Penempelan Teritip (Arthropoda) pada Beberapa Jenis Mangrove di Kawasan TAHURA Ngurah Rai Bali
on
Jurnal Bumi Lestari, Volume 24, Nomor 1, Tahun 2024, Halaman 1-9
Penempelan Teritip (Arthropoda) pada Beberapa Jenis Mangrove di Kawasan TAHURA Ngurah Rai Bali
Nyoman Sweet Juniartini a, Ni Luh Watiniasih*b, Ni Putu Adriani Astiti b , dan Putu Angga Wiradanac
a Program Studi Magister Ilmu Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana (UNUD), Jalan P.B. Sudirman, Denpasar, Provinsi Bali, Indonesia
b Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana (UNUD), Jalan Raya Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Indonesia
c Program Studi Biologi, Fakultas Kesehatan, Sains dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura (UNDHIRA-BALI), Jalan Raya Padangluwih, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Indonesia
*Email: luhwatiniasih@unud.ac.id
Diterima (received) 30 Juni 2023; disetujui (accepted) 17 Januari 2024; tersedia secara online (available online) 14 Februari 2024
Abstract
Mangrove ecosystems are able to support biological and ecological life cycles and provide welfare for coastal communities. Pest outbreaks that attack seedlings to mangrove trees often cause ecological losses throughout the TAHURA Ngurah Rai Bali area. The ecological interactions of barnacle pest species in mangrove ecosystems are very complex and highly detailed studies. There is empirical evidence that the attachment of barnacles is strongly associated with allelochemical compounds produced by mangroves. This study aims to inventory the attachment of barnacles (arthropods) to several types of mangroves in the TAHURA Ngurah Rai area of Bali. This study used a purposive sampling method to pay for the location of the observations. Quadrant transects were used to organize the classification of the mangrove plots; barnacle densities being calculated for each transect. The density of barnacles was calculated on the number of barnacles attached to the mangrove plants, then recorded the types of plants attached, types of barnacles, types of planting and the number of individuals for each mangrove classification. The study showed that barnacles planted most of the mangrove seedlings at all stations, while the classification of tree plots only had barnacles attached at station 3. The number of attachments of Amphibalanus sp. the highest was found at station 3 of the R. mucronata tiller classification of 881 individuals, while no attachment of barnacles was found at all stations for S. alba mangroves. Overall, the attachment of barnacles was higher in R. mucronata tillers and had the potential to reduce their growth productivity in the field. Efforts to control barnacles really need to be done to increase the success of planting mangroves in TAHURA Ngurah Rai, Bali.
Keywords: mangroves, bernacles, pest density, ecosystem services, TAHURA Ngurah Rai
Abstrak
Ekosistem mangrove mampu mendukung siklus hidup biologis dan ekologis serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir. Wabah hama yang menyerang bibit pohon mangrove sering menimbulkan kerugian ekologis di seluruh kawasan TAHURA Ngurah Rai Bali. Interaksi ekologi spesies hama teritip di ekosistem mangrove merupakan kajian yang sangat kompleks dan sangat detail. Terdapat bukti empiris bahwa penempelan teritip sangat terkait dengan senyawa alelokimia yang dihasilkan oleh mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi penempelan teritip (arthropoda) pada beberapa jenis mangrove di kawasan TAHURA Ngurah Rai Bali. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan memperhatikan lokasi pengamatan. Transek kuadran digunakan untuk mengatur klasifikasi plot mangrove, kepadatan teritip dihitung untuk setiap transek. Kepadatan teritip dihitung dari jumlah teritip yang menempel pada tumbuhan mangrove, kemudian dicatat jenis tumbuhan yang menempel, jenis teritip, jenis tanam dan jumlah individu untuk setiap klasifikasi mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teritip yang ditanam paling banyak
doi: https://doi.org/10.24843/blje.2024.v24.i01.p01

© 2019 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.
pada semai mangrove di semua stasiun, sedangkan klasifikasi petak pohon hanya terdapat teritip yang menempel di stasiun 3. Jumlah penempelan Amphibalanus sp. tertinggi ditemukan pada stasiun 3 klasifikasi anakan R. mucronata sebanyak 881 individu, sedangkan tidak ditemukan penempelan teritip pada semua stasiun pada mangrove S. alba. Secara keseluruhan, keterikatan teritip lebih tinggi pada anakan R. mucronata dan berpotensi menurunkan produktivitas pertumbuhannya di lapangan. Upaya pengendalian teritip sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan penanaman mangrove di TAHURA Ngurah Rai Bali.
Kata Kunci: mangrove, teritip, kepadatan hama, layanan ekosistem, TAHURA Ngurah Rai
Mangrove merupakan sekumpulan jenis tanaman yang mempunyai karakteristik sangat khas, mampu tumbuh pada kondisi genangan air saat pasang dan bebas genangan saat surut, dengan salinitas tinggi dansubstrat berlumpur sampai karang berpasir (Priosambodo, Juhriah, Alam, Al-Anshari, & Putra, 2019). Mangrove dapat dikenali dari tempat tumbuhnya yang berada di perbatasan antara daratan dan laut dan juga dimuara muara sungai (Shearman, 2010). Ciri lain mangrove yaitu dapat dikenali dari bentuk tanamannya yang memiliki bentuk akar yang khas untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang disebut sebagai zona buffer zone atau kawasan penyangga (Niagara, Yusuf, & Muhammad, 2021). Masing masing jenis tanaman pada mangrove memiliki bentuk akar yang berbeda beda misalnya jenis Rhyzophora spp memiliki bentuk akar tunjang dan jenis Sonneratia spp memiliki jenis akar pensil atau dikenal dengan “sistem perakaran napas”.
Salah satu ekosistem hutan mangrove yang terdapat di Indonesia adalah Kawasan Hutan Prapat Benoa di Provinsi Bali. Kawasan Hutan Prapat Benoa dengan Nomor Registrasi Tanah Kehutanan (RTK) 10, terdapat kawasan Tahura (Taman Hutan Raya) dengan tipe hutan mangrove. Letak Tahura secara administrasi berada di teluk/tanjung benoa yang melintasi dua wilayah pusat pariwisata dunia yaitu di daerah Nusa Dua, Kabupaten Badung dan wilayah Sanur, Kota Madya Denpasar. Mangrove Tahura Ngurah Rai ini merupakan mangrove perkotaan (urban mangrove) yang dipengaruhi oleh kondisi perkotaan dan pembangunan perumahan. Mangrove ini dapat ditemukan di sepanjang tepi taman dan dipetak – petak kecil di dekat kanal perairan sungai yang mengalir menuju laut. Keberadaan mangrove di kota – kota besar dan pemukiman karena adanya daerah pesisir yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mangrove. Mangrove perkotaan mungkin telah berkolonisasi secara alami, direhabilitasi pasca pengembangan usaha lain (seperti tambak udang dan bandeng), atau sisa dari hutan mangrove yang lebih besar sebelum pengembangan (Malik, Fensholt, & Mertz, 2015).
Ekosistem mangrove yang mampu tumbuh di sepanjang sebagian besar daerah tropis dan subtropics, menyebabkan mereka mampu menyediakan layanan ekosistem (ecosystem services) penting (Chen & Lee, 2022; Lovelock & Reef, 2020). Layanan ekosistem tersebut meliputi pembibitan, tempat berkembang biak biota akuatik, produksi makanan, dan perlindungan garis pantai untuk organisme pesisir. Di samping fungsinya sebagai penyedia layanan ekologis, mangrove juga telah dilaporkan memiliki profil fitokimia yang bermanfaat bagi kesehatan dan biomedis (Audah et al., 2022; Bibi Sadeer et al., 2020; Nabeelah Bibi et al., 2019; Sachithanandam et al., 2019).
Secara ekonomis, mangrove mampu meningkatkan perekonomian nasional di banyak negara di dunia termasuk di Indonesia. Kegiatan ekowisata, pengembangan produk hutan bukan kayu (PHBK), hingga hasil tangkapan biota akuatik seperti ikan, udang, dan kepiting yang bernilai komersial ditemukan berasosiasi dengan lingkungan mangrove. Stok ikan bakau misalnya, di Indonesia sangat berdampak besar pada peningkatan mata pencaharian pesisir lokal serta menunjang keseimbangan ekonomi dan lingkungan (Taylor, Gaston, & Raoult, 2018). Namun, pencemaran ekosistem semakin mengalami peningkatan dan telah menjadi masalah global, karena distribusi logam berat beracun dan agen pencemar lain serta persistennya di ekosistem perairan (Aljahdali & Alhassan, 2020). Menariknya, kontaminan yang tersuspensi di lingkungan air tawar di perkotaan terbawa arus melalui daerah aliran sungai menuju ekosistem mangrove sebelum akhirnya menuju ke laut. Hal ini tentunya memiliki konsekuensi negative dari keberlangsungan ekosistem mangrove dan menjadi salah satu faktor kegagalan terhadap upaya restorasi kawasan mangrove (Bakshi, Ghosh, Chakraborty, Hazra, & Chaudhuri, 2018).
Dalam beberapa dekade terakhir, wabah hama dan penyakit di hutan mangrove menjadi lebih sering terjadi dengan kehadiran spesies hama yang lebih beragam dan area infeksi yang lebih luas (Lu et al., 2019). Kerusakan terhadap struktur seluler daun yang disebabkan oleh hama dan penyakit dapat menyebabkan perubahan kandungan klorofil yang signifikan (Chen et al., 2018), yang selanjutnya dapat mengancam kondisi kesehatan, produktivtas primer bersih, nutrisi siklus dan aliran energy di ekosistem mangrove (Alongi, 2012; J. Chen et al., 2016; Jenoh et al., 2016).
Salah satu hama perairan yang berasosiasi dengan mangrove adalah teritip (Cirripedia spp.) dari Filum Arthropoda (Ross & Underwood, 1997). Hewan air ini selain ditemukan pada batang bibit mangrove, juga umum ditemukan menempel kuat pada benda – benda yang terendam oleh air laut. Teritip mengalami 2 fase dalam siklus hidupnya, yaitu stadium pertama berbentuk larva yang hidup bebas di dalam air laut, mengikuti arus, dan gelombang air laut. Selanjutnya, stadium dewasa yaitu stadium dimana teritip mencari inang untuk hidup tetap dengan cara menempel dan melekat kuat pada benda atau tanaman yang berada pada ekosistem perairan. Tumbuhan di hutan mangrove adalah salah satu media digunakan untuk digunakan sebagai tempat menempel, karena tumbuhan tersebut dipengaruhi oleh siklus pasang surut air laut.
Hingga saat ini, masih belum terdapat laporan yang mengungkapkan jenis teritip yang menyerang tanaman mangrove di kawasan TAHURA Ngurah Rai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui inventarisasi penempelan teritip pada beberapa klasifikasi (semai, anakan, dan pohon) mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai Bali. Oleh karena itu, pemantauan terhadap kepadatan teritip yang menempel pada mangrove sangat penting dilakukan untuk memahami tingkat serangan teritip serta dapat memfasilitasi deteksi dini (early warning) wabah hama dan meningkatkan upaya konservasi ekosistem mangrove di TAHURA Ngurah Rai, Provinsi Bali.
Studi area dari penelitian ini dilakukan pada kawasan mangrove TAHURA Ngurah Rai Bali pada Bulan Januari – Maret 2022. Pemantauan penempelan teritip dilakukan pada tiga stasiun pengamatan yang melingkupi area kawasan mangrove TAHURA Ngurah Rai Bali. Stasiun 1 adalah blok perlindungan dari aktivitas penduduk/masyarakat sekitar, Stasiun 2 merupakan perbatasan antara blok perlindungan dan blok pemanfaatan dengan aktivitas penduduk sedang (hanya lalu lintas nelayan), dan Stasiun 3 adalah blok pemanfaatan dengan aktivitas penduduk padat seperti adanya Pelabuhan, nelayan, perdagangan ikan dan ekowisata. Peta stasiun pengamatan pada penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta stasiun pengamatan terhadap mangrove di kawasan TAHURA Ngurah Rai Provinsi Bali
-
2.2. Prosedur sampling
Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu pemilihan lokasi berdasarkan perbedaan aktivitas kegiatan masyarakat yang melakukan aktivitas pada lokasi lokasi penelitian. Penghitungan kepadatan teritip, pengambilan sampel kandungan senyawa aktif pada beberapa jenis tanaman, pengukuran kondisi lingkungan akan dilakukan dengan menentukan 3 stasiun yang telah dijelaskan sebelumnya (Gambar 1). Pada masing-masing stasiun, dibuat 3 transek kuadran/plot sebagai ulangan. Ukuran pada masing masing transek adalah 10 × 10 m untuk jenis pohon yang memiliki diameter batang ≥ 10cm, 5 × 5meter untuk jenis anakan tanaman mangrove yang berdiameter batang antara 2 – 10 cm, dan 1 × 1meter untuk jenis semai dengan ukuran diameter batang ≤ 2cm. Jarak antar masing-masing transek plot adalah 10 meter. Skema transek kuadran pada penelitian ini ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Skema transek kuadran yang digunakan pada penelitian ini
-
2.3. Kepadatan dan identifikasi teritip
Kepadatan teritip dihitung pada banyaknya jumlah teritip yang menempel pada tanaman mangrove, kemudian dicatat jenis tanaman yang ditempeli, jenis teritipnya dan jumlah individu teritip yang menempel. Pencatatan pada pengamatan jenis teritip, jenis tanaman dan jumlah individu teritip untuk klasifikasi pohon pada transek 10 × 10 m untuk diameter batang diatas 10cm, klasifikasi anakan pada transek 5 × 5 m untuk tanaman dengan diameter batang antar 2-10 cm, dan klasifikasi semai pada transek 1×1 m untuk tanaman berdiameter batang dibawah 2 cm.
Pengenalan terhadap jenis teritip dilakukan dengan cara in situ, yaitu pengenalan langsung ditempat dengan mengenali jenis jenis fisik dari teritip, kemudian mencatatnya untuk dijadikan bahan Analisa. Identifikasi teritip mengikuti temuan dari beberapa sumber ilmiah (Prabowo & Ardli, 2010; Ruslin, Ramli, & Nurgayah, 2019; Wijayanti, Herbowo, & Darmawan, 2020).
-
2.4. Kualitas air
Pengukuran kualitas air dilakukan pada tiap plot di masing – masing stasiun pengamatan. Parameter kualitas air meliputi kecerahan, kecepatan arus, salinitas, derajat keasaman, dan kandungan oksigen terlarut. Pengukuran kualitas air dilakukan secara in situ dan hasilnya dibandingkan dengan Standar kualitas air mangrove berdasarkan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004.
Berdasarkan hasil pengamatan, secara keseluruhan perbandingan penempelan teritip berdasarkan klasifikasi plot mangrove di TAHURA Ngurah Rai dominasi terjadi pada klasifikasi anakan di seluruh stasiun. Penempelan teritip di stasiun 1 dan stasiun 2 tidak ditemukan pada klasifikasi pohon mangrove, sedangkan penempelan teritip pada klasifikasi pohon ditemukan pada stasiun 3, dengan jenis Amphibalanus sp. sebesar 559 individu dan Saccostrea sp. sebesar 192 individu. Penempelan teritip yang ditemukan pada klasifikasi semai tertinggi di stasiun 1. Secara keseluruhan, penempelan teritip pada klasifikasi anakan di stasiun 1 masing – masing sebesar Amphibalanus sp. (459 individu) dan Saccostrea
sp. (867 individu). Penempelan teritip klasifikasi anakan tertinggi selanjutnya kedua ditemukan pada
stasiun 3 yaitu masing – individu).
masing
sebesar Amphibalanus sp. (881 individu) dan Saccostrea sp. (84
AmphibaIanus sp.
Saccostrea sp.
Amphibalanus sp.
Saccostrea sp.


Gambar 3. Jumlah penempelan teritip pada masing – masing klasifikasi plot mangrove di TAHURA Ngurah Rai, Provinsi Bali
Penempelan teritip terendah ditemukan pada seluruh klasifikasi semai mangrove. Penempelan terendah pada klasifikasi semai ditemukan pada stasiun 2 yaitu sebesar yaitu masing – masing sebesar Amphibalanus sp. (40 individu) dan Saccostrea sp. (5 individu). Penempelan terendah selanjutnya ditemukan pada stasiun 3 yaitu sebesar Amphibalanus sp. (35 individu) dan Saccostrea sp. (8 individu). Penempelan teritip pada klasifikasi semai mangrove ditemukan pada stasiun 1 yaitu masing – masing sebesar Amphibalanus sp. (62 individu) dan Saccostrea sp. (9 individu). Secara keseluruhan, hasil pengamatan penempelan teritip berdasarkan klasifikasi mangrove di TAHURA Ngurah Rai, Bali ditampilkan pada Gambar 3 diatas.
Teritip merupakan hama yang melekat pada batang maupun akar mangrove. Salah satu serangan teritip terjadi pada tanaman mangrove yang ditanam di kawasan mangrove TAHURA Ngurah Rai, Bali. Total penempelan teritip yang ditemukan pada tiga jenis mangrove yang dominan di tanam di kawasan TAHURA Ngurah Rai mengalami variasi di tiap stasiun pengamatan. Penempelan teritip hanya ditemukan pada mangrove spesies R. apiculata dan R. mucronata di seluruh stasiun. Penempelan teritip dominan ditemukan pada klasifikasi semai anakan dan pohon di semua stasiun dengan jumlah tertinggi. Jumlah ini tentunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan penempelan teritip yang ditemukan pada R. mucronata di stasiun 3 tepatnya pada klasifikasi pohon dan anakan yang menapai > 100 individu/m2. Hal menarik ditemukan bahwa tidak ditemukan penempelan teritip pada mangrove S. alba pada penelitian ini. Beberapa dokumentasi penempelan teritip yang berhasil ditemukan pada penelitian ini diampilkan pada Gambar 4 berikut ini.
A B
Gambar 4. Penempelan teritip yang ditemukan pada anakan mangrove (A) dan perakaran pohon mangrove (B) di kawasan TAHURA Ngurah Rai Bali (dokumentasi pribadi)
Hasil penelitian serupa dilaporkan sebelumnya pada pengamatan teritip yang dilakukan pada area rehabilitasi mangrove di Desa Basule, Kabupaten Konawe Utara. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kepadatan penempelan teritip terjadi pada R. mucronata sebesar 12,66 – 17,22 individu/m2 (Noer, Ramli, & Ira, 2021). Penempelan teritip Genus Amphibalanus dan Tertralitella terjadi pada medium mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan didominasi oleh Genus Amphibalanus yang mencapai kepadatan 1644,4 individu/m2 di Perairan Sekotong (Candri, 2022). Perbedaan kepadatan teritip pada ekosistem mangrove dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan seperti salinitas air laut, kedalaman pasang-surut, kerapatan tajuk, hidrografi, serta faktor biotik seperti mekanisme merekat yang dihasilkan oleh protein perekat teritip dan alelokimia yang dihasilkan oleh itu sendiri mangrove (Xiang, Yang, & Lin, 2006).
-
3.2. Kualitas air pada lingkungan mangrove di kawasan TAHURA Ngurah Rai
Pengukuran kualitas perairan mampu menggambarkan kondisi suatu habitat mangrove yang dapat ditinjau melalui sifat fisik dan kimianya. Parameter kandungan oksigen, salinitas, dan ph menunjukkan bahwa habitat lokasi pengamatan relative tidak sesuai untuk menunjang pertumbuhan mangrove, sedangkan kandungan oksigen di seluruh plot di Stasiun 1. Sedangkan parameter suhu masih berada dalam rentang tersebut karena bersifat natural atau menyesuaikan dengan musim (Tabel 1).
Nilai salinitas, pH, dan kandungan oksigen terlarut yang rendah mungkin dapat disebabkan oleh volume limbah padat yang besar yang selanjutnya menyebabkan daerah kawasan mangrove menjadi kotor dan menurunkan estetika, serta menyebabkan polutan yang terakumulasi ke dalam sedimen mangrove. Selain menunjang kehidupan hama moluska seperti teritip, tingkat pencemaran dari limbah dalam perairan mangrove juga mampu mengurangi kelulushidupan bibit mangrove, pendangkalan, mengurangi keanekaragaman hayati dalam ekosistem mangrove dan memburuknya jasa ekosistem (ecosystem services). Investigasi terhadap kualitas air sebagai elemen pendukung sangat membantu dalam menilai keadaan suatu ekosistem. Kualitas air dapat menyampaikan informasi penting kepada public dan otoritas terkait dalam membuat kebijakan dengan menampilkan efek kumulatif dari beberapa parameter kualitas air (Tyagi, Sharma, Singh, & Dobhal, 2020). Unsur hara yang dibawa oleh air adalah zat – zat yang berperan penting dalam kelestarian kehidupan karena digunakan sebagai sumber makanan oleh fitoplankton, organisme nekton, hingga hama seperti teritip. Penurunan salinitas yang disebabkan oleh peningkatan volume air tawar khususnya, menyebabkan hutan mangrove lebih rentan terserang oleh
gangguan antropogenik (Kirwan & Megonigal, 2013). Salinitas diakui sebagai salah satu elemen pengatur ekosistem penting di mangrove karena lokasinya di perbatasan darat – laut (Chen & Wang, 2017).
Tabel 1. Hasil pengukuran kualitas air mangrove TAHURA Ngurah Rai, Bali
No |
Stasiun |
Plot |
Kecerahan air |
Salinitas ppt |
Suhu |
pH |
Kandungan oksigen (mg/l) |
Kecepatan arus (m/s) | |
Invisible |
kedalaman | ||||||||
1 |
I |
1 |
80 |
94 |
30* |
31,3 |
3,8* |
5,9 |
0,2 |
2 |
2 |
86 |
94 |
30* |
31,3 |
3,8* |
6,5 |
0,2 | |
3 |
3 |
87 |
96 |
30* |
31,3 |
3,7* |
6,4 |
0,1 | |
4 |
II |
1 |
75 |
88 |
25* |
30,2 |
3,6* |
4,1* |
0,2 |
5 |
2 |
78 |
90 |
25* |
30,2 |
3,6* |
4,5* |
0,2 | |
6 |
3 |
80 |
95 |
25* |
30,1 |
3,8* |
4,4* |
0,2 | |
7 |
III |
1 |
74 |
99 |
30* |
31,1 |
3,8* |
3,5* |
0,5 |
8 |
2 |
70 |
85 |
30* |
30,8 |
3,6* |
3,3* |
0,3 | |
9 |
3 |
72 |
85 |
30* |
30,7 |
3,6* |
3,7* |
0,2 |
Catatan: Standar kualitas air mangrove berdasarkan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 (Suhu = Natural; pH = 7-8.5; Kandungan oksigen = >5 mg/l; Salinitas = 34 ppt). Tanda * pada angka menunjukkan kualitas air pada plot pengamatan yang di bawah standar ketentuan.
Penurunan nilai pH juga dapat diakibatkan oleh tingginya kandungan logam berat di lingkungan mangrove. Di sisi lain, tingkat keasaman mempengaruhi toksisitas logam berat dan mengganggu aktivitas fotosintesis, suhu, salinitas, hingga fisiologis biota perairan (Indawan, Indri Hapsari, Ahmadi, & Noorvy Khaerudin, 2017). Begitu pula dengan penurunan oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh tinggi psang surut, intensitas sinar matahari, dan jarak dari tepi luar hutan mangrove. Tingkat oksigen terlarut yang rendah ditambah dengan ditemukannya kepadatan teritip yang tinggi juga dapat memungkinkan bahwa organisme ini lebih banyak menginvasi ekosistem mangrove dan memanfaatkan oksigen yang tersedia dibandingkan dengan oleh ikan dan nekton lainnya.
Secara keseluruhan, total penempelan teritip tidak ditemukan pada mangrove berjenis S. alba pada seluruh klasifikasi disemua stasiun pengamatan. Namun, penempelan teritip ditemukan pada R. mucronata dan R. apiculata. Parameter kualitas air seperti salinitas, derajat keasaman (pH) dan kandungan oksigen terlarut pada seluruh stasiun pengamatan masih di bawah standar yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004. Penelitian ini merupakan yang pertama kali melaporkan kepadatan hama teritip di kawasan TAHURA Ngurah Rai Bali. Penelitian mengenai polutan lainnya seperti plastic dan mikroplastik, kepadatan biota akuatik, logam berat, dan sebagainya juga harus diselidiki untuk penelitian selanjutnya. Penelitian ini tentunya menjadi informasi awal bahwa kegagalan upaya pelestarian hutan mangrove dapat terancam oleh keberadaan teritip.
Daftar Pustaka
Aljahdali, M. O., & Alhassan, A. B. (2020). Ecological risk assessment of heavy metal contamination in mangrove habitats, using biochemical markers and pollution indices: A case study of Avicennia marina L. in the Rabigh lagoon, Red Sea. Saudi Journal of Biological Sciences, 27(4), 1174–1184. https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2020.02.004
Alongi, D. M. (2012). Carbon sequestration in mangrove forests. Carbon Management, 3(3), 313–322. https://doi.org/10.4155/cmt.12.20
Audah, K. A., Ettin, J., Darmadi, J., Azizah, N. N., Anisa, A. S., Hermawan, T. D. F., … Batubara, I.
(2022). Indonesian Mangrove Sonneratia caseolaris Leaves Ethanol Extract Is a Potential Super Antioxidant and Anti Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Drug. Molecules, 27(23), 8369. https://doi.org/10.3390/molecules27238369
Bakshi, M., Ghosh, S., Chakraborty, D., Hazra, S., & Chaudhuri, P. (2018). Assessment of potentially toxic metal (PTM) pollution in mangrove habitats using biochemical markers: A case study on Avicennia officinalis L. in and around Sundarban, India. Marine Pollution Bulletin, 133, 157–172. https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2018.05.030
Bibi Sadeer, N., Sinan, K. I., Cziáky, Z., Jekő, J., Zengin, G., Jeewon, R., … Fawzi Mahomoodally, M. (2020). Assessment of the Pharmacological Properties and Phytochemical Profile of Bruguiera gymnorhiza (L.) Lam Using In Vitro Studies, In Silico Docking, and Multivariate Analysis. Biomolecules, 10(5), 731. https://doi.org/10.3390/biom10050731
Candri, D. A. (2022). Keanekaragaman Teritip pada Tiga Ekosistem (Hutan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang) di Perairan Sekotong. SJBIOS, 1(1).
Chen, J., Shen, Z.-J., Lu, W.-Z., Liu, X., Wu, F.-H., Gao, G.-F., … Zheng, H.-L. (2016). Leaf miner-induced morphological, physiological and molecular changes in mangrove plant Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Tree Physiology. https://doi.org/10.1093/treephys/tpw097
Chen, L., & Wang, W. (2017). Ecophysiological Responses of Viviparous Mangrove Rhizophora stylosa Seedlings to Simulated Sea-Level Rise. Journal of Coastal Research, 336, 1333–1340.
https://doi.org/10.2112/JCOASTRES-D-16-00131.1
Chen, T., Zeng, R., Guo, W., Hou, X., Lan, Y., & Zhang, L. (2018). Detection of Stress in Cotton (Gossypium hirsutum L.) Caused by Aphids Using Leaf Level Hyperspectral Measurements. Sensors, 18(9), 2798. https://doi.org/10.3390/s18092798
Chen, Z. L., & Lee, S. Y. (2022). Tidal Flats as a Significant Carbon Reservoir in Global Coastal Ecosystems. Frontiers in Marine Science, 9. https://doi.org/10.3389/fmars.2022.900896
Indawan, E., Indri Hapsari, R., Ahmadi, K., & Noorvy Khaerudin, D. (2017). Quality assessment of mangrove growing environment in Pasuruan of East Java. Journal of Degraded and Mining Lands Management, 04(03), 815–819. https://doi.org/10.15243/jdmlm.2017.043.815
Jenoh, E. M., Robert, E. M. R., Lehmann, I., Kioko, E., Bosire, J. O., Ngisiange, N., … Koedam, N. (2016). Wide Ranging Insect Infestation of the Pioneer Mangrove Sonneratia alba by Two Insect Species along the Kenyan Coast. PLOS ONE, 11(5), e0154849.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0154849
Kirwan, M. L., & Megonigal, J. P. (2013). Tidal wetland stability in the face of human impacts and sealevel rise. Nature, 504(7478), 53–60. https://doi.org/10.1038/nature12856
Lovelock, C. E., & Reef, R. (2020). Variable Impacts of Climate Change on Blue Carbon. One Earth, 3(2), 195–211. https://doi.org/10.1016/j.oneear.2020.07.010
Lu, W., Xiao, J., Cui, X., Xu, F., Lin, G., & Lin, G. (2019). Insect outbreaks have transient effects on carbon fluxes and vegetative growth but longer-term impacts on reproductive growth in a mangrove forest. Agricultural and Forest Meteorology, 279, 107747.
https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2019.107747
Malik, A., Fensholt, R., & Mertz, O. (2015). Economic Valuation of Mangroves for Comparison with Commercial Aquaculture in South Sulawesi, Indonesia. Forests, 6(12), 3028–3044.
https://doi.org/10.3390/f6093028
Nabeelah Bibi, Fawzi, Gokhan, Rajesh, Nadeem, Kannan R.R., … Pandian. (2019). Ethnopharmacology, Phytochemistry, and Global Distribution of Mangroves―A Comprehensive Review. Marine Drugs, 17(4), 231. https://doi.org/10.3390/md17040231
Niagara, N., Yusuf, M., & Muhammad, F. (2021). The Characteristics of Mangrove Species Are Based on Water Conditions in Karimunjawa Nasional Park. E3S Web of Conferences, 317, 04034. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202131704034
Noer, F., Ramli, M., & Ira, . (2021). Penempelan teritip amphibalanus amphitrite pada semai mangrove rhizopora mucronata di area rehabilitasi mangrove Desa Basule Kabupaten Konawe Utara. Jurnal Sapa Laut (Jurnal Ilmu Kelautan), 6(3), 193. https://doi.org/10.33772/jsl.v6i3.20986
Prabowo, R. E., & Ardli, E. R. (2010). Inventarisasi Teritip Non-Indigenous yang Menempel pada Ocean Going Vessel di Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Biosfera, 27(2), 73.
https://doi.org/10.20884/1.mib.2010.27.2.195
Priosambodo, D., Juhriah, Alam, M., Al-Anshari, M., & Putra, A. W. (2019). Species composition and structure of mangrove in Tamo Rocky Cliff Beach Majene (West Sulawesi, Indonesia). Journal of Physics: Conference Series, 1341(2), 022021. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1341/2/022021
Ross, P. M., & Underwood, A. J. (1997). The distribution and abundance of barnacles in a mangrove forest. Austral Ecology, 22(1), 37–47. https://doi.org/10.1111/j.1442-9993.1997.tb00639.x
Ruslin, M., Ramli, M., & Nurgayah, W. (2019). Kepadatan dan pola distribusi saccostrea cucullata di Perairan Teluk Kendari. Jurnal Sapa Laut (Jurnal Ilmu Kelautan), 4(3), 135.
https://doi.org/10.33772/jsl.v4i3.8778
Sachithanandam, V., Lalitha, P., Parthiban, A., Mageswaran, T., Manmadhan, K., & Sridhar, R. (2019). A Review on Antidiabetic Properties of Indian Mangrove Plants with Reference to Island Ecosystem. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2019, 1–21.
https://doi.org/10.1155/2019/4305148
Shearman, P. L. (2010). Recent Change in the Extent of Mangroves in the Northern Gulf of Papua, Papua New Guinea. AMBIO, 39(2), 181–189. https://doi.org/10.1007/s13280-010-0025-4
Taylor, M. D., Gaston, T. F., & Raoult, V. (2018). The economic value of fisheries harvest supported by saltmarsh and mangrove productivity in two Australian estuaries. Ecological Indicators, 84, 701– 709. https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2017.08.044
Tyagi, S., Sharma, B., Singh, P., & Dobhal, R. (2020). Water Quality Assessment in Terms of Water Quality Index. American Journal of Water Resources, 1(3), 34–38. https://doi.org/10.12691/ajwr-1-3-3
Wijayanti, H., Herbowo, D. G., & Darmawan, A. (2020). Keberadaan hewan pengotor teritip di infrastruktur teluk kunyit, pantai sariringgung dan pantai mutun, lampung. Jurnal Biologi Tropis, 20(1), 54–58. https://doi.org/10.29303/jbt.v20i1.1540
Xiang, P., Yang, Z., & Lin, P. (2006). Barnacle damage and its control in young mangrove plantations: A research review. Ying Yong Sheng Tai Xue Bao = The Journal of Applied Ecology, 17(8), 1526– 1529. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17066716
9
Discussion and feedback