JURNAL BIOLOGI Xlll (2) : 41 - 44

MORFOLOGI FETUS MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees)

FOETUS MORPHOLOGY OF MICE (Mus musculus L.) AFTER TREATED BY Andrographis paniculata Nees LEAVES EXTRACT

IRIANI SETYAWATI

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Bali Email : iriani_wonggo@yahoo.co.id

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ekstrak daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap morfologi fetus jika diberikan selama periode organogenesis. Tiga puluh mencit betina bunting dibagi secara acak menjadi 5 kelompok untuk uji efek teratogenik. Ekstrak diberikan secara gavage dengan dosis 0; 0,004 (setara dengan satu kali dosis manusia); 7,5; 15; and 22,5 g/g berat badan/ hari. Perlakuan diberikan pada hari kebuntingan ke 6 hingga 13 (periode organogenesis). Fetus dikeluarkan secara caesar pada hari ke 18. Data kuantitatif dianalisa dengan Anova dilanjutkan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan efek teratogenik seiring peningkatan dosis perlakuan dengan menyebabkan kematian dan resorbsi fetus, hemoragi, dan kaki bengkok.

Kata kunci : Andrographis paniculata Nees, morfologi fetus.

ABSTRACT

This experiment was performed to examine the effects of Andrographis paniculata Nees leaves extract on foetus morphology if given during organogenesis period. Thirty pregnant mice were randomly divided into 5 groups for teratogenic effects. Extract was given orally by gavage with 0 (as control); 0,004 (equal to one time dose to human); 7,5; 15; and 22,5 g/g body weight/ day. Treatment was given from day 6 to day 13 of gestation (organogenesis period). Foetus were removed on day 18 of gestation by caesarean section. Quantitative data were analyzed with Anova and Duncan’s Multiple Range Test. The results showed that teratogenic effects increased in dose-related manner by causing foetus death and resorption, hemorrhage and clubfoot.

Keywords : Andrographis paniculata Nees, foetus morphology.

PENDAHULUAN

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), famili Acanthaceae, adalah salah satu tanaman obat yang cukup berpotensi untuk dikembangkan. Kandungan kimia yaitu andrografolid, neo-andrografolid, panikulin, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik, dan damar. Zat aktif (berkhasiat obat) ialah andrografolid yang rasanya sangat pahit. Kadar andrografolid 2,5-4,6 % dari bobot kering. Kadar kalium juga relatif cukup tinggi (Santa, 1996).

Sudah banyak dilakukan uji khasiat sambiloto pada hewan, sebagian menggunakan darah manusia yang diuji secara in vitro. Khasiat sambiloto antara lain sebagai analgetika, antipiretika, antiinflamasi, antispermatogenik dan antidiabetes. Sambiloto juga dapat menurunkan kontraksi usus, menambah nafsu makan, menurunkan tekanan darah, melindungi

kerusakan hati dan jantung yang bersifat reversibel, dan memiliki aktifitas imunodulator (Nuratmi dkk., 1996).

Ekstrak sambiloto terbukti sebagai obat herbal anti malaria alternatif yang efektif. Ekstrak tanaman Andrographis paniculata dan Hedyotis corymbosa dapat menghambat stadium cincin pada parasit Plasmodium falciparum dan tidak menunjukkan toksisitas in vivo, dalam penggunaan isolasi tersendiri maupun dikombinasikan (Mishra et al, 2009). Penggunaan yang luas dalam masyarakat karena multikhasiat dan mudah diperoleh ini menimbulkan kekhawatiran apakah sambiloto cukup aman terhadap fetus jika dikonsumsi oleh ibu hamil.

Zoha et al. (1989) melaporkan adanya efek antifertilitas Andrographis paniculata Nees terhadap mencit betina. Penelitian dari Beijing Medical College Physiology Department (Anonim 1978; dalam Panossian et al. 1999) juga melaporkan efek nyata terhadap berakhirnya

Naskah ini diterima tanggal 12 Agustus 2009 disetujui tanggal 16 Oktober 2009


kehamilan pada mencit pada saat implantasi, awal, pertengahan, maupun pada stadium akhir kehamilan. Sambiloto mungkin memiliki efek berlawanan terhadap progesteron endogen sehingga menyebabkan aborsi. Penelitian Chang & But (1986; dalam Panossian et al. 1999) secara in vivo terhadap mencit dan kelinci bunting juga menunjukkan kemungkinan adanya aktifitas aborsi.

Penelitian Hancke (1997; dalam Panossian et al. 1999) menyatakan hal yang berlawanan yaitu tidak adanya gangguan pada kehamilan, induksi resorpsi fetus, atau perubahan jumlah keturunan yang hidup dengan pemberian ekstrak kurang dari 2000 mg/kg berat badan selama 9 hari awal kehamilan tikus galur SD bunting. Hal ini didukung oleh Panossian et al. (1999) yang melaporkan tidak ada efek apapun terhadap level progesteron dalam kehamilan sehingga sambiloto tidak dapat menginduksi aborsi. Namun sejauh ini belum diketahui efek sambiloto terhadap fetus, karena itu perlu dilakukan uji tingkat keamanan dan ada tidaknya efek teratogenik sambiloto terhadap bentuk, struktur, dan perkembangan fetus.

MATERI DAN METODE

Pembuatan ekstrak daun sambiloto dilakukan dengan mencuci bersih daun dan dikering-anginkan, setelah kering kemudian digiling dan disaring dengan ayakan berukuran 15-20 mesh. Ekstraksi serbuk sebanyak 500 g dengan etanol 70% 1500 cc dilakukan dengan maserasi selama 24 jam. Filtrasi menggunakan corong Buchner menghasilkan filtrat dan residu. Filtrat dimasukkan ke dalam Rotary Evaporator (40-500C, tekanan 1 atm). Ekstrak yang dihasilkan (43,08 g) kemudian diencerkan dalam aqua bidest hingga 86,16 ml.

Tiga puluh ekor mencit bunting dikelompokkan acak menjadi 5 kelompok. Dosis ekstrak yaitu 0 (kontrol); 0,004 (1 x dosis manusia); 7,5; 15; dan 22,5 g/g bb/ hari, dicekokkan secara oral (gavage) sebanyak 0,2 ml/ ekor/ hari dengan spuit injeksi berkanul volume 1 ml. Perlakuan diberikan selama masa organogenesis yaitu hari ke-6 sampai 13 kebuntingan dan bedah caesar hari ke-18 untuk pemeriksaan fetus. Analisis hasil menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 6 ulangan. Data kuantitatif berupa jumlah fetus hidup, fetus mati, fetus resorpsi, berat dan panjang fetus, frekuensi cacat morfologi dan skeleton fetus diuji normalitas dan homogenitasnya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Anova dan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).

HASIL

Jumlah Fetus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dosis ekstrak daun sambiloto cenderung diikuti dengan menurunnya jumlah fetus hidup, namun pengaruh yang

signifikan (p < 0,05) baru mulai dosis perlakuan 15 g/g bb/hari. Fetus mengalami resorbsi pada pemberian dosis 7,5; 15 dan 22,5 g/g bb/hari. Rerata jumlah fetus yang mengalami resorbsi meningkat dengan meningkatnya dosis ekstrak yang diberikan (Tabel 1). Morfologi fetus normal, fetus kerdil dan fetus yang mengalami resorpsi ditampilkan pada Gambar 1.

Tabel 1. Rerata jumlah fetus hidup, fetus mati, dan fetus resorpsi.

Dosis (g/g bb/ hari)

Jumlah Induk (ekor)

Rerata Jumlah (ekor)

Fetus Hidup

Fetus Mati

Fetus Resorpsi

Kontrol 0,004 7,5 15 22,5

6

6

6

6

6

11,67 ± 1,633 a 10,67 ± 0,817 a 10,50 ± 1,049 a

8,67 ± 1,211 b

9,93 ± 1,780 b

0 a

0 a

0,167 ± 0,408 ab

0,667 ± 1,033 b

0 a

0 a 0 a

0,330 ± 0,817 ab

0,167 ± 0,408 a

1,333 ± 1,751 b

Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0,05)

Gambar 1. Morfologi fetus mencit (a). Fetus normal, (b). Fetus kerdil dari kelompok dosis 22,5 g/g bb/hari, (c). Fetus resorbsi dari dosis 22,5 g/g bb/hari

Berat dan Panjang Fetus

Rerata berat fetus cenderung menurun dengan meningkatnya dosis. Rerata berat di bawah normal tampak pada dosis 15 dan 22,5 g/g bb/hari (Tabel 2). Morfologi fetus dengan kelainan berat dan panjang juga dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 2. Rerata berat dan panjang fetus.

Dosis (g/g bb/ hari)

Jumlah Induk (ekor)

Jumlah Fetus Hidup (ekor)

Rerata Berat Fetus (g)

Rerata Panjang Fetus (cm)

Kontrol

6

70

1,602 ± 0,146 a

3,090 ± 0,613 a

0,004

6

64

1,452 ± 0,106 ab

2,167 ± 0,482 b

7,5

6

63

1,423 ± 0.103 b

2,403 ± 0,151 b

15

6

52

1,197 ± 0,153 c

2,105 ± 0,284 b

22,5

6

49

1,120 ± 0,176 c

1,903 ± 0,439 b

Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0,05)

Kelainan Morfologi

Kelainan morfologi berupa hemoragi paling banyak ditemukan pada dosis 22,5 g/g bb/hari. Analisis Anova menunjukkan hemoragi cenderung meningkat seiring peningkatan dosis (Tabel 3). Pengaruh nyata terlihat antara kontrol dengan dosis 22,5 g/g bb/hari. Morfologi fetus dengan hemoragi pada bagian tubuh di beberapa lokasi ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Morfologi fetus hemoragi.Tanda panah menunjukkan daerah hemoragi (a). Fetus normal kelompok kontrol, (b). Fetus hemoragi dosis 22,5 g/g bb/hari.

Tabel 3. Frekuensi jumlah fetus dengan kelainan morfologi.

Dosis (g/g bb/ hari)

Jumlah Induk (ekor)

Jumlah fetus (ekor)

Fetus Hemo-ragi (ekor)

Frekuensi Hemo-ragi (%)

Fetus cacat kaki depan (ekor)

Frekuensi cacat kaki depan (%)

Fetus cacat kaki belakang (ekor)

Frekuensi cacat kaki bela kang (%)

Kontrol

6

70

0

0 a

0

0 a

0

0 a

0,004

6

64

1

1,56 ab

1

1,56 ab

1

1,56 a

7,5

6

63

0

0 a

2

3,18 abc

0

0 a

15

6

52

4

7,69 ab

6

11,54 c

1

1,92 a

22,5

6

49

8

16,33 b

5

10,2 bc

2

4,08 a

Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0,05)

Cacat anggota badan yang ditemukan adalah kaki depan dan atau belakang bengkok. Frekuensi cacat kaki cenderung meningkat dengan bertambahnya dosis. Uji Anova dan DMRT menunjukkan beda nyata pada cacat kaki belakang antara kontrol dengan dosis 15 g/g bb/hari (Tabel 3). Pada cacat kaki depan tidak terlihat pengaruh perlakuan terhadap terjadinya kecacatan. Morfologi fetus dengan kaki bengkok disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Fetus dengan kaki bengkok (a). Fetus normal kelompok kontrol, (b). Fetus cacat kaki bengkok dosis 15 g/g bb/hari, (c). Fotomikroskopi kaki bengkok

PEMBAHASAN

Jumlah fetus hidup menurun dengan meningkatnya dosis ekstrak yang diberikan. Kematian fetus tidak terjadi pada setiap induk karena kemampuan yang berbeda dari masing-masing induk dalam memetabolisir ekstrak daun sambiloto. Diduga fetus yang mati sejak dalam kandungan belum selesai mengalami perkembangan sehingga memiliki ukuran lebih kecil dibanding fetus yang lahir dalam keadaan hidup.

Infus daun sambiloto termasuk zat yang cukup aman (Practically Non Toxic) menurut kriteria Gleason dalam Nuratmi dkk., (1996). Namun apabila dikonsumsi induk dalam jumlah besar yang melebihi konsumsi yang sewajarnya akan dapat memunculkan efek embriotoksik. Efek embriotoksik suatu zat dapat muncul jika terakumulasi pada embrio yang secara genetik peka. Resorbsi fetus merupakan salah satu indikasi agen yang bersifat teratogenik (Harbinson, 1980). Semakin tinggi tingkat dosis pada kisaran dosis embriotoksik, akan mengakibatkan terjadinya respon yang tingkatannya lebih tinggi, berkisar dari hambatan pertumbuhan, malformasi, sampai kematian intrauterin, dan resorbsi (Wilson, 1973).

Berat badan adalah parameter penting untuk mengetahui pengaruh senyawa asing terhadap fetus, ditunjukkan dengan penurunan berat fetus. Laju pertumbuhan dan perkembangan fetus menentukan variasi ukuran anakan. Rerata berat anakan mencit normal pada umur kehamilan hari ke-18 adalah 1,4 gram (Wilson dan Warkany, 1965).

Rerata panjang fetus berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan sementara antar dosis perlakuan tidak berbeda nyata. Penurunan berat dan panjang tubuh adalah bentuk teringan efek agensia teratogenik dan merupakan parameter yang sensitif. Gangguan perkembangan individu dalam uterus menyebabkan kelainan antara lain kelahiran dengan berat badan tidak normal. Berkurangnya berat dan panjang fetus adalah indikasi adanya hambatan pertumbuhan fetus. Hambatan pertumbuhan terjadi bila agen mempengaruhi proliferasi sel, interaksi sel, dan pengurangan laju biosintesis berkaitan dengan hambatan sintesis asam nukleat, protein, atau mukopolisakarida (Wilson, 1973).

Individu yang mengalami malformasi (kecacatan) umumnya lebih kecil dibandingkan individu normal. Oleh karena itu sebelum menyatakan adanya abnormalitas pada suatu individu maka berat hewan yang diperlakukan harus dibandingkan dulu dengan kontrol untuk memastikan bahwa hambatan pertumbuhan suatu organ merefleksikan hambatan pertumbuhan secara umum. Beberapa agen teratogen juga dapat mengakibatkan kelainan visceral maupun skeletal tanpa menunjukkan adanya kelainan morfologi eksternal (Santoso, 2006).

Kelainan morfologi yang paling banyak ditemukan adalah hemoragi. Hemoragi yaitu keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam ruangan atau jaringan tubuh (Price & Wilson, 1984). Kemungkinan ini terjadi karena ekstrak sambiloto diberikan berulangkali pada dosis cukup tinggi hingga konsentrasinya tinggi dalam darah dan terjadi ketidakseimbangan osmotik. Pada keadaan normal embrio berkembang dalam cairan amnion yang isotonis dengan cairan tubuh. Zat asing dalam jaringan dapat mengubah tekanan osmosis. Ketidakseimbangan osmotik dapat disebabkan gangguan tekanan dan viskositas cairan pada bagian embrio yang berbeda,

antara plasma darah dan ruang ekstra-kapiler atau antara cairan ekstra dan intra embrionik. Perbedaan ini menyebabkan pembuluh darah pecah dan terjadi hemoragi (Wilson, 1973).

Morfologi kaki yang bengkok cenderung lebih pendek dengan telapak kaki menekuk ke dalam, akibat terjadinya perbedaan derajat penulangan pada kaki yang bengkok. Pada kaki yang mengalami kelainan terjadi kalsifikasi berlebihan dan ukuran masing-masing komponen skeleton juga lebih pendek. Diduga terjadi kalsifikasi dini skeleton anggota. Belum dapat dijelaskan penyebab cacat hanya pada satu kaki belakang atau depan saja atau keduanya, juga pemendekan skeleton yang diikuti pembengkokan kaki.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun sambiloto yang diberikan pada induk selama masa organogenesis menyebabkan kelainan morfologi fetus berupa kerdil, hemoragi, dan cacat kaki bengkok.

KEPUSTAKAAN

Harbinson, R.D. 1980. Teratogens, in Cassaret, J.L., and Doull, S.J., Toxicology the Basic of Poison, 2nd ed., Mac Millan Publishing Co.Inc., New York, p.158-175.

Mishra K., A.P. Dash, B.K. Swain and N. Dey. 2009. AntiMalarial Activities of Andrographis paniculata and Hedyotis corymbosa Extracts and Their Combination with Curcumin. Malaria Journal 8:1-9.

Nuratmi, B., Adjirni, D.L. Paramita. 1996. Beberapa Penelitian Farmakologi Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3: 1-24

Panossian, A., A. Kochikian, E. Gabrielian, R. Muradian, H. Stepanian, F. Arsenian, H. Wagner. 1999. Effect of Androg-raphis paniculata Extract on Progesterone in Blood Plasma of Pregnant Rats. Phytomedicine 6: 157-164.

Price, S.A., and L.M. Wilson. 1984. Patofisiologi, CV EGC, Jakarta, hal.468.

Santa, I.G.P. 1996. Studi Taksonomi Sambiloto Andrographis panic-ulata Nees. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3: 14-15.

Santoso, H.B. 2006. Pengaruh Kafein terhadap Penampilan Reproduksi dan Perkembangan Skeleton Fetus Mencit (Mus musculus L). Jurnal Biologi X: 39-48.

Wilson, J.G. 1973. Environment and Birth Defects, Academic Press, New York, pp.6-8.

Wilson, J.G. and J. Warkany. 1965. Teratology - Principles and Techniques, University of Chicago Press, Chicago and London, pp.16-18.

Zoha, M.S., A.H. Hussain & S.A. Choudhury. 1989. Antifertility Effect of Andrographis paniculata in Mice. Bangladesh Medical Research Council Bulletin 15: 34-37.

44