BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN

Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Udayana

http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 4, Nomor 2, September 2016

Desain Bangunan Bagi Numbak dan Ngerirun pada Sistem Distribusi Air Irigasi Subak Berdasarkan Konsep Pemias

Divider Structure Design Of Numbak And Ngerirun On Distribution System Of Subak Water Irrigation Based On Pemias Concept

Ni Kadek Sumiasih, I Wayan Tika, I Putu Gede Budi Sanjaya

Prodi. Teknik Pertanian, Universias Udayana

Email : sumiasih.cc@gmail.com

Abtract

Divider structure (tembuku) numbak and ngerirun is one of structure that used as divider in Subak water irrigation. Diversion of flow in the tembuku ngerirun was causing reduction that influenced by the difference speed and makes the difference rate of flow with tembuku numbak. The purposes of this research were: (1) to determine the level of the pemias coefficient on tembuku numbak and ngerirun, and (2) to calculate the dimensions of the tembuku numbak and ngerirun that review by pemias aspects. The real rate of flow analysed by measuring the width and height of water on the tembuku and the must rate of flow calculated by using the ratio of irrigated land area. The real rate of flow and the must rate of flow were used to determine pemias coefficients and pemias coefficients used to determine the must width of the threshold design of tembuku. Based on analysis, the average pemias coefficient was 0.095 or a value of pemias reduction was 0.095. Correlation of height of water and pemias coefficient was very high with R2 was 0.942. RMSE of width threshold value was 38.86%. The must width of the threshold at Subak is obtained by dividing the real width threshold with (1- pemias coefficients). After socialized to some pekaseh, they were mostly agree if there pemias coefficients that can be used to give pelampias on tembuku ngerirun.

Keyword: Divider stucture (tembuku), numbak and ngerirun, Rate of flow, Pemias coefficient, width threshold, Subak.

PENDAHULUAN

Berdasarkan Perda Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012, subak adalah organisasi tradisional di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis, di bidang tata guna air dan atau tanaman yang secara historis terus tumbuh dan berkembang (Anonim, 2012). Subak sebagai sistem irigasi selain merupakan sistem fisik juga merupakan sistem sosial. Sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa empelan, bendung atau dam, saluran-saluran air, bangunan bagi, lahan, dan parahyangan, sedangkan sistem sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem

fisik tersebut (Sutawan, 1985). Dalam usaha mendapatkan air irigasi dari suatu sumber, subak membangun berbagai fasilitas irigasi. Air yang telah didapat tersebut harus didstribusikan kepada segenap anggota subak. Cara untuk mendistribusikan air kepada segenap anggota subak adalah melalui bangunan bagi (tembuku). Salah satu jenis bangunan bagi yang masih dipakai oleh subak adalah bangunan bagi yang dikenal dengan istilah numbak dan ngerirun yang menyerupai kotak bersegi empat dengan sistem pembagian air yang proporsional dengan luas lahan. Aliran numbak artinya aliran yang lurus, sedangkan aliran ngerirun merupakan aliran yang berbelok ke samping, sehingga akan menyebabkan adanya reduksi aliran. Menurut Sutawan (1991), sistem numbak dan ngerirun tidak adil karena hanya menguntungkan

kelompok petani tertentu yaitu petani pada sistem numbak sehingga sangat berpeluang menimbulkan konflik. Dari survei yang telah dilakukan di lapangan yaitu dengan mendatangi beberapa subak dan melakukan wawancara terhadap petani, ditemukan tiga subak yang telah membongkar bangunan bagi dengan sistem ngerirun karena pembagiannya dianggap tidak merata sehingga bangunan tersebut diganti dengan sistem numbak. Di lapangan dapat ditemukan bahwa untuk menghindari konflik yang terjadi pada bangunan bagi dengan sistem numbak dan ngerirun biasanya dilakukan pelebaran atau penyempitan pada bangunan bagi yang biasa disebut dengan memberi pelampias (pemias). Besarnya pelampias (pemias) tergantung dari kesepakatan anggota subak (Sutawan, 1986). Pemias merupakan jumlah air yang susut atau berkurangnya debit air yang diterima karena adanya perbedaan kecepatan aliran karena pembelokan pada bangunan bagi atau berkurangnya debit air yang diterima dari hulu sampai dengan hilir karena adanya penyusutan yang disebabkan oleh rembesan, infiltrasi dan perkolasi pada saluran. Koefisien Pemias merupakan koefisien reduksi dari aliran yang seharusnya dan digunakan untuk mengetahui lebar yang harus ditambahkan pada masing-masing ambang bangunan bagi. Debit pada bangunan bagi dapat dihitung secara langsung dengan mengukur air yang keluar dibandingkan dengan waktu dan tidak langsung dengan beberapa persamaan sesuai dengan kontruksi bangunan yang akan diukur (Waldi, 2012). Jika dikaitkan dengan konsep mekanika fluida, aliran pada saluran irigasi merupakan aliran fluida yang bersifat laminer karena menunjukan gerak partikel-partikel cairan menurut garis-garis arusnya yang halus dan sejajar. Aliran yang dapat dikatakan bersifat laminer adalah aliran yang memiliki nilai bilangan Reynold (Re) < 2300 (Ridwan, 2011). Kecepatan aliran fluida (V) dari suatu penampang aliran tidak sama diseluruh penampang aliran, akan tetapi bervariasi menurut tempatnya (Poerboyo, 2013). Apabila cairan bersentuhan dengan batasnya di dasar dan dinding saluran kecepatan alirannya adalah

nol. Dengan adanya perbedaan aliran tersebut maka terdapat perbedaan debit yang terjadi pada bangunan bagi irigasi khususnya pada sistem ngerirun yang mana debit pada bangunan bagi ngerirun akan lebih kecil daripada bangunan bagi numbak. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis koefisien pemias pada distribusi air irigasi dengan sistem numbak dan ngerirun di subak, untuk selanjutnya mendapatkan dimensi tembuku numbak dan ngerirun yang memberi keadilan ditinjau dari aspek pemias dalam rangka untuk mendesain bangunan bagi.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa Subak di Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar dengan menggunakan 15 sampel bangunan bagi dengan sistem numbak dan ngerirun. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai dengan Mei 2016.

Sarana Penelitian

Sarana yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 15 buah bangunan bagi dengan sistem numbak dan ngerirun, lahan pada subak yang dialiri, meteran, kayu, pensil, dan buku.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif melalui survei dan pengambilan data primer menggunakan 15 sampel penelitian. Sesuai dengan syarat penelitian yang dikemukakan oleh Suryani (2015), jumlah minimum sampel pada penelitian eksperimen adalah 15 sampel. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur debit pada bangunan bagi numbak dan ngerirun kemudian disesuaikan dengan luas lahan yang dialiri. Setelah pengukuran debit maka akan dilakukan analisis koefisien pemias. Pengukuran pemias hanya dilakukan pada bangun bagi dan tidak mengukur sampai pada saluran. Sampel akan diambil pada subak yang berada di hulu, di tengah dan juga di hilir. Dalam pengukuran debit pada bangunan bagi, metode atau rumus yang digunakan adalah berdasarkan kontruksi

bangunan tersebut. Setelah mendapatkan koefisien pemias kemudian dicari hubungan tinggi air dengan koefisien pemias serta nilai RMSE lebar ambang. Koefisien pemias kemudian juga digunakan untuk mendesain lebar ambang seharusnya pada bangunan bagi numbak dan ngerirun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koefisien Pemias

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui besarnya koefisien pemias pada masing-masing subak yang menjadi sampel penelitian disajikan pada Tabel.1. Rata-rata koefisien pemias dari keseluruhan subak sampel adalah sebesar 0.095 yang artinya debit air yang ada pada masing-masing bangunan bagi yang menjadi sampel penelitian adalah sebesar x seharusnya adalah x/(1 - 0.095) sehingga lebar ambang dilebarkan dibagi dengan (1 - koefisien

pemias). Pembelokan aliran pada bangunan bagi numbak dan ngerirun konsepnya sama dengan pembelokan aliran pada pipa. Yang mana pembelokan aliran yang menyebabkan terjadinya reduksi atau kehilangan energi yang tiba-tiba (tajam) yang dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan yang menyebabkan adanya perbedaan debit disebut dengan Elbow (Rahmat, 2011). Reduksi atau rerugi lubang masuk sangat tergantung pada geometri lubang masuk itu dimana lubang masuk lengkungan Elbow yang ditumpulkan dengan baik mempunyai rerugi yang bisa diabaikan dengan K hanya 0.05 (Frank, 1988). Hasil rata-rata koefisien pemias 0.095 mengindikasikan bahwa rerugi atau reduksi yang dihasilkan pada bangunan bagi ngerirun adalah sebesar 0.095 yang masih lebih tinggi dari rerugi yang bisa diabaikan sehingga lebar ambang perlu dievaluasi atau dilebarkan. Kolom kosong pada Tabel 1. menunjukan tidak ada aliran ngerirun ke ambang L1 dan L3.

Tabel 1. Nilai Koefisien Pemias pada masing-masing subak sampel

PENGUKURAN I

No

Nama Subak

Lokasi

Koefisien Pemias

L1

L3

1

Subak Bregiding

Kabupaten Badung

0.18

0.01

2

Subak Bunyuh BB.1

Kabupaten Tabanan

0.02

0.06

3

Subak Bunyuh BB.2

Kabupaten Tabanan

0.42

-0.11

4

Subak Lodtunduh

Kabupaten Gianyar

0.13

-0.02

5

Subak Tunon 1

Kabupaten Gianyar

0.09

-

6

Subak Banjar Rame

Kabupaten Gianyar

0.31

-

7

Subak Guama 1

Kabupaten Tabanan

-

0.18

8

Subak Guama 2

Kabupaten Tabanan

0.01

-

9

Subak Taman 1

Kabupaten Badung

-

0.06

10

Subak Taman 2

Kabupaten Badung

-

0.12

11

Subak Blakiuh 1

Kabupaten Badung

-

0.14

12

Subak Blakiuh 2

Kabupaten Badung

0.17

0.03

13

Subak Citra 1

Kabupaten Badung

0.05

-

14

Subak Citra 2

Kabupaten Badung

-

0.04

15

Subak Tembin 1

Kabupaten Badung

0.08

-0.01

Rata-rata

0.095

Jika dilihat satu persatu ada beberapa subak negatif, artinya lebar ambang perlu dikecilkan, yang memiliki koefisien pemias yang bernilai sedangkan untuk koeisien pemias bernilai

positif artinya ambang ngerirun perlu dilebarkan. Disamping itu ada beberapa subak yang memiliki koefisien pemias yang cukup tinggi sehingga memiliki nilai rerugi yang jauh lebih tinggi dari nilai rerugi yang bisa diabaikan. Seperti halnya pada Subak Bunyuh BB.2 yang memiliki koefisien tertinggi 0.42 dengan nilai rerugi sebesar 0.42 yang artinya masih perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut pada subak tersebut, akan tetapi kenyataannya di lapangan tidak menyebabkan konflik diantara petani dalam pembagian air. Hal ini karena air yang mengalir pada subak tersebut debitnya cukup tinggi sehingga kebutuhan air di setiap tempek bisa terpenuhi. Subak Bunyuh mendapat sumber irigasi dari aliran sungai Sungi, yang mana subak tersebut terletak di wilayah paling hulu dari keseluruhan subak yang mendapat irigasi aliran sungai Sungi. Pemberian debit yang tinggi di daerah hulu disebabkan oleh kebutuhan air irigasi yang lebih tinggi, karena laju perkolasi tertinggi ada di daerah hulu (Nova, 2010). Disamping itu krama subak cenderung mengambil air lebih banyak karena air di hulu berlimpah. Pada umumnya sumber irigasi lahan sawah berasal dari saluran irigasi tersier, akan tetapi pada beberapa lokasi sering terdapat keterbatasan ketersediaan air dari saluran tersier. Hal itu disebabkan oleh kerusakan jaringan irigasi dan alokasi air yang tidak proporsional sehingga sawah yang terletak di hilir mendapat proporsi air yang lebih sedikit atau sawah yang terletak di hulu mendapatkan proporsi air yang lebih banyak (Anonim, 2014).

Hubungan Tinggi Air dengan Koefisien Pemias

Dari hasil perhitungan analisis regresi dapat diketahui bahwa nilai R2 adalah sebesar 0.658 yang artinya variabel tinggi air memiliki pengaruh sebesar 65.8% terhadap variabel koefisien pemias. Nilai signifikansi dari kedua variable tersebut adalah sebesar 0.001. Jika Nilai Sig. < 0,05, maka model regresi adalah linier, dan berlaku sebaliknya (Maulana, 2014). Jadi berdasarkan nilai signifikan 0.001 artinya model persamaan regresi berdasarkan data penelitian adalah signifikan atau model regresi linier memenuhi kriteria linieritas. Hubungan linier diartikan bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung membentuk garis lurus (Sarwono, 2013). Sarwono juga menambahkan bahwa kedekatan titik-titik kearah garis linieritas merupakan faktor penting dalam menentukan ukuran kekuatan hubungan sehingga terbentuk sebuah model persamaan regresi. Berdasarkan tabel dan grafik diatas maka didapatkan persamaan regresi dari kedua variabel penelitian adalah Y = -0.008X + 0.136. Gambar 1. menunjukan sebaran data yang paling mendekati garis linier ada pada tinggi air di atas lima. Semakin tinggi air pada bangunan bagi maka koefisien pemias akan semakin rendah yang artinya nilai reruginya akan semakin rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. yaitu hubungan tinggi air dengan koefisien pemias mulai dari tinggi air di atas lima. Grafik tersebut menunjukan nilai R2 adalah sebesar 0.942 yang artinya variabel tinggi air memiliki pengaruh sebesar 94.2% terhadap variabel koefisien pemias. Persamaan regresi dari kedua variabel tersebut adalah Y = -0.002X + 0.071.

(a )


O 5 IO 15        20

TinggiAir


(b )


Gambar 1. Grafik hubungan tinggi air dengan koefisien pemias : (a) tinggi air 1-5 cm; (b) tinggi air >5 cm

Nilai RMSE (Root Mean Square Error)

Akurasi merupakan tingkat kesesuaian hasil terhadap pengukuran standar (Fares dkk., 2004), seperti halnya pada distribusi irigasi di subak terdapat kesesuaian dan ketidaksesuaian pembagian air pada bangunan bagi. Ketidaksesuaian lebar ambang pada bangunan

bagi dianalisis menggunakan metode RMSE (Root Mean Square Error). Pengukuran dinyatakan akurat apabila nilai RMSE kurang atau sama dengan 0,1 atau 10% (Hakim, 2011). Perbedaan lebar ambang riil dengan lebar ambang seharusnya pada masing-masing subak disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai RMSE

No

Nama Subak

Lebar ambang Riil (cm)

Lebar ambang seharusnya (cm)

Error (%)

Error^2 (%)

RMSE (%)

1

Sb Bregiding Kiri

42

50.00

-16.00

256.00

2

Sb Bregiding Tengah

125

125.00

0.00

0.00

3

Sb Bregiding Kanan

50

50.00

0.00

0.00

4

Sb Bunyuh BB.1 Kiri

43

52.36

-17.88

319.76

5

Sb Bunyuh BB.1 Tengah

24

24.00

0.00

0.00

6

Sb Bunyuh BB.1 Kanan

52

65.45

-20.56

422.53

7

Sb Bunyuh BB.2 Kiri

14

24.00

-41.67

1736.11

8

Sb Bunyuh BB.2 Tengah

66

66.00

0.00

0.00

9

Sb Bunyuh BB.2 Kanan

40

36.00

11.11

123.46

M

10

Sb Lodtunduh Kiri

30

20.00

50.00

2500.00

11

Sb Lodtunduh Tengah

200

200.00

0.00

0.00

M

12

Sb Lodtunduh Kanan

42

20.00

110.00

12100.00

13

Sb Tunon Kiri

39

36.96

5.52

30.46

14

Sb Tunon Tengah

66

66.00

0.00

0.00

15

Sb Banjar Rame Kiri

57

83.33

-31.60

998.56

16

Sb Banjar Rame Tengah

250

250.00

0.00

0.00

17

Sb Banjar Rame Kanan

29

13.16

120.40

14496.16

18

Sb Guama BB.1 Kiri

30

12.56

138.89

19290.12

19

Sb Guama BB.1 Tengah

60

60.00

0.00

0.00

20

Sb Guama BB.1 Ka

90

99.07

-9.15

83.81

21

Sb Guama BB.2 Ki

120

132.00

-9.09

82.64

22

Sb Guama BB.2 Tg

10

10.00

0.00

0.00

23

Sb Taman BB.1 Tg

30

30.00

0.00

0.00

24

SbTaman BB.1 Ka

90

102.51

-12.21

149.03

25

Sb Taman BB.2 Tg

45

45.00

0.00

0.00

26

Sb Taman BB.2 Ka

95

73.04

30.07

904.42

27

Sb Blakiuh BB.1 Tg

140

140.00

0.00

0.00

28

Sb Blakiuh BB.1 Ka

86

84.00

2.38

5.67

29

Sb Blakiuh BB.2 Ki

42

30.67

36.96

1365.78

30

Sb Blakiuh BB.2 Tg

92

92.00

0.00

0.00

31

Sb Blakiuh BB.2 Ka

40

30.67

30.43

926.28

32

Sb Citra BB.1 Ki

42

43.04

-2.42

5.88

33

Sb Citra BB.1 Tg

30

30.00

0.00

0.00

No

Nama Subak

Lebar ambang Riil (cm)

Lebar ambang seharusnya (cm)

Error (%)

Error^2 (%)

RMSE (%)

34

Sb Citra BB.2 Tg

27

27.00

0.00

0.00

35

Sb Citra BB.2 Ka

90

100.29

-10.26

105.19

36

Sb Tembin Ki

60

52.11

15.15

229.57

37

Sb Tembin Tg

180

180.00

0.00

0.00

38

Sb Tembin Ka

36

28.42

26.67

711.11

Jumlah

2604

2584.6

406.75

56842.56

38.68

Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa lebar ambang riil cenderung lebih kecil dari lebar ambang seharusnya pada bangunan bagi ngerirun. Akan tetapi juga terdapat beberapa bangunan bagi ngerirun yang memiliki lebar ambang riil yang jauh lebih besar dari lebar ambang seharusnya sehingga memiliki persentase eror yang sangat tinggi. Pada kasus numbak persentase eror sebesar 0%, sehingga dari keseluruhan bangunan bagi numbak dan ngerirun tersebut dapat diketahui nilai RMSE sebesar 38.86%. Nilai tersebut >10% sehingga secara umum dapat dinyatakan bahwa pembagian air dari segi lebar ambang pada

bangunan bagi numbak dan ngerirun masih kurang akurat atau kurang proporsional. Nilai RMSE yang tinggi disebabkan oleh besarnya perbedaan perbandingan antara lebar ambang dengan luas lahan yang dialiri pada masing-masing bangunan bagi ngerirun.

Contoh Aplikasi Pemias pada Subak

Contoh aplikasi pemias pada subak dilakukan dengan cara mencari lebar ambang seharusnya yaitu hasil bagi antara lebar ambang riil dengan (1-koefisien pemias).

Tabel 3. Lebar ambang seharusnya pada masing-masing bangunan bagi

No

Nama Subak

Lebar ambang (cm)

Riil

Seharusnya

L1

L2

L3

L1

L2

L3

1

Subak Bunyuh BB.2

14

66

40

15.5

66

44

Contoh aplikasi pada Subak Bunyuh BB. 2, lebar ambang seharusnya disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 3. dapat diketahui bahwa pelebaran diperlukan pada bangunan bagi ngerirun. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsep mekanika fluida, dimana kecepatan aliran fluida (V) dari suatu penampang aliran tidak sama diseluruh penampang aliran, akan tetapi bervariasi menurut tempatnya (Poerboyo, 2013). Apabila cairan bersentuhan dengan batasnya (di dasar dan dinding saluran) kecepatan alirannya adalah nol. Pada kasus bangunan bagi ngerirun aliran yang nengalami pembelokan bersentuhan dengan dinding saluran sehingga kecepatan dari aliran tersebut akan lebih rendah. Kecepatan yang lebih rendah akan berdampak pula pada debit yang lebih rendah sehingga debit yang mengalir pada bangunan bagi ngerirun akan

berbeda dengan debit yang ada pada bangunan bagi numbak. Hal inilah yang menyebabkan perlunya dilakukan pelebaran pada bangunan bagi ngerirun. L1, L2, L3 merupakan lebar ambang berturut-turut dari lebar ambang kiri, lebar ambang tengah, lebar ambang kanan. Seperti contoh kasus pada Subak Bunyuh lebar ambang dari kiri, tengah, kanan secara berturut-turut adalah 14 cm, 66 cm, 40 cm menjadi 15.5 cm, 125 cm, 44 cm. Begitu pula untuk subak-subak sampel yang lain mengikuti perhitungan pada Subak Bregiding. Setelah disosialisasikan ke beberapa pekaseh sebagian besar pekaseh setuju jika ada koefisien pemias yang bisa digunakan untuk memberi pelampias pada bangunan bagi ngerirun. Pekaseh Subak Banjar Rame yang paling mengapresiasi hasil penelitian ini, beliau mengatakan bahwa pada

subaknya sering memberikan pelampias agar pembagian air bisa merata. Selanjutnya Pekaseh Subak Taman, Pekaseh Subak Bregiding, Pekaseh Subak Tunon dan Pekaseh Subak Blakiuh juga setuju jika ada koefisien pemias untuk memberi pelampias.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Rata-rata   koefisien pemias dari

keseluruhan subak sampel adalah sebesar 0.095 yang artinya debit air yang ada pada masing-masing bangunan bagi yang menjadi sampel penelitian adalah sebesar x seharusnya adalah x/(1-0.095) sehingga lebar ambang dilebarkan dibagi dengan (1-koefisien pemias). Hasil rata-rata koefisien pemias 0.095 mengindikasikan bahwa rerugi atau reduksi yang dihasilkan pada bangunan bagi ngerirun adalah sebesar 0.095 yang masih lebih tinggi dari rerugi yang bisa diabaikan sehingga lebar ambang perlu dievaluasi atau dilebarkan.

  • 2.    Semakin tinggi air pada bangunan bagi maka koefisien pemias akan semakin rendah yang artinya nilai reruginya juga semakin rendah. Hal tersebut ditunjukan dengan korelasi atau hubungan antara kedua variabel tinggi air dengan koefisien pemias memiliki nilai R2 sebesar 0.942 yang artinya variabel tinggi air memiliki pengaruh sebesar 94.2% terhadap variabel koefisien pemias. Jila dilihat dari lebar ambang nilai RMSE yang dihasilkan adalah sebesar 38.86% yang mana nilai tersebut >10% sehingga secara umum dapat dinyatakan bahwa pembagian air dari segi lebar ambang pada bangunan bagi numbak dan ngerirun masih kurang akurat atau kurang proporsional.

  • 3.    Lebar ambang pada bangunan bagi ngerirun dilebarkan dengan cara dibagi dengan (1- koeifisien pemias). Setelah

informasikan ke beberapa pekaseh sebagian besar pekaseh setuju jika ada koefisien pemias yang bisa digunakan untuk memberi pelampias pada bangunan bagi ngerirun.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan yaitu:

  • 1.    Masih perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut pada subak-subak yang memiliki koefisien pemias tinggi yang menyebabkan nilai rerugi yang dihasilkan tinggi.

  • 2.    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui besarnya pemias pada saluran irigasi subak dari hulu sampai hilir.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Perda Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 Tentang Subak.

Anonim. 2014. Penanggulangan Kekurangan Air Irigasi Daerah Hilir. Badan Litbang Pertanian

Maulana. 2014. Analisis Menggunakan SPPS. Jakarta: Gramedia.

Nova, A. 2010. Analisis Kebutuhan Pola Irigasi dengan Aplikasi Teknik Ngenyatin pada Subak Agung Yeh Ho (Skripsi). Denpasar: Universitas Udayana.

Poerboyo, 2013. Bahan Ajar Mekanika Fluida. Semarang: Universitas Diponegoro.

Rahmat, S. 2011. Analisa Kerugian Head Akibat Perluasan dan Penyempitan Penampang pada Sambungan 900 (Skripsi). Makasar: Universitas Hasanudin.

Sarwono, J. 2013. 12 Jurus Ampuh SPSS untuk Riset Skripsi. Jakarta: Elexmedia Komputindo Kompas Gramedia.

Suryani dan Hendryadi. 2015. Metode Riset Kuantitatif. Jakarta: Prenandamedia Group.

Sutawan, N. 1985. Subak ditinjau dari segi organisasi. Makalah untuk bahan diskusi di depan para anggota

Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia Cabang Bali, tanggal 6 September 1985, Denpasar.

Sutawan, N. 1986. Struktur dan Fungsi Subak. Makalah Seminar Peranan Berbagai Program Pembangunan dalam Melestarikan Subak. Universitas Udayana. Bali.

Waldi. 2012. Pengukuran Debit Pada Saluran Terbuka.

www.academia.edu/pengukurandebits aluranterbuka/waldi/2012/ (diakses tanggal : 3 Januari 2016)

White, F M., Manahan, H. 1988. Mekanika Fluida (Terjemahan). Jilid I. Jakarta: Erlangga.

8