JURNAL BIOLOGI 20 (2) : 69 - 74

ISSN : 1410-5292

MORFOLOGI DAN PERKEMBANGAN SKELETON FETUS TIKUS (Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) SELAMA KEBUNTINGAN

MORPHOLOGY AND SKELETAL DEVELOPMENT OF RAT (Rattus norvegicus) FETUS AFTER FED DIETS CONTAINING Calliandra calothyrsus LEAF DURING GESTATION PERIOD

Ruth Ellisa Christiani, Iriani Setyawati, Dwi Ariani Yulihastuti

Prodi Biologi FMIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran Bali

Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi fetus dan perkembangan skeleton fetus tikus setelah pemberian ransum yang mengandung daun kaliandra. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 16 ekor tikus bunting yang dibagi menjadi empat kelompok perlakuan yakni 0; 10; 17,5 dan 25% tepung daun kaliandra. Ransum diberikan dua kali sehari masing-masing 20 g/ekor/hari selama 30 hari (7 hari adaptasi pakan, 21 hari masa kebuntingan dan 1 hari setelah kelahiran). Sehari setelah kelahiran, semua fetus dipisahkan dari induk untuk preparasi dan analisis lebih lanjut.Data dianalisis secara statistik menggunakan aplikasi SPSS versi 22. Jika distribusi data normal, maka data dianalisis dengan uji One Way-ANOVA dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan. Pemberian ransum daun kaliandra pada tikus bunting menurunkan bobot dan panjang fetus serta meningkatkan hemoragi, namun tidak menyebabkan kematian dan tidak menurunkan jumlah fetus hidup. Pemberian ransum daun kaliandra tidak berpengaruh terhadap penulangan vertebrae, costae, dan sternebrae, akan tetapi menghambat penulangan pada ruas metakarpus, metatarsus dan vertebrae cauda.

Kata kunci: Calliandra calothyrsus, morfologi fetus, skeleton

ABSTRACT

This study aims to determine fetus morphology and skeleton development of rats after feddiet containing Calliandra leaf flour. This study used a completely randomized design with 16 pregnant rats that were divided into four treatment groups i.e. 0, 10, 17.5 and 25% of Calliandra leaf flour. The diets were given 20 g/rat/day each, twice a day, for 30 days (7 days of diet adaptation, 21 days of gestation period, and one day after birth). One day after the birth, all fetuses were separated from their mother for further preparation and analysis. The data were analyzed statistically by using SPSS 22 version. If they were distributed normally, the data would be analyzed usingOneway ANOVA and Duncan Multiple Range Test (DMRT) to see the difference among the groups. Diets containing Calliandra leaf flour fed on pregnant rats decreased weight and length of fetuses and increased fetus hemorrhage. However, it did not cause dead fetus or decreased the number of life fetuses. Diets containing Calliandra leaf flourfed to pregnant rats did not affect the ossification of vertebrae, costae and sternebrae. However, it inhibited ossification of metacarpus, metatarsus and vertebrae caudalis.

Keywords: Calliandra calothyrsus, fetal morphology, skeleton

PENDAHULUAN

Calliandra calothyrsus adalah spesies dari famili Leguminosae yang sangat populer di masyarakat yang tinggal kawasan hutan di pulau Jawa (Tangendjaja et al., 1992). Tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk mengobati reumatik, kanker rahim, arthritis, dan sesak nafas. Kaliandra juga mengandung bahan yang memiliki sifat analgesik, antimikroba, antispasmodik, antipiretik, antiulserogenik,antikoligenik, antikonvulsan, antidiare, dan anthelmintika (sebagai obat cacing), dapat juga

digunakan sebagai pembersih darah serta kontrasepsi (Assiam et al., 2014).

Reproduksi sangat tergantung pada kualitas nutrisi yang baik. Ketidakseimbangan nutrisi bisa berdampak negatif pada induk dan fetus yang dikandungnya. Fetus di dalam kandungan sangat rentan terhadap pengaruh negatif bahan makanan atau obat yang dikonsumsi induknya. Bahan yang bersifat teratogenik atau dismorfogenik merupakan berbagai obat atau agen lain yang bisa menyebabkan cacat bawaan pada fetus (Sary, 2009).

Senyawa tanin yang terkandung dalam daun kaliandra merupakan golongan tanin terkondensasi yang mampu mengikat banyak jenis makromolekul, antara lain mineral kalsium. Ikatan tersebut akan membentuk senyawa yang sulit dicerna yang akan lolos bersama feses (Setyawati, 2015). Kalsium merupakan bahan utama dalam proses penulangan (osifikasi). Bila kalsium diikat oleh tanin, maka hal tersebut dapat berpengaruh dalam pertumbuhan dan pembentukan skeleton fetus selama masa kebuntingan. Berdasarkan hal tersebut,perlu dilakukan uji keamanan daun kaliandra dalam ransum yang dikonsumsi induk selama kebuntingan terhadap perkembangan skeleton fetus untuk mengetahui kemungkinan terjadinya cacat bawaan pada fetus.

MATERI DAN METODE

Pembuatan Ransum

Daun kaliandra dikering-anginkan hingga berat konstan, dihaluskan dengan blender dan diayak menjadi tepung. Konsentrat yang digunakan berupa pakan standar babi merk CP 551 yang dihaluskan menjadi tepung. Pencampuran pakan dikerjakan hingga homogen dengan mixer, kemudian dimasukkan ke dalam mesin pelleting dan dikeringkan dengan freeze dry (Setyawati, 2015).

Aklimatisasi dan Pengawinan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattusnorvegicus) betina dewasa, berumur tiga bulan, dengan kisaran bobot badan 170-200 g. Aklimatisasi dilakukan selama satu minggu dan dilakukan pemeriksaan siklus estrus dengan melihat hasil apusan vagina dengan pewarnaan giemsa. Tikus betina yang sedang estrus dikawinkan dengan tikus jantan. Jika keesokan harinya ditemukan sumbat vagina, hari tersebut ditentukan sebagai hari ke-nol kebuntingan (Sitasiwi dan Djaelani, 2011).

Rancangan Percobaan dan Perlakuan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Dua puluh empat tikus bunting dibagi menjadi empat kelompok perlakuan ransum yang berbeda, masing-masing dengan empat ulangan. Tikus-tikus pada kelompok kontrol (K) hanya diberikan pakan komersial (konsentrat) tanpa penambahan tepung daun kaliandra. Tikus-tikus pada kelompok perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing diberikan ransum yang mengandung 10; 17,5 dan 25% tepung daun kaliandra. Ransum diberikan dua kali sehari (pagi dan sore) dengan total pemberian sebanyak 20 g/ekor/hari selama 30 hari yang terbagi atas 7 hari masa adaptasi pakan, 21 hari masa kebuntingan hingga sehari setelah kelahiran fetus (Setyawati, 2015).

Pengambilan Data dan Preparasi Skeleton Fetus

Di akhir perlakuan, fetus segera dipisahkan dari induknya. Fetus yang dilahirkan dari setiap induk diamati dan dihitung jumlah fetus hidup dan fetus

mati. Dilakukan pengukuran bobot dan panjang fetus, serta diamati ada tidaknya kelainan-kelainan morfologi antara lain ada tidaknya hemoragi. Fetus yang telah difiksasi dengan alkohol 96% kemudian dikuliti dan dibuang organ dalamnya. Fetus lalu direndam dalam aseton selama 24 jam. Proses pewarnaan skeleton dilakukan dengan menggunakan pewarna Alizarin red dan Alcian blue. Terakhir, fetus disimpan dalam gliserin 100% untuk diamati penyerapan warnanya. Pengamatan skeleton mengunakan mikroskop digital. Parameter yang diamati meliputi jumlah ruas penulangan (metakarpus, metatarsus dan vertebrae cauda) serta malformasi costae, sternebrae, dan vertebrae (Setyawati dan Yulihastuti, 2011).

Analisis Data

Data kuantitatif yakni jumlah fetus yang hidup, bobot fetus, panjang fetus, jumlah ruas penulangan metakarpus, dan vertebrae cauda dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS (Statistic Product Service Solutions) versi 22. Data kualitatif yakni kelainan morfologi fetus yakni hemoragi serta kelainan vertebrae, costae dan sternebrae, dianalisis secara deskriptif.

HASIL

Jumlah Fetus Hidup, Bobot danPanjang Fetus

Hasil analisis statistik data bobot fetus menggunakan uji One Way Anova menunjukkan jika dibandingkan dengan kontrol, pemberian ransum daun kaliandra nyata pengaruhnya terhadap bobot fetus baik pada kelompok P1, P2 maupun P3. Sedangkan antara perlakuan P2 dan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05) pada Tabel 1. Dengan demikian, pemberian 17,5% daun kaliandra dalam ransum (P2) sudah maksimal menurunkan bobot fetus.

Tabel 1. Rerata Fetus Hidup dan Bobot Fetus

Perlakuan

Jumlah induk (ekor)

Jumlah total fetus (ekor)

Rerata fetus hidup (ekor)

Persentase fetus hidup (%)

Rerata bobot fetus (g)

K

4

40

10,00 ± 1,155a

100

5,67 ± 0,357a

P1

4

37

9,25 ± 2,363a

100

5,40 ± 0,512b

P2

4

37

9,25 ± 1,708a

100

4,92 ± 0,338c

P3

4

32

8,00 ± 0,816a

100

4,91 ± 0,403c

Keterangan: Huruf yang berbeda di dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05). K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%.

Tabel 2. Rerata Panjang Fetus

Perlakuan

Jumlah induk (ekor)

Jumlah

fetus Mean Rank (ekor)

Chi Square

P

Rerata panjang fetus (cm)

K

4

20

60,30a

4,62

P1

4

20

37,50b

36,30b

22,9

0,005

4,42

P2

4

20

4,47

P3

4

20

27,90b

4,46

Keterangan: Huruf yang berbeda di dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05). K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%.

Uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa panjang fetus pada kontrol

berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan P1, P2 dan P3, namun antara perlakuan P1 dengan P2; P1 dengan P3; dan P2 dengan P3 tidak berbeda nyata (Tabel 2). Hasil uji statistik menunjukkan pemberian ransum tepung daun kaliandra secara nyata mempengaruhi panjang fetus.

Hemoragi

Parameter lainnya yang dapat diamati dari morfologi fetus yakni hemoragi. Pada fetus, hemoragi dapat terjadi pada beberapa bagian sisi tubuh fetus (Gambar 1). Tabel 3 merupakan data fetus yang mengalami hemoragi pada bagian tubuhnya.Fetus-fetus dari induk kontrol menunjukkan tidak ada yang mengalami hemoragi.

Tabel 3. Fetus yang Mengalami Hemoragi

Perlakuan

Jumlah fetus yang mengalami hemoragi

Sisi tubuh sebelah kanan

Sisi tubuh sebelah kiri

Punggung

Dada

Kepala

Persentase (%)

K

0

0

0

0

0

0

P1

2

1

0

0

0

3,75

P2

5

2

0

0

0

8,75

P3

9

6

2

9

0

32,5

Keterangan: K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%.

Gambar 1. Morfologi Fetus Tikus setelah Pemberian Ransum Daun Kaliandra.

Keterangan: (a) morfologi sisi tubuh sebelah kanan, (b) morfologi sisi tubuh sebelah kiri. Tanda panah menunjukkan hemoragi. K= kontrol, P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%.

Vertebrae, vertebrae cauda, costae dan sternebrae

Preparasi vertebrae fetus tikus setelah pemberian ransum daun kaliandra yang diberikan pada induk selama kebuntingan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 merupakan ruas penulangan vertebrae tikus yang menunjukkan bahwa secara deskiprif tidak ada perbedaan dan kelainan ruas tulang vertebrae pada masing-masing perlakuan. Pengaruh pemberian ransum daun kaliandra terhadap rerata ruas penulangan vertebrae cauda dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa ruas vertebrae cauda pada K berbeda signifikan dengan P1, P2 dan P3, namun antar perlakuan P1 dengan P2; P1 dengan P3; dan P2 dengan P3 tidak berbeda nyata (Tabel 4). Hasil uji statistik menunjukkan pemberian

Gambar 2. Ruas Penulangan Vertebrae

Keterangan: (a) ruas vertebrae, (b) lumbar (tulang pinggul), (c) femur, (d) tibia, (e) fibula. K=kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%.Pewarnaan: Alizarin red dan Alcian blue(hitam=tulang keras, abu-abu = tulang rawan).

Tabel 4. Rerata Ruas Vertebrae Cauda

Perlakuan

Mean Rank

Chi Square

P

Rerata ruas vertebrae cauda

K

65,00a

11,8

P1

33,00b

33,00b

41,76

0,000

7,15

P2

7,4

P3

31,00b

6,9

Keterangan: Huruf yang beda di dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05). K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%.

ransum tepung daun kaliandra mempengaruhi jumlah ruas vertebrae cauda.

(Pl)

(W)

Gambar 3. Ruas-ruas vertebra cauda

Keterangan: (A) Jumlah ruas penulangan vertebrae cauda, (B) metatarsus. K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%. Pewarnaan: Alizarin red dan Alcian blue(hitam=tulang keras, abu-abu = tulang rawan).

Ruas penulangan vertebrae cauda antara kontrol dengan P1, P2 dan P3 berbeda nyata, preprasi skeleton menunjukkan jumlah penulangan vertebrae cauda antara

kontrol sebanyak 11 ruas, P1 sebanyak tujuh ruas, P2 sebanyak tujuh ruas dan P3 sebanyak enam ruas (Tabel 4 dan Gambar 3).



Gambar 4. Ruas penulangan costae

Keterangan: (A) ruas penulangan costae, tanda panah menunjukkan ruas vertebrae. K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%. Pewarnaan: Alizarin red dan Alcian blue(hitam=tulang keras, abu-abu = tulang rawan).


Gambar 5. Penulangan sternebrae

Keterangan: (A) Klavikula (selangka), (B) manubrium (hulu), (C) sternum


(dada), (D) xifoid (taju pedang). K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%. Pewarnaan: Alizarin red dan Alcian blue (hitam=tulang keras, abu-abu = tulang rawan).


Gambar 4 menunjukkan pemberian ransum daun kaliandra secara deskriptif tidak mempengaruhi jumlah ruas costae, dimana masing-masing perlakuan menunjukkan jumlah penulangan yang normal yakni 12 ruas tulang keras dan tidak terjadinya kelainan ruas costae dan tidak mempengaruhi osifikasi pada tulang costae.

Gambar 5 menunjukkan bahwa secara deskriptif tidak ada perbedaan antara kontrol dengan perlakuan, dimana sternebrae sudah mengalami penulangan secara lengkap dan tidak terjadi hambatan penulangan pada sternebrae.

Metakarpus dan Metatarsus

Rerata ruas metakarpus dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa pemberian ransum daun kaliandra antara kontrol dengan kelompok perlakuan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Pemberian ransum daun kaliandra antara P1 dengan P2; P1 dengan P3; P2 dengan P3 tidak berbeda nyata.

Tabel 5. Rerata ruas metakarpus

Perlakuan

Mean Rank

Chi Square

P

Rerata ruas metakarpus

K

70,32a

3

P1

29,42b

34,28b

46,12

0,000

2,2

P2

2,2

P3

27,98b

2,5

Keterangan: Huruf yang berada dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05).K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%.

Gambar 6. Ruas penulangan metakarpus fetus

Keterangan: (A) 3 ruas penulangan metakarpus, (B) 2 ruas penulangan metakarpus. K= kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%. Pewarnaan: Alizarin red dan Alcian blue (hitam=tulang keras, abu-abu = tulang rawan).

Gambar 6 menunjukkan bahwa pada kontrol terlihat adanya 3 ruas penulangan pada metakarpus, sementara itu pada perlakuan 1, 2 dan 3 mengalami 2 ruas penulangan pada metakarpus, hal tersebut sesuai dengan Tabel 5. Pemberian ransum tepung daun kaliandra berpengaruh terhadap jumlah ruas penulangan metakarpus.

Gambar 7 menunjukkan bahwa secara deskriptif dari preparasi skeleton antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan metatarsus yang sudah menjadi tulang keras dengan jumlah ruas yang sama yakni 2 ruas.

PEMBAHASAN

Pemberian Ransum yang Mengandung Tepung

Daun Kaliandra terhadap Morfologi Fetus Tikus

Pemberian ransum tepung daun kaliandra secara signifikan tidak berpengaruh terhadap jumlah fetus

Gambar 7.

Keterangan:

Ruas penulangan metatarsus fetus

Tanda panah menunjukkan 2 ruas penulangan pada metatarsus. K=kontrol (0%), P1=10%, P2=17,5% dan P3=25%. Pewarnaan: Alizarin red dan Alcian blue (hitam=tulang keras, abu-abu = tulang rawan)

hidup (Tabel 1) dan tidak menyebabkan adanya kematian maupun reabsorbsi fetus tikus. Terganggunya sejumlah sel pada fetus dari induk bunting yang diberi ransum daun kaliandra selama kebuntingan diduga dapat digantikan oleh sel-sel tetangganya. Menurut Rahayu et al. (2005), hal ini dapat terjadi dengan cara hiperplasia kompensatoris yang terus berlangsung sehingga proses organogenesis tetap normal danjumlah fetus yang hidup cukup tinggi.

Pemberian ransum daun kaliandra berpengaruh terhadap penurunan bobot fetus (Tabel 1) dan panjang fetus (Tabel 2) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Menurut Syari et al. (2015), faktor induk sangat berpengaruh terhadap penurunan bobot dan panjang fetus karena induklah yang menyediakan nutrisi bagi fetus di dalam kandungan. Senyawa yang bersifat antinutrisi dapat menyebabkan suplai nutrisi menurun yang dapat memicu penurunan bobot dan panjang fetus.

Bobot dan panjang fetus setiap individu juga dipengaruhi oleh adanya hormon pertumbuhan (Growth Hormone) yang sekresinya dikontrol oleh kelenjar hipotalamus. Hormon pertumbuhan sangat berperan dalam proses metabolisme tubuh (Widyastuti et al., 2006). Kemungkinan senyawa dari daun kaliandra mengganggu kerja hipotalamus hingga terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan yang berdampak turunnya bobot dan panjang fetus.

Perkembangan fetus juga tergantung pada kerja

plasenta. Plasenta sangat penting untuk perkembangan, pertumbuhan dan bobot fetus karena fungsinya mendistribusikan nutrisi, hormon serta pertukaran O2 dan CO2 antara fetus dengan induknya. Fetus selain membutuhkan asam amino, vitamin dan mineral dari induknya, juga sangat dipengaruhi oleh lancar tidaknya pembuangan CO2 dan sisa-sisa metabolisme dari fetus ke sistem sirkulasi maternal (Yanti dan Sari, 2012).

Kaliandra mengandung senyawa antinutrisi berupa tanin terkondensasi hingga 11%. Pemberian ransum tepung daun kaliandra diduga berpengaruh negatif terhadap ketersediaan nutrien bagi tikus bunting. Tanin berikatan dengan protein membentuk senyawa kompleks dan menurunkan daya cerna sehingga protein lolos bersama feses (Firdaus, 2010) padahal asupan protein sangat vital bagi induk bunting. Protein merupakan zat pembangun sebagai bahan pembentuk jaringan tubuh fetus, dengan demikian kurangnya asupan protein selama kebuntingan dapat menurunkan bobot dan panjang fetus (Syari et al., 2015).

Pemberian ransum tepung daun kaliandra secara deskriptif berpengaruh terhadap morfologi fetus yakni kejadian hemoragi (Tabel 3). Hemoragi adalah suatu kondisi keluarnya darah dari sistem sirkulasi yang disertai penimbunan pada jaringan tubuh. Hal tersebut terjadi pada perlakuan P1, P2 dan P3. Kandungan saponin pada daun kaliandra diduga sebagai pemicu hemoragi.

Saponin memiliki efek biologis akibat interaksinya dengan membran dan isi sel sehingga dapat menyebabkan eritrosit mengalami hemolisis (Susanti dan Marhaeniyanto, 2014). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Widyastuti (2006) dimana senyawa alkaloid, flavonoid dan saponin dari ekstrak buah mahkota dewa mengganggu keseimbangan osmotik dan memicu pendarahan di jaringan bawah kulit.Menurut Anfiandi (2013), perbedaan tekanan akibat ketidakseimbangan osmotik akan menyebabkan pembuluh darah pecah dan terjadi hemoragi.

Pemberian Ransum yang Mengandung Tepung Daun Kaliandra terhadap Perkembangan Skeleton Fetus Tikus

Pemberian ransum daun kaliandra terhadap perkembangan skeleton menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata padastruktur vertebrae, sternebrae, dan costae fetus. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada keterlambatan proses osifikasi pada penulangan vertebrae (Gambar 2), costae (Gambar 4), sternebrae (Gambar 5) dan metatarsus (Gambar 7).

Proses osifikasi fetus selama kebuntingan erat hubungannya dengan kandungan kalsium dan fosfor di dalam tubuh induk. Kalsium bagi pertumbuhan fetus diperoleh dari darah induk melalui absorpsi Ca2+ dari saluran pencernaan, reabsorpsi di dalam tubulus kontortus proksimal ginjal dan reabsorpsi melalui sel-sel osteoklas (Setiawan, 2012). Menurut Rahayu et al. (2005), tubuh manusia umumnya menyimpan 22,5 g

kalsium dan 0,5 dari jumlah tersebut disimpan pada masa kehamilan yang berguna pada proses osifikasi tulang fetus.

Pemberian ransum daun kaliandra hanya berpengaruh secara signifikan pada vertebrae cauda, yang dibuktikan dengan penurunan jumlah ruas vertebrae cauda yang sudah mengalami osifikasi (Tabel 4, Gambar 3). Walaupun demikian, tidak ada pengaruh signifikan perlakuan terhadap panjang fetus karena panjang fetus diukur dari kepala hingga pangkal ekor.

Pemberian ransum daun kaliandra berpengaruh secara signifikan terhadap penulangan metakarpus dan metatarsus yang dibuktikan dengan penurunan jumlah ruas metakarpus dan metatarsus yang sudah mengalami osifikasi (Tabel 5, Gambar 6 dan 7). Hal tersebut menandakan adanya keterlambatan dalam proses osifikasi. Keterlambatan osifikasi dapat dipengaruhi oleh kekurangan nutrisi terutama kalsium yang kemungkinan banyak diikat oleh senyawa tanin dari daun kaliandra, sehingga menurunkan jumlah bahan-bahan yang diperlukan dalam proses osifikasi.

Keterlambatan osifikasi pada ruas vertebrae cauda dan anggota gerak terutama jari meliputi ruas pada metakarpus dan metatarsus pada fetus dari induk yang diberi ransum mengandung daun kaliandra selama periode kebuntingan. Menurut penelitian Almahdy et al. (2010), jari-jari dan ekor rodensia rentan mengalami kecacatan jika induk terpajan agen teratogen pada hari kebuntingan ke-9, sedang pada hari ke-10 kebuntingan kemungkinan cacat jari-jari dan ekor hanya 18%. Sementara kecacatan skeletal rentan terjadi pada hari ke-9 hingga ke-10 kebuntingan.

SIMPULAN

Pemberian ransum yang mengandung tepung daun kaliandra mulai aras 17,5% selama kebuntingan tikus, nyata menurunkan bobot dan panjang fetus, meningkatkan terjadinya hemoragi serta menghambat penulangan pada ruas metakarpus, metatarsus dan vertebrae cauda pada fetus.

KEPUSTAKAAN

Almahdy, A. 2010. Pengaruh ekstrak gambir (Uncaria gambier Roxb.) terhadap fetus dari mencit hamil yang diinduksi alkohol. Majalah Farmasi Indonesia 21(2):115-120.

Anfiandi, V. 2013. Uji Teratogenik Infusa Daun Pegagan (Cen-tella asiantica L. urban) pada Mencit Betina (Mus mus-culus). J.Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya 2(1):14.

Assiam, N., I. Setyawati., S.K. Sudirga. 2014. Pengaruh Dosis dan Lama Perlakuan Ekstrak Daun Kaliandra Merah (Callian-dra calothyrsus Meissn.) terhadap Struktur Histologi Ginjal Mencit (Mus musculus L.). J. Simbiosis 2(2):236-246.

Firdaus. 2010. Pengaruh Formulasi Pakan Hijauan (Rumput Gajah, Kaliandra dan Gamal) terhadap Pertumbuhan dan Bobot Karkas Domba. J.Agripet 10(1):42-46.

Rahayu, S. Y., T. Widiyani., dan Sutarno. 2005. Pertumbuhan dan Perkembangan Embryo Tikus Putih (Rattus nor-vegicus L.) Setelah Perlakuan Kebisingan. J. BioSmart 7(1);53-59.

Sary, Y. 2009. Panduan Obat Aman untuk Kehamilan. ANDI. Yogyakarta.

Setiawan, A., M. Sagi., W. Asmara., dan Istriyati. 2012. Analisis Pertumbuhan Kartilago Epifisialis Os Tibia Fetus Mencit (Mus musculus L.) Swis Webster setelah Induksi Ochratoxin A Selama Periode Organogenesis. J.Biologi Papua 4(1):25-31.

Setyawati, I. 2015. Penambahan Kulit Nanas (Ananas comossus) ke dalam Ransum yang Mengandung Kaliandra (Callian-dra calothyrsus) terhadap Performans Induk Bunting dan Fetus Tikus (Rattus norvegicus).Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar. (Disertasi).

Setyawati, I.dan D. A. Yulihastuti. 2011. Penampilan Reproduksi dan Perkembangan Skeleton Fetus Mencit Stelah Pemberian Ekstrak Buah Nanas Muda. J. Veteriner 12(3): 192-199.

Sitasiwi, A.J dan M.A.Djaelani. 2011. Upaya Eksplorasi Agensia Imunokontrasepsi untuk Regulasi Fertilisasi Hewan Liar: Profil Protein Selama Proses Implantasi Embrio Mencit (Mus musculus L.) BALB/c. Bioma 13(1):31-37.

Susanti, S dan E. Marhaeniyanto. 2014. Kadar Saponin Daun Tanaman yang Berpotensi Menekan Gas Metana Secara In-Vitro. Buana Sains 14(1):29-38.

Syari, M., J. Serudji., dan U. Mariati. 2015. Peran Asupan Zat Gizi Makronutrien Ibu Hamil terhadap Berat Badan Lahir Bayi di Kota Padang. J.Kesehatan Andalas 4(3):729-739.

Tangendjaja, B. E. Wina, T.M. Ibrahim, dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Manfaatnya. Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre For Institute Agricultural Research. P 13-42.

Widyastuti, N., T. Widiyani., dan S. Listyawati. 2006. Efek Teratogenik Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar. Bioteknologi 3(2):56-62.

Yanti, E dan R. Sari. 2012. Hubungan Berat Plasenta dengan Berat Badan Lahir di Rumah Bersalin Mutiara Bunda Padang Tahun 2012. Stiker Mercubatijaya. Padang.

74