P ISSN: 1410-5292,

E ISSN: 2599-2856

JURNAL BIOLOGI UDAYANA 22 (2): 66 –70

INDUKSI KALUS EKSPLAN BUNGA PISANG DENGAN 2,4 DICHLOROPHENOXYACETICACID (2,4-D)

CALLUS INDUCTION ON BANANA FLOWER’S EXPLANT USING 2,4-DICHLOROPHENOXYACETIC (2,4-D)

Rindang Dwiyani*, Hestin Yuswati, Utami

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Jimbaran Bali

*E-mail: Rindangdwiyani@unud,ac.id

Diterima 25 September 2018, Disetujui 4 Desember 2018

INTISARI

Tujuan penelitian adalah mendapatkan konsentrasi 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) terbaik untuk menginduksi kalus pada eksplan bunga pisang dalam perbanyakan pisang dengan metode organogenesis tidak langsung (indirect organogenesis). Penelitian ini menggunakan kultivar pisang Kesuna yang bibitnya diperoleh dari Desa Sembung Gede, Tabanan. Induksi kalus dilakukan dengan pemberian 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid dengan konsentrasi 0; 0.5; 1.0; 1,5 dan 2,0 ppm. Masing-masing perlakuan diwakili oleh 3 botol kultur dan masing-masing botol ditanami 3 eksplan, jadi setiap perlakuan diwakili oleh 9 eksplan bunga pisang. Hasil penelitian mendapatkan konsentrasi 2,0 ppm 2,4-D menginduksi kalus dengan waktu tercepat dan memberikan persentase tertinggi untuk peubah eksplan berkalus. Subkultur kalus pada media MS yang ditambah dengan 0.5 ppm BAP dan 0.005 ppm NAA membentuk plantlet.

Kata kunci : 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid, bunga pisang, kalus

ABSTRACT

The objective of the study was to obtain the best 2,4-D concentration on callus induction of the banana flowers in banana propagation using indirect organogenesis method. Kesuna, local banana cultivar obtained from Sembung Gede, Tabanan was used as explant material. Callus induction was performed using 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid with concentration of 0; 0.5; 1.0; 1.5 and 2.0 ppm. Each treatment was represented by 3 bottles and each bottle was planted with 3 explants, so each treatment was represented by 9 explants of banana flowers. The results showed that the concentration of 2.0 ppm 2.4-D induced callus with the fastest time and gave the highest percentage of the explants producing callus. The calluses were subsequently subcultured into regeneration medium using 0.5 mg/L Benzylaminopurine (BAP) and 0.005 mg/L Napthaleneaceticacid (NAA). The calluses were subsequently sub-cultured into a regeneration medium using 0.5 ppm (BAP) and 0.005 ppm Naphthalene acetic acid (NAA) to induce shoots and roots and performed plantlets.

Keywords: 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid, banana’s flowers, callus

PENDAHULUAN

Bali merupakan daerah dengan kebutuhan akan komoditi buah-buahan yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan hotel, restoran dan juga untuk upacara keagamaan. Suparyana et al. (2017) menyebutkan bahwa kebutuhan buah di Bali sangat tinggi dan melebihi kemampuan produksi petani Bali. Hingga kini pemenuhan kebutuhan buah, khususnya pisang masih mendatangkan dari Jawa (Bali.bisnis.com., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa kontinyuitas ketersediaan komoditi pisang perlu mendapat perhatian.

Salah satu yang diduga sebagai penyebab kondisi tersebut adalah tidak dibudidayakannya pertanaman pisang secara intensif. Usaha pertanaman pisang secara intensif memerlukan bibit pisang dalam jumlah banyak. Sementara itu, perbanyakan vegetatif pisang secara konvensional yang dilakukan oleh petani hanya menghasilkan jumlah bibit (anakan) yang sangat terbatas. Hal ini menjadi salah satu penyebab komoditi pisang belum dibudidayakan secara intensif. Perbanyakan bibit dengan teknologi kultur jaringan menjadi salah satu solusi dalam menghadapi permasalahan bibit tersebut. Melalui teknologi kultur jaringan dapat dihasilkan bibit sehat dalam jumlah banyak dan dalam waktu

yang relatif singkat. Individu anakan baru yang dihasilkan tersebut secara genetik akan sama dengan induknya (Dwiyani, 2015).

Upaya memperoleh bibit pisang melalui teknik kultur jaringan sudahdilakukan di banyak negara dengan berbagai organ tanaman sebagai bahan eksplan (Krikorian and Cronauer, 1984; Cote et al. 1990; Drew & Smith 1990; Israeli et al. 1995; Vuylsteke, 1998; Muhamad et al. 2004; Ngomuo et al. 2014). Tahapan yang paling utama dalam kultur jaringan adalah pada multiplikasi propagul (Dwiyani, 2015). Kecepatan multiplikasi bersifat sangat spesifik secara genetik atau genotypic dependent (Husaeni et al., 2011), bahkan Israeli et al. (1995) mendapatkan bahwa respon berbeda bisa terjadi pada kultur pisang dari genotip yang sama dengan bahan eksplan yang berbeda. Meskipun penelitian kultur pisang sudah banyak dilaporkan, namun adanya sifat genotypic dependent pada kultur jaringan ini menjadi alasan yang kuat bahwa penelitian teknik kultur jaringan terhadap kultivar pisang lokal Bali ini perlu dilakukan.

Penelitian ini menggunakan kultivar pisang lokal Bali, dengan nama lokal pisang Kesuna yang diperoleh dari Tabanan. Pemanfaatan kultivar pisang ini adalah untuk upacara keagamaan dan juga dimakan sebagai buah segar/buah meja. Metode perbanyakan dengan teknologi kultur jaringan diharapkan mampu menghasilkan metode untuk menghasilkan bibit pisang dalam jumlah banyak untuk kebutuhan budidaya intensif. Selain itu, perbanyakan somaklonal dengan teknologi kultur jaringan juga merupakan salah satu cara untuk konservasi sumber daya genetik secara eks-situ.

Organogenesis secara tidak langsung (indirect organogenesis) melalui kalus merupakan metode perbanyakan yang umum digunakan dalam teknologi kultur jaringan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan konsentrasi 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) terbaik untuk menginduksi kalus pada eksplan bunga pisang dalam perbanyakan pisang melalui indirect organogenesis.

MATERI DAN METODE

Penelitian bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang beralamat di Jalan Pulau Moyo, Pedungan, Denpasar. Penelitian (dari sejak persiapan, pencarian bahan eksplan, persiapan alat dan media, penanaman hingga pengamatan) berlangsung selama enam bulan, yakni dari bulan Januari hingga Juni 2018.

Bahan tanam adalah kultivar pisang lokal Bali yaitu pisang Kesuna yang diperoleh dari Tabanan. Bahan penelitian lainnya adalah bahan habis pakai untuk kebutuhan kultur jaringan yaitu: media Murashige dan Skoog (MS), gellan gum (pemadat), Polyvinylphyrrolidone (PVP), arang aktif, glukosa, hormon 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4D),

Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP), alkohol, spritus, aquades, NaOH, HCl, kertas saring, tisu, glove, masker, aluminium foil, plastik lembaran, dan karet gelang. Peralatan yang dibutuhkan adalah: laminar air flow, autoklaf, botol kultur, dissecting kit, pH meter, Becker glass, gelas ukur, spatula, dan timbangan.

Induksi organogenesis secara tidak langsung adalah induksi organ (tunas) dilakukan secara tidak langsung melalui pembentukan kalus. Digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan sebagai berikut: M0 (MS, sebagai kontrol), M1 (MS+0.5 ppm 2,4-D), M2 ( MS+1.0 ppm 2,4-D), M3 (MS+1.5 ppm 2,4-D) dan M4 (MS+2.0 ppm 2,4-D) sehingga keseluruhan ada 5 perlakuan. Masing-masing perlakuan diwakili oleh 3 botol yang masing-masing terdiri dari 3 eksplan, jadi setiap perlakuan diwakili oleh 9 eksplan.

Bunga pisang berukuran 2 cm dicuci bersih dengan detergen selanjutnya dibilas bersih. Sterilisasi di luar laminar dilakukan dengan perendaman dalam larutan klorox 10 % selama 10 menit, selanjutnya dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Bunga pisang tersebut kemudian disemprot dengan alkohol dan dimasukkan ke dalam laminar. Dalam laminar, bunga pisang dicelupkan selama 20 detik dalam larutan alkohol 70%, kemudian dibilas air steril tiga kali dan ditiriskan di atas kertas saring steril selama 10 menit. Selanjutnya eksplan ditanam pada media perlakuan dan diinkubasi pada ruang kultur dengan suhu 20օC, RH 70% dan cahaya lampu neon 20 watt. Variabel yang diamati adalah saat eksplan tumbuh kalus dan persentase eksplan berkalus. Waktu pengamatan dilakukan sejak 2 hari setelah tanam (hst) hingga 20 hst. Data dianalisis secara deskriptif dan tidak dilakukan analisis secara statistik.

HASIL

Tabel 1 memperlihatkan data saat tumbuh kalus dan jumlah eksplan berkalus, sedangkan kondisi kalus pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1. Kalus tumbuh tercepat pada media dengan konsentrasi 2.0 ppm 2,4-D yakni rata-rata 4.83 hari setelah tanam. Perlakuan konsentrasi 1.5 ppm dan 1.0 ppm 2,4-D menghasilkan saat tumbuh kalus yang relatif sama yakni berturut-turut 9.40 hari dan 9.50 hari, sedangkan perlakuan 0.5 ppm 2,4-D menghasilkan kalus rata-rata pada 11.50 hari (Tabel 1).

Untuk variabel persentase eksplan berkalus, perlakuan 2.0 ppm 2,4-D menghasilkan persentase tertinggi (67%), diikuti oleh perlakuan konsentrasi 1.5 ppm (56%), 1.0 ppm dan 0.5 ppm (22%). Perlakuan kontrol tidak menghasilkan kalus, sehingga tidak ada data untuk kedua variabel yang diamati (Tabel 1).

Tabel 1. Data Organogenesis secara tidak langsung pada eksplan bunga pisang kultivar Kesuna

Perlakuan

Saat tumbuh kalus (hst*)

Jumlah dan persentase eksplan berkalus(dari 9 eksplan)

M0 (kontrol)

tidak tumbuh

0 (0%)

M1 (MS+0.5 ppm 2,4-D)

11.50

2 (22%)

M2 ( MS+1.0 ppm 2,4-D)

9.50

2 (22%)

M3 (MS+1.5 ppm 2,4-D)

9.40

5 (56%)

M4 (MS+2.0 ppm 2,4-D)

4.83

6 (67%)

Standard Error (SE)

1.41

1.10

*hst=hari setelah tanam



Gambar 1. Kalus yang terbentuk pada media dengan beragam konsentrasi 2,4-D M0=MS (kontrol); M1 =MS+0.5 ppm 2,4-D; M2= MS+1.0 ppm 2,4-

D; M3= MS+1.5 ppm 2,4-D; M4= botol kultur =6 cm; Bar = 1 cm

Setelah eksplan berkalus, kalus tersebut disubkultur ke media tanpa hormon selama 5 hari, kemudian disubkultur kembali pada media MS yang ditambah 0.5 ppm BAP dan 0.005 ppm NAA untuk membentuk plantlet. Plantlet

MS+2.0 ppm 2,4-D; Diameter

terbentuk 30 hari setelah disubkultur, namun tidak semua subkultur sukses dilakukan, beberapa eksplan menjadi browning dan mati. Plantlet yang pada 45 hari setelah subkultur dapat dilihat pada Gambar 2.


Gambar 2. Plantlet pisang pada 45 hari setelah kalus disubkultur pada media MS+0.5ppm BAP+0.005 ppm NAA;

Diameter botol kultur = 6 cm; Bar = 1 cm

PEMBAHASAN

Data yang didapat dari induksi kalus ini menunjukkan bahwa media MS tanpa penambahan 2,4-D tidak dapat membentuk kalus, sedangkan penambahan 2,4-D dapat membentuk kalus dan hasil terbaik diperoleh pada 2,0 ppm 2,4-D. Efektifitas penggunaan hormon tumbuh dalam kultur in vitro sangat ditentukan oleh konsentrasinya (Dwiyani, 2015). Konsentrasi terlalu rendah kurang memberi efek, sedangkan konsentrasi terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian jaringan eksplan. Paparan yang terlalu panjang terhadap hormon tumbuh juga dapat memicu terjadinya variasi somaklonal pada progeni yang dihasilkan. Variasi somaklonal dapat bersifat permanen jika efeknya menyebabkan perubahan pada susunan basa-basa nitrogen yang menyusun DNA, sehingga terjadi perubahan secara genetik.

2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) adalah suatu senyawa organik dengan rumus kimia C8H6Cl2O3. Senyawa ini merupakan jenis herbisida (Kennepohl et al. 2010), namun dalam kultur in vitro, 2,4-D termasuk jenis hormon tumbuh yang dapat menginduksi kalus. Gati dan Mariska (1992) menyebutkan bahwa 2,4-D efektif untuk memacu pertumbuhan kalus karena efektifitasnya yang kuat untuk memacu proses diferensiasi sel, menekan organogenesis serta menjaga pertumbuhan kalus. Haensch (2007) mendapatkan bahwa 2,4 D mampu menginduksi kalus embriogenik pada tanaman hias Pelargonium x domesticum ‘Madame Layal’. Setelah terbentuknya kalus, kalus dipindah pada media tanpa hormon untuk regenerasi, selanjutnya dipindahkan pada media BAP untuk produksi plantlet. Hal yang sama dilakukan dalam penelitian ini, yakni, kalus disubkultur pada media tanpa hormon untuk menghentikan pembentukan kalus atau pembentukan sel-sel yang tidak

terorganisir. Selanjutnya disubkultur kembali pada media dengan 5 ppm BAP (menginduksi tunas) dan 0.005 ppm NAA (menginduksi akar) sehingga terbentuk plantlet.

Umumnya kultur pisang menggunakan bahan eksplan berupa kultur tunas atau meristem dan belum ada yang melaporkan penggunaan bunga pisang dalam kultur pisang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bunga pisang dapat digunakan sebagai sumber eksplan dan dapat menghasilkan plantlet. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut tentang variasi somaklonal serta fertilitas dari progeni yang dihasilkan.

SIMPULAN

Propagasi pisang secara in vitro dapat dilakukan dengan eksplan bunga pisang. Konsentrasi 2.0 ppm 2,4-D menghasilkan pembentukan kalus tercepat dan persentase kalus terbanyak. Pembentukan plantlet dapat terjadi dengan mensubkultur kalus yang terbentuk secara berturut-turut pada media tanpa hormon (satu minggu) dan kemudian disubkultur ke media 0.5 ppm BAP dan 0.005 ppm NAA.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini didanai oleh dana PNBP Universitas Udayana tahun anggaran 2018 melalui Skim Penelitian Hibah Unggulan Udayana. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak Rektorat Universitas Udayana sebagai penyandang dana, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) serta Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang sudah memfasilitasi sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.

KEPUSTAKAAN

Bali.bisnis.com. 2016. Kebutuhan-pisang di Bali dipasok dari

Jawa (http://bali.bisnis.com/read/20160716/2/606 08/kebutuhan-pisang-di-bali-dipasok-dari-jawa).

Diunduh 11 Desember 2017

Cote, F., D. Alvard, R. Domergue, L.N. Mastache and C. Teisson. 1990. Micropropagation in vitro du bananier. Fruits. 45: 112-118.

Drew, R.A. and M.K. Smith. 1990. Field evaluation of tissue cultured bananas in southeastern Queensland.

Australian Journal of Experimental Agriculture 30: 569-574.

Dwiyani, R. 2015. Kultur Jaringan Tanaman. Pelawasari: Denpasar. Hal. 87.

Gati, E dan I. Mariska. 1992. Pengaruh auksin dansitokinin terhadap kalus Mentha piperita Linn. Buletin Littri 3: 1-4

Haench, KT. 2007. Influence of 2,4-D and BAP on callus growth and the subsequent regeneration of somatic embryos in long-term cultures of Pelargonium x domesticum cv. Madame Layal. Electronic Journal of Biotechnology 10(1): 69-77

Husaini A.M., J.A. Mercado, J.A.T. Da Silva, and J.G.

Schaart.    2011. Review of Factors Affecting

Organogenesis, Somatic Embryogenesis and Agrobacterium    tumefaciens    -    Mediated

Transformation of Strawberry. Genes, Genomes and Genomics (E-Book).     Global Science Books

(download tgl 4 Februari 2017).

Israeli, Y., E. Lahav and O. Reuveni. 1995. In vitro culture of bananas. Fruits. 43: 219-223.

Keenepohl, E., I.C. Munro, and J.S. Bus. 2010. Phenoxy Herbicides  (2,4-D) in Krieger, R.  (ed) Hayes’

Handbook of Pesticide Toxicology, 3rd Edition.

Academic Press, California. Pp. 1829-1847.

Krikorian, A.D. and S. S. Cronauer. 1984. Aseptic culture techniques for banana and plantain improvement. Economic Botany 38 (3) : 322–331

Muhammad, A., I. Hussain, S.M. Saqlan Naqvi and H.

Rashid. 2004. Banana Plantlet Production Through Tissue Culture. Pak. J. Bot. 36(3): 617-620

Ngomuo M., E. Mneney, and P.A. Ndakidemi. 2014. The in Vitro Propagation Techniques for Producing Banana Using Shoot Tip Cultures. Am.J. Plant Sci. 5: 16141622

Suparyana, P.K., W. Ramantiha, dan W. Budiasa. 2017. Analisis Permintaan Buah Pisang Di Kota Denpasar, Bali. Jurnal Manajemen Agribisnis. 5 (1): 33-44

Vuylsteke, D. 1998. Shoot tip culture for the propagation, conservation, and distribution of Musa germplasm. International Institute of tropical Agriculture: Ibadan, Nigeria. p. 82

70