PENGARUH 2,4-D TERHADAP HIPOKOTIL DAN KOTILEDON KEDELAI VARIETAS SLAMET YANG DITUMBUHKAN SECARA IN VITRO
on
JURNAL BIOLOGI XVI (2) : 41 - 44
ISSN : 1410 5292
PENGARUH 2,4-D TERHADAP HIPOKOTIL DAN KOTILEDON KEDELAI VARIETAS SLAMET YANG DITUMBUHKAN SECARA IN VITRO
THE EFFECT OF 2,4-D ON HYPOCOTIL AND COTYLEDONS OF SLAMET SOYBEAN VARIETIES GROWN IN VITRO
Iman Budisantoso* dan Lucky Prayoga Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
*Email: imanbudi_unsoed@yahoo.com
INTISARI
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh 2,4-D terhadap pertumbuhan dan perkembangan hipokotil dan kotiledon kedelai varietas Slamet dalam kultur in vitro. Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL), perlakuan yang dicobakan adalah larutan 2,4-D yang terdiri dari 4 level konsentrasi yaitu 0 mg/L; 20 mg/L; 40 mg/L dan 60 mg/L dan masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Parameter perkembangan eksplant yang diamati meliputi prosentase pertumbuhan melalui pembentukan kalus maupun proses embriogenesis, waktu tumbuh kalus, berat basah kalus dan jenis kalus yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplant hipokotil maupun kotiledon kedelai varietas Slamet yang ditumbuhkan dalam media MS dengan perlakuan 2,4-D 20-60 mg/L tidak menghasilkan kalus maupun tanaman melalui proses embriogenesis, eksplant berwarna coklat dan mati. Setelah perlakuan konsentrasi hormon diubah menjadi 0, 5, 10 dan 15 mg/L, kalus tumbuh pada eksplant hipokotil dengan perlakuan 2,4-D 5 mg/L, sedangkan eksplant kotiledon kalus tumbuh pada media dengan perlakuan 2,4-D 15 µM.
Kata kunci : kedelai, 2,4-D, in vitro, hipokotil, kotiledon.
ABSTRACT
The objective of this study was to investigate the effect of 2,4-D hormone on the growth and development of cotyledons and hypocotyls of soybean Slamet variety cultured in vitro. This reseach was designed with Completely Randomized Design (CRD). Four different concentrations of 2,4-D hormone were applied 0 mgL-1, 20 mgL-1, 40 mgL-1 and 60 mgL-1 as the treatments and was replicated 4 times. The parameters observed were the percentage of callus formation, the growth of callus and the type of callus formed. The results showed that soybean cotyledons and hypocotyls of Salmet variety grown in MS medium supplemented with 20 to 60 mgL-1 2,4-D hormone did not produce any calli and plantlets through embrygenesis process. As a result the explants turned brown then died. However, the calli were formed from hypocotyl explants on medium with the concentration of 5mgL-1 . Interestingly, the calli were also formed in the medium without the application of 2,4-D hormone (Control).
Keywords: soybean, 2,4-D, in vitro, hypocotil, cotyledon.
PENDAHULUAN
Kedelai varietas Slamet merupakan kedelai yang tahan terhadap penyakit karat, mempunyai produktivitas cukup tinggi 2,6 ton/Ha yang dilepas pada tahun 1995 (Sunarto, 1997). Hasil penelitian Budisantoso dan Hartiko (2001), menunjukkan bahwa varietas Slamet tahan terhadap kekeringan, sedangkan pertumbuhan dan hasil tanaman akan menurun pada kadar air tanah 50% dari kapasitas lapang.
Setiap tahun kebutuhan kedelai meningkat, sedangkan produktivitas kedelai masih rendah, hal ini mengakibatkan ketergantungan import kedelai sangat tinggi. Import kedelai pada tahun 1990 sebesar 500.000 ton dengan nilai sebesar US$ 128 juta, nilai tersebut meningkat tajam pada tahun 2000 mencapai US$ 300 juta, selanjutnya pada tahun 2005 telah mencapai US$ 358 juta atau setara dengan Rp. 3,58 trilliun. Keadaan tersebut diperparah
dengan menyusutnya lahan pertanian, pada tahun 2003 lahan yang ditanami kedelai hanya mencapai 0,53 juta Ha, sehingga kebutuhan kedelai hanya dicapai 35% dari produksi dalam negeri (Simatupang, 2005). Kenyataan ini dapat ‘menguras’ devisa negara, sehingga perlu upaya-upaya penelitian guna meningkatkan produktivitas kedelai lokal.
Kedelai varietas Slamet mempunyai produktivitas lebih tinggi dari tetuanya dan tahan terhadap kekeringan (Budisantoso dan Hartiko, 2001). Kedelai varietas Slamet merupakan kedelai yang dilepaskan pada masyarakat pada tahun 1995, merupakan kedelai yang tahan pada tanah masam, tahan pada kondisi kering, dengan rata-rata berat 100 biji adalah 12,5 g atau mempunyai produktivitas 2,26 ton/Ha dengan kandungan protein biji 34%, sementara tetuanya Varietas Wilis berat 100 biji adalah 10 g, produktivitas 1,6 ton/Ha dan kandungan protein biji 37%, sementara itu varietas Dempo berat
100 biji adalah 12 g, produktivitas 1,5 ton/Ha. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kedelai varietas Slamet mempunyai produktivitas yang cukup tinggi. Selanjutnya, apabila dibandingkan varietas lainnya, varietas Slamet menunjukkan produktivitas yang tinggi pula, namun akhir-akhir ini ukuran biji varietas Slamet telah menurun, karena diduga mengalami segregasi genetik, hal ini ditunjukkan dari hasil pengamatan awal berat 100 biji yang dipanen pada bulan Oktober 2008 adalah 7,58 g.
Upaya peningkatan produktivitas varietas Slamet telah banyak dilakukan diantaranya dengan menggunakan teknologi sonik bloom yaitu menggunakan suara berfrekuensi tinggi yang dibarengi dengan pemberian hara tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi sonik bloom dapat meningkatkan berat kering tanaman dan berat biji/ tanaman (Budisantoso dan Proklamasiningsih, 2003). Upaya lain untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan perlakuan kolkisin dengan konsentrasi 0,25-0,75%, yang direndam selama 6-24 jam. Biji yang telah mendapat perlakuan kolkisin ditanam dalam media tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kolkisin mampu mengubah penampilan pertumbuhan awal (kecambah), selanjutnya pada pengamatan secara mikroskopis inti sel pada waktu pembelahan mitosis tampak membesar, jumlah kromosom tidak dapat dihitung karena ukuran kromosom pada kedelai sangat kecil. Namun demikian, diduga tanaman kedelai telah mengalami mutasi menjadi poliploid. Pada umur 20 hst (hari setelah tanam) tanaman mati karena bulu-bulu akar tidak tumbuh sehingga tanaman tidak mampu menyerap hara (Budisantoso dan Kamsinah, 2009). Adanya kenyataan tersebut di atas maka perlu upaya penelitian lainnya, guna menghasilkan tanaman kedelai yang lebih unggul. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menumbuhkan hipokotil dan kotiledon kedelai varietas Slamet dalam media MS yang diberi 2,4-D. Selanjutnya kalus atau planlet yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk penelitian selanjutnya.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mendapatkan kalus maupun tanaman melalui embriogenesis yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut seperti perlakuan kalus dengan bahan yang bersifat mutagen sehingga akan dihasilkan tanaman mutasi yang akan memperbaiki sifat genetik, maupun perlakuan bahan kimia lainnya (Polyetilen glikol maupun garam) yang akan menghasilkan tanaman yang tahan terhadap kekeringan maupun garam. Selain itu dapat pula digunakan untuk memperbanyak tanaman melalui teknik kultur in vitro.
MATERI DAN METODE
Bahan/ materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kedelai varietas Slamet. Biji kedelai dikecambahkan dalam kondisi steril. Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diberikan adalah konsentrasi 2,4-D untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perkembangan hipokotil dan kotiledon kedelai
var. Slamet. Konsentrasi 2,4-D yang diberikan terdiri dari 4 macam konsentrasi yaitu 0 mg/L, 20 mg/L, 40 mg/L dan 60 mg/L, masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah perkembangan eksplant yang ditumbuhkan dalam media MS, prosentase pertumbuhan melalui pembentukan kalus maupun proses embriogenesis dan jenis kalus yang terbentuk, waktu tumbuh dan berat basah kalus. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisis sidik ragam, apabila menunjukkan pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji BNT untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan.
HASIL
Sebanyak 48 eksplant yang berupa biji yang telah dikecambahkan diambil hipokotil dan kotiledonnya (Gambar 1) kemudian ditanam dalam media MS. Setelah
dilakukan pengamatan ternyata kotiledon dan hipokotil tumbuh kalus. Pada eksplant kotiledon kalus tumbuh pada perlakuan kontrol, setelah 10 hari eksplant dalam media perlakuan 2,4-D berwarna coklat dan mati. Pada
eksplant hipokotil semuanya berwarna coklat dan mati.
Sumber : Anonim (2011)
Gambar 1. Kotiledon dan hipokotil yang digunakan sebagai eksplant
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka dilakukan penanaman kembali eksplant kotiledon dan hipokotil dengan menurunkan konsentrasi perlakuan 2,4-D menjadi 0, 5, 10 dan 15 mg/L 2,4-D. Dari hasil pengamatan ternyata pada eksplant kotiledon dapat tumbuh kalus tetap pada perlakuan 0 ppm (kontrol), sedangkan eksplant hipokotil tumbuh kalus pada perlakuan 2,4-D 5 mg/L (Tabel 1 dan Gambar 2).
Tabel 1. Pertumbuhan Kalus Kotiledon dan Hipokotil Kedelai Varietas Slamet pada Perlakuan 2,4-D
Jenis eksplant |
Pelakuan 2,4-D mg/L |
Ulangan | |||
1 |
2 |
3 |
4 | ||
0 |
Kalus |
Kalus |
Kalus |
Kalus | |
Kotiledon |
5 |
- |
- |
- |
- |
10 |
- |
- |
- |
- | |
15 |
- |
- |
- |
- | |
0 |
- |
- |
- |
- | |
Hipokotil |
5 |
Kalus |
Kalus |
Kalus |
Kalus |
10 |
- |
- |
- |
- | |
15 |
- |
- |
- |
- |
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka dilakukan penanaman kembali kotiledon dengan menurunkan konsentrasi perlakuan yang lebih kecil lagi menjadi 0, 5, 10 dan 15 µM 2,4-D, sedangkan pada eksplant hipokotil tidak dilakukan penanaman kembali karena telah tumbuh pada perlakuan 2,4-D 5 mg/L. Dari hasil pengamatan ternyata semua eksplant kotiledon pada perlakuan 2,4-D maupun kontrol dapat tumbuh kalus. Selanjutnya hasil
Pengaruh 2,4-D Terhadap Hipokotil dan Kotiledon Kedelai Varietas Slamet yang Ditumbuhkan Secara In Vitro [Iman Budisantoso dan Lucky Prayoga

Gambar 2. Kalus yang Tumbuh dari Eksplant Hipokotil dan Kotiledon a. Kalus Hipokotil, b. Kalus Hipokotil Subkultur, c. Kalus Kotiledon, d. Kalus Kotiledon Subkultur.

10.50 10.50
■ ■ 6∙5° 5.50
0 5 10 15
Perlakuan 2,4-D (mikro M)
Gambar 4. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap Berat Basah Kalus Kotiledon Keledai Varietas Slamet
Hasil pengamatan tipe kalus yang tumbuh ternyata sebagian besar dihasilkan kalus embrionik (Gambar 4), yaitu kalus yang dapat berkembang menuju ke arah organogenesis maupun embriogenesis somatis.
analisis data waktu tumbuh kalus menunjukkan bahwa perlakuan 2,4-D memberikan pengaruh sangat nyata (Tabel 2.).
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Pengaruh 2,4-D terhadap Waktu Tumbuh Kalus Kotiledon Kedelai Varietas Slamet dalam media MS
No |
Sumber keragaman |
Df |
SK |
MS |
F hitung |
F tabel | |
F 5% |
F 1% | ||||||
1 |
Perlakuan 2,4 D |
3 |
134,25 |
44,75 |
33,56** |
4,07 |
7,59 |
2 |
Galat |
8 |
10,67 |
1,33 | |||
3 |
Total |
11 |
144,92 |
Keterangan :
** berbeda sangat nyata
Hasil uji BNT menunjukkan bahwa perlakuan 2,4-D akan memperlambat pertumbuhan kalus. Perlakuan 2,4-D 15 µM mengakibatkan waktu tumbuh kalus paling lama, sebaliknya waktu tumbuh paling cepat pada perlakuan 0 µM, antara perlakuan 5 µM dan 10 µM tidak memberikan perbedaan yang nyata (Gambar 3).
Gambar 3. Histogram Pengaruh 2,4-D terhadap Waktu Tumbuh Kalus Kotile-don Keledai Varietas Slamet
Hasil pengamatan berat basah kalus menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang diberikan akan menurunkan berat basah kalus (Gambar 4). Hasil analisis data menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata.
Gambar 4. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap Tipe Kalus yang Tumbuh dari Eksplant Kotiledon Keledai Varietas Slamet.
PEMBAHASAN
Kultur in vitro kotiledon kedelai telah dilaporankan oleh Widoretno (2003a) bahwa pada perlakuan 2,4-D dengan konsentrasi 60 ppm dapat diregenerasi menjadi tanaman utuh melalui proses embriogenesis somatik, eksplant yang digunakan adalah kotiledon muda yang sedang dalam proses pengisian biji.
Kotiledon merupakan endosperm yang dihasilkan dari pembuahan antara gamet jantan yang bersifat haploid dengan inti kandung lembaga yang bersifat diploid, sehingga kotiledon akan bersifat triploid (Fernando et al., 2002). Sel endosperm merupakan sel yang banyak mengandung karbohidrat dan lemak, sebagai cadangan makanan bagi perkembangan embrio (Franch et al., 1985). Kotiledon atau endosperm yang digunakan dalam penelitian ini merupakan endosperm yang telah dikecambahkan, sehingga hanya berupa sel-sel lemak dan karbohidrat sebagai cadangan makanan bagi perkembangan embrio atau hipokotil, hasil yang diperoleh dalam kultur in vitro ini hanya berupa sel-sel kalus. Jadi penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dari hasil penelitian Widoretno. Indikasi perbedaan genetik yang akan mengakibatkan perbedaan kemampuan kompetensi regenerasi atau kondisi fisiologis dari jaringan eksplant. Pada penelitian Widoretno (2003a), eksplant yang digunakan merupakan kotiledon muda yang masih dalam proses pengisian biji, jadi memungkinkan ada sel embrio
dalam eksplant tersebut, sehingga memungkinkan menghasilkan planlet melalui proses embriogenesis. Selain itu Wareing dan Phillips (1981) menyatakan bahwa pengaruh suatu hormon bergantung pada jenis tanaman, jaringan, organ maupun konsentrasi hormon yang diberikan. Kemampuan kompetensi regenerasi juga pernah diteliti oleh Syafrudin (2005), dengan mengkultur embrio dari berbagai kultivar kedelai.
Hasil uji BNT menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi perlakuan yang diberikan akan memperlambat waktu tumbuh kalus (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan sifat 2,4-D itu sendiri merupakan hormon yang mudah diserap, stabil tidak mudah diurai, mampu mendorong perkembangan ekplant (Widoretno, 2003b). Pada penelitian ini diindikasikan bahwa 2,4-D mudah diserap, namun pada konsentrasi 5 µM ternyata mulai menunjukkan adanya hambatan karena konsentrasi yang relatif tinggi, yang mengakibatkan waktu tubuh kalus yang lebih lama daripada kontrol (tanpa perlakuan 2,4-D). Adanya waktu pembentukan kalus relatif lebih lama ini mengakibatkan berat kalus lebih kecil. Hal ini ditunjukkan pula dengan adanya korelasi antara waktu tumbuh kalus dengan berat basah kalus (r = -0,45*), semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang diberikan akan menghambat waktu tumbuh kalus, sehingga mengakibatkan menurunnya berat basah kalus yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa 2,4-D kurang berperan dalam regenerasi kalus kotiledon kecambah kedelai dalam kultur in vitro. Hal ini ditunjukkan pula dari hasil analisis data berat basah kalus yang dihasilkan tidak memberikan pengaruh yang nyata.
Ditinjau dari jenis kalus yang dihasilkan menunjukkan bahwa sebagian besar (56,25%) kalus yang dihasilkan berupa kalus embrionik, yang bersifat remah, berwarna hijau karena mengandung klorofil. Kalus ini memungkinkan dapat berkembang kembali, selanjutnya apabila media yang digunakan sesuai kemungkinan dapat berkembang dan terdiferensiasi menjadi tanaman. Namun demikian dalam kultur in vitro dengan menggunakan eksplant kotiledon kecambah kedelai belum banyak diungkap.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kultur in vitro hipokotil maupun kotiledon kedelai varietas Slamet dalam media MS dengan perlakuan 2,4-D 20-60 mg/L tidak menghasilkan kalus maupun tanaman melalui proses embriogenesis somatik, namun kalus tumbuh pada eksplant hipokotil dengan perlakuan 2,4-D 5 mg/L, sedangkan eksplant kotiledon kalus tumbuh pada media dengan perlakuan 2,4-D hingga 15 µM.
KEPUSTAKAAN
Bhojwani, S.S., M.K. Razdan. 1983. Plant Tissue Culture Theory and Practice Elsevier. Amsterdam. Oxford. New York. Tokyo.
Budisantoso I., H. Hartiko. 2001. Pertumbuhan, Hasil Tanaman dan ANR daun Kedelai pada beberapa lengas tanah dan Pemupukan Nitrogen. Biosfera 18(1): 30-35
Budisantoso I., Kamsinah. 2009. Pengaruh Kolkisin terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Budisantoso I., E. Proklamasiningsih. 2003. Studi Berbagai Lengas Tanah dan Teknologi Sonic Bloom dalam Upaya Meningkatkan Pertumbuhan serta Hasil Tanaman Kedelai. Jurnal Pembangunan Pedesaan 3(2):91-99.
Diana Sofia H. 2007. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Waktu Pemberian Kolkisin terhadap Pertumbuhan dan Poliploid pada Biji Muda Kedelai yang Dikultur secara in vitro. Laporan Penelitian. Universitas Sumatra Utara.
Fernando J.A., Carneiro M.L., Geraldi I.O., and Appezzato-da-Gloria B. 2002. Anatomical Study of Somatic Embryogenesis in Glycine max (L.) Merill. Brazilian Archives of Biology and Technology 45 (3) : 277 – 286.
Franch J.P., L. Oglesby and A.C. Zielinski. 1985. Plant Regeneration from Embryo Derived Tissue Cultures of Soy Beans. In Vitro Cellular and Developmental Biology 21 (11) : 653 – 658.
Gai., M.D. 2001. Direct Somatic Embryogenesis as a Rapid and Efficient System for in vitro Regeneration of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture 64:39-46.
Purnamaningsih R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embrio-genesis Somatik dan Beberapa Gen yang mengendalikannya. Buletin Agrobio 5(2):51-58.
Ross C.W., and D.L. Rayle. 1982. Evaluation of H Secretion Relative to Zeatin-Induced Growth of Detached Cucumber Cotyledons. Plant Physiol 70: 1470-1474.
Ilyas S. 2005. Kultur Embrio Resque pada Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merril). Jurnal Komunikasi Penelitian. 17(6):44-51.
Simatupang P., Narwoto, K.S Swastika. 2005. Makalah Lokakarya: Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id.ind/pdffiles. Anjak_2005_IV_10.pdf. Diakses 11 April 2010.
Sunarto. 1997. Kedelai Varietas Slamet dan Sindoro. Fakultas Pertanian. Unsoed. Purwokerto.
Wareing P.F., I.D.J Phillips. 1981. Growth and Diffrentiation an Plant (3nd edition). Pergamon Press. Oxford.
Widoretno W., Estri Laras A, Sudarsono. 2003a. Metode Induksi Pembentukan Embrio Somatik dari Kotiledon dan Regenerasi Planlet Secara In Vitro. Hayati 10 (1) : 19-24.
Widoretno W., D. Harran, Sudarsono. 2003b. Keragaman Karakter Kualitatitf dan Kuantitatif pada Populasi Tanaman Somak-lonal Kedelai dari Embrio Somatik Hasil Seleksi in Vitro. Hayati.10 (4) : 110-117.
44
Discussion and feedback