JURNAL BIOLOGI UDAYANA 26(1): 73-86

P ISSN: 1410-5292 E ISSN: 2599-2856

Laju dekomposisi bangkai mencit (Mus musculus) yang dikubur selama empat minggu pada media tanah humus, kapur, dan pasir pantai

Decomposition rates of mice carcasses (Mus musculus) buried for four weeks in humus, lime soil, and beach sand

Cakra Diarsa*, I Ketut Junitha, I Ketut Sundra

Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Jl. Raya Kampus Unud Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali, Indonesia 80361

*Email: [email protected]

Diterima 7 Januari 2022 Disetujui 6 April 2022

INTISARI

Dekomposisi bangkai terjadi segera setelah organisme mati mulai dari dekomposisi tingkat jaringan hingga tingkat molekuler. Laju dekomposisi bangkai hewan yang dikubur dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor fisik, kimia, dan biologi dari media yang digunakan mengubur bangkai. Faktor fisik berupa struktur, porositas, dan kelembaban dari media. Faktor kimia berupa pH, konsentrasi natrium, nutrien, dan oksigen yang terkandung pada media penguburan. Faktor biologi berupa jumlah dan komposisi dari koloni bakteri, invertebrata, dan flora yang hidup pada media. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan kecepatan dekomposisi bangkai pada media penguburan yang berbeda. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bangkai mencit sebanyak 36 ekor yang dikuburkan pada tiga media berbeda yaitu tanah humus, pasir pantai, dan tanah kapur di dalam toples plastik. Masing-masing sebanyak 12 toples diisi dengan media yang sama sebagai ulangan. Bangkai mencit diamati selama 28 hari dimana tiap tujuh hari dilakukan penimbangan terhadap berat bangkai mencit dengan timbangan digital dan kondisi fisik dari bangkai mencit dicatat dan diskoring. Laju dekomposisi bangkai mencit ditunjukkan dari perbedaan rata-rata penurunan berat bangkai mencit (%) tiap minggu pada masing-masing media. Metode analisis data dilakukan dengan uji ANOVA. Hasil dari penelitian didapatkan adanya perbedaan penurunan berat dan nilai skor kondisi fisik bangkai mencit pada tiap media penguburan. Kesimpulan penelitian ini adalah waktu dan perbedaan media penguburan berpengaruh pada penurunan berat dan nilai skoring kondisi fisik bangkai mencit.

Kata kunci: bangkai mencit, dekomposisi, media kubur

ABSTRACT

Carcass will undergo decomposition as soon as organism dies, starting from tissue level up to molecular level of decomposition. Decomposition rate of buried carcasses is affected by three factors i.e., physical, chemical, and biological factors based on media used to bury carcass. Physical factors include structure, porosity, and humidity of media. Chemical factors include pH, sodium concentration, nutrients, and oxygen of media. Biological factors are number and composition of bacterial colonies, invertebrates, and flora that live on media. Purpose of this study is to investigate whether there are any differences in decomposition rates of mice carcasses based on different media for burying. This research was conducted using 36 mice carcasses which buried in plastic jars with 3 different media i.e., humus soil, beach sand, and limestone

soil. Each of 12 plastic jars was filled with same media as replicates. Carcasses observed for 28 days, where every 7 days weight of mice carcasses weighed using digital scale and their physical condition were recorded and scored. Decomposition rate of mice carcasses will reflect through difference in average weight loss of mice (%) per week on each medium. The data analysis was done using the ANOVA test. Result shown that there was difference in average of weight loss and score of mice carcasses in each burying media. Conclusion of this research is the time and different media affected average weight loss and score of mice carcasses.

Keywords: mice carcass, decomposition, burial media

PENDAHULUAN

Dekomposisi bangkai dapat dilihat baik secara makroskopis dari perubahan fisik bangkai dan mikroskopis yang tidak dapat dilihat secara kasat mata yaitu penguraian makromolekul. Dekomposisi dibantu oleh beragam organisme seperti serangga, detritivor, dan bakteri. Perubahan yang terjadi selama dekomposisi dapat digunakan dalam menentukan waktu kematian atau Post Mortem Interval (PMI). Namun, waktu kematian antara mayat yang diletakkan di tempat terbuka dan mayat yang dikuburkan berbeda karena beberapa serangga dan detritivor tidak dapat membantu dalam proses dekomposisi pada mayat yang dikuburkan sehingga dikatakan mayat yang dikuburkan akan lebih lama laju dekomposisinya (Hau et al., 2014).

Laju dekomposisi pada bangkai yang dikubur dipengaruhi oleh karakteristik dari media penguburan. Faktor fisik, biologi, dan kimia dari media penguburan menentukan laju dekomposisi bangkai. Faktor fisik dari media penguburan berupa struktur, porositas, dan kelembaban dari media. Faktor kimia dari media penguburan berupa pH, konsentrasi natrium, nutrient, dan oksigen yang terkandung pada media penguburan. Faktor biologi dari media penguburan berupa jumlah dan komposisi dari koloni bakteri, invertebrata, dan flora yang hidup pada media (Byrd & Tomberlin, 2019).

Berdasarkan penelitian yang ada, masing-masing jenis tanah memiliki pengaruhnya tersendiri pada dekomposisi. Penelitian oleh Fiedler & Graw (2003) dalam Hau et al., (2014) menunjukkan tanah humus dapat menghambat proses dekomposisi jika sebelumnya telah

dikuburkan bangkai di tanah tersebut. Penelitian menggunakan batu kapur dilakukan Forbes et al. (2005) dalam Surabian (2012) dijelaskan bahwa kapur dapat menghambat dekomposisi dan terbentuknya bau busuk. Pasir pantai yang merupakan tanah berpasir dapat menyebabkan desikasi atau pengeringan pada bangkai sehingga dekomposisi bangkai terhambat (Bui, 2009). Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini untuk membandingkan secara langsung tiga jenis media penguburan berbeda tersebut yaitu tanah humus, tanah kapur, dan pasir pantai untuk mengetahui perbedaan laju dekomposisi bangkai pada masing-masing media berdasarkan penurunan berat dari bangkai mencit yang dikuburkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pengaruh perbedaan media penguburan terhadap laju dekomposisi bangkai mencit dan membandingkan karakteristik dari dekomposisi bangkai mencit yang dikuburkan pada media yang berbeda berdasarkan kondisi fisik dari bangkai mencit yang terlihat.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Kampus Bukit Jimbaran. Penelitian dilaksanakan selama empat minggu mulai 8 Maret – 5 April 2021. Pengamatan selama penelitian dilaksanakan pada hari Senin setiap minggunya.

Metode

Langkah-langkah pada penelitian ini dimodifikasi dari Stroud (2017) sebagai berikut.

  • 1.    Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan berupa 36 ekor mencit (Mus musculus) yang didapat dari penjual mencit untuk penelitian di Jalan Umasari, Pedungan, Denpasar. Mencit yang digunakan adalah mencit betina dengan kondisi fisik yang baik dan dalam kondisi sehat. Mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher agar tidak menyiksa hewan tersebut terlalu lama. Sebelum dikuburkan, seluruh mencit yang digunakan ditimbang dengan timbangan digital dan berat mencit yang didapat dirata-ratakan.

  • 2.    Pengambilan Media Penguburan

Media penguburan yang digunakan tanah humus, pasir pantai, dan tanah kapur. Masing-masing media dibeli dari pedagang atau langsung diambil dari alam secukupnya. Tanah humus diambil dari daerah Kompleks PU II, Muding Mekar, Kerobokan, Bali. Tanah kapur dibeli dari pedagang material di Jalan Gunung Sang Hyang. Pasir pantai yang dipakai berasal dari pantai Matahari Terbit, Sanur, Denpasar, Bali. Wadah yang digunakan adalah toples plastik dengan volume 2 liter dan tinggi 15,5 cm sebanyak 36 buah dimana masing-masing 12 toples diisi dengan media yang sama. Jumlah media yang dimasukkan pada setiap toples adalah sekitar 1800 gram. Media yang digunakan dicek pH dengan pH meter, suhu dengan termometer tanah, dan kelembabannya menggunakan higrometer. Pengecekan pH, suhu, dan kelembaban media penguburan juga dilakukan tiap minggunya.

  • 3.    Penguburan Bangkai Mencit

Setiap mencit yang telah didislokasi leher dikubur pada masing-masing wadah yang telah diisi medium penguburan. Posisi mencit diletakkan di tengah toples dalam keadaan telungkup dan ekor dilengkungkan ke kanan menuju arah kepala. Selanjutnya, wadah yang telah berisi mencit ditutup rapat dan diberi label. Mencit dikuburkan pada kedalaman yang sama yaitu 5 cm di bawah permukaan media penguburan.

  • 4.    Penimbangan Massa Bangkai Mencit

Bangkai mencit dipilih sebanyak 3 ekor secara acak dari setiap media penguburan yang digunakan untuk ditimbang massa tubuhnya (gram) dengan menggunakan timbangan digital. Penimbangan berat bangkai mencit dilakukan seminggu sekali. Berat ketiga bangkai mencit yang dikuburkan dirata-ratakan. Sebelum ditimbang, bangkai dibersihkan dengan kuas dan diambil dengan hati-hati dengan menggunakan sarung tangan lateks dan pinset. Tanah yang menempel dibersihkan sebersih mungkin menggunakan pinset dan kuas agar tidak mempengaruhi hasil yang didapat. Bagian tubuh bangkai yang terlepas tetap ditimbang setelah dibersihkan dari tanah yang menempel. Bangkai yang telah ditimbang beratnya tidak digunakan kembali dalam penelitian untuk menghindari bias akibat terpapar udara setelah dikeluarkan dari toples.

  • 5.    Pengamatan Kondisi Fisik dari Bangkai Mencit

Pengamatan kondisi fisik dari bangkai mencit dilakukan bersamaan dengan penimbangan massa bangkai. Kondisi fisik yang teramati seperti bangkai yang mulai membengkak, daging berwarna kegelapan, dan ciri lainnya dicatat, kemudian ciri yang didapatkan dibandingkan dengan ciri bangkai pada literatur untuk mengetahui tahap dari dekomposisi fisik yang terjadi pada bangkai setiap minggunya. Setelah tahapan dekomposisi bangkai diketahui, ciri fisik dari bangkai yang terlihat setiap minggunya diskoring sehingga diketahui apakah terjadi perbedaan kondisi fisik pada tiap media penguburan.

Teknik skoring dan kategori skoring yang digunakan adalah dari Soon et al. (2017) dengan modifikasi. Skoring dilakukan pada 3 bagian tubuh yaitu kepala, badan termasuk ekor, dan kaki karena proses dekomposisi dari tiap bagian tubuh bangkai yang belum tentu seragam. Terdapat 17 poin skoring sehingga total skor terendah yang didapat adalah 3 karena setiap bagian tubuh yang diamati mendapat skor 1 ketika fresh stage dan skor tertinggi adalah 51 jika seluruh poin terlihat pada tubuh bangkai. Skor kumulatif digunakan

ketika ada tahapan dekomposisi yang sudah terjadi pada bangkai dan tidak teramati akibat pengamatan yang dilakukan setiap minggu. Berikut adalah kategori skoring modifikasi dari metode penelitian Soon et al. (2017) yang digunakan untuk kondisi fisik bangkai tiap minggunya.

Kategori Skoring Kondisi Fisik Bangkai Mencit:

Fresh stage (Skor kumulatif 0 untuk tiap bagian)

  • 1.    Bagian tubuh utuh serta belum terjadi perubahan warna pada bangkai

Bloat stage (Skor kumulatif 1 untuk tiap bagian)

  • 1.    Adanya rambut yang rontok dan warna kulit menjadi merah muda

  • 2.    Terjadi pembengkakan pada tubuh

  • 3.    Perubahan warna pada bangkai menjadi kehijauan

  • 4.    Perubahan warna pada telinga, hidung, dan jari menjadi lebih gelap

Decay stage (Skor kumulatif 5 untuk tiap bagian)

  • 1.    Keluarnya gas perut yang berbau busuk disertai warna bangkai menjadi gelap

  • 2.    Warna coklat kehitaman pada kaki dengan kulit bertekstur kasar

  • 3.    Terjadi dekomposisi dari jaringan lunak bangkai ditandai dengan otot bangkai terlihat berkurang hingga adanya otot yang terlihat kendur bahkan terlepas

Post decay stage (Skor kumulatif 8 untuk tiap bagian)

  • 1.    Adanya tulang yang sudah terlihat

  • 2.    Bangkai terlihat lembab dengan tulang terlihat

  • 3.    Adanya organ internal yang hilang

  • 4.    Terjadinya adipocere dimana bangkai terlihat terlapisi lapisan seperti lilin hasil penguraian lemak pada bangkai

  • 5. 50% tulang sudah dapat terlihat

Skeletal and remains stage (Skor kumulatif 13 untuk tiap bagian)

  • 1.    Tulang bangkai terlihat tertutupi dengan sedikit jaringan lunak yang tersisa

  • 2.    Tulang bangkai terlihat dalam kondisi kering

  • 3.    Sebagian besar tulang bangkai kering, namun ada tulang yang masih terlihat terlumasi

  • 4.    Bangkai telah mengalami mumifikasi yang terlihat dari tulang yang ditutupi jaringan lunak yang mengering

Analisis data

Hasil yang didapat pada penelitian ini adalah berat bangkai mencit tiap minggu (gram) dan skoring kondisi fisik. Berat mencit tiap minggu dirata-ratakan dan dianalisis dengan uji Two-Way ANOVA menggunakan SPSS v.20 untuk mengetahui pengaruh perbedaan media penguburan terhadap laju dekomposisi mencit. Kondisi fisik dari bangkai diskoring berdasarkan ciri yang terlihat pada bagian kepala, badan, dan kaki dan diakumulasikan sehingga didapat skor tiap minggu. Skor yang didapat dianalisis dengan uji Two-way ANOVA untuk mengetahui perbedaan kondisi fisik dari bangkai yang dikuburkan pada media yang berbeda setiap minggunya. Laju dekomposisi bangkai mencit pada masing-masing media penguburan digambarkan dari grafik rata-rata penurunan berat bangkai mencit (%) tiap minggu dan skoring kondisi fisik bangkai mencit yang didapatkan.

HASIL

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis media penguburan berpengaruh terhadap persentase penurunan berat bangkai mencit dan hasil skoring kondisi fisik bangkai mencit. Dari analisis two way anova, didapatkan bahwa perbedaan jenis media penguburan berpengaruh signifikan dengan kepercayaan 95 %.

Setiap jenis media yang digunakan memiliki perbedaan pada penurunan berat bangkai mencit. Berdasarkan jenis media yang digunakan dalam penguburan, pasir pantai memiliki laju penurunan berat bangkai mencit terbesar yaitu 21,29 % dan

tanah kapur memiliki penurunan berat bangkai mencit terendah yaitu 11,76 %. Gambar 1. adalah persentase rata-rata laju penurunan berat bangkai mencit per minggu pengamatan yang menunjukkan besar dekomposisi bangkai mencit pada jenis media penguburan.

Gambar 1. Persentase laju penurunan berat bangkai mencit pada masing-masing media penguburan per minggu.

Hasil interaksi antara jenis tanah dan waktu pengamatan, didapatkan grafik persentase penurunan berat bangkai mencit. Pada minggu pertama dan kedua, penurunan berat bangkai mencit terbesar terjadi pada pasir pantai sebesar 31,67 % pada minggu pertama dan 54,72 % pada minggu kedua. Penurunan berat bangkai mencit terbesar pada minggu ketiga terjadi pada tanah humus sebesar 39,2 % dan penurunan berat bangkai mencit terbesar pada minggu keempat terjadi pada pasir pantai sebesar 58,80 %.

Penurunan berat bangkai mencit terendah pada minggu pertama terjadi pada tanah humus sebesar 9,83 % dan penurunan berat bangkai mencit terendah pada minggu kedua terjadi pada tanah kapur sebesar 13,18 %. Penurunan berat bangkai mencit terendah pada minggu ketiga terjadi pada tanah kapur sebesar 21,18 %. Saat minggu

keempat, bangkai mencit mengalami penurunan berat terendah terjadi pada tanah humus sebesar 35,7 %. Gambar 2. menunjukkan persentase penurunan berat bangkai mencit tiap minggunya pada masing-masing media penguburan.

Berdasarkan jenis media penguburan, nilai skoring tertinggi didapatkan pada bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus yaitu 38. Nilai skoring terendah didapatkan pada bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai yaitu

25. Berikut gambar 3. menunjukkan hasil skoring bangkai mencit pada masing-masing media penguburan selama 4 minggu waktu penguburan.

Gambar 2. Persentase laju dekomposisi bangkai mencit tiap minggunya pada masing-masing media penguburan.

Gambar 3. Hasil skoring bangkai mencit pada masing-masing media penguburan selama 4 minggu penguburan.

Berdasarkan interaksi antara minggu pengamatan dan jenis media penguburan, nilai skoring terendah untuk minggu pertama hingga keempat didapatkan pada bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai dimana nilai skor secara berurut dari minggu pertama hingga minggu keempat yaitu 24; 26; 26; dan 26. Nilai skoring tertinggi pada minggu pertama hingga ketiga didapatkan bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus dimana nilai skor yang didapat dari minggu pertama hingga ketiga secara berurut yaitu 32; 38; dan 39. Nilai skoring tertinggi pada minggu keempat didapatkan oleh bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah kapur yaitu 42. Gambar 4. berikut menunjukkan nilai skoring kondisi fisik bangkai mencit yang

dikuburkan pada masing-masing media penguburan setiap minggunya.

Gambar 4. Hasil skoring kondisi fisik bangkai mencit yang dikuburkan pada masing-masing media penguburan setiap minggu.

Kondisi bangkai yang dikuburkan pada masing-masing media memiliki ciri khas tersendiri. Bangkai yang dikuburkan pada tanah humus memiliki lapisan tebal yang berwarna hitam menyelimuti bangkai. Bangkai yang dikuburkan pada tanah kapur memiliki kondisi bangkai yang rapuh dimana jaringan lunak mudah robek. Bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai tidak banyak mengalami rusak dan seperti diawetkan. Gambar 5, 6, dan 7 berikut menunjukkan kondisi bangkai mencit yang dikuburkan pada masing-masing media setiap minggunya.

Gambar 5. Kondisi bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus (a) minggu pertama; (b) minggu kedua; (c) = minggu ketiga; (d) minggu keempat.


Gambar 6. Kondisi bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah kapur (a) minggu pertama; (b) minggu kedua; (c) = minggu ketiga; (d) minggu keempat.


Gambar 7. Kondisi bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai (a) minggu pertama; (b) minggu kedua; (c) = minggu ketiga; (d) minggu keempat.


Selama pengukuran penurunan berat dan skoring kondisi fisik bangkai mencit, dilakukan juga pengukuran terhadap pH, suhu, dan kelembaban dari masing-masing media dari

minggu pertama hingga keempat. Tabel 1. berikut adalah rata-rata pH, kelembaban, dan suhu dari masing-masing media setiap minggunya.

Tabel 1. Rata-rata pH, kelembaban, dan suhu masing-masing media setiap minggu

Minggu

Faktor Dekomposisi

Jenis Media Penguburan

Tanah Humus

Tanah Kapur

Pasir Pantai

0

pH

7

7,65 ± 0,05

7,16 ± 0,04

Kelembaban (%)

40,42 ± 0,19 %

40,42 ± 0,23 %

41,5 ± 0,44 %

Suhu (ºC)

27,08 ± 0,08ºC

27,08 ± 0,08ºC

27ºC

I

pH

7

7

7

Kelembaban (%)

58 ± 6 %

53,33 ± 4,41 %

46,67 ± 3,33 %

Suhu (ºC)

29ºC

29ºC

29ºC

II

pH

7

7

7

Kelembaban (%)

37,67 ± 1,45 %

30 ± 2,89 %

23,33 ± 3,33 %

Suhu (ºC)

29ºC

29ºC

30ºC

III

pH

7

7

7

Kelembaban (%)

30 %

28,33 ± 1,67 %

20 %

Suhu (ºC)

29ºC

29ºC

29ºC

IV

pH

7

7

7

Kelembaban (%)

26,67 ± 3,33 %

31,67 ± 1,67 %

20,67 ± 0,67 %

Suhu (ºC)

29ºC

29ºC

29ºC

PEMBAHASAN

Penurunan berat bangkai mencit (%) yang paling tinggi terjadi pada pasir pantai. Hal ini diduga disebabkan oleh daya jerap air pasir pantai yang rendah sehingga sistem aerasi pada pasir pantai baik dan pasir pantai tidak menempel erat pada bangkai sehingga kadar air bangkai berkurang dengan cepat karena penguapan dan

menyebabkan berat bangkai menurun. Menurut Harjadi et al. (2014), pasir pantai termasuk media yang memiliki pori-pori makro sehingga media ini sulit menahan air dan memiliki aerasi yang baik. Penurunan berat bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai tinggi dapat disebabkan tingginya laju pengurangan kadar air pada bangkai karena sifat pasir pantai yang mudah menyerap panas. Hal ini didukung

pendapat Harjadi et al. (2014) yang menyatakan pasir pantai bersifat tidak dapat menahan air, memiliki temperatur yang tinggi, dan minim bahan organik. Bangkai dikatakan berkurang kandungan air saja karena bangkai terlihat gepeng dan bau bangkai masih busuk hingga minggu keempat. Bau busuk yang tercium mulai minggu pertama hingga keempat menandakan proses penguraian jaringan lunak yang tersusun dari protein berlangsung lambat. Bau busuk disebabkan oleh proses penguraian protein yang menghasilkan gas ammonia yang berasal dari penguraian asam amino yang mengandung sulfur (River & Dahlem, 2014).

Penurunan berat bangkai mencit terendah terjadi pada tanah kapur karena kandungan tanah kapur yaitu kalsium karbonat dan minim unsur hara menyebabkan bakteri yang membantu proses dekomposisi juga sedikit. Menurut Fiantis (2018); Yuliani & Rahayu (2016), tanah kapur yang dominan disusun oleh kalsium karbonat ini memiliki pH basa sehingga dekomposisi sulit terjadi karena minimnya nutrien. Menurut Tumer et al. (2013), komposisi unsur hara terutama karbon dan nitrogen pada media penguburan dapat mempengaruhi laju dekomposisi. Unsur hara berupa karbon dan nitrogen harus tersedia dalam kuantitas yang cukup karena unsur hara tersebut diperlukan oleh mikroorganisme untuk dapat melangsungkan proses dekomposisi dengan baik. Menurut Carter et al. (2017), karbon pada material organik dan nitrogen merupakan sumber energi dan nutrien bagi mikroorganisme sehingga diperlukan dalam jumlah yang cukup.

Bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus mengalami penurunan berat yang lebih besar daripada bangkai yang dikuburkan pada tanah kapur. Hal ini karena tanah humus memiliki kandungan hara yang baik dan diperlukan mikroorganisme. Tanah humus yang digunakan untuk penelitian berwarna gelap menandakan bahan organik yang terkandung di tanah tersebut tinggi. Hal ini didukung pendapat dari Nivethadevi et al. (2021) yang menyatakan bahwa warna dari humus umumnya adalah gelap. Menurut Kasifah (2017) yang menyatakan bahwa

humus merupakan sumber energi bagi mikroorganisme tanah. Hal ini juga sesuai pendapat Nivethadevi et al. (2021) yang menyatakan bahwa bahan organik termasuk humus yang terdapat di tanah merupakan sumber energi bagi proses biologis yang terjadi di tanah termasuk dekomposisi yang dilakukan mikroorganisme. Menurut European Commission (2010), bahan organik yang terdapat di tanah merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme dan organisme tanah lainnya. Selain itu, mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi bangkai di tanah humus dapat dikatakan beragam karena berasal dari mikroorganisme yang hidup di tanah humus dan mikroorganisme yang berasal dari tubuh bangkai sendiri. Menurut Lauber et al. (2014), beragamnya mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi akan mempercepat proses dekomposisi bangkai.

Penurunan berat bangkai mencit pada tanah humus tidak sebesar pasir pantai dapat diakibatkan daya jerap air tanah humus yang tinggi sehingga tanah menempel dengan erat pada bangkai yang mengandung air dan membentuk lapisan keras. Lapisan keras yang terbentuk diduga kedap udara karena tidak tercium bau bangkai sebelum lapisan dirobek sehingga menyebabkan udara yang terdapat pada toples tidak dapat membantu proses dekomposisi berjalan optimal. Menurut Kasifah (2017), tanah humus memiliki daya jerap air sebesar 80 – 90% dari bobot tanah. Lapisan tanah yang keras tersebut terbentuk pada bangkai mencit dapat disebabkan oleh sifat humus yang tertarik pada air dan dapat menyimpan air dengan baik. Bangkai mencit memiliki kandungan air yang lebih tinggi sehingga tanah humus di sekitar bangkai akan menyerapnya dan lambat laun tanah akan membentuk suatu lapisan. Hal ini didukung pendapat Intara et al. (2011) dimana dikatakan humus pada tanah bersifat hidrofil sehingga daya serap dan simpan air pada tanah akan meningkat seiring meningkatnya jumlah humus pada tanah.

Berdasarkan pengamatan per minggu, didapatkan bangkai mencit pada minggu pertama,

kedua, dan keempat yang paling besar penurunan beratnya adalah pasir pantai. Bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah kapur dan tanah humus mengalami penurunan yang lebih rendah dibandingkan pasir pantai. Hal ini dapat disebabkan karena sifat-sifat dari pasir pantai sendiri dimana pasir pantai memiliki daya jerap air yang rendah dan mudah menyerap panas sehingga pasir di sekitar bangkai akan lebih kering dibandingkan dengan media tanah kapur dan tanah humus. Kondisi tersebut menyebabkan pertukaran udara dalam toples baik dan bakteri dalam tubuh mencit dapat melakukan dekomposisi dengan baik. Hal ini didukung oleh pendapat Carter et al. (2017) yang menyatakan bahwa kelembaban yang tinggi akan menghambat terjadinya sirkulasi udara sehingga bakteri aerob akan sulit membantu proses dekomposisi bangkai.

Bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus memiliki penurunan berat paling tinggi pada minggu ketiga. Bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai dan tanah kapur mengalami penurunan berat yang lebih rendah dibandingkan pada tanah humus. Hal ini dapat dikarenakan kelembaban tanah humus pada minggu ketiga lebih tinggi dibandingkan tanah kapur dan pasir pantai. Rata-rata kelembaban tanah humus pada minggu ketiga adalah 30%, sedangkan kelembaban pada tanah kapur sebesar 28,33% dan pasir pantai 20%. Menurut Rozeboom et al. (2015), media penguburan yang terlalu kering akan menyebabkan mikroorganisme tidak dapat hidup dan mendekomposisi bangkai dengan baik. Menurut Carter et al. (2017), tanah yang kering dapat menyebabkan kerja enzim hidrolitik dari mikroorganisme menjadi terhambat. Oleh karena itu, kelembaban merupakan salah satu faktor penting bagi kelangsungan hidup mikroorganisme.

Berdasarkan pengamatan setiap minggu, pola penurunan berat bangkai mencit memiliki keunikan pada setiap media yang digunakan. Pasir pantai memiliki pola naik dan turun dimana kenaikan pada minggu kedua dan keempat dan

penurunan terjadi pada minggu ketiga. Penurunan pada minggu ketiga dapat disebabkan oleh adanya penurunan kelembaban pada minggu ketiga. Hal ini terjadi dapat disebabkan oleh nilai penurunan berat bangkai mencit pada pasir pantai yang lebih rendah pada minggu ketiga dibandingkan dengan minggu kedua. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor kelembaban dari pasir pantai yang paling rendah pada minggu ketiga. Turunnya kelembaban pasir pantai dapat disebabkan suhu pasir pantai yang mengalami sedikit fluktuasi. Suhu pasir pantai mengalami kenaikan sebesar 1ºC pada minggu kedua yaitu menjadi 30ºC dan mengalami penurunan kembali menjadi 29ºC pada minggu ketiga. Menurut pendapat Harjadi et al. (2014), sifat pasir pantai memiliki daya serap panas yang tinggi. Pasir pantai yang digunakan berwarna hitam juga dapat menjadi penyebab pasir pantai mudah menyerap panas. Menurut Sukandarrumidi et al. (2018), pasir pantai berwarna gelap mampu menyerap panas sinar matahari dengan cepat. Sifat dan warna gelap tersebut dapat menjadi penyebab suhu pasir pantai lebih tinggi dibandingkan tanah humus dan kapur. Kenaikan suhu tersebut dapat menjadi penyebab kelembaban pasir pantai menurun pada minggu ketiga menjadi 20% dimana pada minggu kedua adalah 23,33%. Kondisi pasir pantai yang kering tersebut dapat mempengaruhi kerja dari mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi bangkai mencit. Menurut Rozeboom et al. (2015), kelembaban optimal untuk proses dekomposisi adalah sekitar 40 – 60% dan apabila terlalu kering dapat menyebabkan proses dekomposisi terhambat. Kelembaban pasir pantai saat minggu ketiga yaitu 20% sangat jauh dari optimal dan termasuk dalam kelembaban terendah dibandingkan minggu-minggu lainnya. Menurut Nivethadevi et al. (2021), kelembaban yang sesuai diperlukan dalam proses dekomposisi karena mikroorganisme tidak dapat hidup tanpa air. Menurut Yan et al. (2015), air yang minim pada tanah dapat menyebabkan aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme menurun karena sel membutuhkan cukup air untuk menjaga turgor dan metabolisme sel berlangsung baik.

Pola penurunan berat bangkai mencit pada tanah humus mengalami kenaikan pada minggu kedua, lalu menurun sedikit dan cenderung melandai pada minggu ketiga dan keempat. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya lapisan tanah humus yang terbentuk pada sejumlah bangkai mencit saat minggu ketiga dan keempat. Lapisan tersebut cukup keras dan kedap udara karena bangkai tidak berbau ketika lapisan belum dirobek. Kedap udaranya bangkai mencit menyebabkan pertukaran udara tidak berlangsung baik dan proses dekomposisi cenderung ke arah anaerob sehingga berlangsung melambat. Menurut Wescott (2018), laju dekomposisi bangkai dipengaruhi juga oleh jumlah oksigen dimana semakin sedikit dan sulit pertukaran udara maka proses dekomposisi juga melambat. Hal ini terjadi karena tanpa adanya oksigen, proses dekomposisi yang berlangsung hanya dilakukan oleh bakteri anaerob. Pola penurunan berat bangkai mencit pada tanah kapur membentuk pola menyerupai huruf ‘U’ dimana minggu kedua mengalami penurunan dan minggu ketiga dan keempat kembali naik. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya penurunan kelembaban saat minggu kedua. Menurut River & Dahlem (2014), kelembaban merupakan salah satu faktor abiotik yang mempengaruhi proses dekomposisi bangkai. Carter et al. (2017) menjelaskan bahwa kelembaban yang rendah dapat menyebabkan terhambatnya enzim hidrolitik ekstraseluler dan membatasi pergerakan mikroorganisme sehingga proses dekomposisi terhambat.

Berdasarkan jenis media penguburan, didapatkan bahwa bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus memiliki nilai skor yang tertinggi yatu 38 yang menandakan rata-rata bangkai mencit telah mencapai tahap akhir post decay selama 4 minggu penguburan dimana nilai skor tahap post decay adalah antara 24 – 39. Kondisi fisik bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus memiliki kondisi tubuh yang terdekomposisi dengan baik setiap minggunya seperti kepala yang sudah mulai menjadi tengkorak pada minggu pertama hingga bangkai tinggal kulit dan tulang dengan sedikit jaringan otot saat minggu keempat. Hal ini dapat

disebabkan aktivitas dari mikroorganisme yang baik dalam mendekomposisi bangkai mencit. Hal ini sesuai pendapat Wicaksono et al. (2015) yang menyatakan bahwa bahan organik, salah satunya adalah humus, diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon sehingga pertumbuhan mikroorgansime baik. Oleh karena itu, tanah humus yang memiliki bahan organik yang banyak tentu memiliki jumlah mikroorganisme yang banyak juga karena kebutuhan nutrisi dari mikroorganisme yang terpenuhi.

Bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai memiliki skor yang paling rendah yaitu 25 yang menandakan rata-rata bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai selama 4 minggu baru memasuki tahap post decay dimana bangkai yang berada pada tahap post decay memiliki skor antara 24 – 39. Kondisi fisik bangkai yang cenderung utuh dari minggu pertama hingga keempat. Bangkai hanya terlihat menyusut dari minggu pertama hingga keempat tanpa kerusakan fisik yang berarti dilihat dari bagian luar tubuh. Hal ini dapat disebabkan karena minimnya jumlah mikroorganisme yang hidup di pasir pantai karena pasir pantai bersifat tidak dapat menahan air, memiliki temperatur yang tinggi, dan minim bahan organic (Harjadi et al., 2014). Dekomposisi bangkai sepenuhnya dilakukan oleh mikroorganisme yang berasal dari tubuh mencit. Oleh karena itu, tubuh mencit bagian luar tidak terlihat hancur dan hanya terlihat menyusut.

Nilai skoring bangkai mencit setiap minggu terus mengalami peningkatan yang menandakan proses dekomposisi bangkai mencit yang berlangsung baik yang dilihat dari semakin rusaknya kondisi fisik bangkai setiap minggu. River & Dahlem (2014) menyatakan bahwa dekomposisi fisik terjadi pada bangkai terlihat dari perubahan pada fisik bangkai yang terjadi secara kontinu dimulai dari tahap fresh stage hingga skeletal and remains stage. Hal ini dapat disebabkan karena pH media penguburan yang optimal untuk dekomposisi dimana rata-rata pH awal media penguburan yang bervariasi yaitu 7 untuk tanah humus, 7,65 untuk tanah kapur, dan 7,16 untuk pasir pantai berubah saat minggu

pertama hingga keempat menjadi 7. Adanya penurunan pH media penguburan dapat disebabkan oleh cairan bangkai yang keluar menuju media penguburan akibat tingginya tekanan udara saat tahap bloat stage. Menurut River & Dahlem (2014), cairan bangkai yang keluar akibat tekanan udara saat bloat stage dapat mempengaruhi pH tanah di sekitar bangkai. Menurut Rozeboom et al. (2015), media penguburan yang baik memiliki rentang pH antara 5.5 – 9 dimana pH yang kurang atau melebihi rentang tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan aktivitas dari mikroorganisme. Menurut Carter et al. (2017), terpengaruhinya kelangsungan hidup dan aktivitas bakteri tersebut diakibatkan pH dapat mempengaruhi struktur dari senyawa kimia penyusun mikroorganisme, salah satunya protein.

Selain pH, suhu dari media penguburan yang berkisar antara 29 – 30ºC pada minggu pertama hingga keempat juga membantu proses dekomposisi berlangsung baik terlihat dari nilai skor yang naik tiap minggunya. Amendt et al. (2010) menyatakan bahwa suhu tanah tempat penguburan bangkai akan mempengaruhi laju dekomposisi dari bangkai tersebut. Hal tersebut karena suhu tanah dapat mempengaruhi kerja enzim dari mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi bangkai. Suhu berperan dalam proses dekomposisi bangkai juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lancu et al. (2018) yang memperlihatkan bahwa suhu tanah mempengaruhi dekomposisi dari bangkai tikus. Suhu tanah yang lebih tinggi pada bulan Juni yaitu 16,75 ºC – 25,37 ºC dibandingkan bulan Maret yaitu 7,28 ºC – 10,76 ºC menyebabkan bangkai tikus yang dikuburkan pada bulan Juni telah mencapai tahap skeletal remains pada hari ke-29 dan 30 penguburan, sedangkan bangkai tikus yang dikuburkan bulan Maret belum sampai tahap skeletal remains di hari ke-30 penguburan.

Berdasarkan grafik yang didapatkan, pola skoring kondisi fisik bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus dan kapur cenderung naik. Minggu pertama hingga ketiga, bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah

humus memiliki nilai skor tertinggi. Bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus mendapat skor 32 pada minggu pertama dan skor 38 pada minggu kedua. Hal ini menandakan bahwa bangkai mencit telah masuk ke dalam tahap post decay dimana nilai skor antara 24 – 39 merupakan nilai skor bangkai mencit pada tahap post decay stage. Naiknya nilai skoring mulai dari minggu pertama dan berlanjut ke minggu kedua menandakan kerusakan yang terjadi secara kontinu setiap minggunya. Karakteristik bangkai mencit yang dikubur pada tanah humus pada minggu pertama yang sama yaitu adanya tulang bangkai mencit yang sudah terlihat, jaringan lunak bangkai dalam keadaan basah, sangat rapuh dimana bangkai sangat mudah lepas jaringan otot dan kulitnya, bagian telinga, bola mata, dan ekor sudah tidak terlihat, dan bau busuk bangkai tajam.

Kondisi bangkai pada tanah humus saat minggu kedua sedikit unik dimana dua bangkai terlapisi oleh tanah humus. Setelah dibersihkan, kondisi bangkai masih terasa basah dan jaringan lunak yang tersisa sedikit serta bau tidak setajam saat minggu I. Bangkai mencit memiliki karakteristik jaringan lunak yan tersisa berwarna kecoklatan, ekor dan kaki yang terdekomposisi, bagian tengkorak kepala terlihat, dan badan bangkai yang robek. Robeknya bangkai diperkirakan akibat bloat dan hilangnya sejumlah organ menandakan dekomposisi berlangsung baik akibat bantuan bakteri yang hidup baik di tanah maupun yang keluar dari bangkai setelah bloat. Gas yang dihasilkan bakteri saat menguraikan bagian dalam bangkai dapat menyebabkan bangkai menjadi menggembung hingga robek akibat tekanan gas yang dihasilkan tersebut. Hal ini sesuai pendapat River & Dahlem (2014) yang mengatakan bahwa gas ammonia yang dihasilkan mikroorganisme dari penguraian yang terjadi dalam tubuh bangkai saat tahap bloated stage akan terakumulasi dalam tubuh bangkai sehingga bangkai akan membengkak dan meningkatkan tekanan udara dalam bangkai. Menurut River & Dahlem (2014), ammonia berasal dari penguraian protein bangkai. Senyawa ini yang menyebabkan bangkai memiliki bau busuk tajam pada minggu pertama.

Minggu ketiga dan keempat, bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus rata-rata telah masuk ke tahap skeletal and remains stage dengan skor minggu ketiga sebesar 39 dan skor minggu keempat sebesar 41 dimana nilai skor antara 39 – 51 merupakan nilai skor bangkai mencit pada tahap skeletal and remains. Toples yang berisi tanah humus yang diperiksa minggu ketiga tidak berbau menyengat dan berbau tanah humus. Hal ini menandakan bahwa jaringan lunak yang tersusun dari protein tersisa sedikit sehingga bau menyengat tidak tercium kembali pada minggu tersebut. Bau menyengat bangkai berasal dari penguraian protein menjadi ammonia (River & Dahlem, 2014). Ketiga bangkai juga memiliki ciri yang sama yaitu jaringan lunak yang tersisa sedikit, kaki bagian bawah, ekor, mata, dan telinga yang telah terdekomposisi. Bangkai terlihat terlapisi tanah humus mengikuti bentuk bangkai mencit seperti minggu kedua, namun lapisan dirasakan lebih keras dibandingkan minggu kedua.

Bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus saat minggu keempat memiliki kondisi yang sama seperti minggu sebelumnya dimana bau bangkai tidak tercium lagi. Dua bangkai mencit memiliki kondisi yang sama yaitu bangkai terlapisi tanah humus yang mengeras, kaki tersisa tulang dengan sedikit jaringan lunak, bagian ekor telah terdekomposisi, kepala sudah menjadi tengkorak, dan badan tersisa tulang dengan sedikit jaringan lunak. Kondisi salah satu bangkai mencit pada minggu keempat sedikit berbeda dimana jaringan otot bagian badan bangkai masih terlihat lebih banyak dibandingkan dua bangkai mencit lainnya serta bangkai tidak terlapisi tanah humus yang mengeras. Kepala, badan, dan kaki masih dapat dikenali. Kepala dan kaki telah berupa tulang dengan sedikit jaringan otot yang tersisa.

Bangkai mencit pada tanah kapur mendapat skor 31 untuk minggu pertama dan kedua serta skor 36 untuk minggu ketiga yang menandakan bangkai telah mencapai tahap post decay stage dimana nilai skor antara 24 – 39 merupakan nilai skor bangkai mencit pada tahap post decay.

Kondisi bangkai saat minggu pertama hingga ketiga berupa bangkai yang rapuh dimana bangkai mudah robek, adanya tulang bangkai yang sudah terlihat, dan jaringan lunak terlihat coklat kehitaman. Skor tertinggi bangkai yang dikuburkan pada tanah kapur terdapat pada minggu keempat yaitu 42 yang menandakan bangkai mencit telah masuk ke tahap skeletal and remains stage. Hal ini disebabkan kondisi bangkai mencit yang sudah berceceran dimana kepala, badan, dan kaki telah terlepas satu sama lain sehingga memperlihatkan bangkai berupa tulang dan sedikit daging yang berwarna coklat kehitaman. Hal ini dapat disebabkan karena pH dan kelembaban dari media penguburan yang masih cukup optimal untuk dekomposisi saat minggu keempat yaitu pH 7 dan rata-rata kelembaban media 31,67 % sehingga proses dekomposisi dapat tetap berlangsung dengan baik. Menurut Tumer et al. (2013), faktor-faktor dekomposisi seperti kelembaban, pH, suhu, dan aktivitas mikroorganisme dapat saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya sehingga menentukan proses dekomposisi dapat berlangsung dengan baik atau tidak. Bau yang tercium pada minggu pertama hingga keempat pengamatan terus berkurang menyengatnya dari minggu ke minggu. Minggu ketiga dan keempat, bau bangkai lebih cenderung berbau basa seperti kapur. Hal ini dikarenakan kandungan tanah kapur yang tersusun dari kalsium karbonat yang memiliki sifat basa (Fiantis, 2018; Yuliani & Rahayu, 2016).

Bangkai mencit yang dikuburkan pada pasir pantai memiliki skor yang cenderung sama dari minggu pertama hingga keempat yaitu 24; 26; 26; 26 yang menandakan bangkai tetap pada tahap post decay stage dimana nilai skor antara 24 – 39 merupakan nilai skor bangkai mencit pada tahap post decay. Hal tersebut dikarenakan kondisi fisik bangkai yang tidak berubah seperti diawetkan. Perbedaan setiap minggu hanya terlihat dari ukuran tubuh yang semakin gepeng setiap minggunya yang menandakan dekomposisi yang terjadi dominan berasal dari dalam tubuh mencit. Bau dari bangkai yang sama menyengatnya pada minggu pertama hingga keempat menandakan

penguraian jaringan otot dan jaringan lunak lainnya yang tersusun dari protein yang ada pada tubuh bangkai berlangsung lambat dan bangkai terlihat gepeng karena kandungan air bangkai yang berkurang. Menurut River & Dahlem (2014), selama proses dekomposisi protein akan menghasilkan gas berupa ammonia, hidrogen sulfida, metana, dan karbon dioksida. Bau khas bangkai yang busuk disebabkan adanya gas ammonia yang berasal dari penguraian asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin. Sifat pasir pantai yang mudah menyerap panas dan minimnya bahan organik pada pasir pantai dapat menyebabkan mikroorganisme menjadi sulit hidup pada media dan menjadi penyebab kondisi bangkai mencit tidak rusak signifikan (Harjadi et al., 2014). Hal ini sesuai pendapat Wicaksono et al. (2015) yang menyatakan bahwa kandungan bahan organik suatu tanah berbanding lurus dengan jumlah mikroorganisme yang hidup di dalamnya. Pasir pantai yang berwarna hitam memiliki kandungan Fe yang tinggi juga dapat menyebabkan bangkai mencit tidak rusak dan cenderung seperti diawetkan. Hal ini didukung pendapat Susilawati et al. (2018) yang menyatakan bahwa pasir pantai yang berwarna hitam seperti Pantai Gading, Pantai Ampenan, Pantai Luang Baloq, dan Pantai Penghulu Agung yang berada di Mataram memiliki kandungan Fe yang tinggi. Menurut Verbon et al. (2017), kelebihan Fe dapat menyebabkan keracunan bagi banyak organisme. Hal tersebut karena Fe2+ yang berlebih dalam sel dapat menyebabkan reaksi fenton yang membentuk senyawa radikal hidroksil yang dapat merusak protein, lemak, dan DNA dari sel tersebut.

SIMPULAN

Perbedaan media penguburan mempengaruhi laju dekomposisi bangkai mencit secara signifikan. Karakteristik khas bangkai mencit yang dikuburkan pada tanah humus, tanah kapur, dan pasir pantai secara berurut adalah bangkai terlapisi lapisan tanah, bangkai dengan jaringan lunak mudah robek, dan bangkai yang tidak rusak parah sehingga cenderung seperti diawetkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu baik berupa saran, dukungan moril dan materiil saat penyusunan artikel ini yaitu Bapak Drs. Job Nico Subagio, M.Si., Bapak Drs. Yan Ramona, M.App.Sc., Ph.D., Ibu Dr. Iriani Setyawati, S.Si., M.Si.

KEPUSTAKAAN

Amendt J, Campobasso CP, Goff ML, Grassberger M. 2010. Current Concepts in Forensic Entomology. Springer: New York.

Bui A. 2009. Beach Burial of Cetaceans: Implication for Conservation, and Public Health and Safety. Earth & Oceanic Sciences Research Institute and School of Applied Sciences. Auckland University of Technology. (Thesis).

Byrd JH, Tomberlin JK.  2019. Forensic

Entomology: The Utility of Arthropods in Legal Investigation Third Edition. CRC Press: Florida.

Carter DO, Tomberlin JK, Benbow ME, Metcalf JL.  2017. Forensic Microbiology. John

Wiley & Sons: West Sussex.

European Commission. 2010. The Factory of Life Why Soil Biodiversity is So Important. European Union: Belgium.

Fiantis D. 2018. Buku Ajar Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Universitas Andalas: Padang.

Harjadi B, Nugroho AW, Abdiyani S, Miardini A, Octavia D. 2014. Pedoman Teknis Pengelolaan Lahan Bermasalah Pantai Berpasir dengan Cemara. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Surakarta.

Hau TC, Hamzah NH, Lian HH, Hamzah SPAA.

2014. Decomposition Process and Post Mortem Changes: Review. Sains Malaysiana 43(12): 1873-1882.

Intara YI, Sapei A, Erizal, Sembiring N, Djoefrie MHB. 2011. Pengaruh Pemberian Bahan Organik pada Tanah Liat dan Lempung Berliat Terhadap Kemampuan Mengikat Air.

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 16(2): 130135.

Kasifah. 2017. Materi Kuliah Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Makassar: Makassar.

Lancu L, Junkins EN, Petrareanu GN, Purcarea C. 2018. Characterizing Forensically Important Insect and Microbial Community Colonization Patterns in Buried Remains. Scientific Reports 8(15513): 1-16.

Lauber CL, Metcalf JL, Keepers K, Ackermann G, Carter DO, Knight R. 2014. Vertebrate Decomposition Is Accelerated by Soil Microbes. Applied and Environmental Microbiology 80(16): 4920-4929.

Nivethadevi P, Swaminathan C, Kannan P. 2021. Soil Organic Matter Decomposition-Roles, Factors, and Mechanisms. In: Sukul Singh Porte (eds) Latest Trends in Soil Science. Integrated Publications: Delhi, 61-91.

River DB, Dahlem GA. 2014. The Science of Forensic Entomology. John Wiley & Sons: West Sussex.

Rozeboom D, Ross D, Guthrie T. 2015. Caracass Composting – A Guide to Mortality Management on Michigan Cattle Farms. Michigan State University Extension Bulletin E3197.

Soon LP, See KL, Ahmad NW, Zulkapli A, Abdullah NK, Mahmood MS, Hasmi AH.

2017. The Effect of Cement and Wrapping on The Decomposition Rate of The Rabbit Carcasses. Journal of Forensic Science and Research 1: 46-62.

Stroud G. 2017. Comparison of the Decomposition of Buried Mus musculus (House Mouse) between Two Soil Types with Contrasting pH and its Potential to Assist Forensic Taphonomy. Faculty of Science and Technology. Bournemouth University. (Dissertation).

Sukandarrumidi HZ, Kotta, Wintolo D. 2018. Energi Terbarukan: Konsep Dasar Menuju Kemandirian   Energi.   UGM Press:

Yogyakarta.

Surabian D. 2012. Preservation of Buried Human Remains in Soil. Natural Resources Conservation Service: Connecticut.

Susilawati, Doyan A, Taufik M, Wahyudi, Gunawan ER, Kosim, Fithriyani A, Khair H. 2018. Identifikasi Kandungan Fe Pada Pasir Besi Alam Di Kota Mataram. Jurnal

Pendidikan Fisika dan Teknologi 4(1): 105110.

Tumer AR, Karacaoglu E, Namli A, Keten A, Farasat S, Akcan R, Sert O, Odabasi AB.

2013. Effects of Different Types of Soil on Decomposition: An Experimental Study. Legal Medicine 15(3): 149-156.

Verbon EH, Trapet PL, Stringlis IA, Kruijs S, Bakker PAHM, Pieterse CMJ. 2017. Iron and Immunity. Annual Review of Phytopathology 55: 355-375.

Wescott DJ. 2018. Recent Advances in Forensic Anthropology:  Decomposition Research.

Forensic Sciences Research. 3(4): 327-342.

Wicaksono T, Sagiman S, Umran I. 2015. Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah Pada Beberapa Cara Penggunaan Lahan Di Desa Pal IX Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya. Fakultas Pertanian. Universitas Tanjungpura. (Artikel).

Yan N, Marschner P, Cao W, Zuo C, Qin W. 2015. Influence of Salinity and Water Content on Soil Microorganisms. International Soil and Water Conservation Research 3: 316-323.

Yuliani, Rahayu YS. 2016. Pemberian Seresah Daun Jati dalam Meningkatkan Kadar Hara dan Sifat Fisika Tanah pada Tanah Kapur. Prosiding Seminar Nasional Biologi 42: 213217.

86