JURNAL BIOLOGI VOLUME 19 NO.2 DESEMBER 2015

IDENTIFIKASI LARVA SARCOPHAGIDAE (GENUS SARCOPHAGA) PADA BANGKAI MENCIT (Mus musculus) DI HUTAN MANGROVE

INDENTIFICATION OF SARCOPHAGIDAE LARVAL (GENUS SARCOPHAGA) ON MICE CARCASSES (Mus musculus) IN MANGROVE FOREST

Ayu Saka Laksmita, Ni Luh Watiniasih, I Ketut Junitha

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana

Email : sakalaksmita@rocketmail.com

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi larva Sarcophagidae pada bangkai mencit di hutan mangrove (Mangrove Information Center, Suwung, Denpasar). Kronologi kehadiran dan tahap perkembangan serangga tersebut berkaitan dengan prediksi lama kematian untuk kepentingan forensik. Sampel dalam penelitian ini adalah semua tahap perkembangan serangga yang terdapat pada bangkai mencit sebagai model. Pengambilan sampel dilakukan di dua daerah, yaitu di daerah daratan dan perairan. Pada masing-masing lokasi diletakkan lima bangkai mencit pada tiga titik yang berbeda. Pengambilan sampel dilakukan selama lima hari berturut-turut. Identifikasi jenis dan tahap perkembangan serangga dilaksanakan di Laboratorium Taksonomi Hewan dan Laboratorium Ekologi, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana. Analisa data dilakukan secara deskriptif. Perbedaan perkembangan serangga dari telur sampai pupa maupun bekas pupa yang ditemukan pada bangkai dapat digunakan untuk memprediksi lama kematian dari suatu hewan.

Kata kunci :entomologi forensik, bangkai, Sarcophagidae

ABSTRACT

This study aimed to identify Sarcophagidae larvae on mice carcasses in mangvore area (Mangrove Information Center, Suwung, Denpasar). Chronology of the presence and stage of insect development is related to the prediction of death for the forensic interest. The sampels of the research were the developmental stages of insect on mice carcasses as an animal model. Sampling was conducted in inland area and coastal waters. Five mice carcasses were layed in three different spotsSampling was carried out for five consecutive days. Collected insects were identified at The Laboratory of Animal Taxonomy and The Ecology Laboratory, Department of Biology, Udayana University. The data were analyzed descriptively. The difference of insect developmental stages from egg to pupae and also pupal shell found on carcasses can be used to estimate the time of death of an animal.

Keywords : forensic entomology, carcass, Sarcophagidae

PENDAHULUAN

Entomologi forensik adalah suatu metode identifikasi mayat dengan menggunakan serangga untuk memprediksi waktu kematian (Byrd and Castner, 2010; Anderson, 2012). Serangga dapat digunakan dalam penentuan waktu kematian dengan mengetahui pola waktu perkembangannya (Miller and Naples, 2002; Isfandiari, 2009). Mayat akan dijadikan tempat perkembangan dan sumber makanan bagi larva serangga pemakan daging (scavengers). Selain itu, jenis serangga yang datang juga memiliki pola khusus dan dapat diprediksi (Voss et al., 2008). Biasanya jenis serangga yang datang diawali dari ordo Diptera lalu diikuti oleh ordo Coleoptera (Smith, 1986).

Perkembangan serangga sangat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan seperti kelembaban dan suhu (Grassberger et al., 2001). Hal ini berarti waktu perkembangan serangga akan berbeda pada taraf faktor lingkungan yang berbeda. Selain itu jenis serangga yang berbeda akan memiliki respon perkembangan yang berbeda. Dengan demikian sangat penting untuk mengembangkan informasi mengenai waktu perkembangan jenis serangga tertentu untuk kepentingan entomologi forensik (Byrd and Casner, 2010).

Salah satu lokasi yang memiliki variasi lingkungan yang tinggi adalah hutan rawa (mangrove). Daerah ini sangat dipengaruhi pasang surut air laut sehingga memiliki kisaran perubahan suhu, kelembaban, dan salinitas yang ekstrim (Nontji, 1987). Daerah ini sangat cocok untuk dijadikan lokasi penelitian entomologi forensik karena telah banyak kasus-kasus penemuan mayat ditemukan

di daerah ini. Serangga scavenger sebagai organisme yang diketahui paling cepat untuk datang mengkonsumsi bangkai sangat penting keberadaannya untuk membantu bidang forensik (Byrd and Castner, 2010; Anderson, 2012). Oleh karena itu metode entomologi forensik sangat perlu dikembangkan sebagai salah satu alat untuk menggungkap keberadaan mayat yang ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti tentang kronologi kehadiran serangga dan perkembangbiakannya pada bangkai mencit sebagai hewan model untuk memprediksi lama waktu kematian dari suatu hewan.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di hutan mangrove, yaitu di kawasan Mangrove Information Center (MIC) Suwung, Denpasar. Suhu rata-rata pada lokasi penelitian adalah 29ºC. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua yaitu, di daerah daratan dan perairan. Waktu pelaksanaan dilakukan dari Bulan Oktober – Desember 2012. Identifikasi jenis serangga dilaksanakan di Laboratorium Taksonomi Hewan dan Laboratorium Ekologi, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana dengan mengacu pada buku Kunci Determinasi Serangga oleh Subyanto, 1991 selain itu juga dari Borror et al, 1992; Byrd and Castner, 2010; Vairo et al., 2011.

Masing-masing 15 ekor mencit berumur 2,5-3 bulan dibunuh dengan cara dislokasi leher, diletakkan di daratan dan perairan yang dibagi dalam tiga titik yang berbeda. Pada masing-masing titik diletakkan lima bangkai mencit. Pengambilan sampel semua tahap perkembangan serangga dilakukan selama lima hari berturut-turut. Bangkai mencit diletakkan pada hari ke-0 pukul 06.00 WITA dengan selang waktu antara dibunuh dengan peletakkan di lokasi adalah satu jam. Pengambilan sampel dilakukan dari hari pertama sampai hari ke lima. Setiap harinya diambil tiga bangkai mencit dari masing-masing lokasi. Larva serangga yang terdeteksi pada sampel sebagian diawetkan dalam alkohol 70% untuk diidentifikasi dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam botol pemeliharaan yang telah diisi daging mencit untuk dipelihara sampai fase imago. Larva serangga Sarcophagidae yang ditemukan diamati spirakelnya dan morfologi luar pada imago dengan metode Whole mount. Identifikasi serangga dilakukan sampai tingkat genus dengan mengamati karakter pada venasi sayap, ruas antena, bentuk kaki, warna tubuh, dan arista (Subyanto, 1991; Borror et al., 1992; Byrd and Castner, 2010; Vairo et al., 2011). Identifikasi larva dilakukan sampai tingkat familia dengan mengamati spirakel posterior dari larva (Ebrahim, 2010; Thyssen, 2010; Bunchu et al., 2012). Data jenis larva, panjang larva, dan siklus serangga dianalisis secara deskriptif. Penentuan tahap instar mengacu pada Bunchu et al. (2012).

HASIL

Ciri-ciri dan tahap perkembangan Sarcophaga

Tahap perkembangan Sarcophaga yang dapat diamati dari penelitian ini adalah tahap instar ke-1, instar ke-2, instar ke-3, dan pupa. Telur tidak ditemukan. Larva Sarcophaga ini tidak dapat dibedakan secara kasat mata pada saat instar ke-1 dan ke-2. Perbedaan kedua larva tersebut dapat dilihat pada instar ke-3, yaitu pada spirakel di bagian posteriornya dengan posisi dorso-ventral. Panjang larva instar ke-1 berkisar antara 2-3 mm, instar ke-2 berkisar 4–7 mm, instar ke-3 berkisar antara 8–13 mm. Bentuk pupa oval memanjang dengan kedua ujung meruncing, panjang berkisar antara 9 – 10 mm dan memiliki 11 segmen. Fase imago genus ini berukuran 10-11 mm dan berwarna abu-abu, bagian torak terdapat pola bergaris. Tahap perkembangan fase dari larva sampai imago dari serangga yang diamati dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahap perkembanganSarcophaga. A.Larva instar pertama (Pembesaran10 X 3), B.Larva instar kedua(Pembesaran10 X 1), C. Larva instar ketiga(Pembesaran10 X 1), D. Pupa(Pembesaran10 X 1), E. Imago

Selain ukuran, ciri yang dapat membedakan larva instar ke-1, ke-2, dan ke-3 adalah bentuk spirakelnya. Spirakel paling jelas dapat diamati pada larva instarke-3. Pada larva instar ke-1 celah spirakel (spirakular slit) baru mulai terbentuk. Larva instar ke-2 memiliki dua spirakular slit dan larva instar ke-3 memiliki tiga spirakular slit. Bagian pelindung spirakel (peritreme) terputus dan posisi spirakel dorso-ventral (Gambar 2).

Spiracular slit

A 'J



B                 C

Peritreme terbuka


Gambar 2. Spirakel larva Sarcophaga. A. Spirakel larva instarke-1 (Pembesaran 10 X 3) B. Spirakel larva instar ke-2 (Pembesaran 10 X 3), C. Spirakel larva instar ke-3 (Pembesaran 10 X 3)

Fase larva instarke-1 dari Familia Sarcophagidae genus

Sarcophaga mulai ditemukan pada hari ke-2 di daratan


sedangkan di perairan pada hari ke-3. Bekas pupa genus Sarcophaga di daratan mulai ditemukan pada hari ke-14 dan terakhir pada hari ke-24 sedangkan di perairan mulai ditemukan pada hari ke-15 sampai hari ke-25 (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Keberadaan larva Sarcophaga pada bangkai mencit di daratan

Fase

Awal (hari ke-)

Akhir (hari ke-)

Larva instar ke-1

2

2

Larva instar ke-2

2

2

Larva instar ke-3

3

7

Pupa

6

18

Bekas pupa

14

24

Tabel 2. Keberadaan larva Sarcophaga pada bangkai mencit di perairan

Fase

Awal (hari ke-)

Akhir (hari ke-)

Larva instar ke-1

3

3

Larva instar ke-2

3

3

Larva instar ke-3

3

8

Pupa

7

20

Bekas pupa

15

25

Panjang Larva Familia Sarcophagidae di Lokasi Daratan dan Perairan

Panjang larva minimum dan maksimum dari genus Sarcophaga di lokasi daratan dan di perairan perhari dapat dilihat pada Gambar 4. Larva dari genus Sarcophaga di daratan ditemukan pertama kali pada hari kedua dengan panjang minimal 2 mm dan panjang maksimum 13 mm mulai terlihat di hari keempat (12,5 ± 0,7). Di perairan larva pertama kali muncul di hari ketiga dengan panjang minimum 3 mm dan panjang maksimum 12 mm pada hari keempat(10 ± 2,8) dan berlangsung sampai hari ke lima (11,5 ± 0,7).

Gambar 3. Rata-rata panjang larva Sarcophaga. A. Larva di lokasi daratan, B. Larva di lokasi perairan

Larva yang Ditemukan pada Bangkai

Sesuai dengan rentang panjang larva yang digunakan (dijelaskan pada metode) larva instar ke-1 dan ke-2 dari genus Sarcophaga di lokasi daratan ditemukan pada hari kedua. Instar ke-3 ditemukan mulai hari ketiga sampai hari kelima, sedangkan di lokasi perairan larva instar ke-1 dan ke-2 mulai ditemukan pada hari ketiga dan larva instar ke-3 ditemukan pada hari ketiga sampai hari kelima. Tahap-tahap fase larva Sarcophaga di kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Tahap fase larva genus Sarcophaga di lokasi daratan

Tahapan

H1

H2

H3

H4

H5

Instar ke-1

0

1

0

0

0

Instar ke-2

0

1

0

0

0

Instar ke-3

0

0

1

1

1

Tabel 4. Tahap fase larva genus Sarcophaga di lokasi perairan

Tahapan

H1

H2

H3

H4

H5

Instar ke-1

0

0

1

0

0

Instar ke-2

0

0

1

0

0

Instar ke-3

0

0

1

1

1

Keterangan: 1

= Ada, 0

= Tidak Ada, H=

Hari

Kondisi Lingkungan Lokasi Penelitian

Pada lokasi penelitian terdapat berbagai jenis tumbuhan mangrove diantaranya adalah Rhizopora, Bruguiera, Sonneratia, dan Avicennia dengan kerapatan yang cukup tinggi. Rata-rata suhu harian, kelembaban, dan salinitas dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata kecepatan angin pada saat penelitian adalah 5,7 knot dari arah Tenggara (BMKG Wilayah III Denpasar, Oktober 2012).

Tabel 5. Rata-rata suhu, kelembaban, dan salinitas di lokasi penelitian (Mean ± SD)

Lokasi

Suhu (ºC)

Kelembaban (%)

Salinitas (ppm)

Daratan

29,72 ± 0,35

81,13 ± 3,06

-

Perairan

28,69 ± 0,45

83,67 ± 3,63

30,8 ± 1,46

PEMBAHASAN

Tahap perkembangan Sarcophaga terdiri dari telur, larva instar ke-1, instar ke-2, instar ke-3, pupa, dan imago. Telur tidak ditemukan sama sekali dalam penelitian ini karena Sarcophaga bersifat ovovivipar yang artinya induk Sarcophaga langsung meletakkan larva instar ke-1 pada bangkai mencit (Kenny et al., 1992). Dengan demikian keberadaan Sarcophaga pada bangkai lebih cepat karena tidak terdapat waktu perubahan dari telur menjadi larva. Induk Sarcophagidae dalam penelitian ini pertama kali meletakkan larva instarke-1 pada hari ke-2 pada bangkai mencit. Menurut Byrd and Castner (2010), induk dari Sarcophagidae tertarik meletakkan larvanya pada tahap awal dekomposisi bangkai sampai tahap akhir. Namun, tidak ditemukan larva pada hari kedua pada larva Sarcophagidae di lokasi perairan disebabkan karena setiap sampel larva pada penelitian ini diambil dari bangkai dan titik peletakan bangkai yang berbeda-beda Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan oviposisi tidak terjadi bersamaan pada semua bangkai.

Bangkai akan mengeluarkan bau busuk yang berupa ammonia dan hydrogen sulfide (Fisher et al., 1998). Bau busuk ini akan menarik Sarcohopagidae untuk datang pada bangkai. Sarcophagidae dapat tertarik karena mempunyai alat deteksi berupa chemical detector dan visual detector untuk mendeteksi bau busuk tersebut bahkan dalam jarak yang jauh (Byrd and Castner, 2010).

Faktor yang mempengaruhi datangnya Sarcophagidae ke bangkai adalah arah angin dan kelembaban.

Induk Sarcophagidae dalam penelitian ini tertarik untuk datang pada hari kedua setelah peletakkan bangkai mencit di lokasi daratan, sedangkan di lokasi perairan larva instar 1 baru mulai muncul pada hari ketiga setelah peletakkan bangkai. Timbulnya perbedaan ditemukannya larva pertama kali pada kedua lokasi dapat disebabkan karena perbedaan fase dekomposisi bangkai. Fase segar(fresh) dari bangkai yang berada di perairan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan yang ada di daratan, sehingga fase pembengkakan (bloating) akan terjadi lebih lambat (Haefner et al., 2004). Dengan demikian bangkai yang berada di perairan akan lebih lambat didatangi oleh serangga Sarcophagidae ini. Selain itu keberadaan air juga dapat mempengaruhi perkembangan dan suksesi serangga pada bangkai seperti yang dijelaskan oleh Tomberlin and Adler (1998), bahwa pengaruh air dapat menghambat suksesi dan perkembangan serangga karena terbatasnya luas permukaan bangkai yang tersedia untuk serangga. Menurut Graham-Smith (1937) dan Payne (1963), kelembaban yang terlalu tinggidi lokasi perairan juga dapat mempengaruhi suksesi dan perkembangan serangga.

Panjang larva serangga berkaitan dengan tahap perkembangannya. Menurut Gennard (2007), untuk menentukan waktu kematian harus diketahui koloni serangga yang paling tua pada bangkai dan mengetahui tahap siklus hidupnya. Genus Sarcophaga pada lokasi perairan langsung menginvestasikan larvanya pada bangkai. Jika terdapat bekas pupa pada lokasi perairan menunjukkan bahwa lama kematian berkisar antara 1525 hari, dan jika terdapat pupa, lama kematian antara 7–20 hari, jika terdapat larva instar 3 artinya lama kematian berkisar antara 3–8 hari, jika yang didapat larva instar 2 dan 1 dapat diperkirakan lama kematian 3 hari.

Penelitian ini juga sesuai dengan yang dilakukan oleh Grassberger et al.(2002), dalam penelitiannya tentang efek temperatur terhadap perkembangan Sarcophaga argyrostoma. Pada penelitian ini di lokasi daratan terdapatnya bekas pupa genus Sarcophaga menunjukkan bahwa lama kematian berkisar antara 14–24 hari, jika yang terdapat pupa diperkirakan lama kematian berkisar antara 6–18 hari, jika yang didapat larva instar 3 diperkirakan lama kematian antara 3–7 hari larva instar 2 diperkirakan lama kematian berkisar 2 hari di daratan larva instar 1 dapat diperkirakan kematian berkisar 2 hari.

SIMPULAN

Perbedaan perkembangan larva dapat dijadikan prediksi lama waktu kematian dari hewan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ibu Dra.Inna Narayani, M.Sc., Ibu Ni Made Suartini, SSi, MSi.,Bapak Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M.Si.,dan dr. Ida Bagus Putu Alit, SpF. DF M atas masukan, bimbingan, dan arahan selama pembuatan dan penulisan naskah ini.

KEPUSTAKAAN

Anderson, G. S. 2012. Forensic Entomology: The Use Of Insects In DeathInvestigations.Available at: http://www. sfu.ca/~ganderso/forensicentomology.htm. Opened: 23.05.2012.

Borror, D. J., C. A. Triplehorn., N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Alih bahasa oleh Soetiyono dan Partoed-jono. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Bunchu, N., T. Chinnapat., A. Vitta., S. Sangob., S. Kom., L. S. Kabkaew. 2012. Morphology and Developmental Rate of the Blow Fly, Hemipyrellia ligurriens (Diptera: Calliphoridae): Forensic Entomology Applications. Journal of Parasitology Research: 371243

Byrd, J. Hand J. L. Castner, J. L. 2010. Forensic Entomology. CRC Press Taylor and Francis Group. USA

Ebrahim, A. M. 2010. An illustrated Key to the larval stages of dipterous Familiaaes in Egypt. Egypt. Acad. J. biolog. Sci., 3(1): 145 - 172

Fisher, P., R. Wall., J. R. Ashworth. 1998. Attraction of The Sheep Blowfly, Lucilia sericata (Diptera: Calliphoridae) to Carrion Bait in the Field. Bull Entomol Res 88: 611–616

Gennard, D., E. 2007. Forensic Entomology. John Wiley and Sons Ltd. England

Graham-Smith, G. S. 1937. Observations on the habits and parasites of common flies. Parasitology 8: 441-542

Grassberger, M., C and C. Reiter. 2001. Effect of Temperature on Lucilia sericata (Diptera: Calliphoridae) Development with Special Refrence to The Isomegalen- and Isomorphen-diagram. Austria. Forensic Science International120: 32-26.

Grassberger, M and C. Reiter. 2002. Effect of Temperatur on Development of Sarcophaga argyrostoma (Diptera: Sarcoph-agidae) and its Forensic Implications.J Forensic Sci.47(6)

Haefner, J. N., R. W. John R.,W. M. Richard. 2004. Pig Decomposition in Lotic Aquatic Systems: The Potential Use of Algal Growth in Establishing a Postmortem Submersion Interval (PMSI). J Forensic Sci.49(2) Available at: http://library-resources.cqu.edu.au/JFS/PDF/vol_49/iss_2/JFS2003283. pdf. Opened: 28.01.2013

Isfandiari, B. A. 2009. Perbedaan Genus Larva Lalat Tikus Wistar Mati pada Dataran Tinggi dan Rendah di Semarang. Laporan Akhir Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro. Semarang

Kenny, N. A. P., D.S. Richard, H.K. Bradley. 1992. Photoperiodic sensitivity and diapause induction during ovarian, embryonic and larval development of the flesh fly, Sarcophagaargyro-stoma. Institute of Cell, Animal and Population Biology, University of Edinburgh, West Mains Road, Edinburgh EH9 3JT, Scotland, UK. J. Biosci.17(3): 241-251.

Miller, J. S and V. L. Naples. 2002. Forensic Entomology. Available at: https://www.msu.edu/~tuckeys1/VIPP_2005/Biology/ Sessions/RKimbirauskas/ForensicEnt_in_the_Classroom. pdf. Opened : 25.05.2012

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Payne, J. A. 1963. A summer carrion study of the baby pig, Sus scro-fa, Linnaeus. M.S. thesis, Clemson University, Clemson, SC.

Subyanto, A. S. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius Deresan, Yogyakarta.

Smith, K. G. V. 1986. A manual of forensic entomology. Available at:http://www.clt.uwa.edu.au/__data/page/112507/ fse07_forensic_entomology.pdf. Opened: 24.05.2012

Thyssen, P. J. 2010. Keys for Identification of Immature Insects. Department of Parasitology, Bioscience Institute, Universi-dade Estadual Paulista. Brazil

Tomberlin, J. K and P. H. Adler. 1998. Seasonal Colonization and Decomposition of Rat Carrion in Water and on Land in an Open Field in South Carolina. Clemson University. J Med Entomol. 35(5):704–709.

Vairo, K. P., A. M. Catia., J. B. C. Claudio. 2011. Pictorial identification key for species of Sarcophagidae (Diptera) of potential forensic importance in southern Brazil. Universidade Federal do Rio de Janeiro. Brazil

Voss, S. C., L. F. Shari., R. D. Ian. 2008. Decomposition and Insect Succession on Cadavers Inside a Vehicle Environment. University of Western Australia. Forensic Sci Med Pathol (4): 22–32.

88