THE GENETIC VARIATIONS OF INDIGENOUS BALINESE (BALI MULA) COMMUNITY AT SEMBIRAN VILLAGE USING MICROSATELITE DNA MARKERS
on
JURNAL BIOLOGI XVI (I) : 9 - 14
ISSN : 1410 5292
VARIASI GENETIK MASYARAKAT BALI MULA DI DESA SEMBIRAN BULELENG DENGAN PENANDA DNA MIKROSATELIT
THE GENETIC VARIATIONS OF INDIGENOUS BALINESE (BALI MULA) COMMUNITY AT SEMBIRAN VILLAGE USING MICROSATELITE DNA MARKERS
Made Çri Dwitiari
Jurusan Biologi F.MIPA Universitas Udayana
Email: [email protected]
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan menggunakan empat lokus DNA mikrosatelit yaitu D2S1338, D3S1358, D5S818 dan D13S317. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan PCR SuperMix dari Invitrogen. Pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran, didapatkan 19 ragam alel. Keragaman genetik dihitung berdasarkan rumus heterozigositas dan rata-rata heterozigositas yang diperoleh pada keempat lokus adalah 0,6145.
Kata kunci: amplifikasi DNA, DNA mikrosatelit, heterozigositas.
ABSTRACT
This study aimed to investigate the genetic variations of the indigenous Balinese (Bali Mula) population in Sembiran village utilizing four DNA microsatellite: D2S1338, D3S1358, D5S818 and D13S317. Amplified DNA analyzed with PCR SuperMix Kit, Invitrogen. Total alleles found in Bali Mula population at Sembiran village were 19 alleles. Genetic variations were determined using heterozygosity formulae, and the mean of heterozygosity of the four loci was 0,6145.
Keywords: DNA Amplified, DNA microsatellite, heterozygosity.
PENDAHULUAN
Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang masyarakatnya memiliki budaya dan seni beranekaragam. Masyarakat Bali dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama yaitu Bali Mula (Bali Aga) dan Bali Daratan (Bali Majapahit). Masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran (Bagus, 1971). Perbedaan lain antara masyarakat Bali Mula dan Bali Majapahit adalah pada penggunaan bahasa dan struktur masyarakatnya. Masyarakat Bali Mula menggunakan bahasa yang disebut omong negari dan omong pojol. Semua desa Bali Mula tidak mengenal adanya pelapisan masyarakat atau kasta seperti yang ada pada masyarakat Bali Daratan (Riana, 1995). Pada masyarakat Bali Daratan terdapat pelapisan masyarakat atau kasta yang sekarang dikenal sebagai wangsa, yaitu Wangsa Brahmana, Kesatria, Waisya dan Sudra (Wiana dan Santeri, 1993).
Desa Sembiran merupakan salah satu dari sejumlah desa kuno di Bali yang terletak di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, sekitar 30 km ke arah timur dari Kota Singaraja (Pemerintah Kabupaten Buleleng, 2007). Masyarakat Desa Sembiran bersifat heterogen, yaitu selain orang Bali Mula, juga dihuni oleh orang-orang yang bukan Bali Mula. Di Desa Sembiran terdapat 64
kepala keluarga yang merupakan penduduk asli Bali Mula dari 1100 kepala keluarga penduduk Desa Sembiran (I Nengah Putra, Ketua Dadia Hyang Kumpi Mulianis, 2009, kom.pri). Penduduk Bali Mula di Desa Sembiran terdiri atas tiga dadia yaitu Dadia Hyang Kumpi Mulianis, Dadia Kumpi Mula dan Dadia Kaki Kapul.
Penduduk Bali Mula di Desa Sembiran tidak dilarang untuk menikah dengan orang yang bukan Bali Mula baik dari dalam maupun dari luar desa, tetapi apabila mengambil istri dari luar desa maka dilakukan upacara khusus yang lebih besar (I Nengah Putra, Ketua Dadia Hyang Kumpi Mulianis, 2009, kom.pri). Hal ini menyebabkan penduduk Desa Sembiran cenderung tidak mengambil istri dari luar desa. Hal demikian menyebabkan terjadinya perkawinan sesama masyarakat Sembiran (inbreeding) yang akan berpengaruh terhadap struktur genetiknya. Kekhasan struktur genetik tersebut dapat terlihat dari variasi alel-alel DNA mikrosatelit yang tersebar pada masyarakat tertentu (Junitha, 2009, kom.pri). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian menggunakan empat pasang primer mikrosatelit DNA untuk mengetahui alel-alel yang tersebar dan variasi genetik masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran. Hasil penelitian ini digunakan sebagai dasar analisis DNA untuk kepentingan forensik.
Naskah diterima tanggal 1 April 2012, disetujui tanggal 20 April 2012.
MATERI DAN METODE
Pengambilan sampel dilakukan di Desa Bali Mula Sembiran Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, sedangkan penelitian dilakukan di Laboratorium Serologi dan Biologi Molekuler UPT Forensik dan Pusat Kajian Primata, Kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran pada bulan Desember 2009 - Agustus 2010. Materi dalam penelitian ini adalah darah atau sel epitel mukosa mulut, diambil dengan metode purposive sampling yaitu dengan memilih probandus hanya orang-orang Bali Mula di Desa Sembiran sebanyak 50 orang laki-laki maupun perempuan.
Calon probandus diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan penelitian dan prosedur pengambilan sampel sebelum dilakukan pengambilan biodata dan sampel darah. Calon probandus yang bersedia menjadi probandus, diwawancarai dan diminta mengisi kuisioner biodata. Sampel darah diambil dengan menggunakan alat accu check. Salah satu jari tangan probandus dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian alat accu check ditembakkan ke jari tersebut. Darah yang keluar dari ujung jari, sebanyak tiga tetes langsung dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml yang telah diisi lysis buffer sebanyak 150 µl dengan komposisi 10mM NaCl (Natrium Chlorida), 100 mM EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), 100 mM Tris-CL, 4 M urea dan aquadest. Pengambilan sampel epitel mukosa mulut dilakukan dengan cara mengusapkan cotton bud steril pada permukaan pipi bagian dalam, kemudian sampel dimasukkan pada tabung 1,5 ml yang berisi lysis buffer 500 µl (Junitha dan Sudirga, 2007).
DNA diekstraksi dari darah dan sel epitel mukosa mulut dengan menggunakan metode Fenol-Kloroform yang dimodifikasi (Sambrook dan Russel, 2001). Pellet DNA dilarutkan dengan 50 µl TE (Tris EDTA) 80%, diamplifikasikan pada mesin PCR (Applied Biosystems 2720 Thermal Cycler) dengan menggunakan empat pasang primer yaitu D2S1338, D3S1358, D5S818, dan D13S317. Campuran bahan-bahan untuk reaksi PCR adalah PCR Supermix (Invitrogen) 9,5 µl, DNA template 2 µl dan primer mix 12,5 µM sebanyak 1 µl dengan total volume 12,5 µl (Junitha, 2007). Penyesuaian DNA dengan lingkungannya pada suhu 94oC selama 5 menit sebelum dilakukan denaturasi. Denaturasi dilakukan pada suhu 94oC selama 45 detik kemudian dilanjutkan dengan proses annealing pada suhu 54-55oC selama 90 detik. Proses polimerasi/ pemanjangan DNA dilakukan pada suhu 72oC selama 135 detik. Tiga tahapan utama PCR (denaturasi, annealing dan polimerisasi) diulang hingga 30 siklus, kemudian pemanjangan akhir pada suhu 72oC selama 5 menit (Innis, 1990).
Elektroforesis produk PCR dilakukan pada Poly Acrilamid Gel Electrophoresis (PAGE) 6% selama 90 menit dengan tegangan 110 volt. Sampel hasil PCR sebanyak 1 μl yang dicampur dengan 0,3 μl 6x DNA loading dye dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran pada gel dan satu sumuran diisi dengan 100 bp DNA ladder sebagai penanda (Sambrook dan Russell, 2001). Visualisasi DNA dilakukan dengan metode pewarnaan
perak nitrat (Tegelström, 1986). Disiapkan bahan-bahan meliputi 200 mg CTAB (Cetil Trimethyl Ammonium Bromide) dalam 200 ml aquadest (larutan I); 2,4 ml amoniak (NH4OH) dalam 200 ml aquadest (larutan II); 0,32 mg perak nitrat (AgNO3) dalam 200 ml aquadest ditambahkan 80 μl 10 N NaOH dan 0,8 ml amoniak (NH4OH) (larutan III); 400 mg Na2CO3 dalam 200 ml aquadest yang ditambahkan dengan 100 μl formaldehid (Larutan IV); larutan 200 μl AAG (Asam Asetat Glasial) dalam 200 ml aquadest (larutan V) dan aquadest 600 ml.
Jarak migrasi pita DNA pada gel diukur dan didapatkan hasil pengukuran dalam milimeter, kemudian diploting pada kertas semilog untuk menetapkan panjang DNA hasil amplifikasi dalam base pairs (bp).
Keragaman genetik dihitung dengan menggunakan rumus (Nei, 1987):
h = 2n (1 – Σxi2)/(2n-1)
H =
∑h
∑lokus
Untuk menghitung Power of Discrimination digunakan rumus (Butler, 2005):
PD = (1 – 2(∑xi2)2 – ∑xi4)
h = heterozigositas,
n = jumlah sampel,
x = frekuensi alel,
H = rata-rata heterozigositas,
Σ = jumlah,
PD = Power of Discrimination.
HASIL
Pada penelitian ini diambil sampel sebanyak 50 orang masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran yaitu 20 orang dari Dadia Hyang Kumpi Mulianis, 18 orang dari Dadia Kumpi Mula dan 12 orang dari Dadia Kaki Kapul. Sebanyak 50 sampel diamplifikasi dengan empat primer/lokus yaitu D2S1338, D3S1358, D5S818 dan D13S317. Dari 50 sampel DNA tidak semua sampel dapat teramplifikasi pada setiap lokus, dilakukan pengulangan sebanyak dua kali pada proses PCR untuk sampel yang tidak teramplifikasi pada primer yang sama. Pengulangan dilakukan untuk memastikan bahwa tidak adanya pita DNA pada gel bukan disebabkan oleh kesalahan pada proses PCR. Pada lokus D2S1338 terdapat dua sampel yang tidak teramplifikasi, sedangkan pada lokus D3S1358, D5S818 dan D13S317 masing-masing terdapat satu sampel yang tidak teramplifikasi.
Frekuensi alel pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan menggunakan empat lokus dapat dilihat pada Tabel 1, frekuensi alel pada masing-masing dadia pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dapat dilihat pada Tabel 2, Nilai Heterozigositas dan Power of Discrimination (PD) pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan menggunakan empat lokus dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Frekuensi Alel pada Masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan menggunakan Empat Lokus. | ||
Lokus |
Alel |
Frekuensi (x) |
D2S1338 |
165 bp |
0,0521 |
173 bp |
0,5521 | |
181 bp |
0,0521 | |
185 bp |
0,3229 | |
197 bp |
0,0208 | |
D3S1358 |
124 bp |
0,0204 |
128 bp |
0,1020 | |
132 bp |
0,3571 | |
136 bp |
0,3469 | |
140 bp |
0,1735 | |
D5S818 |
158 bp |
0,7347 |
162 bp |
0,2142 | |
166 bp |
0,0510 | |
D13S317 |
173 bp |
0,0714 |
177 bp |
0,3571 | |
181 bp |
0,1020 | |
185 bp |
0,2041 | |
193 bp |
0,2551 | |
197 bp |
0,0102 |
Tabel 2. Frekuensi Alel Masing-masing Dadia pada Masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran.
Lokus |
Alel |
Hyang Kumpi Mulianis |
Kaki Kapul |
Kumpi Mula |
D2S1338 |
165 bp |
0,0556 |
0 |
0,0833 |
173 bp |
0,5556 |
0,3750 |
0,6667 | |
181 bp |
0,0278 |
0,1667 |
0 | |
185 bp |
0,3611 |
0,4167 |
0,2222 | |
197 bp |
0 |
0,0417 |
0,0278 | |
D3S1358 |
124 bp |
0,0263 |
0 |
0,0278 |
128 bp |
0,0263 |
0,1667 |
0,1389 | |
132 bp |
0,2632 |
0,4167 |
0,4167 | |
136 bp |
0,4474 |
0,1667 |
0,3611 | |
140 bp |
0,2368 |
0,2500 |
0,0556 | |
D5S818 |
158 bp |
0,8158 |
0,5417 |
0,7778 |
162 bp |
0,1842 |
0,2500 |
0,2222 | |
166 bp |
0 |
0,2083 |
0 | |
D13S317 |
173 bp |
0,0526 |
0,1250 |
0,0556 |
177 bp |
0,3421 |
0,4583 |
0,3056 | |
181 bp |
0,0789 |
0,0833 |
0,1389 | |
185 bp |
0,2105 |
0,1667 |
0,2222 | |
193 bp |
0,3158 |
0,1667 |
0,2500 | |
197 bp |
0 |
0 |
0,0278 |
Tabel 3. Nilai Heterozigositas dan Power of Discrimination (PD) pada Masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan menggunakan Empat Lokus.
Lokus |
Heterozigositas (h) |
Power of Discrimination (PD) |
D2S1338 |
0,5851 ± 0,1061 |
0,5519 |
D3S1358 |
0,7112 ± 0,0933 |
0,8014 |
D5S818 |
0,4117 ± 0,1106 |
0,0143 |
D13S317 |
0,7501 ± 0,0892 |
0,8527 |
Heterozigositas rata-rata |
0,6145 |
PEMBAHASAN
Sampel yang tidak teramplifikasi pada satu lokus, tetapi teramplifikasi pada lokus lainnya maka sampel pada lokus yang tidak teramplifikasi menghasilkan null-allele. Null-allele merupakan suatu keadaan DNA yang tidak teramplifikasi sehingga tidak ada pita DNA yang muncul pada gel hasil elektroforesis. Null-allele biasa terjadi pada DNA mikrosatelit karena adanya mutasi nukleotida pada sisi annealing yang mengapit DNA mikrosatelit (Callen et al., 1993; Ishibashi et al., 1996; Treuren, 1998). Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan amplifikasi adalah akibat kualitas maupun kuantitas DNA template yang kurang baik (Gagneux et al., 1997; Shinde et al., 2003; Chapuis dan Estoup, 2006). Menurut Dakin dan Avise (2004), perbedaan amplifikasi yang disebabkan karena variasi ukuran alel juga merupakan salah satu sebab terjadinya null-allele. Alel yang pendek lebih efektif atau cepat teramplifikasi dibandingkan dengan alel yang panjang (Sambrook dan Russell, 2001). Oleh karena itu produk PCR menghasilkan alel pendek saja pada individu, sedangkan alel panjang tidak terbentuk yang dikategorikan sebagai null-allele.
Hasil amplifikasi keempat lokus pada sampel DNA masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran ditemukan 19 alel. Ragam alel paling banyak dihasilkan oleh lokus D13S317 yaitu enam alel, kemudian lokus D2S1338 dan D3S1358 sebanyak lima alel, sedangkan ragam alel paling sedikit dihasilkan oleh lokus D5S818 yaitu tiga alel. Pada penelitian yang dilakukan oleh Unadi (2010), mengenai variasi DNA mikrosatelit pada masyarakat Suku Batak yang tinggal di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, untuk lokus yang sama yaitu D2S1338 ditemukan 14 ragam alel dan lokus D13S317 sebanyak 10 alel. Hal tersebut dapat terjadi karena variasi sumber gen yang lebih banyak. Pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran, sumber gen masih berada pada satu wilayah yang sempit sehingga variasi alel hanya ditentukan oleh faktor mutasi yang terjadi sangat sedikit. Sedangkan masyarakat Suku Batak di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang berkumpul di Kota Denpasar dengan genetik yang telah banyak mengalami perubahan sebelum masuk ke Bali.
Lokus D2S1338 menghasilkan 5 ragam alel (Tabel 1), dengan alel terpendek 165 bp dan terpanjang 197 bp. Frekuensi tertinggi terdapat pada alel 173 bp (0,5521) dan terendah pada alel 197 bp (0,0208). Ragam alel yang berbeda pada lokus D2S1338 ditemukan pada penelitian di Italia yaitu sebanyak 14 ragam alel (Garofano et al., 1999). Perbedaan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh jumlah dan wilayah pengambilan sampel. Sampel masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran hanya 50 orang dan berada pada satu wilayah yang sempit. Sedangkan sampel penelitian di Italia menggunakan 208 orang pada wilayah yang lebih luas. Berdasarkan ukuran alel, penelitian ini menghasilkan ukuran alel yang berbeda dengan penelitian Butler (2005), yang mendapatkan alel dengan ukuran 289-341 bp. Perbedaan ukuran alel tersebut dapat disebabkan oleh adanya variasi antar ras
yang terkait dengan cikal bakal pembentuk populasi (founding father). Variasi yang terjadi antar populasi juga terjadi akibat adanya mutasi DNA mikrosatelit.
Alel yang ditemukan pada lokus D2S1338 tidak semuanya tersebar di ketiga dadia masyarakat Bali Mula Desa Sembiran. Pada Dadia Hyang Kumpi Mulianis tidak ditemukan alel 197 bp, pada Dadia Kaki Kapul tidak ditemukan alel 165 bp dan pada Dadia Kumpi Mula tidak ditemukan alel 181 bp (Tabel 2). Nilai frekuensi alel tertinggi pada Dadia Hyang Kumpi Mulianis yaitu 0,5556 dan Dadia Kumpi Mula yaitu 0,6667 terdapat pada alel 173 bp, sedangkan nilai frekuensi tertinggi pada Dadia Kaki Kapul yaitu 0,4167 terdapat pada alel 185 bp (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa alel 173 bp merupakan alel umum pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran, karena nilai frekuensinya pada Dadia Kaki Kapul juga cukup tinggi yaitu 0,3750 (Tabel 2).
Hasil amplifikasi pada lokus D3S1358 diperoleh lima ragam alel, dengan alel terpendek 124 bp dan alel terpanjang 140 bp dengan frekuensi tertinggi 0,3571 terdapat pada alel 132 bp dan terendah 0,0204 terdapat pada alel 124 bp (Tabel 1). Penelitian menggunakan lokus yang sama oleh Perez-Miranda et al. (2005), di Provinsi Guipuzcoa dan Navarre Spanyol ditemukan masing-masing tujuh ragam alel. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang diteliti. Menurut Butler dan Becker (2001) panjang alel pada lokus D3S1358 berkisar 76-120 bp, sedangkan menurut Kasyap et al. (2004), panjang alel pada lokus D3S1358 berkisar antara 115-147 bp. Hasil amplifikasi yang diperoleh dari sampel DNA masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran masih berada di dalam kisaran ukuran alel dunia, yaitu 120-147 bp.
Alel tengah pada lokus D3S1358 masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran yang memiliki frekuensi tertinggi yaitu 132 bp (Tabel 1), oleh karena itu alel 132 bp diduga merupakan alel founding father dari masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran. Alel founding father akan mengalami mutasi, sehingga terbentuk alel yang lebih panjang atau lebih pendek dengan frekuensi yang lebih rendah. Perubahan ragam alel dapat terjadi akibat adanya perkawinan antara masyarakat Bali Mula laki-laki dengan perempuan dari luar yang membawa masuk alel yang berbeda. Contohnya pada sampel nomor 10, 12, 17, 18, 20 dan 45 memiliki kakek yang sama dari garis ayah, namun panjang alel pada masing-masing sampel berbeda. Perbedaan yang terjadi karena pengaruh perkawinan antara ayah sampel yang semuanya bersaudara, dengan ibu sampel yang bukan berasal dari masyarakat Bali Mula seperti Dadia Kayu Selem, Dukuh Kangin dan lainnya sebagai sumber gen atau alel baru.
Lokus D3S1358 pada masing-masing dadia, sebagian besar alel yang ada tersebar di seluruh dadia kecuali alel 124 bp tidak ditemukan pada dadia Kaki Kapul dan juga merupakan alel dengan nilai frekuensi terendah di kedua dadia lainnya (Tabel 2). Rendahnya frekuensi alel ini menunjukkan bahwa alel 124 bp merupakan hasil mutasi tahap akhir dari lokus D3S1358 (one step mutation) atau alel yang baru masuk pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran. Pada Dadia Hyang Kumpi Mulianis, nilai frekuensi tertinggi terjadi pada alel 136 bp
(0,4474), sedangkan pada Dadia Kaki Kapul dan Kumpi Mula, nilai frekuensi tertinggi terdapat pada alel 132 bp dengan nilai sama yaitu 0,4167. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan alel yang dibawa oleh founding father.
Hasil amplifikasi pada lokus D5S818 diperoleh tiga ragam alel, alel terpendek 158 bp dan alel terpanjang 166 bp dengan frekuensi tertinggi terdapat pada alel 158 bp (0,7347) dan terendah pada alel 166 bp (0,0510) (Tabel 1). Hasil penelitian masyarakat di tiga daerah negara bagian Colombia Amerika yaitu Antioquia, Cundinamarca dan Choco ditemukan secara berturutan masing-masing sebanyak sembilan, delapan dan enam ragam alel (Palacio et al., 2006). Menurut Butler dan Becker (2001) ukuran panjang alel pada lokus D5S818 adalah 89-121 bp, sedangkan Kasyap et al. (2004), menemukan ukuran panjang alel antara 119-155 bp. Ukuran alel yang lebih panjang yang ditemukan pada penelitian ini menguntungkan bidang forensik, karena alel ini dapat menjadi penciri untuk masyarakat Bali khususnya masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran. Perbedaan ukuran alel biasa terjadi antar ras, yang berkaitan dengan alel yang dibawa oleh founding father masing-masing ras.
Frekuensi alel 158 bp pada lokus D5S818 paling tinggi dibandingkan dengan alel-alel lain baik di dalam lokus yang sama maupun lokus yang berbeda (Tabel 1). Nilai frekuensi alel tertinggi yang ditemukan pada ketiga dadia juga terdapat pada alel 158 bp yaitu 0,8158 untuk Dadia Hyang Kumpi Mulianis, 0,5417 untuk Dadia Kaki Kapul dan 0,7778 untuk Dadia Kumpi Mula (Tabel 2). Nilai frekuensi yang tinggi menunjukkan bahwa alel 158 bp merupakan alel yang umum pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran. Frekuensi yang terlalu tinggi dalam satu lokus, menyebabkan penurunan nilai keragaman genetik dan Power of Discrimination. Keistimewaan ditemukan pada lokus D5S818, dimana alel 166 bp hanya ditemukan pada Dadia Kaki Kapul saja. Hal ini menguntungkan bidang forensik karena dapat menjadi alel penciri Dadia Kaki Kapul pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran.
Enam ragam alel ditemukan pada lokus D13S317, dengan alel terpendek 173 bp dan terpanjang 197 bp dengan frekuensi tertinggi 0,3571 terdapat pada alel 177 bp dan terendah 0,0102 terdapat pada alel 197 bp (Tabel 1). Penelitian menggunakan lokus D13S317 di Propinsi Guipuzcoa Spanyol ditemukan sebanyak tujuh ragam alel, sedangkan di Navarre Spanyol ditemukan delapan ragam alel (Perez-Miranda et al., 2005). Penelitian oleh Palacio et. al. (2006), di tiga daerah Negara bagian Colombia Amerika, ditemukan tujuh ragam alel di daerah Choco, dan masing-masing delapan ragam alel di daerah Antioquia dan Cundinamarca, sedangkan penelitian di Bangladesh oleh Halder dan Akhteruzzaman (2006), menemukan sembilan ragam alel untuk lokus yang sama. Secara umum panjang alel pada lokus D13S317 berkisar antara 165-197 bp (Butler dan Becker, 2001) atau 169201 bp (Kasyap et al., 2004). Ukuran alel masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan kisaran 173-197 bp masih termasuk dalam kisaran alel-alel dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran alel-alel lokus ini
merata dan tidak banyak mengalami perubahan.
Nilai frekuensi alel tertinggi pada lokus D13S317 yang ditemukan pada ketiga dadia yaitu 0,3421 untuk Dadia Hyang Kumpi Mulianis, 0,4583 untuk Dadia Kaki Kapul dan 0,3056 untuk Dadia Kumpi Mula terdapat pada alel yang sama yaitu alel 177 bp (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa alel 177 bp merupakan alel umum yang ditemukan pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran, sedangkan alel 197 bp yang hanya ditemukan pada Dadia Kumpi Mula dengan frekuensi yang sangat kecil bukan merupakan alel khusus, tetapi kemungkinan alel ini berasal dari luar.
Tabel 3 menunjukkan nilai heterozigositas dan Power of Discrimination tertinggi terdapat pada lokus D13S317, diikuti oleh lokus D3S1358, D2S1338 dan terendah pada lokus D5S818. Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai heterozigositas berbanding lurus dengan nilai Power of Discrimination. Nilai heterozigositas dan Power of Discrimination dipengaruhi oleh ragam alel dan frekuensinya. Semakin banyak ragam alel yang ditemukan, maka semakin tinggi nilai heterozigositas dan Power of Discrimination pada lokus tersebut. Semakin tinggi nilai heterozigositas dan Power of Discrimination yang dihasilkan, maka lokus tersebut semakin baik digunakan dalam analisis DNA untuk keperluan forensik.
Hasil penelitian variasi genetik masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan penanda DNA mikrosatelit menunjukkan bahwa lokus yang baik digunakan dalam analisis DNA untuk kepentingan forensik yaitu lokus D13S317, D3S1358 dan D2S1338 karena memberikan ragam alel lebih banyak sehingga nilai heterozigositas dan Power of Discrimination-nya tinggi, sedangkan lokus yang tidak baik digunakan adalah D5S818 karena menghasilkan ragam alel yang sedikit, sehingga akan menurunkan nilai heterozigositas dan Power of Discrimination. Semakin besar nilai pembeda maka semakin kecil peluang ditemukan dua orang yang tidak berhubungan keluarga memiliki genetik yang sama, sehingga semakin kecil kemungkinan orang yang tidak bersalah mendapat hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
SIMPULAN
Sembilan belas ragam alel ditemukan pada masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dan sebagian alel tidak merata di ketiga dadia. Lokus yang memperlihatkan hasil baik dalam analisis DNA pada penelitian ini adalah D13S317, D3S1358 dan D2S1338, sedangkan lokus D5S818 memperlihatkan hasil yang kurang baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan Hibah Penelitian Strategis Nasional Universitas Udayana a.n. I Ketut Junitha. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pejabat dan tokoh masyarakat di Desa Sembiran Buleleng, Laboratorium Serologi dan Biologi Molekuler Forensik serta Laboratorium Pusat Penelitian Primata, Kampus Bukit Jimbaran Universitas Udayana.
KEPUSTAKAAN
Bagus, IGN. 1971. Kebudayaan Bali dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Koentjaraningrat Djambatan. Hal: 286-306.
Butler, JM., Becker CH. 2001. Improved Analysis of DNA Short Tandem Repeats With Time-Of-Flight Mass Spectrometry (Science and Technology Research Report). Washington DC: US Department of Justice Office of Justice Program.
Butler, JM. 2005. Forensic DNA Typing (2nd Edition). New York: Elsevier Academy Press.
Callen, DF., Thompson, AD, Shen, Y, Phillips, HA., Richards, RI., Mulley, JC., Sutherland, GR. 1993. Incidence and Origin of ”Null” Alleles in the (AC)n Microsatellite Markers. American Journal of Human Genetics 52: 922-927.
Chapuis, M., Estoup, A. 2006. Microsatellite Null Alleles and Estimation of Population Differentiation. United Kingdom: Oxford University Press.
Dakin, EE., Avise, JC. 2004. Microsatellite Null Alleles in Parentage Analysis. Heredity 93: 504-509.
Gagneux, P., Boesch, C., Woodruff, DS. 1997. Microsatellite Scoring Errors Associated with Noninvasive Genotyping Based on Nuclear DNA Amplified from Shed Hair. Molecular Ecology 6: 861-868.
Garofano, L., Pizzamiglio, M., Donato, F., Biordi, F., Rossetti, M., Budowle, B. 1999. Italian Population Data on Two New Short Tandem Repeat Loci: D2S1338 and Penta E. Forensic Science International 105: 131-136.
Halder, SK., Akhteruzzaman, S. 2006. Allele Frequency of Three Autosomal STR Loci D16S539, D7S820, D13S317 in Bangladeshi Population Sample. Bangladesh: University of Dhaka.
Innis, MA., Gelfand, DH., Snisky, JJ., White, TJ. 1990. PCR Protocols: A Guide to Methods and Aplication. Toronto: Academic Press Inc.
Ishibashi, Y., Saitoh, T., Abe, S., Yoshida, MC. 1996. Null Microsatellite Alleles Due to Nucleotide Sequence Variation in the Greysided Vole Clethrionomys rufocanus. Molecular Ecology 5: 589-590.
Junitha, IK. 2007. Penggunaan DNA Mikrosatelit Untuk Penelusuran Kawitan Pada Soroh-soroh Masyarakat Bali (Kajian Pustaka). Jurnal Biologi XI (2): 50-54.
Junitha, IK., Sudirga, SK. 2007. Variasi DNA Mikrosatelit Kromosom Y pada Masyarakat Bali Mula Terunyan. Hayati Journal of Bioscience XIV(2): 59-64.
Kasyap, Richaashma, Sonaligaikwad, Sarkar BN, Triverdi R. 2004. Deciphering Diversity in Populations of Various Linguistic and Ethnic Affiliations of Different Geographical Regions of India: Analysis Based on 15 Microsatellite Markers. Journal of Genetics 83(1): 49-63.
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press.
Palacio, OD., Triana, O., Gaviria, A., Ibarra, AA., Ochoa, LM., Posada, Y., Maya, MC., Lareu, MV., Brioh, M., Acosta, MA., Carracedo, A. 2006. Autosomal Microsatellite Data from Northwestern Colombia. Forensic Science International 160: 217-220.
Pemerintah Kabupaten Buleleng. 2007. Wisata Timur Kabupaten Buleleng.
Available at : www.bulelengkab.go.id/main.php?s=news&kd=526 Opened : 09.10.2009
Perez-Miranda, MA., Alfonso-Sanchez, MA., Kalantar, A., Garcia-Obregon, S., de Pancorbo, MM., Pene, JA., Herrera, RJ. 2005. Microsatelite Data Support Subpopulation Structuring Among Basques. Jurnal Human Genetic 50: 403-414.
Riana, IK. 1995. Masyarakat Gebog Domas di Bali: Studi Tuturan dan Semiotik Sosial [Disertasi], Surabaya: Universitas Air-langga.
Sambrook, J., Russell, DW. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory
Manual (3rd edition). New York: Child Spring Harbor Lab Pr. Shinde, D., Lai YL., Sun, FZ., Arnheim, N. 2003. Taq DNA Polymerase Slippage Mutation Rates Measured by PCR and Quasi-likelihood Analysis: (CA/GT)(n) and (A/T)(n) Microsatellites. Nucleic Acids Research 31: 974-980.
Tegelström, H. 1986. Mitochondrial DNA in Natural Population: An Improved Routine for Screening of Genetic Variation Based on Sensitive Silver Staining. Electrophoresis 7: 226-229.
Treuren, RV. 1998. Estimating Null Allele Frequencies at a Microsatellite Locus in the Oystercatcher (Haematopus ostrale-gus). Molecular Ecology 7: 1413-1417.
Unadi, YC. 2010. Variasi DNA Mikrosatelit pada Masyarakat Suku Batak yang Tinggal di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung [Skripsi], Bali: Universitas Udayana.
Wiana, K., Santeri, R. 1993. Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
14
Discussion and feedback