (hita), serta hidup dalam keseimbangan (ajeg) dan harmoni (selaras) dengan lingkungan sosial, lingkungan alam sakala (empirik) dan alam niskala (bhuwana agung/makrokosmos-bhuwana alit/mikrokosmos).

  • 4.    Simpulan

Pura Batukaru berada di tengah hutan lindung Batukaru, yaitu di kaki bagian Selatan Gunung Batukaru yang secara administratif wilayah termasuk bagian hulu Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Cagar Budaya Pura Batukaru diempon (dikelola) oleh delapan desa adat. Pada Pura Batukaru dipuja Sang Hyang Tumuwuh sebagai raja kosmis dan berstana di Pucak Kedaton Batukaru yang mempunyai hubungan kosmis magis dengan Danau Tamblingan, Jajar Kemiri Catur Angga Pura Batukaru (Pura Muncaksari, Tambawaras, Pucak Petali dan Pura Besi Kalung) dan pura lain di sekitarnya. Berdasarkan bukti-bukti Arkeologis,tradisi lisan (oral tradition), dan gelar pendeta tertinggi (pemangku) yang berwenang memimpin upacara, yaitu Jero Kubayan, Cagar Budaya Batukaru diperkirakan sudah ada pada masa prasejarah (Zaman Megalitik).

Keberadan Cagar Budaya Batukaru sarat dengan mitos dan ritual yang mengandung makna kearifan lingkungan. Di antaranya, yaitu mitos terkait dengan kosmogoni gunung dan danau, serta ritual mohon air hujan ( ritual mulang pakelem dan mendak toya) yang dilakukan oleh komunitas Subak di Kabupaten Tabanan.Secara berturut-turut ritual kurban dan persembahan (ritual mapag/mendak toya) dilakukan dalam waktu tahunan (setiap purnamaing sasih Kapat atau purnama bulan Oktober) dalam siklus 3 tahunan. Adapun ritual tersebut, yaitu : (1) Purnamaning Sasih Kapat I, ritual dipusatkan di kahyangan Pucak Kedaton, (2) Ritual Purnama-Sasih Kapat tahun II, dilakukan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Mawa yang terletak di sebelah Barat Pura Batukaru-Desa Wongaya Gede (Dekat Pura Dalem), dan (3) ritual kurban dan persembahan terakhir (purnamaning sasih kapat tahun III) , yaitu puncak ritual mapag toya (dalam siklus 3 tahunan) dipusatkan di Pura Ulun Danu/Danau Tamblingan (Dewi Danu Tamblingan) yang termasuk wilayah Catur Desa Dalem Tamblingan Kecamatan Banjar-Kabupaten Buleleng.

Cagar budaya Pura Batukaru memiliki multi status dan fungsi, yaitu sebagai: (1) pura genealogis , (2) pura Ulun Subak /Ulun Swi, (3) Kahyangan Jagat (Pura Gunung) Kerajaan Tabanan, dan (4) Kahyangan Jagat (Sad Kahyangan) Bali.Kini sejak 29 Juni 2012 , Cagar Budaya Pura Luhur Batukaru dengan jajar kemiri catur angganya (Pura Muncaksari,Tambawaras, Pucak Petali, dan Pura Besi Kalung) statusnya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu bagian dari World Cultural Landscape of Bali Province. Penetapan status sebagai salah satu world cultural landscape secara tidak langsung berpengaruh signifikan pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke situs-situs tersebut.

Secara ekologi budaya, ritual mendak toya dan persembahan kurban pakelem yang dilakukan secara terstruktur pada tiga situs tersebut merefleksikan bahwa masyarakat petani (subak) di Tabanan sangat mengapresiasi keberadan sumberdaya air dan memandang air sebagai berkah dari Dewa Langit. Ritual mendak toya dan pakelem yang dilakukan pada lokasi yang berbeda-beda tersebut secara implisit merefleksikan etnosains terkait dengan peradaban hidraulik (ekosistem air) dari masyarakat petani tradisional (Subak) di Tabanan-Bali. Pesembahan kurban mulang pakelem dalam upacara mapag toya tersebut secara implisit menunjukkan pengetahuan etnosains (kearifan budaya) masyarakat petani (subak) dalam sistem pengelolaan atau manajemen sumberdaya air secara komprehensif. Pelaksanaan ritual mendak toya dan pakelem setiap tahun secara berturut-turut dari Puncak Gunung Batukaru (Pucak Kedaton)-hulu DAS Mawa- Danau Tamblingan secara implisit merepresentasikan pengetahuan masyarakat petani (subak) terkait dengan ekosistem alam yang bersifat interdependensi, khususnya ekosistem air yang terkait dengan iklim (curah hujan), ekosistem gunung dan hutan (wana-giri), Daerah Aliran Sungai (DAS) dan ekosistem danau.

Daftar Pustaka

Budiastra, P., & Wardha, W. (1989). Babad Pasek Kayu Selem. Denpasar, Indonesia.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. (1994). Pura Luhur Batukaru. Denpasar, Indonesia.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. (2014). Pemetaan Kawasan Warisan Budaya Dunia. Denpasar, Indonesia..

Geldern, R, H.(1982). Conception about the state and the position of the king in Southeast Asia. Dalam Noer, D. (Terj.), Konsepsi tentang negara & kedudukan raja di Asia Tenggara. Jakarta, Indonesia: CV. Rajawali. (Buku asli diterbitkan 1926).

Goris, R. H. (1954). Prasasti Bali. (1st ed). Bandung, Indonesia: N.V. Masa Baru.

Goris, R. (1960). The Temple System in Bali Studies in Life, Thought, and Ritual. Amsterdam: The Royal Tropical Institute.

Kempers, A. J. B. (1977). Monumental Bali : Introduction to Balinese Archaeology Guide to Monuments. Den Haag.

Levi-Strauss, C. (1995). Myth and Meaning: Cracking The Code of Culture. New York, USA: Schpcken Books.

Mariwarsito, L. (1981). Kamus Jawa Kuno Indonesia. Ende-Flores, Indonesia: Nusa Indah.

Menteri Kebudayan dan Pariwisata Republik Indonesia. (2010). Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jakarta, Indonesia.

Moleong, L. J. (1997). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, Indonesia: PT. Remaja Rosdakarya.

Purbo-Hadiwidjono, M. M. 1978. Dasar-Dasar Geologi Untuk Pengembangan P.Bali. Bandung, Indonesia.

Beane, W. C. & Doty, W. G. (1976). Eliade, Mircea, Myths, Rites, Symbols: A Mircea Eliade Reader. (1st ed). New York, Hegerstown, San Fransisco, London: Harper Colophon Books Harper & Row.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung, Indonesia: Penerbit Alfabeta.

Sumanto. (1995). Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Andi Offset.

Susanto, Hary. (1987). Mitos: Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius.

Susilo, & Rachmad, K. D. (2012). Sosiologi Lingkungan & Sumberdaya Alam: Perspektif Teori & Isu-Isu Mutakhir. Jakarta, Indonesia: Penerbit Ar-Ruzz Media.

Sutaba, I. M. (1980). Prasejarah Bali. Denpasar, Indonesia: B.U. Yayasan Purbakala Bali.

Swellengrebel, J. L. (1960). Patterns of The Cosmic Order in Bali Studies in Life, Thoughts, and Ritual. Amsterdam: The Royal Tropical Institute.

Warna, I. W. (1986). Usana Bali -Usana Jawa. Denpasar, Indonesia: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali.

Tenaya, Y., & Gede, I.W.Y. (2014). Inventarisasi Pura Catur Angga Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan Provinsi Bali. Laporan. Gianyar, Indonesia: Balai Pelestarian Cagar Budaya.

114