JURNAL BIOLOGI UDAYANA

P-ISSN: 1410-5292 E-ISSN: 2599-2856

Volume 27 | Nomor 1 | Juni 2023

DOI: https://doi.org/10.24843/JBIOUNUD.2023.v27.i01.p05

Keragaman kelelawar (Chiroptera) dan karakteristik lokasi bertenggernya di ekosistem gua lava, Gua Lawa dan Lorong Kereta

Cave-dwelling bat diversity and roosting site characteristic in lava cave ecosystem, Lawa and Lorong Kereta Cave

Sufraha Islamia1*, Dwinda M Putri2

  • 1)    Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada

Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia

  • 2)    Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan. Badan Riset dan Inovasi Nasional

Jl. Ir. H. Juanda No 13. Kota Bogor, Jawa Barat. 16122

*Email: [email protected]

Diterima

2 Juni 2022


INTISARI

Disetujui

1 Maret 2023


Kelelawar menempati berbagai habitat sebagai lokasi bertenggernya, salah satu lokasi potensial adalah gua lava (lava tube). Gua merupakan ekosistem yang memiliki faktor lingkungan spesifik namun rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas manusia. Perubahan lingkungan yang terjadi di dalam gua berpotensi mengganggu aktivitas bertengger kelelawar di dalam gua, sehingga dapat menyebabkan penurunan populasi kelelawar. Ekosistem gua lava digunakan sebagai lokasi bertengger oleh kelelawar namun masih sedikit informasi mengenai keragaman kelelawar dan faktor lingkungan gua yang berpengaruh terhadap keragamannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan kelimpahan kelelawar dan hubungannya dengan faktor lingkungan. Pencuplikan kelelawar dilakukan melalui pemasangan jaring kabut di depan pintu masuk gua untuk mendapatkan data kelimpahan dan kekayaan spesies kelelawar. Kekayaan spesies dan indeks diversitas dianalisis menggunakan program SpadeR (Species-Richness Prediction and Diversity Estimation with R), sedangkan analisis hubungan antara faktor lingkungan terhadap keragaman kelelawar dianalisis menggunakan korelasi Spearman menggunakan Rstudio 4.1.1. Kelelawar yang didapatkan merupakan kelelawar pemakan serangga yang terdiri dari tiga famili (Vespertilinoidae, Rhinolophidae, dan Hipposideridae). Jumlah spesies yang didapatkan sebanyak tujuh spesies dengan total 121 individu tertangkap, yaitu Miniopterus austalis, Rhinolophus affinis, R. pusillus, R. canuti, Hipposideros ater, H. diadema, dan H. larvatus. Kelembapan adalah faktor lingkungan yang berkorelasi positif signifikan (p<0.01) terhadap kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar di ekosistem gua lava. Keragaman kelelawar di ekosistem gua lava yang relatif tinggi (H’=1.4±0.1, H’=1.2±0.1), menandakan bahwa lingkungan gua masih menjadi pilihan kelelawar sebagai lokasi bertengger, meskipun kedua gua di dalam ekosistem ini mengalami gangguan berupa kunjungan manusia akibat kegiatan wisata.

Kata kunci: gua wisata, kekayaan spesies kelelawar, kelimpahan kelelawar, lava tube

ABSTRACT

Bats occupy various habitats as their roosting sites, and cave is one of the potential habitat for their roosting site. Caves ecosystems have specific environmental parameters but are vulnerable to anthropogenic activities. Bat population continues to decline because of cave's damages eliminate its potential as bat roosting location. The diversity of bats in the lava cave ecosystem and the influence of environmental parameters on the presence of bats are not yet studied. Therefore, this study aims to determine the diversity of bats and the relationship of environmental factors to species richness and abundance of bats in the lava cave ecosystem. The installation of mist nets in front of the cave entrance was carried out to obtain data on bats' abundance and

species richness. Species richness and diversity index were analyzed using SpadeR (SpeciesRichness Prediction and Diversity Estimation with R) program, while the influence of environmental factors on bat diversity was analyzed using Spearman correlation at Rstudio 4.1.1. Bats recorded in this study belongs to three family (Vespertilinoidae, Rhinolophidae, and Hipposideridae). There were seven species with the total abundance of 121 bats, namely Miniopterus austalis, Rhinolophus affinis, R. pusillus, R. canuti, Hipposideros ater, H. diadema, and H. larvatus. Humidity is positively correlated with species richness and abundance of bats in the lava cave ecosystem (p<0.01). The high diversity of bats in the lava cave ecosystem indicates that the cave environment is suitable for bats needed as a roosting location, despite the two caves in this ecosystem are experiencing disturbances from human visits due to tourism activities.

Keywords: bat species richness, bat abundance, cave tourism, lava tube

PENDAHULUAN

Kelelawar memiliki fungsi penting dalam ekosistem, yaitu menyediakan jasa lingkungan bagi manusia. Kelelawar pemakan buah atau Megachiroptera berfungsi sebagai penyebar biji dan polinator, sedangkan kelelawar pemakan serangga atau Microchiroptera berfungsi sebagai pengendali populasi serangga (Hutson et al., 2001). Oleh karena itu, kehadiran kelelawar berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem suatu kawasan (Wiantoro, 2012).

Kelelawar hidup pada berbagai macam tipe habitat yaitu hutan dengan kanopi pohon yang tinggi, perkebunan, dan gua (Medellín et al., 2000). Preferensi habitat yang dipilih oleh kelelawar adalah berdasarkan struktur fisik, iklim mikro, ketersediaan pakan dan sumber air (Wijayanti & Maryanto, 2017a). Salah satu habitat yang banyak dihuni oleh kelelawar adalah gua (Kunz et al., 2011). Gua memiliki karakter spesifik, yaitu terbatasnya cahaya, suhu yang stabil, dan kelembaban yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Kondisi spesifik ini menyebabkan organisme penghuni gua sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan (Voigt & Kingston, 2015).

Salah satu faktor penentu keberadaan kelelawar di dalam gua adalah kondisi iklim mikro (Furey et al., 2010). Kelembapan, suhu, cahaya, air, kadar oksigen dan karbondioksida, serta aliran udara merupakan iklim mikro gua yang berpengaruh terhadap komposisi jenis kelelawar yang bertengger di dalamnya (Baudinette et al., 2000; Luo et al., 2013). Lebih lanjut, iklim mikro gua yang dihuni dengan gua yang tidak dihuni kelelawar memiliki perbedaan karakteristik (Quibod et al., 2019; Torquetti et al., 2017). Gua yang dihuni kelelawar umumnya memiliki temperatur dan kelembaban lebih tinggi dibandingkan dengan gua yang tidak dihuni kelelawar (Arita, 1996; Torquetti et al., 2017).

Berdasarkan letak dan batuan pembentuknya, gua dapat dibedakan menjadi gua karst, gua es, gua pasir, gua lava dan lain-lain (Wijayanti, 2011). Gua lava adalah gua yang tersusun oleh batuan beku vulkanik hasil aktivitas lelehan lava yang akhirnya membentuk lava tube atau lorong lava. Gua yang terbentuk oleh lelehan lava hanya dapat ditemukan di sekitar gunung vulkanik yang aktif, yaitu di Gua kawasan Gunung Batur, Bali dan kawasan Gua Lawa, Purbalingga (Maryanto, 2016). Kawasan Gua Lawa, Purbalingga terdiri dari 2 gua yaitu Gua Lawa dan Gua Lorong Kereta. Kedua gua ini merupakan salah satu kawasan gua yang terbentuk akibat aliran lava hasil aktivitas Gunung Slamet. Gua Lawa dimanfaatkan sebagai lokasi pariwisata pengunjung umum, sedangkan Gua Lorong Kereta dimanfaatkan sebagai lokasi pariwisata pengunjung minat khusus (Kamil & Pertiwi, 2013). Selain adanya aktivitas pengunjung, lingkungan fisik ekosistem Gua Lawa juga mengalami perubahan dari keadaan aslinya akibat pembangunan sarana penunjang pariwisata, berbeda dengan Gua Lorong Kereta yang dibiarkan alami.

Penelitian mengenai keragaman kelelawar banyak dilaksanakan di kawasan karst (Asriadi, 2010; Wiantoro, 2012; Wijayanti & Maryanto, 2017); namun penelitian mengenai biota gua di ekosistem gua lava belum pernah dilakukan. Lebih lanjut, data keragaman kelelawar dan karakteristik lokasi bertengger kelelawar penting untuk diketahui mengingat fungsi gua yang digunakan sebagai lokasi bertengger kelelawar saat ini dimanfaatkan sebagai lokasi wisata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman kelelawar ordo Chiroptera pada ekosistem gua lava, serta mengetahui korelasi parameter lingkungan terhadap keragaman kelelawar di ekosistem gua lava.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada April-Juni 2016 di Gua Lawa dan Gua Lorong Kereta, Purbalingga, Jawa Tengah. Gua Lawa terletak pada koordinat geografis 109°31’08.51” BT dan 07°23’09.20” LS, dengan elevasi ketinggian 953 m dpl, sedangkan Gua Lorong Kereta terletak pada koordinat 109°19’03.47”BT dan 07°13’56.2”LS dengan ketinggian 948 m dpl, dan ditumbuhi oleh tanaman paku-pakuan serta semak pada bagian mulut gua. Gua Lawa dan Gua Lorong Kereta memiliki bentuk lorong yang kompleks, karena ditemukan banyak percabangan lorong dan saling tumpang tindih antar satu lorong dengan yang lain. Gua Lawa dengan panjang 1190 m digunakan sebagai tempat wisata umum, sedangkan Gua Lorong Kereta dengan panjang 311 m dan menjadi tempat wisata minat khusus. Gua Lorong Kereta dimanfaatkan sebagai Gua wisata minat khusus karena kondisi gua yang masih alami dan tingkat kesulitannya lebih tinggi daripada Gua Lawa (Kamil & Pertiwi, 2013).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di kawasan wisata Gua Lawa, Purbalingga, Jawa Tengah

Bahan dan alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring kabut (mist net) dengan panjang 12 x 3 m, tali rafia, Global Positioning System (GPS), kantong blacu 40 x 30 cm, kantong plastik, head lamp, kaca pembesar, kamera, sarung tangan, masker, jangka sorong digital krisbow, thermo-hygrometer HTC-1, lux

meter Lutron LX-113S , nampan, syringe 3 ml, kertas label kalkir, benang, alat tulis dan penggaris. Bahan yang digunakan adalah kelelawar, kapas, alkohol 70%, kloroform, dan formalin 10%.

Metode

Data keragaman kelelawar diambil menggunakan perangkap jaring kabut yang dipasang di depan mulut gua (cave entrance). Pemasangan jaring kabut dilakukan pada pukul 16.00-17.00 WIB sebelum matahari terbenam (Kunz, 1988). Pengambilan kelelawar yang terperangkap di jaring kabut dilakukan pukul 18.00-21.00 WIB. Kelelawar yang terjerat pada mist net selanjutnya dilepaskan dari jaring dan dimasukkan ke dalam kantung blacu kemudian diberi keterangan waktu sesuai pencuplikan kelelawar. Estimasi perhitungan kelimpahan kelelawar dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan, dihitung berdasarkan kelelawar yang tertangkap di mist net pada setiap pengambilan sampel. Identifikasi kelelawar dilakukan menggunakan buku identifikasi kelelawar di Indonesia, Suyanto (2001). Pengukuran ukuran tubuh dan morfologi kelelawar diukur dari telinga, panjang total tubuh kelelawar, lengan bawah, tibia, telapak kaki, dan ekor. Kelelawar yang memerlukan identifikasi lanjutan, diambil sebagai spesimen dengan cara diawetkan menggunakan alkohol dan formalin 10%, untuk di identifikasi berdasarkan bentuk tengkoraknya (Suyanto, 2001). Pengukuran parameter lingkungan gua dilakukan dengan menggunakan termohygrometer untuk pengukuran temperatur dan kelembapan, serta lux meter untuk mengukur intensitas cahaya.

Gambar 2. Peta Pemasangan mist net pada mulut gua ditandai dengan nomor 1. (A) Gua Lawa, (B) Gua Lorong Kereta. Skala 1:250. Sumber peta: Kamil dan Pertiwi (2015).

Analisis data

Keragaman kelelawar dianalisis melalui data kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar di masing-masing gua. Data kekayaan spesies kelelawar

diestimasi menggunakan abundance-based coverage estimator (ACE) berdasarkan data komposisi spesies kelelawar di masing-masing gua (Chao & Lee, 1992), sedangkan indeks Shannon entropy untuk diversitas kelelawar diestimasi menggunakan estimator Chao and Shen (Chao & Shen, 2003). Kemiripan komposisi spesies di kedua gua dianalisis menggunakan indeks Morisita-Horn untuk mengetahui perbedaan komposisi yang didapatkan. Ketiga analisis ini dilakukan menggunakan program SpadeR (Species-Richness Prediction and Diversity Estimation with R) (Chao et al., 2016). Korelasi antara faktor lingkungan dengan kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar di ekosistem gua lava dianalisis menggunakan korelasi Spearman. Analisis korelasi dilakukan menggunakan program R Studio 4.1.1 (R Core Team, 2021).

HASIL

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan tujuh spesies kelelawar Microchiroptera yang terdiri dari 3 famili dengan kelimpahan sejumlah121 individu kelelawar yang tertangkap (Tabel 1). Spesies kelelawar yang didapatkan didominasi oleh spesies dari famili Rhinolophidae, yaitu Rhinolophus affinis (42.14%). Spesies yang paling sedikit ditemukan adalah Rhinolophus canuti 0.82%. Spesies Miniopterus australis hanya ditemukan di Gua Lawa, sedangkan R. canuti dan Hipposideros ater hanya ditemukan di Gua Lorong Kereta (Gambar 3).

Estimasi kekayaan spesies dan indeks diversitas di kedua gua menunjukkan bahwa Gua Lorong Kereta (S=6.5±1.2, H’=1.4±0.1) memiliki nilai lebih tinggi dibanding Gua Lawa (S=5.0±0.5, H’=1.2±0.1) (Gambar 4). Tingkat kemiripan komposisi spesies di antara kedua gua sebesar 0.99.

Hasil pengukuran parameter abiotik pada Gua Lawa dan Gua Lorong Kereta menunjukkan tidak ada perbedaan yang besar di kedua gua tersebut (Tabel 2). Hasil uji korelasi Spearman antara kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar dengan faktor lingkungan gua menunjukkan korelasi signifikan positif dengan tingkat kepercayaan 95% antara kelembapan dengan kekayaan spesies (R=0.97, p=0.01) dan kelimpahan kelelawar (R=0.99, p<0.01) (Tabel 3).

Tabel 1. Spesies kelelawar Microchiroptera yang dijumpai pada Gua Lawa dan Gua Lorong Kereta

No

Famili

Spesies

Kelimpahan individu kelelawar

Gua Lawa

Gua Lorong Kereta

1

Vespertiliniodae

Miniopterus australis

2

-

2

Rhinolophidae

Rhinolophus affinis

24

27

Rhinolophus pussilus

20

21

Rhinolophus canuti

-

1

3

Hipposideridae

Hipposideros diadema

2

4

Hipposideros larvatus

4

10

Hipposideros atter

-

6

Gambar 3. Spesies dan kelimpahan kelelawar di ekosistem gua lava, kawasan Gua Lawa

Gambar 4. Estimasi kekayaan spesies dan diversitas kelelawar di ekosistem gua lava, kawasan Gua Lawa

Tabel 2. Hasil rerata pengukuran dan standar deviasi parameter abiotik di Gua Lawa dan Gua Lorong Kereta.

Gua

Suhu (°C)

Kelembapan (%)

Intensitas Cahaya (klux/m)

Lawa

22±0.82

93.25±0.71

0.02±0.008

Lorong Kereta

22.5±0.42

94.75±0.93

0.01±0.008

Tabel 3. Hasil korelasi Spearman antara kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar dengan faktor lingkungan gua. Hasil signifikan pada p<0.001 ditandai dengan ***, p<0.01 ditandai dengan **

Faktor lingkungan    Kekayaan spesies kelelawar Kelimpahan kelelawar

gua

R

S

p

R

S

p

Suhu

0.77

7.95

0.36

0.72

9.92

0.38

Kelembapan

0.97

1.01

0.01**

0.99

0.50

0.001***

Intensitas cahaya

-0.67

58.33

0.38

-0.82

63.73

0.32

R: rho, S: Spearman , p: nilai probabilitas.

PEMBAHASAN

Empat spesies kelelawar yang ditemukan pada penelitian ini adalah penemuan baru yang belum tercatat di ekosistem Gua Lawa sesuai dengan laporan oleh Kamil & Pertiwi (2015) yaitu, Miniopterus australis, dan semua kelelawar yang ditemukan merupakan kelelawar insektivor, didominasi oleh famili Rhinolophidae dan Hipposideridae dengan jumlah tiga spesies pada masing-masing famili. Beberapa laporan menyebutkan bahwa kelelawar Microhiroptera dari famili Rhinolophidae, Hipposideridae dan Vespertilinoidae merupakan yang paling umum ditemukan di dalam gua (Wijayanti & Maryono, 2017; Quibod et al. 2019). Spesies yang ditemukan didominasi oleh spesies dari famili Rhinolophidae, terutama Rhinolopus affinis. Spesies ini juga dilaporkan oleh Niu et al., (2007) sebagai spesies yang paling melimpah dan umum ditemukan di gua-gua karst di China. Spesies ini memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih tinggi dibanding spesies lainnya sehingga dapat ditemukan di dalam gua yang memiliki disturbansi dan lokasi bertengger yang lebih bervariasi (Sedlock et al., 2014). Selain R. affinis, R. pusillus juga ditemukan paling melimpah di kedua gua. Spesies ini juga banyak ditemukan persebarannya di kawasan karst Gunung Sewu (Margiyanti, 2020). Kedua spesies ini ditemukan dalam jumlah yang melimpah di kedua gua kemungkinan disebabkan kesesuaian lingkungan gua mendukung kebutuhan hidup mereka meskipun gua memiliki disturbansi akibat kegiatan wisata, seperti yang dilaporkan Sia et al., (2015) yang menyatakan bahwa populasi R. affinis dapat bertahan hidup di gua wisata yang mudah diakses oleh manusia.

Rhinolophus canuti merupakan spesies kelelawar yang saat ini berstatus rentan (vulnerable) khususnya Jawa dan Bali, sedangkan enam spesies sisanya dikategorikan sebagai “least concern” sesuai klasifikasi IUCN Red List (IUCN, 2021). Spesies R. canuti adalah spesies obligat yang hanya ditemukan bertengger di gua, terutama gua di kawasan karst dan tidak ditemukan bertengger di habitat lainnya (Sagot & Chaverri, 2015). Penurunan populasi R. canuti setiap tahunnya disebabkan kerusakan gua akibat aktivitas manusia berupa kegiatan pertambangan dan wisata di dalam gua. Indikasi ketersediaan pakan yang masih melimpah di sekitar gua diduga menyebabkan lebih banyak ditemukannya kelelawar pemakan serangga dibanding kelelawar pemakan buah dalam penelitian ini. Wijayanti (2011) melaporkan beberapa spesies kelelawar yang juga ditemukan dalam penelitian ini dapat mengonsumsi lebih dari satu famili serangga, yaitu H. diadema dan R. affinis yang dapat mengonsumsi lebih dari lima famili serangga, dan M. australis yang mampu mengonsumsi hingga enam famili serangga. Kemampuan konsumsi serangga dalam jumlah besar oleh kelelawar berkontribusi besar dalam mengurangi penggunaan pestisida di kawasan pertanian (Clements et al., 2006).

Kekayaan spesies dan indeks diversitas lebih tinggi ditemukan di Gua Lorong Kereta. Dibanding Gua Lawa, Gua Lorong Kereta mengalami gangguan yang lebih minim. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Luo et al., (2013) yang menyatakan bahwa gua yang tidak mengalami banyak gangguan mendukung lebih banyak spesies kelelawar yang bertengger di dalamnya. Tingginya keragaman kelelawar dalam suatu gua menurut Deleva & Chaverri, (2018); Phelps et al., (2016); Wijayanti & Maryanto, (2017) disebabkan faktor-faktor pendukung kehidupan kelelawar berupa faktor abiotik yaitu, suhu, kelembaban, dan struktur fisik pada gua tersebut lebih mendukung perkembangan populasi kelelawar. Selain itu, lebih minimnya gangguan aktivitas manusia di dalam Gua Lorong Kereta turut mengurangi kebisingan. Tingginya aktivitas manusia dari kegiatan wisata berpengaruh terhadap fluktuasi peningkatan suhu, kelembapan, dan tingkat karbondioksida di dalam gua (Arita, 1996; Song et al., 2000; Zhang et al., 2009). Perubahan struktur fisik gua akibat pembangunan fasilitas wisata di dalam gua juga berpengaruh terhadap gangguan yang muncul pada lokasi bertengger kelelawar (Zhang et al., 2009; Quibod et al., 2019). Menurut Altringham, (1996) kondisi gua yang jauh dari kebisingan, dan faktor lingkungan yang stabil lebih sesuai sebagai tempat beristirahat dan bereproduksi kelelawar.

Kelembapan berkorelasi positif signifikan dengan kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar di ekosistem gua lava. Kelembapan yang tinggi juga berpengaruh terhadap pemilihan lokasi bertengger bagi kelelawar gua. Menurut Baudinette et al., (2000) gua dengan kelembapan tinggi membantu menjaga kelelawar yang memiliki membran sayap yang tipis dari kekeringan. Hal ini menyebabkan kelelawar yang memiliki membran sayap yang lebih tipis, terutama Microchiroptera, lebih memilih bertengger di gua dengan kelembapan tinggi. Tingkat kelembapan yang tinggi di dalam gua disebabkan oleh porositas air pada dinding dan atap gua, serta adanya aliran air di dalam gua (Barros et al., 2020; Rajasegaran et al., 2018; Wijayanti & Maryanto, 2017). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh (Phelps et al., 2016) yang menyatakan bahwa beberapa spesies dari genus Rhinolophus, dan H. diadema, yang ditemukan di gua-gua kawasan karst Pulau Bohol, Filipina, berkorelasi positif dengan peningkatan suhu dan kelembapan.

Keberadaan ekosistem gua lava di Purbalingga sangat penting sebagai lokasi bertengger kelelawar dilihat dari keragaman kelelawar yang ditemukan di kawasan ini. Beberapa penelitian keragaman kelelawar yang sudah dilaksanakan sebelumnya, melaporkan ditemukannya enam spesies kelelawar di ekosistem karst Ciampea (Ikranegara et al., 2015), enam spesies kelelawar di ekosistem karst Gunung Kendeng (Tamasuki et al., 2016), dan 11 spesies kelelawar di kawasan karst Gombong Selatan (Asriadi, 2010). Meskipun data keragaman kelelawar pada penelitian ini berada di ekosistem gua lava, hasil keragamannya relatif tinggi jika dibandingkan dengan beberapa penelitian keragaman kelelawar sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa gua-gua di ekosistem gua lava memiliki potensi sebagai lokasi bertengger yang sesuai dan dipilih oleh kelelawar untuk melakukan siklus hidupnya.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman kelelawar di ekosistem gua lava relatif tinggi dengan ditemukannya tujuh spesies kelelawar pemakan serangga, yaitu Rhinolophus canuti, R. affinis, R. pusilus, Hipposideros ater, H. larvatus, H. diadema, dan Miniopterus australis. Satu diantaranya berstatus rentan yaitu Rhinolophus canuti. Empat dari tujuh spesies yang ditemukan

merupakan penemuan baru di ekosistem gua lava, kawasan Gua Lawa. Parameter lingkungan yang memiliki korelasi signifikan positif terhadap kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar di dalam gua adalah kelembaban udara (p<0.01). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kekayaan spesies dan kelimpahan kelelawar di dalam gua berkorelasi dengan kelembapan yang semakin tinggi. Kelembaban udara sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia di dalam gua, untuk itu perlu dilakukan upaya konservasi gua dan pembatasan jumlah wisatawan gua agar kekayaan spesies kelelawar di gua tidak mengalami penurunan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pariwisata Purbalingga yang sudah mengizinkan penulis untuk bisa melaksanakan penelitian dengan baik, kepada pengelola kawasan wisata Gua Lawa, dan Bapak Sigit Wiantoro, M.Sc selaku peneliti ahli di bidang taksonomi dan ekologi kelelawar yang sudah membantu identifikasi dan verifikasi spesies kelelawar yang penulis dapatkan.

KEPUSTAKAAN

Altringham JD. 1996. Bats. Biology and Behaviour. Oxford University: New York

Arita HT. 1996. The conservation of cave-roosting bats in Yucatan, Mexico. Biological Conservation 76(2): 177–185. DOI: 10.1016/0006-3207(95)00105-0

Asriadi A. 2010. Kelimpahan, Sebaran Dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolahan Berbeda Di Kawasan Karsat Gombong Jawa Tengah.

Barros J de S, Bernard E, Ferreira RL. 2020. Ecological preferences of neotropical cave bats in roost site selection and their implications for conservation. Basic and Applied Ecology 45: 31–41. DOI: 10.1016/j.baae.2020.03.007

Baudinette R V., Churchill SK, Christian KA, Nelson JE, Hudson PJ. 2000. Energy, water balance and the roost microenvironment in three Australian cave-dwelling bats (Microchiroptera). Journal of Comparative Physiology - B Biochemical, Systemic, and Environmental Physiology 170(56): 439–446. DOI: 10.1007/s003600000121

Chao A, Lee SM. 1992. Estimating the number of classes via sample coverage. Journal of the American Statistical Association      87(417):      210–217. DOI:

10.1080/01621459.1992.10475194

Chao A, Ma KH, Hsieh TC, Chiu CH. 2016. A brief introduction to Spader (R package): speciesrichness prediction and diversity estimation. 26: 1–7

Chao A, Shen TJ. 2003. Nonparametric estimation of Shannon’s index of diversity when there are unseen species in sample. Environmental and Ecological Statistics 10(4): 429–443. DOI: 10.1023/A:1026096204727

Clements R, Sodhi NS, Schilthuizen M, Ng PKL. 2006. Limestone karsts of southeast Asia: Imperiled arks of biodiversity. BioScience 56(9): 733–742. DOI: 10.1641/0006-3568(2006)56[733:LKOSAI]2.0.CO;2

Deleva S, Chaverri G. 2018. Diversity and conservation of cave-dwelling bats in the Brunca region of Costa Rica. Diversity 10(2). DOI: 10.3390/D10020043

Furey NM, Mackie IJ, Racey PA. 2010. Bat diversity in Vietnamese limestone karst areas and the implications of forest degradation. Biodiversity and Conservation 19(7): 1821–1838. DOI: 10.1007/s10531-010-9806-0

Hutson AM, Mickleburgh SP, Racey PA. 2001. Michrochiropteran Bats: Global Status Survey and Conservation Action Plan. Oryx. DOI: 10.1046/j.1365-3008.2001.0210d.x

Ikranegara RDF, Pamungkas RP, Hasanah U, Broto RIW, Erviana A, Rhohman MF, Yuliatingsih SS. 2015. Inventarisasi Keanekargaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Penghuni Gua di Kawasan Karst Ciampea, Jawa Barat, Indonesia. Jurnal Pendidikan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta

IUCN. 2021. The IUCN Red List of Thereatened Species.

Kamil MS., Pertiwi IB. 2013. Identifikasi dan Penggalian Potensi Geologi, Speleologi, dan Biospeleologi Gua Lawa dan Sekitarnya.

Kunz TH. 1988. Ecological and Behavioural Methods for Study of Bats. Smithsonian Institute Press: Washington DC

Kunz TH, de Torrez EB, Bauer D, Lobova T, Fleming TH. 2011. Ecosystem services provided by bats. Annals of the New York Academy of Sciences 1223(1): 1–38. DOI: 10.1111/j.1749-6632.2011.06004.x

Luo J, Jiang T, Lu G, Wang L, Wang J, Feng J. 2013. Bat conservation in China: Should protection of subterranean habitats be a priority? Oryx 47(4): 526–531. DOI: 10.1017/S0030605311001505

Margiyanti E. 2020. Identifikasi Kelelawar Pemakan Serangga (Microchiroptera) di Gua Groda, Kawasan Karst Gunung Sewu, Gunungkidul, Yogyakarta. Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat 3(2): 263. DOI: 10.14421/panangkaran.2019.0302-08

Maryanto I. 2016. Ekologi Gunung Slamet.

Medellín RA, Equihua M, Amin MA. 2000. Bat diversity and abundance as indicators of disturbance in neotropical rainforest. Conservation Biology 14(6): 1666–1675. DOI: 10.1046/j.1523-1739.2000.99068.x

Niu H, Wang N, Zhao L, Liu J. 2007. Distribution and underground habitats of cave-dwelling bats in China. Animal Conservation 10(4): 470–477. DOI: 10.1111/j.1469-1795.2007.00136.x

Phelps K, Jose R, Labonite M, Kingston T. 2016. Correlates of cave-roosting bat diversity as an effective tool to identify priority caves. Biological Conservation 201: 201–209. DOI: 10.1016/j.biocon.2016.06.023

Quibod MNRM, Alviola PA, de Guia APO, Cuevas VC, Lit IL, Pasion BO. 2019. Diversity and threats to cave-dwelling bats in a small island in the southern Philippines. Journal of Asia-Pacific Biodiversity 12(4): 481–487. DOI: 10.1016/j.japb.2019.06.001

R Team Core. 2021. A languange and environment for statictical computing. R Foundation for Statistical Computing. Vienna, Austria

Rahmadi C. 2002. Keanekaragaman Fauna Gua, Gua Ngerong, Tuban, Jawa Timur. Zoo Indonesia - Jurnal Fauna Tropika 29: 19–27

Rajasegaran P, Shazali N, Khan FAA. 2018. Microclimate and Physiological Effects in the Roosts of Cave Dwelling Bats: Implications in Roost Selection and Conservation in Sarawak, Malaysian Borneo. Zoological Science 35(6): 521–527. DOI: 10.2108/zs170144

Sagot M, Chaverri G. 2015. Effects of roost specialization on extinction risk in bats. Conservation Biology 29(6): 1666–1673. DOI: 10.1111/cobi.12546

Sedlock JL, Jose RP, Vogt JM, Paguntalan LMJ, Cariño AB. 2014. A survey of bats in a karst landscape in the central Philippines. Acta Chiropterologica 16(1): 197–211. DOI: 10.3161/150811014X683390

Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi. LIPI: Bogor

Tamasuki K, Wijayanti F, Fitriana N. 2016. Komunitas Kelelawar (Ordo Chiroptera) di Beberapa Gua Karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati Jawa Tengah. AL-Kauniyah: Jurnal Biologi 8(2): 88–100. DOI: 10.15408/kauniyah.v8i2.2694

Torquetti CG, Silva MX, Talamoni SA. 2017. Differences between caves with and without bats in a Brazilian karst habitat. Zoologia 34: 1–7. DOI: 10.3897/zoologia.34.e13732

Voigt C, Kingston T. 2015. Bats in the anthropocene: Conservation of bats in a changing world. Bats in the Anthropocene: Conservation of Bats in a Changing World. DOI: 10.1007/9783-319-25220-9

Wiantoro S. 2012. Diversity and Roosting Characteristic of Bats in Buni Ayu Cave , Sukabumi Limestone Area , West Java. Zoo Indonesia 21(1): 32–36

Wijayanti F (IPB). 2011. Ekologi, relung pakan, dan strategi adaptasi kelelawar penghuni gua di karst gombong Kebumen Jawa Tengah. 1175

Wijayanti F, Maryanto I. 2017. Diversity and pattern of nest preference of bat species at batdwelling caves in Gombong Karst, Central Java, Indonesia. Biodiversitas 18(3): 864–874. DOI: 10.13057/biodiv/d180302

55