JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 11, Nomor 1, bulan April, 2023

Modifikasi Keranjang Biokomposter Sederhana Untuk Sampah Organik Rumah Tangga

Modification of Simple Biocomposter for Household Organic Waste

I Komang Gede Habi Wijaya, Ida Ayu Gede Bintang Madrini*, dan Ida Bagus Putu Gunadnya Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

*email: [email protected]

Abstrak

Modifikasi keranjang biokomposter sederhana dilakukan karena masih terdapat kekurangan yaitu tiang penyangga tidak kuat menopang jaring, jaring yang digunakan tidak kokoh, lubang jaring terlalu besar dan tidak adanya alas dudukan. Tujuan dari penelitian ini untuk memodifikasi keranjang biokomposter hasil rancangan sebelumnya, menguji kinerja keranjang biokomposter sederhana skala rumah tangga. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap memodifikasi bagian rangka dengan penambahan tiang penyangga, alas dudukan pada bagian bawah, selanjutnya mengganti jaring. Tahap kedua yaitu uji kinerja dengan pengomposan yang dilakukan selama 60 hari. Sampah organik rumah tangga dan sekam padi sebagai bahan baku dengan perlakuan: A1 (1:0), A2 (1:1), A3 (1:2). Kontruksi rangka dinyatakan aman karena dapat menopang beban kompos seberat 32 kg dengan tegangan (σ) tarik rangka yaitu 0,275 N/mm2 yang lebih kecil dari tegangan (σ) ijin bahan yaitu 48,1 N/mm2. Hasil modifikasi yaitu, memperkokoh rangka dengan menambah tiang penyangga sebanyak 4 buah, mengganti jaring dengan ukuran 0,5 mm, menambah alas dudukan berukuran 10 cm dari permukaan tanah. Berdasarkan hasil kinerja keranjang biokomposter hasil modifikasi menunjukkan bahwa ke 6 keranjang memiliki kinerja yang sama, untuk komposisi kompos yang paling baik dihasilkan pada perbandingan A1 (sampah rumah tangga tanpa campuran), karena bahan baku sampah rumah tangga sudah memenuhi syarat C/N rasio dari awal hingga akhir pengomposan.

Kata kunci: keranjang biokomposter, kompos, modifikasi, sampah rumah tangga

Abstract

Modification of a simple biocomposter basket was carried out because there were still shortcomings i.e. the support poles were not strong enough to support the net, the net used was not sturdy, the net hole was too large and there was no seat base. The purpose of this study was to modify the previously designed biocomposter basket, to test the performance of a simple household-scale biocomposter basket. The research was carried out in two stages, namely the stage of modifying the frame with the addition of support poles, the base of the seat at the bottom, then replacing the net. The second stage is a performance test with composting carried out for 60 days. Household organic waste and rice hull as raw materials were treated with: A1 (1: 0), A2 (1: 1), and 3 (1: 2). The frame construction is declared safe because it can support a compost load of 32 kg with tensile stress (σ) of the frame, which is 0.275 N/mm2 which is smaller than the allowable stress (σ) of the material, which is 48.1 N/mm2. The result of the modification is to strengthen the frame by adding 4 support poles, replacing the net with a size of 0.5 mm, and adding a seat base measuring 10 cm from the ground. Based on the results of the performance of the modified biocomposter basket, it shows that the 6 baskets have the same performance, for the best compost composition is produced at a ratio of A1 (household waste without mixture) because the raw materials for household waste have met the requirements of the C/N ratio from the beginning to the end of composting.

Keywords: compost, modification, biocomposter basket, household waste

PENDAHULUAN

Sampah merupakan masalah masyarakat yang sampai sekarang penanganannya belum menyeluruh bahkan di beberapa tempat belum ada sistem penanggulangan yang jelas sehingga mengakibatkan sampah menumpuk dimana-mana. Kebiasaan masyarakat yang buruk seperti membuang sampah sembarangan juga turut menyumbangkan permasalahan lingkungan dan bahkan memicu kerusakan ekosistem. Banyaknya masalah yang dapat

ditimbulkan sampah harusnya menjadi perhatian warga masyarakat karena berhubungan dengan lingkungan. Untuk menangani keberadaan sampah, masyarakat dapat melakukan pengolahan sendiri yang dimulai dari skala rumah tangga. Sampah yang umumnya mudah diolah adalah sampah organik yang berasal dari makhluk hidup sehingga mudah terdekomposisi seperti daun kering dan sampah dapur. Sampah organik umumnya dimanfaatkan kembali menjadi pupuk organik atau kompos. Rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami

sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal serta makan dari satu dapur (Badan Pusat Statistik, 2013). Rumah tangga juga turut menghasilkan sampah yang didominasi oleh sampah makanan. Menurut KLHK (2020), sampah yang dihasilkan di suatu daerah didominasi oleh sampah rumah tangga yang memiliki persentase 37,3% dari total sampah di Indonesia. Sampah yang dihasilkan di rumah tangga terdiri atas sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik yang dihasilkan biasanya berupa sampah sisa dapur, sisa makanan, dan daun kering. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Banjar Nuansa Barat Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung, jumlah sampah organik yang dihasilkan di rumah tangga sebanyak ± 1 kg/hari.

Sampah organik tersebut seharusnya dapat diolah secara mandiri sehingga reduksi sampah dapat terwujud. Salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengolah sampah organik yaitu dengan pengomposan. Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil akhir berupa humus dan kompos (Murbandono, 2008). Pengomposan bertujuan untuk mengaktifkan kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik, untuk dapat menghasilkan kompos yang sesuai dengan standar SNI 19-7030-2004. Untuk memudahkan proses pengomposan sampah organik rumah tangga, dapat menggunakan alat yang dinamakan keranjang biokomposter. Keranjang biokomposter dapat dijadikan alternatif untuk melakukan pengomposan skala kecil di rumah tangga untuk mendukung pertanian perkotaan (urban agriculture). Pada penelitian sebelumnya telah dirancang keranjang bikomposter sederhana. Keranjang biokomposter tersebut dirancang untuk mempermudah proses pengomposan di rumah tangga (Madrini dan Sulastri, 2018). Pada keranjang bikomposter yang telah dirancang sebelumnya masih terdapat kekurangan yaitu tiang penyangga tidak kuat menopang jaring, jaring yang digunakan tidak kokoh, lubang jaring terlalu besar dan tidak adanya alas dudukan sehingga dibutuhkan modifikasi untuk memperbaiki kinerja dari komposter tersebut. Menurut KBBI, modifikasi merupakan cara untuk mengubah betuk sebuah barang tanpa menghilangkan fungsi aslinya serta menampilkan bentuk yang baru atau berbeda dari yang aslinya. Dengan demikian, modifikasi yang dilakukan pada bagian rangka dan jaring, dengan tujuan untuk membuat keranjang biokomposter yang lebih kuat, kokoh, dan dapat dimanfaatkan pada skala rumah tangga.

Salah satu yang mendasari dilakukannya modifikasi rangka dan jaring yaitu, rangka sebelumnya memiliki kinerja yang kurang optimal dikarenakan rangka tidak kuat menahan jaring pada saat bahan dimasukkan kedalam keranjang biokomposter sehingga jaring menjadi rusak. Selain itu keranjang biokomposter masih terdapat bantuan alas dudukan pada rangka bagian bawah. Hasil dari kinerja biokomposter lama pada kadar air dan rendemen lebih sedikit dikarenakan jaring yang digunakan biokomposter lama memiliki lubang jaring sebesar 2 mm sehingga kompos yang dihasilkan kurang optimal. Untuk memperbaiki kinerja dari keranjang biokomposter maka diperlukan modifikasi alat, menguji keranjang biokomposter untuk membuat keranjang biokomposter yang lebih kuat, kokoh, dan dapat dimanfaatkan pada skala rumah tangga. Keranjang biokomposter ini dimodifikasi dengan menambahkan alas dudukan pada bagian bawah biokomposter, mengganti jaring yang lebih kuat, dan mengubah ukuran biokomposter sehingga keranjang ini dapat membantu kegiatan pengomposan dan selanjutnya kompos tersebut dapat digunakan untuk pekarangan atau halaman dirumah tangga.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap pembuatan alat dan tahap pengujian alat. Pembuatan dan pengujian alat pada bulan Januari 2021 – Mei 2021 diawali dengan pembuatan alat di Laboratorium Rekayasa dan Ergonomika, Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana dan pengambilan data dilaksanakan di Gedung GA Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Bahan dan Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan untuk membuat keranjang biokomposter antara lain gerinda potong, meteran, las busur listrik, desain mengunakan Software Google Sketchup 2013. Sedangkan alat yang digunakan untuk uji kinerja keranjang biokomposter adalah sekop, cangkul, terpal, termometer digital, digital moisture untuk mengukur kadar air, pH meter, EC meter, dan timbangan digital kapasitas 120 kg. Bahan-bahan yang digunakan dalam memodifikasi alat diperoleh dari hasil perhitungan pada rancangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain besi beton ukuran 8 mm, besi plat dengan tebal 0,8 mm, jaring sunshide dengan tebal 1,5 mm. Sedangkan bahan untuk pengujian keranjang biokomposter adalah sampah organik rumah tangga dan sekam padi.

Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap berupa tahap memodifikasi terhadap keranjang biokomposter dilakukan pada bagian rangka yaitu penambahan tiang penyangga, alas dudukan pada bagian bawah, dan mengganti jaring. Tahap pengomposan dilakukan selama 60 hari dengan sampah organik rumah tangga dan sekam padi. Sebelum dilakukan modifikasi keranjang biokomposter ini, dilakukan observasi awal terlebih dahulu yang bertujuan untuk mengetahui kekurangan yang terdapat pada keranjang biokomposter tersebut kemudian memodifikasinya. Gambar 1 memperlihatkan flowchart dari metodologi penelitian modifikasi keranjang biokomposter sederhana untuk sampah organik rumah tangga.

Tidak

Gambar 1. Flowchart tahapan penelitian

Observasi Alat Lama

Keranjang biokomposter yang telah dibuat sebelumnya diperlihatkan oleh Gambar 2. Keranjang biokomposter terdiri dari rangka dan jaring yang berbentuk silinder yang berfungsi sebagai wadah limbah yang akan diolah menjadi kompos. Pada rancangan sebelumnya dimensi biokomposter 50 cm x 50 cm dan masih menyentuh tanah.

Gambar 2. Keranjang biokomposter lama

Tabel 1. Komponen dan spesifikasi dari keranjang biokomposter lama

No

Komponen

Spesifikasi

1

Rangka utama

Kapasitas = 32 kg

Berat = 4,47 kg

Bahan = besi beton polos 10 mm

Dimensi (tinggi x diameter) = 50 cm x 50 cm

Momen inersia (I) = 1520021,67 mm4

Tegangan tarik = 0,243

N/mm2

Tegangan ijin = 46,3

N/mm2

2

Jaring biokomposter

Jenis = jaring polynet Bahan = nilon

Ukuran lobang = 2.00 mm

3

Velcro

Bahan = poliester

Ukuran = 3 cm

Rancangan Fungsional

Keranjang biokomposter dimodifikasi untuk mempercepat proses penguraian bahan organik menjadi pupuk organik dengan harapan dalam penggunaan alat bisa di manfaatkan pada skala rumah tangga. Pada bagian alas pada silinder komposter diberi jarak 10 cm dari tanah agar pada saat proses pengomposan bahan tidak langsung menyentuh tanah. Keranjang biokomposter ini dioperaiskan dengan memasang jaring pada silinder komposter yang berfungsi sebagai wadah limbah yang akan diolah mejadi kompos. Jaring yang digunakan memiliki lobang yang bertujuan untuk sirkulasi udara agar proses pengomposan secara aerob bisa terjadi. Harapannya alat ini bisa membantu masyarakat dalam proses pengolahan limbah secara sederhana. Karena pengguna yang dituju adalah skala rumah tangga sehingga alat ini dapat membantu kegiatan pengomposan yang dilakukan di rumah tangga dan dapat mengurangi beban TPA.

Rancangan Struktural

Rancangan struktural yaitu menguraikan struktur dari komponen - komponen bahan yang digunakan. Komponen - komponen keranjang biokomposter ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu rangka keranjang biokomposter, jaring biokomposter, dan velcro. Rangka dibuat dari besi beton polos dan besi plat. Besi beton polos yang digunakan berukuran 8 mm, besi ini akan dibuat berbentuk silinder yang berdiameter 55 cm dan tinggi 60 cm, sedangkan besi plat yang digunakan memiliki ukuran 0,8 mm. Besi plat yang akan digunakan sebagai rangka di potong menjadi 7 bagian dan lebar 2,5 cm. Pada bagian jaring biokomposter yang digunakan memiliki ketebalan 1,5 mm dan lobang jaring 0,5 mm. Total keseluruhan jaring yang digunakan dalam satu keranjang biokomposter adalah ± 450 m2. Velcro yang digunakan pada keranjang biokomposter berukuran 3 cm sebagai perekat jaring pada rangka dan 5 cm untuk perekat jaring ke tiang penyangga. Total keseluruhan velcro yang digunakan dalam satu keranjang biokomposter adalah ± 5 m.

Pengujian Kinerja Keranjang Biokomposter Modifikasi

Hasil modifikasi alat disebut sebagai keranjang biokomposter modifikasi dan dibuat 6 keranjang biokomposter modifikasi. Keranjang biokomposter dioperaisikan dengan memasang jaring pada silinder biokomposter yang berfungsi sebagai wadah limbah yang akan diolah menjadi kompos. Jaring yang digunakan memilki lobang yang bertujuan untuk sirkulasi udara agar proses pengomposan secara aerob bisa terjadi. Pada tahap kedua dilakukan proses pengomposan yaitu, pengumpulan bahan baku menggunakan sampah rumah tangga dan sekam padi, selanjutnya proses pencacahan sampah rumah tangga dilakukan untuk mendapatkan ukuran sampah rumah tangga yang lebih kecil dan seragam, kemudian sampah rumah tangga dicampurkan dengan sekam padi dengan ketentuan: A1 (1:0), A2 (1:1), A3 (1:2) dengan basis pencampuran menggunakan berat pada masing – masing bahan baku hingga mencapai berat 32 kg. Kemudian pembasahan bahan bertujuan untuk melembabkan bahan baku sehingga mempunyai kadar air 65% sebagai syarat pengomposan, pemasukan bahan ke biokomposter, pembalikan bahan dilakukan secara rutin setiap 7 hari sekali untuk menjaga kondisi kompos agar cukup oksigen (aerasi), dan pengambilan sampel sebanyak 500g yaitu kadar air, electrical conductivity (EC), kadar bahan organik (OM) dan rasio C/N dilakukan pada awal pengomposan dan setelah selesai pengomposan. Untuk parameter sampel dilakukan di laboratorium dan langsung dilakukan analisis. Pada parameter suhu, pH, dan kadar air, pengambilan data

menggunakan alat digital dengan cara menancapkan sensor dari bagian luar biokomposter, sedangkan parameter rendemen dilakukan setiap 3 hari sekali selama proses pengomposan menggunakan timbangan digital dengan cara menimbang berat kompos.

Pengukuran Parameter dan Perhitungan Keranjang Biokomposter

Parameter yang diamati dalam proses pengomposan yaitu: suhu, pH, dan kadar air diamati setiap hari selama proses pengomposan berlangsung, rendemen diamati 3 hari sekali selama proses pengomposan, elektrikal conduktivity, C-organik, nitrogen, bahan organik, dan rasio C/N diamati pada awal dan akhir pengomposan. Pada masing – masing parameter dilakukan analisis awal pada bahan baku sampah organik rumah tangga dan sekam padi sebelum dicampur dan setelah dicampur. Pengukuran suhu dilakukan pada 3 titik yaitu atas, tengah, bawah dengan menggunakan termometer, pengukuran pH menggunakan pH meter, kadar air diukur menggunakan moisture meter, rendemen diukur dengan timbangan digital, elektrikal conduktivity diukur dengan elektrikal conduktivity meter, kadar C-organik diukur dengan metode Walkey and Black, Nitrogen diukur dengan metode Kjeldahl dan rasio C/N diukur dengan menggunakan cara membagi kadar karbon dengan kadar nitrogen.

Perhitungan yang dilakukan adalah menghitung volume tabung rangka keranjang biokomposter yang dapat di tampung dalam keranjang biokomposter, menghitung volume yang dapat ditampung dalam jaring biokomposter, dan menghitung keliling lingkaran bagian atas dan bawah keranjang biokomposter, menghitung kekuatan rangka. Cara menghitung sebagai berikut:

V = π x r2 x t [1]

K = π x d

[2]


dimana V = Volume (cm3); π = phi (3,14); t = tinggi (cm); r = jari jari (cm); K = keliling lingkaran (cm); dan d = diameter (cm).

I = — x m x l2

[3]


dimana I = Momen inersia (mm4); m = massa benda (kg); dan l = panjang keseluruhan besi (mm).

σT


M max • Y

I


[4]


dimana σT = Tegangan Tarik (N/mm2); M max = 81273,915 (N/mm2); Y = Titik berat (mm); dan I = Momen inersia (mm4).

σ ijin bahan


σy

Sf


[5]


dimana σ ijin bahan = Tegangan ijin bahan (N/mm2); σy = Tegangan luluh / yield (N/mm2); dan Sf = Faktor keamanan.

Analisis data

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis independent t-test dengan bantuan software Ms. Excel. Sebelum dilakukan uji t-test sebelumnya dilakukan uji kesamaan varian (homogenitas) dengan menggunakan uji barlett, jika varian sama maka uji t-test menggunakan Equal Variance Assumed dan jika varian berbeda menggunakan Unequal Variance Assumed.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Modifikasi Pada Alat

Modifikasi utama terdapat pada rangka bikomposter, pada rancangan sebelumnya tinggi biokomposter 50 cm dan masih menyentuh tanah, dengan penambahan alas dudukan tingginya menjadi 60 cm. Pada modifikasi ini diberikan perubahan pada alas alat dengan diberi jarak 10 cm dari tanah sehingga pada saat proses pengomposan bahan tidak langsung menyentuh tanah, yang berguna untuk aerasi. Volume keranjang biokomposter modifikasi sebesar 142,5 liter persamaan [1] dan keliling lingkaran bagian atas dan bawah sebesar 345,4 cm persamaan [2]. Modifikasi kedua adalah pada bagian jaring yaitu ketebalan jaring dan lubang jaring yang lebih kecil.

Gambar 3. Hasil modifikasi alat

Rangka

Rangka keranjang biokomposter modifikasi terbuat dari besi beton polos berukuran 8 mm dan besi plat ukuran 0,8 mm dengan berat rangka 3,85 kg. Rangka alat bikomposter modifikasi menggunakan besi beton dalam rancangan biokomposter yang berfungsi sebagai pegangan jaring untuk memperkuat rangkaian silinder. Selain berfungsi sebagai

pegangan jaring, besi beton tersebut juga berfungsi sebagai alas dari kerangka biokomposter tersebut. Besi jenis ini dipilih karena mudah dibentuk, mampu memikul beban berat, harga dan biaya pemeliharaan relatif murah. Besi ini dibuat menjadi bentuk lingkaran dengan diameter 55 cm. Tinggi keranjang biokomposter 60 cm dengan alas dudukan 10 cm. Alas yang digunakan untuk keranjang biokomposter ini berasal dari besi plat dengan ketebalan 0,8 mm. Besi plat terdapat pada bagian bawah sebanyak 7 buah dengan lebar 2,5 cm. Besi jenis ini dipilih karena mampu memikul beban berat dan tetap menjaga bagian bawah keranjang biokomposter tetap rata. Alas dudukan hanya memiliki 4 penyangga. Pada analisis kekuatan rangka momen inersia yang didapat sebesar 1178098,96 mm4, sedangkan momen maksimum (Mmax) yang didapat sebesar 81273,915 Nmm persamaan [3], Tegangan tarik pada rangka (σ tarik rangka) yang di dapat sebesar 0,275 N/mm2 persamaan [4], Tegangan Ijin sebesar 48,1 N/mm2 persamaan [5]. σ tarik rangka < σ tegangan ijiin bahan. Rangka yang digunakan aman dikarenakan tegangan tarik rangka lebih kecil dari tegangan ijin bahan.

Jaring Biokomposer

Peran dari jaring biokomposter ini adalah sebagai wadah limbah yang dikomposkan. Keranjang biokomposter modifikasi menggunakan jarring sunshade yang lebih tebal tidak melar dan kokoh sehingga bentuk silinder yang diharapkan tercapai. Jaring sunshade yang digunakan memiliki ketebalan 1,5 mm dan memiliki lobang jaring yaitu 0,5 mm. Total keseluruhan jaring keranjang biokomposter yang dibutuhkan dalam satu keranjang biokomposter adalah ± 450 m2. Alasan dipilihnya jaring sunshade ini karena terdapat lobang udara yang berfungsi sebagai jalan keluar masuknya oksigen untuk pengomposan secara aerob. Keunggulan jaring sunshade ini kokoh menahan beban pada saat diberi beban/ limbah jaring tetap simetris berbentuk silinder dan selain itu jaring sunshade ini kuat ketika digunakan.

Velcro

Velcro digunakan sebagai perekat jaring dengan rangka biokomposter. Pada biokomposter modifikasi ukuran velcro yang digunakan berukuran 3 cm dan 5 cm sebagai perekat jaring pada rangka dan tiang penyangga. Penggunakan velcro dalam satu biokomposer adalah 1 m untuk perekat jaring ke rangka dan 3 m untuk perekat jaring ke tiang penyangga. Alasan dipilihnya velcro ini penggunaannya mudah, kuat merekat dan murah dipasaran.

Tabel

2.   Spesifikasi

modifikasi

keranjang biokomposter

No

Komponen

Spesifikasi

1

Rangka utama

Kapasitas = 32 kg

Berat = 3,85 kg

Bahan = besi beton polos 8 mm dan besi plat 0,8 mm

Dimensi (tinggi x diameter) = 60 cm x 55 cm

Momen inersia (I) = 1178098,96 mm4

Tegangan tarik = 0,275

N/mm2

Tegangan ijin = 48,1 N/mm2

2

Jaring biokomposter

Jenis = jaring sunshade Bahan = HDPE

Ukuran lobang = 0,5 mm

Ketebalan = 1,5 mm

3

Velcro

Bahan = poliester

Ukuran = 3 cm dan 5 cm

Kandungan Bahan pada sampah organik RT dan sekam padi

Karakteristik masing-masing bahan baku pada penelitian ini berupa: Sampah RT dan Sekam Padi. Bahan-bahan tersebut memiliki criteria seperti pada tabel 1. Parameter fisik sampah RT dan sekam padi menjadi acuan awal dalam pengomposan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa sampah RT memiliki nilai rasio C/N sebesar 45,81sedangkan sekam padi memiliki nilai rasio C/N sebesar 82,18. Nilai rasio C/N sampah RT lebih kecil dibandingkan sekam padi. Ratio C/N menjadi hal yang sangat penting pada pengomposan dalam biokomposter disamping kadar air. Jadi pengkondisian bahan baku diperlukan menggingat ukuran dan kondisi biokomposter.

Tabel 3. Kandungan bahan pada sampah organik RT

Parameter

Sampah RT

Sekam Padi

pH

6,1

5,3

Kadar air (%)

45%

40%

Bahan Organik (%)

29%

23,9%

Kadar C-organik (%)

25,2%

30,41%

Kadar Nitrogen (%)

0,55%

0.37%

C/N ratio

45,81

82,18

Bahan baku kompos dengan rasio C/N tinggi membutuhkan waktu yang lebih lama mengalami proses pengomposan sehingga membutuhkan campuran bahan organik lain seperti sampah RT yang mempunyai rasio C/N rendah sehingga proses

pengomposan dapat berjalan optimal (Sitompul et al., 2017).

Kandungan Bahan Perbandingan A1, A2 dan A3 Dengan Campuran Sampah RT dan Sekam Padi Rasio C/N sangat penting untuk memasok unsur hara yang diperlukan mikroorganisme selama proses pengomposan berlangsung. Kadar karbon diperlukan mikroorganisme sebagai penyumbang energi dalam proses dekomposisi kandungan karbon juga mempengaruhi proses pengikat nitrogen oleh mikroorganisme, dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein.

Tabel  4.  Kandungan awal pada

perbandingan A1, A2 dan A3

perlakuan

Perbandingan Sampah RT dan Sekam Padi

A1 (1:0)

A2 (1:1)

A3 (1:2)

pH

6,1

6,0

5,8

Kadar air (%

40%

60%

60%

Bahan Organik (%)

30%

28,3%

30%

Kadar C-organik (%)

25,2%

35,87%

37,6%

Kadar Nitrogen

0,55%

0,61%

0,63%

C/N ratio

45,81

58,80

59,68

Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa masing-masing perlakuan memiliki nilai rasio C/N A1 45,81, A2 58,80 dan A3 59,68. Bahan kompos yang telah mendekati nilai rasio C/N yang disarankan sebelum pengomposan yaitu 20-40, mikroba mendapatkan cukup C dan N untuk sinstesis protein. Dimana bahan yang ideal untuk dikomposakan memiliki rasio C/N sekitar 20-40. Kadar nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk memelihara dan pembentukan sel tubuh. Semakin banyak kandungan nitrogen maka semakin cepat bahan organik terurai, karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk perkembangannya (Widarti et al., 2015). Kadar rasio C/N pada ketiga perlakuan belum memenuhi kreteria pengomposan. Namun pengomposan dapat dilanjutkan dengan penambahan air karena kadar air juga belum mencapai 65%.

Pengujian Hasil Keranjang Biokomposter Modifikasi

Suhu Pengomposan

Selama proses pengomposan, suhu diamati setiap hari dengan menggunakan alat termometer digital. Hasil pengamatan suhu selama proses pengomposan disajikan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1, sementara hasil uji independent t-test di sajikan pada Tabel 3. Berdasarkan grafik

pada Gambar 4 menunjukkan, pada proses pengomposan dapat dilihat pada minggu ke- 3 sudah mengalami kenaikan suhu sebesar 30. Pada pengomposan dengan keranjang biokomposter modifikasi, fase termofilik dicapai pada minggu ke-4 yang ditandai dengan terjadinya peningkatan suhu pada ketiga perlakuan dengan suhu ± 38 oC, hal tersebut menunjukkan jika proses bahan – bahan organik mulai aktif. Masing-masing perlakuan kompos mengalami kenaikan dan penurunan suhu yang tidak jauh berbeda. Peningkatan suhu merupakan indikator adanya proses dekomposisi sebagai akibat kandungan kadar air dengan aktivitas mikroorganisme

pengurai. Sedangkan pada semua perlakuan A1, A2, dan A3 suhu optimal atau puncak suhu dicapai pada hari ke-25 pada masing-masing perlakuan dengan nilai sebesar 40,6 oC, 40 oC, dan 40 oC. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga perlakuan dalam proses pengomposan belum mampu mencapai proses termofilik diatas 45oC karena penambahan air pada setiap minggunya. Menurut Harada et al,. (1993), kompos yang sudah matang ditentukan berdasarkan sifat fisik, biologi, dan kimia, pada saat kompos organik menjadi kompos ditandai dengan menurunya suhu mendekati suhu lingkungan. Suhu akhir dari masing-masing perlakuan adalah 28 oC sesuai dengan suhu lingkungan 28 oC.


Hari ke-

Gambar 4. Grafik suhu pengomposan

Tabel 5. Hasil analisis data suhu dengan menggunakan independent t-test

perbandingan antar perlakuan

t-stat              T Critical two tail          Signifikan/tidak

(t-hitung)                   CtocZ2 )                    Signifikan

A1 dengan A2

A1 dengan A3

A2 dengan A3

0,53                        1,98                Tidak Signifikan

0,55                        1,98                Tidak Signifikan

0,019                       1,98                Tidak Signifikan

Hasil uji homogenitas dengan uji barllet memperlihatkan varian sama (homogenitas) sehingga uji t-test menggunakan Equal Variance Assumed. Berdasarkan hasil analisi t-test pada suhu pengomposan yang disajikan pada Tabel 5. didapatkan hasil bahwa seluruh perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-ratasuhu selama pengomposan. Terlihat bahwa nilai t-stat lebih kecil dari T Critical two tail, hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan suhu antara masing-masing perlakuan.

Derajat Keasaman(pH)

Tingkat keasaman atau pH kompos merupakan salah satu parameter yang berpengaruh dalam pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan. Berdasarkan Gambar 5, pH

yang tercatat mulai 7,54 – 7,05 sampai akhir pengomposan. Menurut Sutanto (2002), menyebutkan bawah nilai pH pengomposan berkisar antara 6 – 9. Pada awal proses pengomposan, nilai pH cenderung meningkat pada semua perlakuan A1, A2, A3, sampai minggu ke 4 berkisar antara 7,50, 7,50, 7,49. hal tersebut dikarenakan pada saat minggu pertama kompos mengalami proses dekomposisi yang diakibatkan karena jasad renik lainnya memakan asam organik tersebut sehingga menyebabkan kenaikan pH (Kusuma, 2012). Pada minggu ke 6 dan minggu 8 (akhir) proses pengomposan, nilai pH mengalami penurunan mendekati kondisi netral dengan kisaran 7,05 – 7. Penurunan nilai pH pada akhir proses pengomposan menandakan dekomposisi nitrogen sudah berkurang. Nilai pH yang cenderung stabil terlihat pada minggu

ke-6 sampai minggu ke- 8 pada proses pengomposan dengan nilai pH pada rentan 7,05 – 7. Sedangkan nilai kostan pada pH diduga karena mikroorganisme yang ada dalam proses pengompsan berada pada fase

stationer, dimana aktivitas degradasi akan stabil sehingga panas yang dihasilkan cenderung stabil Sa’id Gumbira E., (1987).

Gambar 5. Grafik pH pada kompos dari ketiga perlakuan.


Tabel 6. Hasil analisis data pH dengan menggunakan independent t-test

perbandingan antar perlakuan

t-stat

T Critical two tail

Ctκ∕≡)

Signifikan/tidak Signifikan

(t-hitung)

A1 dengan A2

0,28

1,98

Tidak Signifikan

A1 dengan A3

0,42

1,98

Tidak Signifikan

A2 dengan A3

0,15

1,98

Tidak Signifikan

Hasil uji homogenitas dengan uji barllet memperlihatkan varian sama (homogenitas) sehingga uji t-test menggunakan Equal Variance Assumed. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan independet t-test pada data perubahan derajat peasamaan (pH) kompos seperti pada Tabel 6. Antara A1 dengan A2, A1 dengan A3, dan A2 dengan A3, ketiganya memiliki nilai t-stat lebih kecil dibandingkan t-tabel (T Critical two tail), hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai rata-rata antar perlakuan.

Kadar Air

Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari menggunakan alat moisture digital dalam proses pengomposan selama 60 hari. Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa masing-masing perlakuan menunjukan adanya penurunan dan kenaikan. Masing-masing perlakuan mengalami penurunan nilai kadar air disetiap harinya yang dimulai pada hari ke- 2 dengan nilai 58% dan terus mengalami penurunan sampai hari ke- 7 dengan nilai 42,8%, begitu pula untuk perlakuan A2 dimana terjadi penurunan pada hari ke- 2 dengan nilai 59,5% dan terus mengalami penurunan sampai hari ke- 7 dengan

nilai 44,2%, dan hal yang sama juga terjadi pada perlakuan A3 dimana terjadi penurunan kadar air yang dimulai pada hari ke- 2 dengan nilai 57% dan terus mengalami penurunan sampai hari ke- 7 dengan nilai 43,6%. Terjadinya penurunan kadar air selama proses pengomposan berlangsung diakibatkan oleh kenaikan suhu dan penurunan kadar air disini juga menandakan bahwa kompos mulai masuk pada tahap pematangan.

Menurut Purnaning Dewi et al., (2017) terjadinya penurunan kadar air selama proses pengomposan diakibatkan adanya aktivitas pembalikan atau pengadukan yang mengakibatkan terjadinya penguapan air menjadi gas. Sedangkan terjadinya peningkatan air disebabkan oleh adanya perlakuan penambahan disetiap minggunya. Salah satu permasalahan kadar air kompos adalah berkurangnya kadar air tumpukan kompos selama proses pengomposan, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan air dan pengadukan (Suehara et al., 1999). Penambahan air pada proses pengomposan bertujuan untuk melembabkan bahan baku kompos. Sehingga proses pengomposan dapat berjalan secara maksimal.

Gambar 6. Grafik kadar air dari ketiga perlakuan


Tabel 7. Hasil analisis data kadar air dengan menggunakan independent t-test

perbandingan antar perlakuan

t-stat              T Critical two tail          Signifikan/tidak

(t-hitung)                  (fx∕2)                   Signifikan

A1 dengan A2

A1 dengan A3

A2 dengan A3

-0,28                       1,98                Tidak Signifikan

1,60                        1,98                Tidak Signifikan

1,80                        1,98                Tidak Signifikan


Hasil uji homogenitas dengan uji barllet memperlihatkan varian sama (homogenitas) sehingga uji t-test menggunakan Equal Variance Assumed. Tabel 7 menunjukkan hasil bahwa perlakuan A1 dengan A2, A1 dengan A3, A2 dengan A3, memiliki nilai t-stat lebih kecil dibandingkan T Critical two tail, hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan nilai rata-rata antar perlakuan.

Rendemen

Amalia dan Widiyaningrum (2016) menjelaskan bahwa selama proses pengomposan volume bahan akan mengalami penyusutan akibat adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan kompos. Selama proses pengomposan, terjadi penyusutan volume atau biomasa bahan. Penyusutan dapat mencapai 30 – 65% dari berat awal bahan kompos.

Gambar 7. Grafik Rendemen Proses Pengomposan


Tabel 8. Hasil analisis data rendemen dengan menggunakan independent t-test

perbandingan antar perlakuan

t-stat              T Critical two tail          Signifikan/tidak

(t-hitung)                  (fx∕2)                   Signifikan

A1 dengan A2

A1 dengan A3

A2 dengan A3

7,24                       2,02                   Signifikan

7,79                       2,03                   Signifikan

1,12                       2,02                Tidak Signifikan


Pada Gambar 7, berat awal bahan baku kompos pada masing – masing perlakuan adalah 32 kg, setelah bahan baku kompos dimasukkan kedalam keranjang biokomposter perlakuan A2 dan A3 tidak 32 karea campuran sekam padi lebih ringan.Setelah melalu proses pengomposan selama dua bulan, terjadi penyusutan yang cukup signifikan antara ketiga perlakuan. A1 merupakan perlakuan yang berat akhir komposnya paling besar yaitu 21,55 kg terjadi penyusutan 34%, sedangkan perlakuan A2 memiliki berat akhir kompos 12,1 kg terjadi penyusutan 53%, dan A3 memiliki berat akhir kompos yang paling kecil sebesar 9,45 kg terjadi penyusutan 62%.Hasil uji homogenitas dengan uji barllet memperlihatkan varian sama (homogenitas) sehingga uji t-test menggunakan Equal Variance Assumed. Tabel 8 menunjukkan hasil bahwa perlakuan A1 dengan A2, A1 dengan A2, A2 dengan A3, memiliki nilai t-test lebih besar dibandingkan T Critical two tail, hal ini menunjukkan adanya perbedaan nilai rata-rata antar perlakuan.

Elektrical Conduktivity (EC)

Elektrical conduktifity yang di ukur merupakan konsentrasi ion – ion yang terlarut dalam air nutrisi, semakin banyak ion terlarut semakin tinggi nilai EC pada kompos. Tabel 9 menunjukkan kandungan EC pada ketiga perlakuan memiliki nilai yang berbeda-beda karena nutrisi pada kompos mempunyai tingkat kepekatan yang berbeda. Perbedaan tersebut juga dikarenakan terdapat mikroorganisme pengurai senyawa-senyawa yang terkandung pada kompos (Kazem Hashemimajd, 2012), sehingga terjadi perubahan EC pada setiap perlakuan.

Tabel 9. Nilai akhir elektrical conduktifity

Perlakuan       Elektrical conduktivity

mS/m-1

A1

345,5

A2

395

A3

513

Kadar Bahan Organik

Kadar bahan organik yang diukur merupakan perkiraan besarnya materi organik yang terkandung

dalam kompos. Bahan organik yan terkandung dalam kompos akan dimanfaatkan oleh tumbuhan sebagai nutrisi pertumbuhan. Bahan organik akan memperbaiki struktur tanah. Menurut Mohamad, (2012) bahan organik merupakan indikator telah terjadinya proses dekomposisi dalam pengomposan dan kematangan kompos. Kadar karbon cenderung mengalami penurunan selama proses dekomposisi, hal ini dikarenakan karbon digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi untuk menyusun bahan selular sel-sel mikroba dengan membebaskan CO2 dan bahan lain yang menguap.

Tabel 10. Nilai akhir kandungan bahan organik pada

kompos

Perlakuan

Kadar bahan organik (%)

A1

29,0 %

A2

29,25 %

A3

27,45 %

Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan A1, A2 dan A3 mempunyai kandungan bahan organik berkisar antara 27,45% - 29,25%, sehingga secara umum ketiga perlakuan mempunyai kadar bahan organik sesuai SNI pengomposan yaitu berkisaran 27% -58%. Kadar bahan organik tertinggi terletak pada perlakuan A2 sebesar 29,25%, , sedangkan perlakuan terendah terletak pada perlakuan A3 sebesar 27,45%. Karena pada A1 tanpa campuran sekam padi sehingga bahan organik lebih banyak sedangkan A3 kandungan sekam padi lebih banyak sehingga bahan organik lebih sedikit.

Karbon dan Nitrogen

Menurut Mehl (2008) dalam proses pengomposan kandungan karbon organik dalam bahan baku kompos digunakan mikroba sebagai sumber energi dan pembentukan sel, dimana unsur karbon dibutuhkan untuk proses dekomposisi bahan organik kompos. Sedangkan nitrogen merupakan zat yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dekomposer untuk tumbuh dan berkembang biak (Murbandono, 2000). Berdasarkan Tabel 11, kandungan unsur karbon pada perlakuan A1, A2, A3, yakni sebesar 23,21%, 22,14%, 31,21%. Kandungan Karbon paling tinggi terjadi pada perlakuan A3 sebesar 31,21%

Tabel 11. Nilai akhir kadar karbon dan nitrogen pada

kompos

Perlakuan

Karbon (%)

Nitrogen (%)

A1

23,21

1,26

A2

22,14

1,22

A3

31,21

1,60

Terjadinya penurunan nilai karbon disebabkan karena senyawa karbon organik digunakan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dan selanjutnya karbon tersebut hilang sebagai CO2, sehingga nilainya dapat rendah. Menurut SNI 19- 7030-2004, kompos yang telah matang mempunyai kandungan karbon berkisar antara 9,8 – 32%. Sehingga secara umum semua perlakuan kandungan karbon sudah memenuhi standar SNI. Sedangkan nitrogen memiliki peran sebagai sumber makanan oleh mikroba untuk pertumbuhan se-selnya. Kandungan unsur nitrogen pada perlakuan A1 sebesar 1,26%, A2 sebesar 1,22%, dan A3 sebesar 1,60%. Kandungan nitrogen paling tinggi terjadi pada perlakuan A3 sedangkan kandungan nitrogen paling rendah terjadi pada perlakuan A2. Menurut SNI 19-7030-2004, kompos yang telah matang mempunyai kandungan nitrogen minimal 0,40%. Sehingga secara umum seluruh perlakuan kandungan nitrogen sudah memenuhi standar SNI.

RasioC/N

Nilai rasioC/N merupakan faktor penting dalam pengomposan yang dibutuhkan mikroorganisme sebagai sumber nutrisi untuk perombakan bahan organik. Prinsip pengomposan adalah untuk

Tabel 13. Performance alat biokomposter modifikasi

menurunkan rasioC/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (10% - 20%) (Siboro et al., 2013).

Tabel 12. Nilai akhir Rasio C/N pada kompos

Perlakuan

Rasio C/N

A1

18,33

A2

18,87

A3

19,44

Berdasarkan Tabel 12, perlakuan A3 mengandung nilai rasio C/N yang lebih tinggi yaitu sebesar 19,44 hal ini dikarenakan kandungan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan nitrogen. Sedangkan kandungan rasio C/N terendah terlihat pada perlakuan A1 dan A2 sebesar 18,33 – 18,87. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses pengomposan akan terjadi perubahan rasio C/N dikarenakan unsur karbon dan nitrogen yang terkandung dalam bahan organik kompos telah terurai (Pane et al., 2014). Unsur karbon C digunakan oleh mikroorganisme pengurai sebagai sumber energi, sedangkan unsur nitrogen N digunakan untuk membangun struktur sel tubuhnya. Adanya aktifitas mikroorganisme pengurai yang menggunakan unsur karbon dan nitrogen selama proses dekomposisi menyebabkan rasio C/N kompos semakin turun dibandingkan dengan sebelum masuk proses pengomposan. Menurut SNI 19-7030- 2004, kompos yang telah matang mempunyai kandungan C/N ratio sebesar 10-20, secara keseluruhan dalam proses pengomposan selama 2 bulan, semua perlakuan sudah memenuhi standar SNI.

Perlakuan

Ulangan

Parameter

Suhu oC

pH

Ka (%)

Rendemen (Kg)

Elektrical Conduktivity

Bahan

Organik

C-organik

N-Total

C/N

1:0

BM1

28,3

7

46,1

24,35

402

30

34,31

1,54

15,7

BM2

28,3

7

41,6

23,54

389

28

22,11

0,99

22,3

1:1

BM1

28,7

7

47,6

22,35

415

30

22,13

1,52

14,5

BM2

28,3

7

42

19,45

375

28,5

22,16

0,93

23,8

1:2

BM1

28

7

39,9

17,35

502

28,3

31,12

1,44

21,6

BM2

28,3

7

37

17,65

524

26,6

31,31

1,76

17,7

Tabel 13 menunjukkan bahwa pada setiap ulangan pada suhu, pH, kadar air, rendemen, EC, OM, C-organik, N-total, dan C/N ratio, didapatkan hasil bahwa seluruh perlakuan menunjukkan tidak adanya

perbedaan rata-rata selama proses pengomposan. Hal ini menunjukkan performance alat bikomposter modifikasi setiap ulangan tidak jauh berbeda.

KESIMPULAN


Study from Rural Panama. 56.

Hasil dari modifikasi berupa penambahan alas dudukan berukuran 10 cm, mengubah ukuran jaring menjadi 0,5 mm, memperkokoh rangka dengan menambah tiang pennyangga sebanyak 4 buah. Berdasarkan hasil kinerja keranjang biokomposter modifikasi menunjukkan bahwa ke 6 keranjang bikomposter modifikasi memiliki kinerja yang sama, untuk komposisi kompos yang paling baik dihasilkan adalah pada perbandingan A1 (sampah rumah tangga tanpa campuran).

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, D., & Widiyaningrum, P. 2016. Penggunaan EM4 Dan Mol Limbah Tomat Sebagai Bioaktivator Pada Pembuatan Kompos. Life Science, 5(1), 18–24.

BSN. 2004. SNI19-7030-2004 Tentang Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. Badan Standarisasi                        Nasional,

Jakarta.file:///C:/Users/JAMCOM/Downloads/ Documents/Spesifikasi-kompos-SNI.pdf

Harada, YK, Haga, Tosada, and K. M. 1993. Quality of compost produced form animal wastes (1993). 26(4), 238–246.

Kazem Hashemimajd. 2012. Effect of elemental sulphur and compost on pH, electrical conductivity and phosphorus availability of one clay soil. African Journal of Biotechnology, 11(6),                           1425–1432.

https://doi.org/10.5897/ajb11.2800

KLHK, K. L. H. dan K. 2020. Kementrian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup.

M Angga Kusuma. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air Terhadap Laju Dekomposisi Kompos sampah Organik Di Kota Depok. Universitas Indonesia.

Madrini, I. A. B., & Sulastri, N. N. 2018. Dinamika Suhu Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga dengan Keranjang Bio Komposter. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian),              7(1),              204.

https://doi.org/10.24843/jbeta.2019.v07.i01.p1 1

Mehl, J. A. 2008. Pathogen Destruction and Aerobic Decomposition in Composting Latrines: A

Mohamad, M. 2012. Optimasi Pengomposan Sampah Kebun Dengan Variasi Aerasi Dan Penambahan Kotoran Sapi Sebagai Bioaktivator. Envirotek: Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, 4(1), 61–66.

Murbandono. 2008. Membuat Kompos. Penebar Swadaya.

Pane, M. A., Damanik, M. M., & Sitorus, B. 2014. Pemberian Bahan Organik Kompos Jerami Padi Dan Abu Sekam Padi Dalam Memperbaiki Sifat Kimian Tanah Ultisol Serta Pertumbuhan Tanaman Jagung. Jurnal Agroekoteknologi Universitas Sumatera Utara, 2(4),  101546.

https://doi.org/10.32734/JAET.V2I4.8438

Purnaning Dewi, S., Oktiawan, W., & Zaman, B. 2017. Pengaruh Penambahan Lindi dan Mol Bonggol Pisang Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik. Jurnal Teknik Lingkungan, 191–199.

Sa’id Gumbira E. 1987. Bioindustri (Penerapan Teknologi Fermentasi). Penebar Swadaya.

Siboro, E. S., Surya, E., & Herlina, N. 2013. Pembuatan Pupuk Cair Dan Biogas Dari Campuran Limbah Sayuran. Jurnal Teknik Kimia      USU,       2(3),      40–43.

https://doi.org/10.32734/jtk.v2i3.1448

Sitompul, E., Wardhana, I. wisnu, & Sutrisno, E. 2017. Studi Identifikasi Rasio C/N Pengolahan Sampah Organik Sayuran Sawi, Daun Singkong, Dan Kotoran Kambing Dengan Variasi Komposisi Menggunakan Metode Vermikomposting. Jurnal Teknik Lingkungan, 56(2), 1–12.

Statistik, B. P. 2013. Denpasar Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik.

Suehara, K. I., Ohta, Y., Nakano, Y., & Yano, T. 1999. Rapid measurement and control of the moisture content of compost using nearinfrared spectroscopy. Journal of Bioscience and Bioengineering,   87(6),   769–774.

https://doi.org/10.1016/S1389-1723(99)80151-0

Widarti, B, N., Wardhini, W. K., & Sarwono, E. 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku Pada Pembuatan Kompos Dari Kubis dan Kulit Pisang. Jurnal Integrasi Proses, 5(2), 75–80.

145