JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 11, Nomor 2, bulan September, 2023

Kajian Proses Fermentasi Urin Sapi dengan Beberapa Model Diffuser

Study of Cow Urine Fermentation Process with Several Diffuser Models

Ni Luh Trimayanti, Yohanes Setiyo*, I Made Anom Sutrisna Wijaya

Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

*email: [email protected]

Abstrak

Limbah cair sapi seperti urin sapi berpotensi menjadi biourin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari jenis diffuser terhadap kualitas biourin, serta mengetahui jenis diffuser terbaik selama proses fermentasi. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap perlakuan berisi 10 liter urin, 2% bakteri nitrifikasi, dan 2% molase. Adapun perlakuan yang dilakukan adalah perlakuan tanpa aerasi, perlakuan menggunakan aerasi tanpa diffuser, perlakuan menggunakan diffuser gelembung halus, perlakuan menggunakan diffuser gelembung kasar, dan perlakuan menggunakan diffuser batu aerasi. Fermentasi ini dilakukan selama 20 hari dengan pengukuran setiap 5 hari. Parameter diamati adalah suhu, pH, TDS, EC, C-Organik, N-Total, dan C/N Ratio selama proses fermentasi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penggunaan beberapa jenis diffuser berpengaruh nyata terhadap proses fermentasi urin sapi. Proses fermentasi tanpa penggunakan diffuser menunjukan bahwa seiring bertambahnya waktu fermentasi diikuti dengan penurunan nilai pH dari 7,72 menjadi 7,54. Pada hari ke-20 fermentasi bio-urin, nilai Biochemical Oxygen Demand tertinggi ditunjukan oleh perlakuan penggunaan diffuser gelembung halus dengan nilai 9,2 mg/l. Dari lima perlakuan fermentasi urin yang dibuat hanya fermentasi dengan diffuser yang memenuhi standar No.70/Permentan/SR.140/10/2011. Perlakuan dengan jenis diffuser gelembung halus merupakan perlakuan terbaik.

Kata kunci: biourin, diffuser, fermentasi, urin sapi

Abstract

Cow urine has the potential to become biourin. This study aims to determine the effect of the type of diffuser on the quality of biourin, as well as to determine the best type of diffuser during the fermentation process. This study used a completely randomized design consisting of 5 treatments and 3 replications. Each treatment contained 10 liters of urine, 2% nitrifying bacteria, and 2% molasses. The treatment was carried out without aeration, treatment using aeration without a diffuser, treatment using a fine bubble diffuser, treatment using a coarse bubble diffuser, and treatment using an aerated stone diffuser. This fermentation was carried out for 20 days with measurements every 5 days. Parameters observed were temperature, pH, TDS, EC, C-Organic, N-Total, and C/N Ratio during the fermentation process. The results of the study showed that the use of several types of diffusers had a significant effect on the process of fermenting cow urine. The fermentation process without using a diffuser showed that as the fermentation time increased, the pH value decreased from 7.72 to 7.54. On the 20th day of bio-urine fermentation, the highest Biochemical Oxygen Demand value was shown by the treatment using a fine bubble diffuser with a value of 9.2 mg/l. Of the five urine fermentation treatments, only fermentation with a diffuser met standard No.70/Permentan/SR.140/10/2011. Treatment with a type of fine bubble diffuser is the best treatment.

Keywords: biourin, cow urine, diffuser, fermentation

PENDAHULUAN

Usaha ternak sapi menjadi salah satu peternakan yang sangat potensial di Bali. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2019, produksi daging sapi di Bali sebanyak 7.185,25 ton. Selain menghasilkan daging, sapi juga menghasilkan limbah yang merupakan sumber pencemaran lingkungan. Limbah peternakan sapi terdiri dari limbah padat berupa

kotoran dan lombah cair berupa urin. Limbah kotoran hewan memiliki potensi besar sebagai pupuk organik (Zahmi et al., 2012). Pengelolaan limbah sapi ini jika dapat dimanfaatkan dengan baik akan menambahkan pemasukan bagi peternak dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Hampir setiap kepala keluarga Desa Puregai, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem memelihara sapi sekitar 1015 ekor sapi. Dimana dalam pemeliharannya,

kotoran sapi yang berupa padatan dijual kepada pengepul atau diolah menjadi pupuk organik yang berguna bagi tanaman. Namun, limbah sapi yang berupa cairan seperti urin sapi masih belum diolah secara maksimal sehingga perlu diadakan sebuah pengolahan yang tepat terhadap limbah cair tersebut agar bermanfaat baik bagi petani atau bisa meningktakan perekonomian keluarga seperti menjadi pupuk organik cair (POC) (Huda et al., 2013).

Menurut Rasyid (2017), Sapi dewasa dapat memproduksi urin hingga 8 liter per hari. Kandungan nutrisi pada urin sapi adalah N = 1,00%, P = 0,50%, K = 1,50%, dan air 95% (Aisyah et al., 2011). Kandungannya terdiri dari N = 1,00%, P = 0,2%, K = 0,35% dan air sampai 92%. Selain makronutrien (N, P, K), urin sapi mengandung mikronutrien Mg, Ca, Fe, Al, S, Na, Cu, Mo (Huda et al., 2013). Dengan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, urin sapi berpotensi untuk digunakan sebagai biourin. Biourin diperoleh melalui fermentasi. Fermentasi merupakan suatu proses yang dapat menghasilkan energi baik secara aerob maupun anaerob (Mudiarta et al., 2018). Septiani et al. (2020) menyataan dalam produksi dan pengolahan produk urin sapi menggunakan metode fermentasi dan aerasi meskipun dilakukan dengan benar, kualitas biourin akan menurun karena waktu penyimpanan yang lama dan unsur hara tetap menguap sehingga biourin tidak dapat digunakan. Mudiarta et al. (2018) menyatakan bahwa interaksi penambahan sataer molase 2% dengan penggunanan aerator dapat mempercepat proses fermentasi biosludge kotoran sapi dari 15 hari menjadi 10 hari dan hasil sudah sesuai standar namun diperlukan penelitian lebih lanjut dalam proses fermentasi menggunakan aerator agar kandungan biourin sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.70/Permentan/SR.140/10/2011.

Apabila proses ferementasi urin menjadi biourin berlangsung sempurna, maka: (1) hubungan populasi mikroba dengan waktu fermentasi berbentuk kurva lonceng atau kurva pertumbuhan (naik pelan, naik ektren, naik pelan, mencapai puncak, turun, dan stabil), (2) hubungan waktu ferementasi dengan energi yang dihasilkan juga berbentuk kurva lonceng, (3) nilai C/N biomassa menurun sampai proses terhenti. Kecukupan oksigen membuat reaksi fermentasi berlangsung sempurna dengan ciri kandungan amonia dalam biomasa sedikit yang hilang (Rasyid, 2017). Selain itu, kecukupan oksigen pada biomassa menyebabkan menekan bau yang muncul dari gas hidrogen sulfida (H2S) dan zat mudah menguap, serta penghilangan kimiawi logam (besi, mangan), gas (hidrogen sulfida), dan senyawa lain (organik dan anorganik). Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui hubungan beberapa model diffuser dengan parameter suhu, perubahan pH, nilai TDS, nilai BOD, nilai EC dan C-Organik, dan N-Total selama proses fermentasi. Pengukuran parameter kualitas biourin (C/N rasio) juga dilakukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.70/Permentan/SR.140/10/ 2011.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Proses ferementasi urin sapi dilakukan di SIPADU No 369, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Uji kandungan karbon dan nitrogen dari biourin dilakukan pada Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni s/d Agustus 2021.

Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember bervolume 16 liter, diffuser bubble, difuser gelembung kasar dan diffuser air stone, aerator tipe Jebo P-30 dengan power 10 watt air flow 25 liter/menit, dengan tekanan 30 kPa terdapat Pembagi udara, selang bening berdiameter 3 cm dan 1 cm, pH meter dengan range 0.0-14.0 pH (resolution 0.1 pH), Dissolved Oxygen meter (DO-5509), TDS meter dengan range pengukuran 0-5000 ppm, EC meter dengan range pengukuran 0-9990 mS, dan peralatan analisis di laboratorium seperti gelas ukur, labu takar, pipet tetes, elemeyer, labu kjeldahl dan buret. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10L urin sapi, dan 2% molase, 2% bakteri nitrifikasi (berupa stater atau probiotik Nitrobacter yang mengandung Nitrosomonas sp dan Nitribacter sp) di setiap perlakuannya.

Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3 ulangan. Sehingga terdpaat 15 unit ekperimen. Penelitian ini mengacu pada metode yang digunakan oleh Mudiarta et al., (2018) dengan penambahan molase pada perlakuan terbaik yaitu 10 liter urin sapi, molase (2%) dan bakteri Nitrifikasi (2%) dengan perlakuan sebagai berikut:

P1 = Tanpa aerasi

P2 = Aerasi tanpa difuser

P3 = Aerasi dengan fine bubble diffuser

P4 = Aerasi dengan coarse vubble diffuser

P5 = Aerasi dengan diffuser batu aerator

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan bahan baku seperti urin sapi yang diambil dan ditampung pada ember penampung berukuran 80 liter. Urin didapatkan dari SIPADU 369, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Urin sapi dikumpulkan terlebih dahulu agar sesuai dengan jumlah urin yang diperlukan. Disamping itu, fermentasi urin sapi diperlukan penambahan bakteri nitrifikasi yang memerlukan proses kulturisasi terlebih dahulu. Proses kulturisasi nitro-bac yaitu dengan 20 liter air bersih, 30 gram nitro-bac, 200 ml molase, 300 gram kapur pertanian (dolomite) dan diberi aerasi selama 4 hari (Purba et al., 2013). Selama proses kulturisasi, dilanjutkan dengan perakitan dan pemasangan diffuser untuk tempat proses fermentasi (fermentor). Proses fermentasi urin sapi diawali dengan persiapan alat dan bahan yang diperlukan.

Uji coba dilakukan dengan pembuatan 15 perlakuan percobaan. Setiap perlakuan berisi 10 liter urin + 2% bakteri nitrifikasi + 2% molase. Tiga perlakuan tanpa aerasi (kontrol), tiga perlakuan menggunakan aerasi tanpa diffuser, tiga perlakuan menggunakan difuser gelembung halus, tiga perlakuan menggunakan difuser gelembung kasar, dan tiga perlakuan menggunakan diffuser batu aerator. Setelah semua bahan tercampur sesuai komposisi maka dilakukan fermentasi selama 20 hari. Dengan tutup ember yang tertutup, aliran aerator terus menerus dan tanpa adukan. Pengukuran dimulai hari ke-0 dan dilanjutkan dengan hari ke-5, hari ke-10, hari ke-15 dan hari ke-20 dengan melakukan pengamatan parameter suhu, pH, TDS, EC, dan BOD, sementara itu pengambilan perlakuan sebanyak 20 ml setiap 5 hari lalu dibawa ke Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian untuk pengukuran kadar C-Organik dan N-Total.

Analisis Data

Data hasil pengamatan (suhu, pH, TDS, EC, C-Organik, N-Total, C/N Ratio ditabulasi dengan program excel, kemudian dibuatkan grafik. Data tersebut dilakukan uji Anova yang dikerjakan pada SPSS versi 25 untuk mengetahui pengaruh perlakuan nyata atau beda nyata pada setiap perlakuan. Apabila pengaruh perlakuan menunjukan beda nyata maka dilanjutkan dengan metode Beda Nyata Terkecil (BNT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu Fermentasi

Pola reaksi berdasarkan pengamatan suhu pada proses fermentasi yaitu suhu meningkat pada fermentasi hari ke-5 dan mencapai puncak pada hari

ke-5. Pada hari ke-5 ini, suhu berada pada titik tertinggi dari masing-masing fermentor. Dari hasil uji anova suhu di hari ke-5 menyatakan bahwa berpengaruh nyata (P<0,05). Dengan ini, terdapat perbedaan yang nyata pada suhu yang dihasilkan dengan jenis fermentasi tanpa dan dengan diffuser. Ketersediaan oksigen akibat jenis diffuser berdampak pada reaksi fermentasi secara aerob menjadi lebih sempurna, hasil reaksi fermentasi selain mineral, uap air, gas karbon dioksideserta energi. Energi yang dihasilkan sebagian dipergunakan untuk menaikan suhu. Pada fermentasi hari ke-10, suhu menurun sampai suhu mencapai suhu lingkungan. Kenaikan suhu terjadi dikarenakan adanya sebagian panas reaksi untuk menaikan suhu urin yang difermentasi. Sebagian panas hasil fermentasi dibuang ke lingkungan dan untuk menguapkan air, dikarenakan adanya perbedaan suhu yang nyata antara biourin dengan suhu lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Putra et al., (2021) bahwa penambahan bakteri nitrifikasi berpengaruh terhadap panas reaksi yang dihasilkan. Penurunan suhu urin pada proses fermentasi sebagai akibat reaksi biokimia mengalami penurunan kecepatan sehingga panas reaksi yang dihasilkan lebih kecil dari panas yang hilang ke lingkungan. Penurunan reaksi fermentasi akibat menurunnya jumlah bahan organik yang difermentasi oleh mikroba.

Penurunan suhu urin sampai suhu menjadi stabil atau sesuai lingkungan artinya reaksi biokimia fermentasi sudah berhenti. Dari ke lima perlakuan, titik puncak suhu yang terjadi di hari ke-5 dan suhu mulai stabil atau mendekati suhu lingkungan di hari ke-10. Ditinjau dari perubahan suhu, maka perlakuan aerasi terbaik pada perlakuan difuser gelembung halus atau P2, suhu mencapai puncak pada 32,0oC dan mulai hari ke 10 suhu mulai stabil pada 29,5 oC. Perlakuan yang cukup baik lainnya adalah: difuser gelembung halus dan diffuser batu aerasi (P4 dan P5). Suplai oksigen secara cukup pada perlakuan P2, P3 dan P4 mendukung proses berkembangnya mikroba, sehingga dihasilkan panas yang cukup untuk menaikan biourin. Di hari ke-10 dengan suhu 29oC, bahan-bahan organik dari biourin sudah terurai menjadi mineral-mineral atau senyawa sederhana. Sehingga, perkembangan mikroba tidak mampu menghasilkan panas untuk menaikan suhu. Pada fermentasi hari ke 15 dan 20 keadaan suhu mulai stabil. Dari hasil uji anova menyatakan bahwa tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Dalam hal ini, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada suhu yang dihasilkan dari kelima perlakuan, hal ini karena reaksi fermentasi sudah melemah dan panas reaksi menjadi kecil dari masing-masing perlakuan.


Waktu Fermentasi (hari)

Gambar 1. Hubungan suhu biourin urin dengan lama fermentasi

Derajat Keasaman (pH)

Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa dari masing-masing perlakuan tanpa aerasi dan dengan aerasi menunjukan bertambahnya waktu fermentasi diikuti dengan penambahan nilai pH dari 7,72 menjadi 8,62 (aerasi tanpa diffuser), 7,72 menjadi 8,73 (dengan difuser gelembung kasar), 7,72 menjadi 8.95 (dengan difuser gelembung halus) dan 7,72

menjadi 8.84 (dengan diffuser batu aerasi). Namun hal tersebut berbeda dengan perlakuan tanpa aerasi. Dimana, perlakuan tanpa aerasi menunjukan seiring bertambahnya waktu fermentasi diikuti dengan penurunan nilai pH dari 7,72 menjadi 7,54. Hal tersebut terjadi dikarenakan derajat keasaman meningkat kecuali perlakuan fermentasi tanpa aerasi.

Waktu fermentasi (Hari)

Gambar 2. Hubungan antara pH Biourin dengan lama fermentasi


Kecukupan oksigen menyebabkan mineral-mineral alkali (logam) terurai menjadi kation-kation sehingga meningkatkan pH. Sedangkan peningkatan nilai pH pada proses fermentasi diduga terjadi karena adanya proses demineralisasi yang disebabkan oleh oksigen dari penggunaan aerator dalam mengurai bahan organik menjadi kation dan anion, namun dalam proses tersebut unsur kation lebih dominan sehingga nilai pH mengalami peningkatan (Suteja et al., 2019). Pada hari ke 5, tingkat derajat keasaman dari masing-masing fermentor menunjukan kestabilan. Dari hasil Uji ANOVA menyatakan bahwa fermentasi hari ke 5

berpengaruh nyata (P<0,05). Perbedaan pH yang nyata sebagai akibat tersedianya oksigen untuk reaksi dan berdampak pada proses demineralisasi uine menjadi unsur-unsur sederhana. Perlakuaqn fermentasi dengan adanya diffuser mengakibatkan oksigen tersedia secara cukup, sedangkan perlakuan fermentasi tanpa diffuser oksigen pada urin tidak cukup mendukung terjadinya reaksi fermentasi secara aerob dan nilai PH urin cenderung lebih asam. Derajat keasaman meningkat atau menurun secara tajam di hari ke 10, reaksi kimia yang ditunjukan oleh perubahan pH juga meningkat akibat perkembangan

mikroba pengurai. Namun diperlakukan tanpa aerasi di hari ke 5 – 10 pH menurun karena biourin kekurangan oksigen sehingga terjadi pelepasan asam-asam organik. Dari hasil Uji ANOVA terhadap nilai pH urin hari ke 15, menyatakan bahwa nilai pH berpengaruh nyata (P<0,05). Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang nyata pada pH yang dihasilkan dengan jenis fermentasi tanpa dan dengan diffuser pada penelitian ini. Perlakauan fermentasi urin tanpa aerasi yang mengalami perubahan pH sangat drastis, hal ini dikarenakan karbon dioksida memicu naiknya konsentrasi ion hidrogen yang membuat kadar pH air menurun. Itu artinya ketika karbon dioksida tinggi, secara otomatis pH air akan menjadi asam. Pada fermentasi hari ke 20, nilai pH mulai stabil.

Total Dissolved Solids (TDS)

Nilai total padatan terlarut pada perlakuan tanpa aerasi di hari ke 0 – 10 meningkat, dan pada perlakuan aerasi tanpa diffuser nilai TDS meningkat

di hari 0 – 5, sedangkan perlakuan lainnya nilai TDS dari hari ke 0 – hari ke 20 terus mengalami peningkatan. Peningkatan nilai TDS terjadi akibat pelepasan mineral-mineral yang tidak larut dalam air terutama kation-kation yang bersifat alkali. Hasil Uji ANOVA TDS hari ke 5 menyatakan bahwa terjadi perubahan nilai TDS yang sangat nyata antara perlakuan tanpa aerasi, tanpa diffuser dan juga dengan batu aerasi. Pada hari ke 15 dan 20 terjadi penurunan nilai TDS pada perlakuan tanpa aerasi dan tanpa diffuser serta terjadi perbedaan nilai TDS yang nyata antara perlakuan dengan batu aerasi, gelembung kasar dan juga gelembung halus diffuser. Jika dilihat dari hasil Uji ANOVA menyatakan bahwa fermentasi hari ke-5 berpengaruh nyata (P<0,05), hal ini dikarenakan total zat padat terlarut yang terdiri atas zat organik, garam anorganik, dan gas terlarut berkurang maka akan terjadi penurunan nilai pada kandungan TDS.

Waktu fermentasi (Hari)


Gambar 3. Hubungan antara TDS biourin dengan lama fermentasi

Penambahan oksigen dalam proses fermentasi urin sapi berdampak pada kecukupan oksigen bagi perkembangan mikroba pengurai dan sempurnanya reaksi biokimia secara aerob. Sehingga, pelepasan mineral-mineral menjadi bentuk tidak terlarut menjadi sempurna. Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu dari Aritonang et al., (2013) hasil pengukuran total padatan terlarut selama proses fermentasi urin sapi berbeda-beda pada setiap perlakuan. Hal ini disebabkan masih adanya sisa gula merah yang belum difermentasi, karena aktivitas mikroorganisme terhambat selama pengolahan dengan penambahan gula merah yang lebih tinggi. Dari hasil Uji ANOVA menyatakan bahwa diffuser berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai TDS urin sapi jika dibandingkan tidak menggunakan diffuser. Penambahan molase 2% juga berpengaruh terhadap nilai padatan terlarut pada saat proses fermentasi.

Kesimpulan sementara. Perlakuan aerasi dengan difuser gelembung halus adalah perlakuan terbaik berdasarkan nilai TDS bio-urin. Difusi oksigen ke biourin urin yang sempurna menyebabkan reaksi biokimia urin menjadi biourin menjadi lebih sempurna.

Electrical conductivity (EC)

Nilai electrical conductivity (EC) pada perlakuan tanpa aerasi dan pada perlakuan aerasi tanpa diffuser di hari ke 0 – 20 terus mengalami penurunan. Sedangkan perlakuan lainnya nilai EC dari hari ke 0 sampai hari ke 20 terus mengalami peningkatan. Hasil uji anova EC hari ke-5 menyatakan bahwa terjadi perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan tanpa aerasi, tanpa diffuser dan juga dengan batu aerasi. Pada hari ke 15 dan 20 terjadi penurunan nilai EC untuk perlakuan tanpa aerasi dan tanpa diffuser

namun terjadi nilai yang nyata antara perlakuan dengan batu aerasi, gelembung kasar dan juga gelembung halus diffuser. Hasil uji anova menyatakan bahwa fermentasi hari ke 5 berpengaruh nyata (P<0,05), semakin banyak unsur hara yang larut dalam air, maka semakin banyak kandungan ion positif dan negatif. Semakin banyak kandungan ion

positif dan negatif maka semakin tinggi nilai rata-rata EC. Penambahan oksigen dalam biourin urin yang difermentasikan berdampak pada kecukupan oksigen bagi perkembangan mikroba pengurai dan sempurnanya reaksi biokimia secara aerob, sehingga pelepasan mineral-mineral menjadi bentuk tidak terlarut menjadi sempurna.


Fermentasi (Hari)

Gambar 4. Hubungan antara EC biourin dengan lama fermentasi

Hasil Uji anova hari ke 15 dan 20 diperoleh bahwa berpengaruh nyata (P<0,05). Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang nyata pada EC yang dihasilkan dengan jenis fermentasi tanpa dan dengan diffuser pada penelitian ini. Jika dilihat rata-rata EC yang dihasilkan masing-masing perlakuan juga tidak terlampau terlalu jauh, namun terdapat perbedaan kenaikan nilai EC pada perlakuan dengan penambahan aerasi dan terjadi penurunan nilai EC pada perlakuan tanpa aerasi. Sehingga dapat disimpulkan sementara, perlakuan aerasi dengan difuser gelembung halus adalah perlakuan terbaik berdasarkan nilai EC bio-urin. Difusi oksigen ke biourin urin yang sempurna menyebabkan reaksi biokimia urin menjadi biourin menjadi lebih sempurna.

Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Pada hari ke-5 fermentasi biourin nilai Biochemical Oxygen Demand tertinggi ditunjukan oleh perlakuan dengan difuser gelembung halus dengan nilai 8,5 mg/l, sedangkan nilai terendah ditunjukan oleh perlakuan tanpa aerasi yaitu 5,2 mg/l. Pada hari ke-20 fermentasi bio-urin, nilai Biochemical Oxygen Demand tertinggi ditunjukan oleh perlakuan penggunaan difuser gelembung halus dengan nilai 9,2 mg/l. jika dilihat dari hasil Uji ANOVA menyatakan bahwa berpengaruh nyata (P<0,05). Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang nyata pada BOD yang dihasilkan dengan jenis fermentasi tanpa dan dengan diffuser pada penelitian ini. Sedangkan nilai terendah ditunjukan oleh perlakuan tanpa aerasi dengan nilai 0,9 mg/l. Berdasarkan Gambar 5, hari

ke-10 sampai hari ke-20 nilai Biochemical Oxygen Demand sudah stabil. Stabilnya nilai Biochemical Oxygen Demand dikarenakan sudah semakin kecil proses penguraian bahan-bahan organik pada proses fermentasi (Suteja, 2019). Begitu juga dari hasil uji anova hari ke-15 dan 20 menyatakan bahwa berpengaruh nyata (P<0,05). Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang nyata pada BOD yang dihasilkan dengan jenis fermentasi tanpa dan dengan diffuser pada penelitian ini.

BOD pada perlakuan tanpa aerasi, aerasi tanpa diffuser hubungan waktu dengan BOD berbeda kecenderungan perubahannya berbeda. Perlakuan aerasi tanpa difuser meningkat sampai hari ke 5 dan kemudian menurun, sedangkan perlakuan tanpa aerasi BOD terus menurun dengan waktu fermentasi meningkat. Penurunan BOD ini sebagai akibat kekurangan oksigen di biourin. Menurunnya nilai Biochemical Oxygen Demand pada proses fermentasi menunjukan bahwa kebutuhan oksigen oleh mikroba mengalami penurunan, sehingga reaksi fermentasi biourin urin juga menurun. Pemasangan diffuser berdampak pada kecukupan oksigen sehingga BOD terus meningkat selama proses fermentasi. Kecukupan oksigen menyebabkan mikroba pengurai mendapatkan oksigen secara cukup dan mempercepat reaksi biokimia penguraian urin sapi (Hidayat, R. 2019). Sehingga dapat disimpulkan sementara, perlakuan aerasi dengan difuser gelembung halus, batu aerasi dan juga gelembung kasar adalah perlakuan terbaik berdasarkan nilai Biochemical Oxygen Demand bio-urin.


Lama Fermentasi (Hari)

Gambar 5. Hubungan antara BOD dengan lama fermentasi urin di fermentor

C-Organik

C-Organik pada perlakuan tanpa aerasi, aerasi tanpa diffuser hubungan waktu dengan kandungan C-organik di biourin berbeda kecenderungan perubahannya berbeda. Perlakuan aerasi tanpa diffuser meningkat sampai hari ke-10 dan kemudian menurun, sedangkan perlakuan tanpa aerasi C-organik meningkat sampai hari ke-5 dan kemudian terus menurun dengan waktu fermentasi meningkat. Penurunan ini sebagai akibat kekurangan oksigen di biourin untuk sempurnanya reaksi biokimia fermentasi secara aerob. Dari hasil uji Anova menyatakan bahwa berpengaruh nyata (P<0,05). Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang nyata pada C-Organik yang dihasilkan dengan jenis fermentasi tanpa dan dengan diffuser pada penelitian ini. Pemasangan diffuser berdampak pada kecukupan

oksigen sehingga C-organik pada biourin terus meningkat selama proses fermentasi. Kecukupan oksigen menyebabkan mikroba pengurai mendapatkan oksigen secara cukup dan mempercepat reaksi biokimia penguraian urin sapi menjadi mineral-mineral sederhana dan senyawa karbon rantai lebih pendek. Menurut Kurnia et al, (2017), peluruhan bahan organik menunjukan adanya proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme selama pengomposan diaman karbondioksida dilepaskan sebagai hasil dari aktivitas mikroorganisme pembusuk yang menggunakan unsur karbon sebagai energi saat menguraikan bahan organik sehingga memperngaruhi konsentrasi C-organik yang dihasilkan (Arthawidhya et al., 2017).


Lama Fermentasi (Hari)

Gambar 6. Hubungan antara C-organik biourin dengan lama fermentasi di fermentor

Hasil Uji ANOVA C-Organik hari ke 10, 15 dan 20 menyatakan bahwa berpengaruh nyata (P<0,05). Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang nyata pada C-Organik yang dihasilkan dengan jenis fermentasi tanpa dan dengan diffuser pada penelitian ini. Pada masing-masing perlakuan mengalami perubahan nilai yag sangat nyata terutama tanpa diffuser dilanjutkan dengan perlakuan tanpa aerasi yang mengalami penurunan nilai C-Organik. Jika dilihat dari rata-rata hasil pengukuran yang dihasilkan masing-masing perlakuan juga tidak terlampau terlalu jauh untuk penggunaan difuser gelembung halus, gelembung kasar dan batu aerasi. Hasil ini sesuai dengan Permentan dimana kandungan C-Organik minimal sebanyak 6%.

N-Total

N-Total pada perlakuan tanpa aerasi, aerasi tanpa diffuser hubungan waktu dengan kandungan N-Total di biourin berbeda kecenderungan perubahannya berbeda. Perlakuan aerasi tanpa diffuser meningkat sampai hari ke-10 dan kemudian menurun, sedangkan–perlakuan tanpa aerasi N-Total meningkat sampai hari ke 5 dan kemudian terus menurun dengan waktu fermentasi meningkat. Penurunan N-Total ini sebagai akibat kekurangan oksigen di biourin untuk sempurnanya reaksi biokimia fermentasi secara aerob.

Gambar 7. Hubungan antara N-Organik biourin dengan lama fermentasi urin di fermentor


Dari hasil uji anova hari ke-5 menyatakan bahwa terjadi perubahan yang tidak nyata dimana, kandungan nilai N-total pada kelima perlakuan tidak jauh berbebda namun pada hari ke 10, 15 dan 20 terjadi perubhana nilai N-Total yang sangat drastis dari perlakuan tanpa aerasi dan tanpa diffuser serta terjadi perbedaan nilai yang nyata antara perlakuan dengan batu aerasi, gelembung kasar dan juga gelembung halus diffuser. Jika dilihat dari hasil dari hasil uji anova juga terlhiat bahwa terjadi perubahan yang sangat nyata pada hari ke 10, 15 dan 20. Hal ini terjadi karena adanya penambahan molase pada proses fermentasi dapat mengurangi jumlah nilai N-Total sehingga mikroorganisme menggunakan nitrogen untuk membangun sel yang menggunakan unsur karbon sebagai sumber energi. Sedangkan penggunaan aerator dapat meningkatkan nilai N-total yang dapat mendukung proses dekomposisi dari mikroorganisme tersebut dan penggunaan aerator dapat mencegah terjadinya pengendapan (Suteja, 2019). Hal ini menunjukan kandungan N-Total sudah sesuai dengan Permentan yaitu minimal sebnayak 4%.

C/N Rasio

Dari hasil grafik yang ditunjukan pada gambar 8. Nilai C/N rasio mengalami penurunan, terkecuali pada perlakuan tanpa aerasi dan tanpa diffuser. Penggunaan diffuser dapat dapat menurunkan rasio biourin, karena oksigen dapat membantu aktivitas mikroorganisme pengurai dalam memanfaatkan unsur karbon (C) dari molase sebagai sumber energi, serta Nitrogen (N) digunakan untuk sintesis protein dalam pembentukan sel tubuhnya. Dari hasil uji anova hari ke 5, meyatakan bahwa tidak terjadi perubahan yang sangat nyata antara ke lima perlakuan namun jika dilihat pada hari ke-10, ke-15 dan 20 terjadi penurunan nilai antara perlakuan difuser gelembung kasar, gelembung halus dan batu aeras yang mengalami penurunan nilai C/N yang sangat nyata. Hal ini terjadi dikarenakan selama proses berlangsung CO2 mengalami penguapan dan menyebabkan kadar karbon menurun, sedangkan nitrogen mengalami peningkatan dan didapatkan C/N Rasio yang rendah (Arthawidya et al., 2017).

70

—•— Tanpa aerasi


Lama Fermentasi (hari)

Gambar 8. Hubungan antara C/N Biourin dengan lama feremntasi urin di ferementor

KESIMPULAN

Hasil dari nilai masing-masing parameter selama proses fermentasi pada hari ke-0 sampai hari ke-20 menunjukan bahwa berpengaruh nyata (P<0,05). Penambahan aerator dan pemberian diffuser jenis gelembung kasar diffuser, gelembung halus diffuser, dan air stone diffuser berpengaruh terhadap proses fermentasi biourin. Nilai pH 8.7, 9.0, dan 8.8. Nilai Total dissolved oxygen 13920 ppm, 13950 ppm, dan 14116 ppm. Nilai Electrical conductivity 20.2 uS/cm, 20.4 uS/cm, dan 20.9 uS/cm. Nilai Biochemical Oxygen Demand 8.8 ppm, 9.2 ppm, dan 8.6 ppm. Nilai C-organik 3.88%, 3.9%, dan 3.84%. Nilai N-total 0.17%, 0.18%, dan 0.16%. Nilai C/N Rasio 22.8, 21.6, dan 24. Berdasarkan lima perlakuan pada proses fermentasi biourin, perlakuan terbaik ditunjukan oleh perlakuan dengan penambahan diffuser jenis gelembung halus. Biourin memiliki nilai pH 9.0, Nilai Total dissolved oxygen 13950 ppm, Nilai Electrical conductivity 20.4, Nilai Biochemical Oxygen Demand 9.2 uS/cm, Nilai C-organik 3.9%, Nilai N-total 0.18%, dan Nilai C/N Rasio 21.6.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, A., & Novra, A. (2017). Peningkatan

Kualitas Biourin Dari Ternak Sapi Yang Mendapat     Perlakuan     Trychoderma

harzianum. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 20(2), 77-84.

Aisyah, S., Sunarlim, N., & Solfan, B. (2011). Pengaruh Urin Sapi Terfermentasi Dengan Dosis Dan Interval Pemberian yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica        juncea         L.). Jurnal

Agroteknologi, 2(1), 1-5.

Aritonang, M., Setiyo, Y., & Gunadnya, I. B. P. (2013). Optimalisasi Proses Fermentasi Urin Sapi Menjadi Biourin. Beta E-Journal, 1(2).

Arthawidya, J., Sutrisno, E., & Sumiyati, S. (2017). Analisis Komposisi Terbaik dari Variasi C/N Rasio Menggunakan Limbah Kulit Buah Pisang, Sayuran dan Kotoran Sapi dengan Parameter C-Organik, N-Total, Phospor, Kalium dan C/N Rasio Menggunakan Metode Vermikomposting. Jurnal           Teknik

Lingkungan, 6(3), 1-2.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (2019). Produksi Daging Ternak Provinsi Bali.

Huda, M. K., Latifah, L., & Prasetya, A. T. (2013). Pembuatan pupuk organik cair dari urin sapi dengan     aditif     molasses     metode

fermentasi. Indonesian Journal of Chemical Science, 2(3).

Hidayat, R. (2019). Penagruh Pemberian Pupuk Organik Cair Urin Sapi dan ZPT Hormonik Terhadap Pertumbuhan Serta Hasil Tanaman Seledri (Apium Graveolens L.) secara NFT. Doctoral dissertation. Universitas Riau.

Kurnia, V. C., Sumiyati, S., & Samudro, G. (2017). Pengaruh kadar air terhadap hasil pengomposan sampah organik dengan metode open windrow. Jurnal Teknik Mesin Mercu Buana, 6(2), 119-123.

Mudiarta, I. M., Setiyo, Y., & Widia, I. W. (2018). Kajian Proses Fermentasi Bioslurry Kotoran Sapi dengan Penambahan Molase. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian Agrotechno, 3(1), 277–283.

Purba, R., Sutrisno, E., & Sumiyati, S. (2013). Pengaruh Penambahan Limbah Udang Pada Pupuk Cair Dari Fermentasi Urin Sapi Terhadap Kualitas Unsur Hara Makro. Jurnal Teknik Lingkungan, 2(3), 1-5.

Putra, G. J. K., Setiyo, Y., & Sucipta, I. N. (2021). Pengaruh Penambahan Bakteri Nitrifikasi Pada Fermentasi Urin Sapi Terhadap Kualitas Pupuk Organik Cair. Beta E-Jurnal, 10 (1).

Rasyid, W. (2017). Kandungan Fosfor Pupuk Oganik Cair (POC) Asal  Urin  Sapi dengan

Penambahan  Akar  Serai  (Cymbopogon

citratus) Melalui Fermentasi. Doctoral dissertation, Univeritas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Septiani, N., Hazmi, H. Y., & Marlinda, D. (2020). Pemanfaatan Produk Olahan Urin Sapi Menggunaakan Sistem Aerasi Sebagai Pupuk

Organik Cair (POC) Di Desa Sepakek, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Warta Desa (JWD), 2(1), 8994.

Suteja, K. S., Setiyo, Y., & Aviantara, I. G. N. A., (2019). Optimalisasi Proses Fermentasi Urin Sapi. Beta E-Jurnal, 7(1).

Zahmi, H. R. H. A., Sumarsono, S., & Anwar, S. (2012). Pertumbuhan dan Produksi Bahan Kering Eceng Gondok sebagai Sumber Daya Pakan di Perairan yang Mendapatkan Limbah Kotoran      Itik. Animal      Agriculture

Journal, 1(1), 307-318.

401