JURNAL BIOLOGI 18 (2) : 46 - 51

ISSN : 1410-5292

VARIASI GENETIK SOROH BRAHMANA BUDHA DI BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT KROMOSOM-Y

GENETIC VARIATION OF BUDDHIST BRAHMIN CLAN IN BALI BASED ON MICROSATELLITE Y-CHROMOSONMAL DNA MARKERS

Ida Ayu Manik Damayanti, I Ketut Junitha, Ida Bagus Made Suaskara Jurusan Biologi F.MIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran-Bali Email: manik.dayu@gmail.com

INTISARI

Perbedaan sifat-sifat indukatau orang tua dalam ilmu genetika akan diturunkan secara turun-temurun kepada keturunannya sehingga terdapat variasi genetik antar individu. Variasi genetik dapat dilihat dari ragam alel pada masing-masing lokus mikrosatelit kromosom Y (Y-spesifik). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik soroh Brahmana Budha di Bali. Pada penelitian ini digunakan empat lokus DNA mikrosatelit kromosom Y yaitu DYS19, DYS390, DYS393 dan DYS395. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan reagen PCR master mix i-TaqTM dengan mesin PCR dan amplikon dielektroforesis pada gel poliakrilamid 6% serta pewarnaan dengan perak nitrat. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa tidak semua Kabupaten di Bali terdapat Griya pendeta Budha. Ditemukan sembilan ragam alel yaitu masing-masing dua pada lokus DYS19 (200 dan 204 pb), DYS390 (203 dan 207 pb), dan DYS393 (125 dan 137 pb) dan lokus DYS395 ditemukan tiga ragam alel (123,127 131 pb). Pada penelitian ini ditemukan tiga haplotipe yaitu haplotipe A,Bdan C. Haplotipe A memiliki frekuensi paling tinggi (0,85) yang tersebar di lima daerah, haplotipe B ditemukan di daerah Karangasem sedangkan haplotipe C hanya ditemukan di Kabupaten Tabanan. Kombinasi alel pada haplotipe C yang sangat berbeda dengan haplotipe A dan B, menunjukkan bahwa individu dengan haplotipe C bukan keturunan soroh Brahmana Budha. Nilai keragaman rata-rata atau heterozigositas pada soroh Brahmana Budha di Bali rendah yaitu 0,15 ± 0,07.

Kata kunci: variasi genetik, soroh Brahmana Budha, mikrosatelit kromosom Y, haplotipe

ABSTRACT

In Genetics, the difference of parental characters is inherited to the offsprings due to individual genetic variation. The genetic variation was determined by the variety of alleles at each locus of microsatellite Y-chromosome (Y-specific). This research was conducted to invertigatethe genetic variation of Buddhist Brahmins clan (soroh)in Baliusing four Y-chromosomal microsatellites DNA loci (DYS19, DYS390, DYS393 and DYS395). DNA amplification was performed in PCR mastermix i-TaqTM to amplified DNA sample and the ampliconwas electrophoresed on 6 % polyacrylamide gels with silver nitrate staining. The result of this research showed that the griyaBudha’s are not found in all regencies of Bali. There were 9 sizes of alleles found, each two on DYS19 locus (200 and 204 bp), DYS390 (203 and 204 bp) and DYS393 (125 and 137 pb) and 3 alleles sizes on DYS395 locus (123, 127 and 131 bp). Three haplotypes were found on this research we call as haplotype A, B and C. The haplotype A with highest frequency (0,85) was found in five regencies, haplotype B only found in Karangasem regency, on the other hand haplotype C only found in Tabananregency. Based on their allele sizes the haplotype C is very different to the haplotypes A and B, therefore there is nogenetic relationships among them and was not descend from the same BudhisBrahmin clan. The diversity of Buddhist Brahmins clan in Bali was low which was 0.15 ± 0.07.

Keywords: genetics variations, soroh Buddhist Brahmin, microsatellite Y chromosomes, haplotype

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia pada umumnya serta masyarakat Bali khususnya adalah masyarakat religius yang masih melestarikan warisan budayanya. Bali selain dikenal dengan adat dan budayanya yang khas juga memiliki beberapa golongan dalam masyarakatnya yang disebut dengan klan atau soroh. Soroh merupakan pengelompokan masyarakat Bali yang didasarkan pada garis keturunan laki-laki (patrilineal). Setiap

soroh meyakini bahwa mereka dari satu leluhur. Pada umumnya masyarakat Bali berusaha untuk mengetahui kelompok sorohnya (Junitha, 2007). Salah satu soroh di Bali yaitu wangsa Brahmana dikelompokkan menjadi dua yaitu Brahmana Siwa dan Brahmana Budha. Wangsa Brahmana Siwa diturunkan oleh Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali sekitar tahun 1489 M dan Wangsa Brahmana Budha diturunkan oleh Dang Hyang Astapaka pada tahun 1530 M yang datang ke Bali (Ngurah, 2011).

Sifat-sifat induk atau orang tua dalam ilmu Genetika

akan diturunkan secara turun-temurun kepada keturunannya sehingga terbentuk variasi genetik. Variasi genetik merupakan gambaran dari adanya perbedaan respon individu-individu terhadap lingkungan. Variasi genetik dapat dilihat dari ragam alel pada masing-masing lokus mikrosatelit kromosom Y (Y-spesifik) dan kombinasi antar alel yang disebut haplotipe. Penanda genetika kromosom Y digunakan sebagai penentuan soroh atau klan pada masyarakat Bali didasarkan pada garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Pada perkawinan sistem patrilineal setelah kawin pihak wanita berpindah ke keluarga laki-laki. Oleh karena itu variasi genetik pada laki-laki yang terjadi pada suatu komunitas semata-mata bersumber dari proses mutasi dan genetik pembentuk masyarakat (founding father) (Junitha and Watiniasih, 2014).

Penanda genetik yang biasa digunakan untuk melihat variasi genetik adalah DNA mikrosatelit. Kemampuan mutasi penanda DNA mikrosatelit yang cepat antara 0-8 x 10-3 (Weber and Wong, 1993) atau 0,21% tiap gamet tiap generasi pada DYS19 (Holtkemper et al., 2001), menyebabkan penanda DNA mikrosatelit sangat baik digunakan untuk penelitian variasi genetik antar masyarakat (Bowcock et al., 1994). Lokus DYS390 dan DYS395 digunakan oleh Parra et al. (1999) untuk penelitian pada populasi manusia di Asia dan Pasifik dan DYS19 digunakan pada populasi yang sama oleh Ruiz-Linares et al. (1996). Lokus DYS19, DYS390, DYS393, dan DYS395 digunakan dalam penelitian ini karena keempat lokus tersebut menunjukkan keragaman tinggi (Junitha dkk., 2009).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian DNA soroh Brahmana Budha di Bali berdasarkan mikrosatelit DNA kromosom Y sehingga dapat diketahui variasi genetik dari soroh Brahmana Budha tersebut. Soroh Brahmana Budha digunakan pada penelitian ini karena penyebaran soroh ini sedikit dan hanya berada di beberapa daerah di Bali yang berpusat di Desa Budakeling, Karangasem.

METODE PENELITIAN

Sampel epitel mukosa mulut diperoleh dari 20 probandus Soroh Brahmana Budha di Bali.Ekstraksi DNA dilaksanakan di Laboratorium Serologi dan Biologi molekular UPT Forensik Universitas Udayana Bukit Jimbaran. Amplifikasi DNA dilakukan di Laboratorium Primata Universitas Udayana Bukit Jimbaran dari bulan Oktober sampai Desember 2013. Sampel ditentukan dengan metode purposive sampling sedangkan pengambilan sampel menggunakan non invasive sampling.

Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform. Sampel DNA diamplifikasikan dengan primer DNA Mikrosatelit pada mesin PCR yaitu primer : DYS19, DYS390, DYS393 dan DYS395. Elektroforesis amplikon dilakukan pada Poliakrilamid Gel Elektroforesis (PAGE) 6% selama 90 menit dengan tegangan 110 volt. Visualisasi DNA gel dilakukan dengan metode pewarnaan perak nitrat (Tegelstrom, 1986). Jarak migrasi pita DNA pada gel diukur dan hasil pengukuran diplot pada

kertas semilog untuk menetapkan panjang DNA hasil amplifikasi.

Keragaman genetik dihitung dengan menggunakan rumus diversitas:

D = (1-∑p2) (n/n-1)

Keterangan :

D = Diversitas

p = Frekuensi masing-masing alel

n = Jumlah sampel (Parra et al. 1999)

HASIL

Keberadaan Brahmana Budha di Bali diketahui dengan cara dilakukan wawancara dengan Ida Pedanda Jelantik Duaja sebagai pendeta Brahmana Budha. Pengambilan sampel pertama kali dilakukan di pusat Brahmana Budha yaitu di Desa Budakeling, Karangasem. Dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa Brahmana Budha hanya tersebar di beberapa daerah yaitu, Karangasem, Tabanan, Gianyar, Klungkung, Badung dan Denpasar. Berdasarkan keterangan tersebut diperoleh sebanyak 20 probandus laki-laki Brahmana Budha yang berasal dari daerah yang berbeda (Tabel 1).

Hasil amplifikasi tidak semua menunjukkan adanya pita DNA pada lokus tertentu sehingga menyebabkan perubahan jumlah sampel (Tabel 2). Pengukuran jarak migrasi pada hasil visualisasi menghasilkan sembilan alel dengan frekuensi yang berbeda-beda (Tabel 3).

Tabel 1. Data probandus yang diperoleh

No.

Asal Daerah

Jumlah probandus

1.

Badung

1

2.

Denpasar

4

3.

Gianyar

6

4.

Karangasem

4

5.

Klungkung

4

6.

Tabanan

1

Total

20

Tabel 2. Jumlah sampel yang berhasil diamplifikasi pada primer DYS19, DYS390, DYS393, DYS395

Primer yang digunakan

DYS19

DYS390

DYS393

DYS395

Jumlah probandus

20

20

20

20

Jumlah sampel yang teramplifikasi

19

16

18

14

Tabel 3. Alel dan frekuensi pada masing-masing lokus

Lokus

Alel (pb)

Frekuensi

DYS19

200

0,95

204

0,05

DYS390

203

0,06

207

0,93

DYS393

125

0,06

137

0,94

123

0,07

DYS395

127

0,07

131

0,86



Gambar 1. Hasil Amplifikasi pada lokus DYS19

Gambar 3. Hasil Amplifikasi pada lokus DYS393

Keterangan : M adalah lajur marker Standar 100 pb ladder: 1, 2, 3, 4, 5 merupakan lajur sampel masyarakat soroh Brahmana Budha.


Keterangan : M adalah lajur marker Standar 100 pb ladder: 1, 2, 3, 4, 5 merupakan lajur sampel masyarakat soroh Brahmana Budha.


Gambar 2. Hasil Amplifikasi pada lokus DYS390

Keterangan : M adalah lajur marker Standar 100 pb ladder: 1, 2, 3, 4, 5 merupakan lajur sampel masyarakat soroh Brahmana Budha.

Gambar 4. Hasil Amplifikasi pada lokus DYS395

Keterangan : M adalah lajur marker Standar 100 pb ladder: 1, 2, 3, 4, 6 merupakan lajur sampel masyarakat soroh Brahmana Budha. Lajur 5 merupakan sampel yang tidak berhasil diamplifikasi

Tabel 4. Haplotipe dari kombinasi alel pada empat lokus kromosom Y

Kombinasi alel (pb)

Haplotipe

Jumlah individu

Frekuensi

DYS19

DYS390

DYS393

DYS395

200

207

137

123

B

1

0,07

200

207

137

131

A

12

0,85

204

203

125

127

C

1

0,07

Keragaman pada masing-masing lokus menunjukkan rata-rata nilai keragaman rendah yaitu 0,15± 0,07. Keragaman tertinggi yaitu pada lokus DYS395 dan terendah pada lokus DYS19 (Tabel 6).

Tabel 6. Keragaman genetik masyarakat soroh Brahmana Budha di Bali berdasarkan lokus DYS19, DYS390, DYS393 dan DYS395

Tabel 5. Haplotipe, jumlah individu dan sebarannya di Bali

Haplotipe

Jumlah individu

Daerah sebaran Brahmana Budha di Bali

A

B

C

D

E

F

A

12

1

4

2

4

1

-

B

1

1

-

-

-

-

-

C

1

-

-

-

-

-

1

Jumlah

2

4

2

4

1

1

Keterangan : A : Kabupaten Karangasem, B: Kabupaten Gianyar, C: Kabupaten Klungkung, D: Kota Denpasar, E: Kabupaten Badung, F : Kabupaten Tabanan

Lokus

Keragaman

DYS19

0,10 ± 0,06

DYS390

0,12 ± 0,07

DYS393

0,11 ± 0,06

DYS395

0,25 ± 0,10

Rata-rata

0,15 ± 0,07

PEMBAHASAN

Pada pengambilan sampel diperoleh empat orang probandus yang berasal dari daerah Karangasem, enam orang probandus yang berasal dari daerah Gianyar, empat orang probandus berasal dari daerah Denpasar, empat orang probandus berasal dari daerah Klungkung, satu orang probandus berasal dari daerah Tabanan dan satu orang probandus dari daerah Badung. Dari seluruh sampel yang diperoleh, tidak semua berhasil diamplifikasikan pada lokus tertentu sehingga menyebabkan perubahan jumlah sampel (Tabel 2). Sampel masyarakat Brahmana Budha yang berhasil diamplifikasi pada primer DYS19, DYS390, DYS393, dan DYS395 berturut-turut 19, 16, 18, 14 sampel (Tabel 2).

Dari sampel masyarakat soroh Brahmana Budha yang didapat ada sampel yang tidak berhasil diamplifikasi untuk semua primer (BD5). Hal ini disebabkan karena tidak adanya DNA pada sampel tersebut. Disamping itu ada sampel yang tidak teramplifikasi pada beberapa primer sehingga tidak membentuk haplotipe seperti pada sampel BD2, BD9, BD14, BD16 dan BD19. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya mutasi pada primer site. Selain faktor mutasi pada primer site, kegagalan amplifikasi juga dapat disebabkan kemungkinan terjadi null-allele dan kegagalan dalam proses ekstraksi. Nullallele adalah kegagalan amplifikasi pada beberapa primer yang dapat disebabkan karena ketidakstabilan kualitas maupun kuantitas DNA template atau dapat juga disebabkan karena slippage selama amplifikasi PCR (Junitha, dkk., 2010). Sampel yang gagal diekstraksi tidak akan memunculkan alel pada semua lokus yang digunakan. Kegagalan dalam ekstraksi dapat disebabkan oleh volume sampel yang terlalu sedikit serta kegagalan dalam melakukan tahapan-tahapan ekstraksi. Volume sampel yang terlalu sedikit dapat disebabkan karena kondisi probandus dan teknik pengambilan sampel. Keberhasilan amplifikasi dapat dipengaruhi oleh suhu annealing yang digunakan saat PCR.

Dari hasil amplifikasi diukur jarak migrasi panjang DNA pada masing-masing lokus. Hasil pengukuran menghasilkan sembilan alel dengan frekuensi yang berbeda-beda. Lokus yang paling banyak menghasilkan alel adalah DYS395 (tiga alel) yaitu 123, 127 dan 131 pb. Pada lokus lainnya masing-masing menghasilkan dua alel yaitu pada lokus DYS19 (200 dan 204 pb), DYS390 (203 dan 207 pb) dan DYS393 (125 dan 137 pb) (Tabel 3). Dari seluruh sampel pada masyarakat soroh Brahmana Budha yang berhasil diamplifikasi pada lokus DYS19 diperoleh dua alel yaitu alel 200 pb dan 204 pb (Gambar 1). Pada lokus DYS390 dan DYS393 masing-masing terdapat dua alel yaitu alel 203 pb dan 207 pb dan alel lokus DYS 393 adalah alel 125 pb dan 137 pb (Gambar 2 dan gambar 3). Dan lokus DYS395 menghasilkan tiga alel yaitu alel 123 pb, 127 pb dan 131 pb (Gambar 4).

Frekuensi pada alel-alel yang didapat menunjukkan hasil yang tidak merata dan terdapat alel yang mendominasi pada masing-masing lokus. Pada DYS19 dengan panjang alel 200 pb adalah alel yang mendominasi

dan memiliki frekuensi paling tinggi yaitu 0,95. Panjang alel pada lokus DYS19 yaitu 204 pb memiliki frekuensi rendah yaitu 0,05. Pada penelitian ini alel 200 pb pada lokus DYS19 adalah alel yang paling dominan diantara alel-alel lainnya. Alel dengan panjang 200 pb pada lokus DYS19 merupakan alel yang universal karena tersebar di seluruh dunia (Ruiz- Linares et al., 1996; Hammer et al., 1997). Pada penelitian Junitha 2004, alel 200 pb pada lokus DYS19 adalah alel dominan pada masyarakat Bali. Panjang alel 200 pb juga merupakan alel dominan pada Brahmana Siwa (Junitha and Watiniasih, 2014).

Lokus DYS390 ditemukan dua alel yaitu alel 207 pb dan 203 pb. Dari dua macam alel tersebut, alel 207 pb merupakan alel dengan frekuensi lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa alel 207 pb merupakan alel yang mendominasi pada masyarakat Soroh Brahmana Budha di Bali pada lokus DYS390. Alel 207pb pada lokus DYS390 merupakan alel yang dominan, frekuensinya mencapai 0,93. Alel 207 pb juga dominan pada soroh Pasek Tarunyan (Junitha dan Sudirga, 2007) yang merupakan bagian dari Pasek Catur Sanak, dan alel ini juga ditemukan dengan frekuensi tinggi pada masyarakat Tenganan, Sembiran, dan Tri Wangsa (Junitha, 2004). Dengan demikian alel 207 pb merupakan alel yang penyebarannya luas untuk masyarakat Bali, sedangkan alel 203 pb hanya ditemukan pada satu sampel dengan frekuensi 0,06. Alel 207 pb ditemukan dalam frekuensi tinggi pada semua kasta di India Selatan (Bhattacharyya et al.,1999; Ramana et al., 2001).

Pada lokus DYS393 menghasilkan dua alel yaitu alel 125 pb dan 137 pb. Frekuensi yang tertinggi yaitu sebesar 0,94 yang terdapat pada alel 137 pb dan frekuensi rendah pada alel 125 pb. Pada penelitian Junitha dan Sudirga (2007), pada masyarakat Pasek Tarunyan alel dengan panjang 137 pb juga menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel 125 pb. Lokus DYS395 terdapat tiga alel yaitu alel 123 pb, 127 pb dan 131 pb. Frekuensi paling tinggi terdapat pada alel 131 pb yaitu sebesar 0,86 sedangkan alel 123 dan 127 pb memiliki frekuensi yang sama yaitu 0,07. Alel 131 pb juga ditemukan memiliki frekuensi tertinggi pada masyarakat soroh Celagi Pedahan dan Songan (Rosiana, 2011).

Pada masyarakat soroh Brahmana Budha di Bali ditemukan tiga macam haplotipe, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan enam macam haplotipe yang ditemukan pada wangsa Brahmana Siwa (Junitha and Watiniasih, 2014). Hal ini disebabkan oleh populasi Brahmana Budha di Bali lebih kecil dibandingkan dengan populasi Brahama Siwa. Haplotipe yang menunjukkan frekuensi paling tinggi adalah haplotipe A yaitu 0,85. Haplotipe B dan C memiliki frekuensi yang sama yaitu sebesar 0,07. Pada haplotipe B terjadi mutasi pada lokus DYS395. Mutasi satu step terjadi pada frameshift yaitu mutasi yang terjadi pada bingkai pembacaan DNA dan dapat menambah jumlah urutan basa nitrogen (insersi) atau mengurangi jumlah urutan basa nitrogen (delesi) pada satu motif pengulangan tetra-nukleotida (Bethesda, 2011). Mutasi alel asliakan menghasilkan jumlah atau frekuensi alel yang lebih sedikit daripada frekuensi alel asli. Frekuensi yang kecil pada genotip mutan

menunjukan bahwa mutasi terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama (Suryo, 2008).

Frekuensi tertinggi pada ketiga haplotipe yang ditemukan terdapat pada haplotipe A (200, 207,137,131) yaitu sebesar 0,85 (Tabel 5). Dari hasil yang didapat, jumlah individu yang memiliki haplotipe A dominan pada daerah Denpasar dan Gianyar. Individu yang berasal dari daerah ini mempunyai nenek moyang yang pindah dari Karangasem sebagai pusat dari soroh Brahmana Budha. Berdasarkan keterangan dari Ida Pedanda Jelantik (Kompri., Pendeta soroh Brahmana Budha, 17 Januari 2014), soroh Brahmana Budha menyebar ke berbagai daerah di Bali diantaranya ke daerah Gianyar dan Denpasar. Penyebaran ini diawali dari generasi keempat keturunan Danghyang Astapaka yang bernama Ida Pedanda Wayan Tangeb. Beliau memiliki tiga orang istri yaitu istri pertama bernama I Gusti Ayu Jelantik, istri kedua I Dewa Ayu Istri Beng dan Ida Pedanda Istri Alit Kemenuh sebagai istri ketiga (Ngurah, 2011). Pada penelitian ini haplotipe A juga terdapat di daerah lain diantaranya Karangasem sebanyak satu individu, Klungkung sebanyak dua individu dan Badung sebanyak satu individu. Haplotipe B dan C memiliki jumlah individu yang sama yaitu masing-masing satu individu.

Haplotipe A (200,207,137,131) dengan frekuensi tinggi merupakan haplotipe asli (founding father) dari soroh Brahmana Budha. Haplotipe B (200, 207,137,123) yang memiliki kombinasi alel berbeda merupakan hasil mutasi pada lokus DYS395 dari alel 131 pb menjadi 123 pb (Tabel 5). Mutasi pada lokus yang sama (DYS395) juga ditemukan pada penelitian masyarakat soroh Celagi Pedahan dan Songan (Rosiana, 2011). Sedangkan haplotipe C (204, 203,125,127) menunjukkan ragam alel yang berbeda pada seluruh lokusnya daripada haplotipe A dan haplotipe B. Dengan kombinasi alel haplotipe C demikian, kecil kemungkinan merupakan hasil mutasi dari haplotipe A maupun B. Individu dengan haplotipe C kecil kemungkinannya merupakan keturunan soroh Brahmana Budha. Hal ini didukung dari keterangan Ida Pedanda Jelantik Duaja (Kompri., Pendeta soroh Brahmana Budha, 17 Januari 2014), individu yang berasal dari Tabanan ini bukan keturunan asli Brahmana Budha melainkan keturunan Brahmana Siwa yang menjadi soroh Brahmana Budha.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masyarakat soroh Brahmana Budha di Bali diketahui bahwa pada soroh Brahmana Budha ditemukan sembilan ragam alel yaitu masing-masing dua alel pada lokus DYS19 (200 dan 204 pb), DYS390 (203 dan 207 pb), DYS393 (125 dan 137 pb) dan tiga alel pada DYS395 (123, 127 dan 131 pb). Ditemukan tiga haplotipe yaitu haplotipe A (200, 207,137,131), haplotipe B (200, 207,137,123), haplotipe C (204, 203, 125, 127) dan keragaman genetik yang dihasilkan rendah yaitu sebesar 0,15 ± 0,07.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kami sampaikan kepada seluruh probandus yang telah dengan sukarela bersedia diambil sampel sel epitel mukosa mulutnya serta memberikan datanya dan semua pihak yang telah membantu penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

Bethesda, MD. 2011. National Human Genome Research Institute.

http://www.genome.gov/Glossary/index.cfm.id=138

Bhattacharyya NP., Basu P., Das M., Pramanik S., Banerjee R., Roy B., Roychoundhury S., Majumder PP. 1999. Negligible Male Gene Flow across Ethnic Boundaries in India, Revealed by Analysis of Y- Chromosomeal DNA Polimorphisms. Genome Res 9:711-719.

Bowcock A.M., Ruiz-Linnares, A. Tofohrde, J. Minch, E. Kidd Jr, and L.L. Cavalli-Sforsza. 1994. High Resolution of Human Evolusionary Trees with Polymorphic Microsatellites. Nature 368:455-457

Hadiwijono, Harun. 2008. Agama Hindu dan Budha. Agung Mulia. Jakarta

Hammer M.F., A.B. Spurdle, T. Karafet, M.R. Bonner, E.T. Wood, A. Novelletto, P. Malaspina, R.J. Mitchell, S. Horai, T. Jenkins, S.L. Zegura. 1997. The Geographic Distribution of Human Y Chromosome Variation. Genetics 145:787-805

Holtkemper, U., B. Rolf, C. Hohoff, P. Foster, B. Brinkmann. 2001. Mutation Rate at Two HumanY-Chromosomal Microsatellite Loci using Small Pool PCR Techniques. Human Molecular Genetics 10:629-633.

Junitha, I.K. 2007. Penggunaan DNA Mikrosatelit Untuk Penelusuran Kawitan Pada Soroh-Soroh Masyarakat Bali (Suatu Kajian Pustaka) Bali. Jurnal Biologi XI (2): 50-54.

Junitha, I.K. dan S.K. Sudirga. 2007. Variasi DNA Mikrosatelit Kromosom Y pada Masyarakat Bali Mula Terunyan. Hayati Journal of Biosciences 14(2) : 59-64.

Junitha, I.K., I.Narayani dan Y. Carolina. 2010. Variasi Genetik Suku Batak yang Tinggal di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung Berdasarkan Tiga Lokus Mikrosatelit DNA Autosom. Bali. Jurnal Biologi. Vol. 14 (1):33-38.

Junitha, I.K., S.K. Sudirga, M.S. Wijana. 2009.Variasi Genetik DNA Mikrosatelit Kromosom-Y Soroh Pasek Kayu Selem di Bali. Bali.Berkala Penelitian Hayati 3A : 39-43.

Junitha, I.K., M. Pharmawati. 2011. Karakterisasi Genetik Klan Celagi dalam Usaha Penyediaan Database DNA sebagai Alat Penelusuran Klan- Klanpada Masyarakat Bali.Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Bali.

Junitha, I.K. and N.L Watiniasih. 2014. Male Genetic Diversity of Siwa Brahmin Clan in Bali based on Y-Chromosomal Microsatellites DNA. Denpasar. 4 (1):30-35

Ngurah, I.W. 2011. Bancangah Dang Hyang Astapaka. Karan-gasem.Bali

Parra E., M.D. Shrriver., A. Soemantri., S.T. McGarvey., J. Hundri-eser., N. Saha., and R. Deka. 1999. Analysis of five Y-Specific microsatelite loci in Asian and Pasificpopulations. Am J Phys Anthropol. 110:1-16.

Ramana G.V., B. Su, L. Jin, L. Singh, N. Wang, P. Underhill, R. Chakraborty. 2001.Y-Chromosom SNP Haplotypes Suggest Evidence of Gene Flow among Caste, Tribe, and The Migrant Siddi Population of Andhra Pradesh, South India. European J. Human Genetics. 9: 695-700.

Raven, H. Peter. and B. George. Johnson. 2002. Biology. Sixth Edition. McGraw-Hills Company. USA

Rosiana,I W. 2011. Keragaman Genetik DNA Mikrosatelit–Y Pada Masyarakat Soroh Celagi Pedahan dan Songan dalam Usaha Penyediaan Data Base DNA Untuk Penelusuran Soroh Ma-

50