JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 9, Nomor 1, bulan September, 2021

Pengaruh Emulsi Minyak Wijen dan Ekstrak Daun Kecombrang sebagai Bahan Pelapis terhadap Atribut Mutu Buah Salak Madu selama Penyimpanan

The Effect of Sesame Oil and Kecombrang Leaves Extract Emulsion as a Coating Material on Quality Attribute of Salak Madu’s Fruit during Storage

I Gusti Ngurah Karisma Maheswara, I Made Supartha Utama*, I Gusti Ketut Arya Arthawan Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

*email: [email protected]

Abstrak

Buah salak madu (Salacca amboinensis) merupakan buah perishable dan memiliki umur simpan yang singkat sehingga menyebabkan sulitnya buah dipasarkan. Penelitian ini, bertujuan untuk mencari kombinasi emulsi terbaik dari penambahan ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) dan minyak wijen sehingga mampu untuk menjaga mutu dan memperpanjang masa simpan. Penelitian ini, menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama yaitu ekstrak daun kecombrang dengan taraf konsentrasi (0%, 4% dan 8%) dan faktor kedua yaitu minyak wijen dengan taraf konsentrasi (0%, 0,5% dan 1%) dengan parameter yang diuji yaitu susut bobot, kekerasan, color difference, total asam, total padatan terlarut dan intesitas kerusakan. Pengamatan dilakukan selama 16 hari dengan penyimpanan pada suhu ruang (28-31oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tunggal minyak wijen berpengaruh nyata terhadap total asam sedangkan perlakuan tunggal ekstrak daun kecombrang berpengaruh nyata terhadap color difference. Interaksi minyak wijen dan ekstrak daun kecombrang berpengaruh nyata terhadap susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut dan intensitas kerusakan. Perlakuan ekstrak daun kecombrang 8% dan minyak wijen 1% merupakan emulsi terbaik karena mampu menghambat perubahan mutu buah salak madu. Perlakuan tersebut mampu menghambat perubahan kekerasan buah, total padatan terlarut dan susut bobot buah tetapi belum mampu menghambat perubahan total asam dan color difference. Berdasarkan nilai intensitas kerusakan, perlakuan ekstrak daun kecombrang 8% dan minyak wijen 1%mampu menghambat penurunan bobot dan kekerasan hingga hari ke 10 sedangkan menghambat pertumbuhan jamur hingga hari ke 9.

Kata kunci: salak madu, ekstrak daun kecombrang, minyak wijen

Abstract

Because of shelf life of salak madu fruit is relatively short and easily spoiled during storage, the fruit is difficult to sell. This study aimed to find the best emulsion combination from the addition of kecombrang leaf extract and sesame oil as an edible coating to preserve quality and extend the shelf life of the fruit. This study used a Randomized Block Design using two factors. The first factor was kecombrang leaf extract with concentrations level are (0%, 4% and 8%) while the second factor was sesame oil with concentrations level are (0%, 0,55% and 1%). Parameters tested were weight loss, color difference, total acid, total dissolved solids, texture and damage intensity. Observations were carried out for 16 days and all samples were storage at room temperature (28-31oC). The results showed that the single treatment of sesame oil influences the total acid, while the single treatment of kecombrang leaf extract has an effect on the color difference. The interaction of sesame oil and kecombrang leaf extract affects weight loss, hardness, total dissolved solids and damage intensity. The emulsion of kecombrang leaves extract 8% and sesame oil 1% was the best to inhibit the deterioration of salak madu’s fruit. This combination was able to inhibit the rate of change in texture, total dissolved solids and weight loss, but the combination could not inhibit the rate of change on total acid and the color of the fruit. Based on the value of damage intensity, kecombrang leaves extract 8% and sesame oil 1% treatment, could inhibit weight loss and hardness until day 10, while inhibiting fungal growth until day 9.

Keyword: salak madu, kecombrang leaves extract, sesame oil

PENDAHULUAN

Buah salak madu memiliki umur simpan yang relative singkat dan merupakan buah perishable sehingga menyebabkan sulitnya pemasaran buah salak. Umumnya, umur simpan buah salak yaitu 5 hari pada suhu kamar (28-31oC). Pada hari tersebut salak sudah mengalami kerusakan fisiologis dan selanjutnya membusuk. Hal ini terjadi karena buah salak masih melangsungkan proses respirasi dan transpirasi setelah dipanen, yang memudahkan buah salak mengalami kerusakan. Pendeknya umur simpan pada produk segar hortikultura, disebabkan oleh tingginya laju transpirasi sehingga penurunan mutu akan semakin cepat terjadi (Sabarisman et al., 2015). Transpirasi menyebabkan lepasnya air dalam produk segar ke atmosfer sekitarnya, dalam bentuk uap air. Laju transpirasi yang cepat, menyebabkan buah salak rentan mengalami pengkriputan dan lebih lanjut mudah terserang mikroba pathogen.

Salak madu sangat mudah terinfeksi mikroorganisme pathogen yaitu jamur putih (Thielaviopsis paradoxa). Jamur putih tersebut menyebabkan buah salak membusuk dan berair (Ahmad et al., 2018). Berdasarkan pengalaman para petani, salak madu yang dijual harus memenuhi kriteria yang baik dan atau memenuhi standar Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Sleman (2004) yaitu memiliki bobot berkisar 47-80 gram, kadar gula 17-19 oBrix, berbentuk segitiga ataupun lonjong, diameter buah 4,5-6 cm, tidak memiliki memar, bersih, tekstur keras dengan tebal 0,4-0,6 cm dan warna buah masih coklat mengkilap. Ketika salah satu salak madu terinfeksi jamur putih, maka salak lainnya pasti akan terkontaminasi dan terinfeksi jamur tersebut. Infeksi jamur dapat terjadi karena adanya kemunduran fisiologis dan kerusakan mekanis terutama akibat pelepasan buah dari tangkai tandannya yang meninggalkan lubang kecil. Lubang kecil ini merupakan jalan masuk bagi mikroba pathogen.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempertahankan mutu dan masa simpan buah salak yaitu dengan memberikan uap etanol terhadap buah salak (Juliani et al., 2017), modifikasi atmosfer lingkungan buah salak (Ahmad dan Lintang, 2010), dan pelapisan kitosan dan/atau lilin lebah (Rachmawati, 2010; Sari et al., 2020). Upaya tersebut umumnya dilakukan pada jenis salak pondoh dan jenis salak lainnya bukan terhadap salak madu. Upaya untuk mempertahankan mutu dan masa simpan salak madu sangat perlu dilakukan, karena jenis salak ini mempunyai potensi pengembangan pasar dalam negeri maupun ekspor. Salak madu memiliki kombinasi rasa manis dan asam selain rasa

khas salak, tanpa rasa astringency, yang diminati oleh konsumen.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam penelititan ini untuk memperlambat laju perubahan mutu buah salak madu selama penyimpanan adalah dengan pelapisan bahan alami dari tanaman yang edible. Menurut (Ahmad et al., 2014) bahwa pelapisan buah dengan bahan yang dapat dimakan atau edible coating mampu menghambat laju respirasi dan transpirasi sehingga memperlambat perubahan mutu dan melindungi produk dari kerusakan dan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti serangan mikroba. Demikian pula dengan pelapisan ini, laju transpirasi dapat dikurangi sehingga mencegah proses pengkriputan yang cepat. Hwa et al. (2009) menyebutkan bahwa bahan pelapis harus dapat membentuk lapisan yang menghambat respirasi dan trasnpirasi serta tidak berbahaya untuk dikonsumsi.

Beberapa jenis bahan alami dan edible yang telah dicobakan pada bahan makanan adalah minyak wijen dan ekstrak daun kecombrang. Minyak wijen mengandung banyak asam lemak tak jenuh, terutama asam oleat dan asam linoleat, selain berfungsi sebagai emulsifier juga membantu membentuk lapisan film tipis. Demikian pula minyak wijen mengandung antioksidan yaitu sesamin dan sesamol (Delfian, 2010). Sedangkan ekstrak daun kecombrang dilaporkan mempunyai sifat antimikroba dan sifat ini diduga disebabkan oleh kandungan saponin flavonoid dan tanin (Kusumawati et al., 2015). Penggunaan minyak wijen sebagai bahan pelapis telah dilakukan pada beberapa produk hortikultura yaitu tomat (Prastya et al., 2015), mangga (Utama et al., 2006), manggis (Dewi et al., 2020) dan jeruk (Gurning et al., 2019). Sedangkan penggunaan ekstrak daun kecombrang sebagai bahan pelapis umumnya dilakukan pada bahan makanan berupa daging seperti pelapisan pada olahan ikan gurami berupa sosis (Naufalin et al., 2018)

Penggunaan minyak wijen dan ekstrak daun kecombrang belum pernah dicobakan atau digunakan sebagai bahan pelapis buah salak madu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh emulsi minyak wijen dan ekstrak daun kecombrang serta untuk mendapatkan kombinasi terbaik sebagai bahan pelapis buah salak madu untuk memperlambat perubahan mutu selama penyimpanan pada suhu kamar (28-31oC).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pascapanen, Gedung Agrokomplek, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana pada bulan Juli – September 2020.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, gelas ukur, blender (Maspion, MT-1592), rak penyimpanan, pisau, nampan, refraktometer (ATAGO, Japan), colorimeter (PCE-CSM 1, United Kingdom), texture analyzer (TA XT Plus, United Kingdom), timbangan digital (AND GF-300, China), rotary vacuum evaporator, keranjang plastik, labu ukur, pipet tetes, pipet volume, corong, spatula, biuret, sprayer 70 ml, gelas pyrex dan kompor.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah salak madu dengan berat per buahnya 40 g – 60 g. Buah salak madu diperoleh pada tiga tempat yang berbeda yaitu di Desa Munduk Temu dan Kebon Jero, Kabupaten Tabanan selain itu di Desa Sibetan, Kabupaten Karangasem. Bahan utama pelapis yang digunakan adalah ekstrak daun kecombrang yang diperoleh pada perkebunan warga di daerah Tabanan dan Badung serta minyak wijen. Dengan bahan tambahan yaitu tween 80 sebagai emulsifier atau penstabil zat dan ethanol 95% dalam pembuatan ekstrak daun kecombrang.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF) dengan waktu pelaksanaan dan tempat pengambilan sampel yang berbeda. Perlakuan penelitian diberikan 1 hari setelah buah salak dipanen dan melakukan pengambilan sampel di tiga tempat yang berbeda. Terdapat dua faktor perlakuan dalam penelitian ini. Faktor pertama yaitu ekstrak daun kecombrang dengan taraf konsentrasi 0%, 4% dan 8% sedangkan faktor kedua yaitu minyak wijen dengan taraf konsentrasi 0%, 0,5% dan 1%. Buah salak madu yang telah diberi perlakuan disimpan pada suhu ruang (28-31oC). Pengelompokan dilakukan berdasarkan waktu petik buah dan tempat penanaman yaitu Kelompok I dipanen pada tanggal 7 September 2020 di Desa Munduk Temu, Tabanan, Kelompok II dipanen pada tanggal 10 September 2020 di Desa Kebon Jero, Tabanan, Kelompok III dipanen pada 13 September 2020 di Desa Sibetan, Karangasem. Setiap unit percobaan terdiri dari 6 buah salak madu. Buah tanpa perlakuan sebagai kontrol untuk pembanding perlakuan pelapisan. Pengamatan dilakukan secara berkala setiap empat hari selama penyimpanan terhadap atribut mutu buah salak yaitu susut bobot, kekerasan, color difference, total padatan terlarut, total asam dan intensitas kerusakan. Data hasil pengamatan, dianalisis secara

statistik dengan Uji ANOVA (Analysis of Variance) dan apabila perlakuan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) menggunakan aplikasi IBM Statistic SPSS 26.

Persiapan Ekstrak Daun Kecombrang

Daun kecombrang yang telah disiapkan disortasi dengan memilih daun yang masih segar (pucuk ataupun daun tua), tidak menguning dan tidak mengkerut. Jika terdapat daun kecombrang pada bagian pinggir daun sudah menguning dan mengkerut, daun tidak digunakan untuk penelitian. Selanjutnya, daun dicuci hingga bersih dan ditiriskan. Iris tipis daun kecombrang dengan alat pemotong hingga berukuran 1-3 cm. Keringkan daun kecombrang dengan cara diangin-anginkan selama 7 hari hingga kadar air mencapai kurang dari 10%. Blender daun kecombrang yang telah kering. Hasil blender, lalu diayak menggunakan ayakan 40 mesh, untuk mendapatkan serbuk halus. Dilanjutkan dengan proses maserasi yaitu merendam simplisia pada pelarut. Pelarut yang digunakan yaitu ethanol 95%. Proses maserasi dilakukan selama ± 24 jam. Selanjutnya, dilakukan proses filtrasi untuk mendapatkan ekstrak cair atau filrat. Kemudian ekstrak cair yang diperoleh, dievaporasi dengan cara diuapkan menggunakan rotary vaccum evaporator. Ekstrak pekat yang diperoleh lalu di tempatkan dalam wadah dan ditimbang. Pembuatan ekstrak daun kecombrang ini adalah berdasarkan penelitian Kusumawati et al. (2015).

Persiapan Bahan Pelapis

Dalam pembuatan pelapis, perlu menyiapkan bahan tambahan yaitu tween 80 sebagai emulsifier, serta bahan utama yaitu ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen. Selanjutnya, aquades sebanyak 100 ml dipanaskan hingga mencapai suhu 70oC. Tuangkan tween 80 dan ekstrak daun kecombrang sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan kemudian diaduk hingga merata. Masukkan campuran tersebut ke dalam blender dan diblender selama 2 menit. Lalu masukkan minyak wijen sesuai konsentrasi yang sudah ditentukan. Kemudian blender kembali selama 2 menit. Emulsi dibiarkan pada suhu kamar dan apabila tidak menggumpal maka menunjukkan bahwa emulsi telah stabil.

Pelapisan Pada Buah Salak Madu

Pemberian lapisan dilakukan dengan cara disemprotkan pada permukaan kulit buah. Kemudian salak yang sudah dilapisi ditiriskan terlebih dahulu dan diangin-anginkan sampai lapisan emulsi pada salak mengering. Salak yang sudah diberi lapisan emulsi disusun sesuai dengan perlakuan tingkat konsentrasi.

Pengamatan

Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan pada hari ke 0, 4, 8, 12 dan 16 atau hingga buah sudah mencapai batas maksimal kerusakan. Pengamatan dilakukan terhadap susut bobot, color difference, kekerasan, total padatan terlarut, total asam dan intensitas kerusakan. Pada intensitas kerusakan, dilakukan rating terhadap mutu visual, tekstur, dan penerimaan keseluruhan.

Parameter yang Diamati

Susut bobot

Nilai susut bobot diperoleh dengan membandingkan berat buah pada hari ke-n dengan berat buah pada hari ke-(n-1). Pengukuran susut bobot dilakukan penimbangan pada buah menggunakan timbangan analitik dengan satuan gram. Hasil nilai susut bobot dinyatakan dalam persen yang dihitung dengan persamaan berikut (Darmajana et al., 2018).

_ .           W(-n-1) -w-n

Sus-at Bobot (%) = ----------x 100%

w(n-1)

Keterangan:

Wn = berat buah pada pengamatan ke-n

Wn-1 = berat buah pada pengamatan ke-n-1

Kekerasan

Pengukuran nilai kekerasan buah dilakukan menggunakan alat Texture Analyzer (TA. XT Plus) dengan cilynder probe yang berdiameter 0.5 cm digunakan untuk menekan buah dengan kedalaman 12 mm dan waktu 10 detik. Satuan akhir nilai kekerasan adalah kg/f (Darmajana et al., 2018).

Color Difference

Nilai color difference merupakan nilai perbedaan warna total yang dibandingkan dengan nilai standar yaitu nilai pada hari ke 0. Pengukuran color difference     pada sampel dilakukan dengan

menggunakan Portable Colorimeter (PCE-CSM 5). Pengukuran dilakukan pada 2 titik permukaan buah. Nilai yang digunakan dalam analisis ini adalah nilai color difference yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Yang et al., 1987).

∆E = √∆L2 + ∆a2 + ∆b2

Keterangan:

∆E* = Nilai total color difference

∆L* = selisih nilai L* sampel perlakuan – L0* ∆a* = selisih nilai a* sampel perlakuan – a0* ∆b* = selisih nilai b* sampel perlakuan – b0*

Total Asam

Pengukuran nilai total asam dilakukan menggunakan metode titrasi. Buah dihancurkan kemudian diambil sebanyak 10 gram. Kemudian ditambahkan aquades sebanyak 100 ml lalu disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian ditambahkan indicator fenolftalin (pp) 3 tetes dan dititrasi dengan NaOH 0.1 N (0.096 N) hingga warna berubah menjadi merah muda yang stabil selama 15 detik. Untuk menghitung nilai total asam pada buah, digunakan persamaan berikut (Angelia, 2017).

vo1 Na0H xU.NaOH x P

Total Asam (%) = ------------x 100

m (gram)■

Keterangan:

Vol NaOH    = volume larutan NaOH(ml)

N            = normalisasi larutan NaOH

P            = pengenceran

m            = massa sampel (gram)

Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut dilakukan menggunakan alat Refractometer (Labo 10807). Daging buah diambil sarinya, kemudian hasilnya diteteskan pada prisma refractometer. Setiap sesudah pembacaan angka pada alat, prisma refractometer dibersihkan dengan aquades secukupnya. Besarnya nilai padatan terlarut dinyatakan dengan skala ◦Brix (Angelia, 2017)

Intensitas Kerusakan

Tingkat kerusakan diukur dari nol sampai 15%, apabila tingkat kerusakan salak >15% maka buah dianggap sudah rusak dan harus dikeluarkan dari sampel. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap salak yang mengalami kerusakan fisiologis dan mokrobiologis. Pada kerusakan fisiologis yaitu, seperti: daging buah yang kisut, tektur buah kering, buah berair, luka pada kulit dan mengeluarkan aroma busuk. Sedangkan pada kerusakan mikrobiologis yaitu tumbuhnya jamur pada permukaan salak. Untuk menghitung presentase intensitas kerusakan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Prastya, 2015):

∑(nxv) P(%) =     j X100%

NxV

Dimana:

P = Intensitas kerusakan (%)

N = jumlah produk dalam satu unit percobaan

V = rating maksimum

n = jumlah produk pada setiap rating

v = nilai rating pembusukan

Rating 0 menyatakan buah tidak ada kerusakan sedangkan untuk tingkat kebusukan yang mencapai >15% akan masuk ke kategori rating 4, yang mana buah tidak dapat dikonsumsi lagi.

Tabel 1. Kategori intensitas kerusakan

Pembusukan individual (%)

Rating

0

0

1-5

1

6-10

2

11-15

3

>15

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Susut Bobot

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap susut bobot buah salak madu selama penyimpanan hari-4. Dari hasil penelitian diperoleh rerata susut bobot salak madu berkisar 10,83% hingga 26,34%. Nilai rerata susut bobot dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen terhadap susut bobot buah salak madu


Berdasarkan Gambar 1, buah salak madu dengan pelapisan memiliki nilai susut bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan buah salak madu tanpa pelapisan. Nilai rata-rata susut bobot terendah ditunjukkan oleh perlakuan K2W2 (ekstrak daun kecombrang 8% dan minyak wijen 1%) selama penyimpanan. Naufalin et al. (2018) menyatakan bahwa penambahan ekstrak daun kecombrang pekat dapat meningkatkan aktivitas antioksidan sehingga mampu memperlambat reaksi oksidasi pada produk segar. Selain itu, minyak wijen mempunyai antioksidan dan asam oleat yang mampu mempertahankan dan umur simpan yang lebih lama (Delfian, 2010). Sedangkan perlakuan kontrol yang tidak diberikan pelapisan, proses transpirasi akan

melaju lebih cepat. Karena ketika buah diberi perlakuan berupa pelapisan, maka pori-pori yang terdapat pada permukaan buah akan terhambat sehingga mampu menghambat proses respirasi dan transpirasi (Ahmad et al., 2014).

Kekerasan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi emulsi ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kekerasan buah salak madu pada hari ke-4 sedangkan ekstrak daun kecombrang secara tunggal berpengaruh nyata (P<0,05) pada hari ke-16. Dari hasil penelitian diperoleh rerata kekerasan buah salak madu berkisar 7 hingga 80 kg/f. Nilai rerata kekerasan buah salak madu dapat dilihat pada Gambar 2.

K0W0 K0W1 ® K0W2 B K1W0 ≡ K1W1 K1W2 ⅛ K2W0 S K2W1 A K2W2 KONTROL

Gambar 2. Pengaruh ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen terhadap kekerasan buah salak madu


Berdasarkan pada Gambar 2, kekerasan buah salak madu yang diberi perlakuan memiliki nilai kekerasan buah yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Menurut Rudito (1997), penggunaan pelapisan mampu menghambat proses metabolisme yang menyebabkan pemasakan pada buah dan penurunan kekerasan. Buah salak yang diberi pelapisan dan tidak (kontrol), masih melangsungkan proses respirasi, tetapi buah yang diberikan pelapisan menyerap oksigen lebih sedikit sehingga memungkinkan untuk meminimalisir pelunakan pada jaringan (Prastya et al., 2015). Respirasi merupakan pemecahan oksidatif substrat menjadi molekul yang lebih sederhana, yaitu karbondioksida dan uap air, dengan produksi energi (panas) sehingga mampu memelihara struktur dan fungsi produk tetap normal (Gallagher dan Mahajan, 2011). Ekstrak daun

kecombrang dan minyak wijen, memiliki kandungan antioksidan sehingga mampu menghambat proses oksidasi pada salak madu.

Color Difference

Dari hasil analisis keragaman data menunjukkan bahwa ekstrak daun kecombrang secara tunggal berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai color difference pada hari ke-4 sedangkan interaksi antara ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen tidak berpengaruh (P>0,05). Dari hasil penelitian, pengaruh tunggal ekstrak daun kecomrbang memiliki nilai rerata berkisar 8,6 hingga 12,3 pada color difference. Nilai rerata color difference buah salak madu dapat dilihat pada Gambar 3.

^ K0 88 K1 ⅛ K2 Kontrol

15

10

5

0

4                         8                        12                        16

Lama Penyimpanan (hari)


Gambar 3. Pengaruh tunggal minyak wijen terhadap nilai color difference salak madu

Berdasarkan Gambar 3, menunjukkan bahwa nilai color difference memiliki nilai yang fluktuatif. Buah salak madu yang diberi perlakuan tunggal ekstrak daun kecombrang memiliki nilai color difference yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Nilai color difference yang rendah, menandakan bahwa perbedaan warna buah salak madu selama penyimpanan rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh

ekstrak daun kecombrang yang termasuk kedalam senyawa hidrokoloid. Menurut Roiyana et al. (2012), hidrokoloid umumnya digunakan untuk pembentuk lapisan film, pembentuk gel, emulsifier, pengental dan penstabil. Kemampuan tersebut juga dapat digunakan dalam pembutan produk nonpangan, di

antaranya produk pelapis yang dapat dimakan (edible film), bioplastik, farmasi dan bahan perekat (Herawati, 2018).

Total Asam

Dari hasil analisis keragaman data menunjukkan bahwa minyak wijen secara tunggal, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai total asam

buah salak madu pada hari ke-4 dan 12. Sedangkan interaksi antara ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Dari hasil penelitian, pengaruh tunggal minyak wijen memiliki nilai rerata berkisar 0,6% hingga 1,7% pada nilai total asam. Nilai rerata total asam buah salak madu dapat dilihat pada Gambar 4.

≡ W0 «g W1 K W2 ⅛ Kontrol

Gambar 4. Pengaruh tunggal minyak wijen terhadap nilai total asam salak madu


Gambar 4, menunjukkan bahwa, nilai total asam mengalami penurunan pada hari ke-8 tetapi meningkat di hari ke-12 hingga akhir penyimpanan. Selama penyimpanan, jika dibandingkan dengan kontrol, sampel yang diberikan pelapisan minyak wijen 1% (W2) memperlihatkan perubahan nilai total asam yang stabil. Karena selama buah masak, maka kandungan gula dan asam memiliki keterbalikan. Kandungan gula akan meningkat sedangkan kandungan asam akan menurun sehingga menyebabkan buah mengalami perubahan kandungan asam dan gula yang drastis (Manurung et al., 2013). Menurut (Rachmawati, 2010), menyebutkan bahwa penguraian senyawa organik seperti asam organik dan asam piruvat dapat menghasilkan energi (CH2O5). Energi atau asam yang dihasilkan, akan digunakan sebagai bahan dasar dalam proses respirasi sehingga menyebabkan

penurunan total asam. Menurut Prastya et al. (2015), mengatakan bahwa senyawa antimikroba yang terdapat pada bahan dalam emulsi, mampu memperkuat sifat barrier yang terdapat pada minyak wijen sehingga mampu meminimalisir proses metabolisme yang terjadi pada produk segar.

Total Padatan Terlarut

Dari hasil analisis keragaman data menunjukkan bahwa interaksi ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai total padatan terlarut buah salak madu pada hari ke-8. Dari hasil penelitian, diperoleh rerata total padatan terlarut buah salak madu berkisar 17,5 oBrix hingga 25,4 oBrix. Nilai rerata total padatan terlarut buah salak madu dapat dilihat pada Gambar 5.

K0W0 K0W1 ® K0W2 sis K1W0 S K1W1 K1W2 S K2W0 SS K2W1 Λ K2W2 KONTROL


Gambar 5. Pengaruh ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen terhadap total padatan terlarut buah salak madu

Berdasarkan Gambar 5, nilai total padatan terlarut buah salak madu memiliki nilai yang fluktuatif. Buah salak madu yang diberi perlakuan dengan interaksi minyak wijen dan ekstrak daun kecombrang, rata-rata dapat menghambat perubahan total padatan terlarut tetapi pada kontrol, perlahan-lahan meningkat hingga akhir penyimpanan. Hal ini diduga, disebabkan oleh sifat dasar buah salak madu yang merupakan buah non klimaterik yang akan mengalami kerusakan dan pembusukan selama proses kematangan. Menurut Novita et al. (2012), kecenderungan yang umum terjadi pada buah selama penyimpanannya adalah terjadi kenaikan kandungan gula yang kemudian disusul dengan penurunan. Produk klimaterik segar yang matang, memiliki perubahan kandungan gula yang perlahan-lahan meningkat sedangkan kandungan asam akan menurun. Tetapi untuk buah non klimaterik perubahan tersebut umumnya tidak jelas (Rachmawati, 2010). Selain itu, hal ini diduga diakibatkan oleh tingginya kandungan gula yang terkandung pada salak madu. Peningkatan glukosa

terjadi karena penumpukan glukosa akibat perombakan karbohidrat menjadi gula sederhana, sedangkan menurun karena sebagian gula sederhana digunakan dalam proses metabolisme atau diubah menjadi senyawa lain (Rachmawati, 2010).

Intensitas Kerusakan

Intensitas kerusakan merupakan penilaian berdasarkan visual yang meliputi perubahan warna, bentuk, tekstur dan terinfeksinya salak madu oleh jamur putih. Dari hasil analisis keragaman data menunjukkan bahwa ekstrak daun kecombrang secara tunggal, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai intensitas kerusakan pada hari ke-4 dan 12 sedangkan interaksi antara ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen berpengaruh nyata (P>0,05) pada hari ke-8. Dari hasil penelitian, diperoleh rerata intensitas kerusakan buah salak madu berkisar 25,833% hingga 100%. Nilai rerata intensitas kerusakan buah salak madu dapat dilihat pada Gambar 6.

K0W0 K0W1 SS K0W2 i K1W0 g K1W1 K1W2 ⅛ K2W0 SS K2W1 K K2W2 Kontrol


Gambar 6. Pengaruh ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen terhadap intensitas kerusakan buah salak madu

Berdasarkan Gambar 6, menunjukkan bahwa nilai intensitas kerusakan pada buah salak madu yang diberikan pelapisan, memiliki nilai yang lebih rendah dibandingakan dengan kontrol. Kerusakan fisiologis buah dan pencemaran mikrooraganime pathogen dapat tertuda, diakibatkan oleh terhambatnya proses metabolisme sehingga mampu memperpanjang umur simpan buah (Gallagher dan Mahajan, 2011). Terhambatnya porses metabolisme disebabkan oleh bahan pelapis yang digunakan yaitu minyak wijen dan ekstrak daun kecombrang. Minyak wijen memiliki sifat sebagai pembentuk lapisan film tipis dan mengandung antioksidan (Dewi et al., 2020). Sedangkan, ekstrak daun kecombrang memiliki kandungan kimia salah satunya yaitu terpen dengan turunannya yang tertinggi yaitu α-pinene dan β-pinene (Jaafar et al., 2007). Terpen pada ekstrak daun kecombrang, umumnya memiliki sifat antioksidan sedangkan pada turunannya yaitu α-pinene memiliki sifat antibakteri dan pada β-pinene, memiliki sifat antifungal (Mercier et al., 2009).

KESIMPULAN

Perlakuan konsentrasi minyak wijen secara tunggal sebagai bahan pelapis, berpengaruh nyata terhadap total asam pada buah salak madu. Sedangkan perlakuan ekstrak daun kecombrang secara tunggal, berpengaruh nyata terhadap color difference. Secara keseluruhan, kombinasi ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen sebagai bahan emulsi untuk pelapis, berpengaruh terhadap atribut mutu selama masa penyimpanan terhadap buah salak madu. Pelapisan dengan emulsi ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen dapat menghambat perubahan atribut mutu buah salak madu. Kombinasi

ekstrak daun kecombrang dan minyak wijen sebagai bahan pelapis, lebih efektif dibandingkan dengan pelapisan ekstrak daun kecombrang maupun minyak wijen secara tunggal. Perlakuan K2W2 (ekstrak daun kecombrang 8% dan minyak wijen 1%), merupakan perlakuan emulsi yang memberikan nilai kemunduran atribut mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hampir dikeseluruhan parameter menunjukkan bahwa perlakuan dengan interaksi K2W2 relative lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan dengan interaksi K2W2 mampu mempertahankan perubahan susut bobot, kekerasan dan total padatan terlarut hingga hari ke-10 tetapi belum mampu mempertahankan perubahan total asam dan color difference. Berdasarkan intensitas kerusakan, perlakuan K2W2, mampu mempertahankan mutu visual hingga hari ke 9 sedangkan kontrol telah mengalami perubahan mutu mulai hari ke 6 dan mengalami infeksi jamur pada hari ke 7.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, untuk dapat mempertahankan perubahan mutu yang lebih baik dan masa simpan yang lebih panjang, disarankan untuk menggunakan ragam konsentrasi yang berbeda dan metode pelapisan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

[Deptan BPTP] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Sleman. 2004. Departemen Pertanian Liptan BPTP Yogyakarta, Salak Madu. Badan Litbang Pertanian.

Ahmad, R. ., Setyabudi, D. A., dan Wulandari, N. F.

2018. The Mold Causing Agent of Rotten Snake Fruit (Salacca zalacca (Gaertn.) from Traditional Fruit Markets. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 197(1),   0–8.   https://doi.org/10.1088/1755-

1315/197/1/012031

Ahmad, U., Darmawati, E., dan Refilia, N. R. 2014. Kajian Metode Pelilinan Terhadap Umur Simpan Buah Manggis ( Garcinia mangostana ) Semi-Cutting dalam Penyimpanan Dingin. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 19(2), 104– 110.

Ahmad, U., dan Lintang, M. 2010. Application of Edible Film and Modified Atmosphere Packaging To Prolong Shelflife of Minimally Processed Snakefruit. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 15(3), 163–171.

Angelia, I. O. 2017. Kandungan pH, Total Asam Tertitrasi, Padatan Terlarut dan Vitamin C Pada Beberapa Komoditas Hortikultura. Journal of Agritech Science, 1(2), 68–74.

Darmajana, D. A., Afifah, N., Solihah, E., dan Indriyanti, N. 2018. Pengaruh Pelapis dapat Dimakan dari Karagenan terhadap Mutu Melon Potong dalam Penyimpanan Dingin. Agritech, 37(3),                                     280.

https://doi.org/10.22146/agritech.10377

Delfian, R. 2010. Pelapisan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Adaptasi Suhu terhadap Perubahan     Karakteristiknya     Selama

Penyimpanan. Institut Pertanian Bogor.

Dewi, D. N. N. M., Utama, I. M. S., dan Kencana, P. K. D. 2020. Pengaruh Campuran Minyak Wijen dan APSA 80 Sebagai Bahan Pelapis terhadap Mutu dan Masa Simpan Buah Manggis. BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 8.

Gallagher, M. J. S., dan Mahajan, P. V. 2011. The Stability and Shelf Life of Fruit and Vegetables. In Food and Beverage Stability and Shelf Life (Issue March). Woodhead Publishing Limited. https://doi.org/10.1533/9780857092540.3.641

Gurning, A. F. K., Utama, I. M. S., dan Yulianti, N.

L. 2019. Pengaruh Pelapisan Emulsi Minyak Wijen dan Minyak Sereh terhadap Mutu dan Massa Simpan Buah Jeruk Siam (Citrus nobilis lour). Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian),             7(2),             236.

https://doi.org/10.24843/jbeta.2019.v07.i02.p0 3

Herawati, H. 2018. Potensi Hidrokoloid sebagai Bahan Tambahan pada Produk Pangan dan Nonpangan Bermutu. Jurnal Penelitian Dan

Pengembangan   Pertanian,   37(1),    17.

https://doi.org/10.21082/jp3.v37n1.2018.p17-25

Hwa, L., Natalia, S., Happy, C., dan Isnain, N. 2009. Pengaruh Edible Coating Terhadap Kecepatan Penyusutan Berat Apel Potongan. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia-STNKI 2009, 1, 2009.

Jaafar, F. M., Osman, C. P., Ismail, N. H., dan Awang, K. 2007. Analysis of essential oils of leaves, stems, flowers and rhizomes of Etlingera elatior (Jack) R.M.Smith. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 11(1), 269–273.

Juliani, N. K., Utama, I. M. S., dan Aviantara, I. G. N. A. 2017. Pengaruh Pemberian Uap Etanol dan Emulsi Lilin Lebah terhadap Mutu dan Masa Simpan Buah Salak Gulapasir (Salacca zalacca var. amboinensis). Jurnal Beta (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 5(2), 59–67.

Kusumawati, E., Supriningrum, R., dan Rozadi, R. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Kecombrang Etlingera elatior (Jack) R. M. Sm Terhadap Salmonella typhi. Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1–7.

Manurung, V. M., Djarkasi, G. S. S., Langi, T. M., dan Lalujan, L. E. 2013. Analisis Sifat Fisik Dan Kimia Buah Salak Pangu (Salacca zalacca) Dengan Pelilinan Selama Penyimpanan. Cocos, 3(5), 1–9.

Mercier, B., Prost, J., dan Prost, M. 2009. The essential oil of turpentine and its major volatile fraction (α- and β-pinenes): A review. In International Journal of Occupational Medicine and Environmental Health (Vol. 22, Issue        4,        pp.        331–342).

https://doi.org/10.2478/v10001-009-0032-5

Naufalin, R., Wicaksono, R., Arsil, P., dan Salman, M. F. 2018. Antimicrobial Coating on Quality Attributes of Sausage During Refrigerated Storage. E3S Web of  Conferences,  47.

https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184701002

Novita, M., Rohaya, S., Teknologi, J., Pertanian, H., Pertanian, F., dan Kuala, U. S. 2012. Pengaruh Pelapisan Kitosan terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tomat Segar (Lycopersicum pyriformer) pada Berbagai Tingkat Kematangan. Jurnal Unsyiah, 3, 1–8.

Prastya, O., Utama, I., dan Yulianti, N. 2015. Pengaruh Pelapisan Emulsi Minyak Wijen Dan Minyak Sereh Terhadap Mutu Dan Masa Simpan Buah Tomat (Lycopersicon

Esculentum Mill). BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 3(1), 1–11.

Rachmawati, M. 2010. Kajian Sifat Kimia Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw) dengan Pelpisan Kitosan Selama Penyimpanan untuk Memprediksi Masa SImpan. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Mulawarman, 6(1).

Roiyana, M., Izzati, M., dan Prihastanti, E. 2012. Potensi Dan Efisiensi Senyawa Hidrokoloid Nabati Sebagai Bahan Penunda Pematangan Buah. ANATOMI Dan FISIOLOGI, XX(2), 40– 50. https://doi.org/10.14710/baf.v20i2.4771

Rudito. (1997). Perlakuan Komposisi Gelatin dan Asam Sitrat dalam Edible Coating Mengandung Gliserol pada Penyimpanan Tomat. Jurnal Tropika Universitas Muhammadiyah Malang, 1990, 1–6.

Sabarisman, I., Suyatma, N. E., Ahmad, U., dan Taqi, F. M. 2015. Aplikasi Nanocoating Berbasis Pektin dan Nanopartikel ZnO untuk Mempertahankan Kesegaran Salak Pondoh. Jurnal Mutu Pangan, 2(April 2017), 50–56.

Sari, P. R. P., Darmawati, E., dan Ahmad, U. 2020. Aloe Vera and Beeswax Based Coating to Maintain Shelf Life of Salak cv. Madu. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 542(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/542/1/012014

Utama, I. G. M., Utama, I. M. S., dan Pudja, I. . R. P. 2006. Pengaruh Konsentrasi Emulsi Lilin Lebah Sebagai Pelapis Buah Mangga Arumanis Terhadap Mutu Selama Penyimpanan Pada Suhu Kamar. BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 4, 81–92.

Yang, C. C., Brennan, P., Chinnan, M. S., dan Shewfelt, R. L. 1987. Characterization of Tomato Ripening Process As Influenced By Individual Seal‐Packaging and Temperature. Journal of Food  Quality,  10(1), 21–33.

https://doi.org/10.1111/j.1745-4557.1987.tb00286.x

233