ISSN: 2302-8556

E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 4.1 (2013): 159-176

TINGKAT UNDERPRICING DAN REPUTASI UNDERWRITER

Ni Luh Ulansari Manikan Widayani1 Gerianta Wirawan Yasa2

1Fakultas Ekonomi Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia e-mail: ulansari.manikan@yahoo.com/ telp: +6281916408870

2Fakultas Ekonomi Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia

ABSTRAK

Reputasi underwriter, secara teori, akan menaikkan tingkat underpricing. Namun, beberapa penelitian yang ada menunjukkan hal yang berlawanan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkonfirmasi adanya perbedaan tingkat underpricing antara emiten yang menggunakan underwriter prestisius dengan emiten yang menggunakan underwriter non prestisius ketika melakukan penawaran umum perdana. Sampel amatan yang digunakan berjumlah 169 buah diperoleh dari website Bursa Efek Indonesia dan diolah menggunakan teknik analisis independen sampel T tes. Data yang diolah adalah data sekunder berupa nilai underpricing dan reputasi underwriter yang diproksikan dengan lima besar penjamin emisi berdasarkan jumlah emisi yang dijamin satu tahun sebelumnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tingkat underpricing emiten yang prestisius tidak lebih besar daripada tingkat underpricing emiten yang menggunakan underwriter non prestisius.

Kata kunci: underpricing, reputasi underwriter, IPO

ABSTRACT

Underwriter reputation, in theory, will raise the level of underpricing. However, there are some studies that show the opposite. This research was conducted to confirm the existence of differences underpricing level between issuers that used prestigious underwriters and not prestigious underwriters by the time of initial public offering. Used samples as many as 169 units obtained from the Indonesia Stock Exchange’s website and processed using independent samples-T method. Processed data are the secondary data from value of underpricing and the underwriter reputation that proxied by five major underwriters based on the amount of emissions that are guaranteed one year earlier. The result showed that the underpricing's level of issuers who used prestigious underwriters were not higher than those who didn't use prestigius underwriters.

Keywords: underpricing, underwriter reputation, IPO

PENDAHULUAN

Iklim persaingan usaha yang semakin ketat membuat perusahaan harus mencari cara untuk tetap mampu bertahan. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan menambah modal kerja dan memperluas skala usaha. Agar cara tersebut dapat berjalan, maka perusahaan membutuhkan dana yang relatif besar. Pemenuhan kebutuhan dana tersebut dapat diperoleh dengan cara melakukan penawaran umum perdana (Ismiyanti dan Rohmad, 2010). Perusahaan yang telah melakukan penawaran umum perdana dapat disebut dengan perusahaan yang telah go public. Manfaat melakukan penawaran umum perdana tidak hanya akan dirasakan oleh perusahaan. Masyarakat umum juga akan terkena imbasnya karena membuka pintu untuk masyarakat umum agar dapat ikut memiliki perusahaan dengan cara membeli saham yang ditawarkan oleh perusahaan.

Pemegang peranan penting dalam go public adalah pasar modal. Pasar modal merupakan tempat diperjualbelikannya berbagai instrumen keuangan jangka panjang, seperti utang, ekuitas (saham), instrumen derivatif, dan instrumen lainnya. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi (Darmadji dan Fakhrudin, 2011:1). Ketika penawaran umum perdana dimulai, perusahaan akan memperdagangkan sahamnya di pasar primer. Proses pelepasan saham perdana di pasar primer tersebut disebut juga dengan istilah Initial Public Offering (IPO). Harga saham ketika IPO telah disepakati dan ditentukan terlebih dahulu oleh perusahaan (emiten) dan underwriter (penjamin emisi). Setelah melakukan penawaran di pasar

primer, barulah perusahaan dapat memperjualbelikan sahamnya di pasar sekunder. Jika harga saham di pasar primer merupakan harga kesepakatan antara emiten dan penjamin emisi, tidak demikian halnya dengan harga saham di pasar sekunder. Harga saham ketika dijual di pasar sekunder akan ditentukan oleh penawaran dan permintaan pasar. Sebagai pihak yang memerlukan dana, emiten menginginkan harga jual saham perdana yang tinggi namun tentunya tidak menginginkan jika saham yang ditawarkan ke publik ternyata tidak habis terjual. Masih tersisanya saham yang ditawarkan akan mengakibatkan tidak maksimalnya dana yang diperoleh oleh perusahaan serta akan mampu menjatuhkan reputasi perusahaan (Kartika, 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan memerlukan underwriter yang mampu menjamin saham dengan tipe penjaminan full commitment. Kartika (2009) menuliskan bahwa berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Hamud M. Balfas, mantan kepala divisi pengawasan Bursa Efek Jakarta (BEJ), penjaminan saham perdana di Pasar Modal Indonesia sepenuhnya menggunakan penjaminan full commitment. Tipe penjaminan saham ini mengharuskan underwriter membeli seluruh saham yang tidak laku terjual pada harga yang disetujui dan bertanggung jawab menjualnya. Kehati-hatian dalam menghadapi kemungkinan risiko membeli saham yang tidak terjual dalam jumlah besar membuat underwriter bisa membuat kesepakatan harga yang optimal bagi dirinya yaitu dengan menentukan harga saham lebih murah (Alteza, 2010). Ketika harga jual perdana saham yang ditetapkan oleh underwriter dan emiten tersebut lebih murah daripada harga penawaran dan

permintaan yang timbul di pasar sekunder, timbullah fenomena yang disebut dengan underpricing. Timbulnya underpricing dapat dilihat melalui initial return yang timbul dari perbedaan harga saham ketika ditawarkan pertama kali dengan harga saham pada harga penutupan hari pertama di pasar sekunder.

Underpricing merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di pasar modal Indonesia, melainkan di seluruh dunia (Amelia, 2007). Penelitian mengenai underpricing diawali oleh Ibbotson (1975) di pasar modal Amerika Serikat yang lalu diikuti oleh para peneliti di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia (Manurung, 2012). Beberapa penelitian mengenai underpricing yang dilakukan di Indonesia maupun negara lain memberikan hasil bahwa telah terjadi underpricing yang ditandai dengan adanya initial return. Di Indonesia, terdapat 204 penawaran saham perdana dalam kurun waktu penelitian tahun 2000 – 2011. Selama kurun waktu tersebut, terdapat 9 emiten yang memiliki initial return 0% dan 24 emiten dengan initial return negatif. Statistik ini menunjukkan bahwa underpricing memang cenderung terjadi ketika penawaran saham perdana.

Terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan fenomena underpricing. Beatty dan Ritter (1986) menyebutkan bahwa underpricing dapat terjadi karena adanya asimetri informasi. Asimetri informasi merupakan keadaaan ketika para pihak yang terlibat di dalam proses IPO, yaitu underwriter, investor dan emiten tidak memiliki infomasi yang seragam. Model Rock (1986) menjelaskan underpricing terjadi karena perbedaan informasi yang dimiliki antar investor. Sementara itu, Baron

(1982) mengembangkan teori asimetri informasi yang dinamakan dengan monopoly power of investment banker hypothesis. Teori ini menjelaskan bahwa underpricing muncul akibat ketimpangan informasi yang dimiliki oleh perusahaan dan penjamin emisi. Penjamin emisi memiliki pengetahuan lebih lengkap mengenai kondisi pasar dibandingkan emiten sehingga keberadaannya dalam proses IPO memegang peranan yang sangat penting. Penelitian Setianingrum dan Tjilik (2008) menemukan bahwa underwriter memiliki pengaruh paling besar atas tingkat underpricing yang terjadi.

Mengingat peranan penting yang dimainkan oleh underwriter dalam proses IPO, maka emiten yang melakukan penawaran umum perdana akan memilih underwriter secara selektif agar dapat memeroleh mutu penjaminan terbaik. Underwriter yang diyakini mampu memberikan mutu penjaminan terbaik adalah underwriter yang prestisius. Emiten akan melihat bahwa underwriter yang bereputasi baik berani menanggung risiko yang lebih besar dengan jalan menjamin saham yang ditawarkan dalam jumlah yang besar pula. Sebagai kompensasi atas penjaminannya, maka emiten mengizinkan underwriter menawarkan sahamnya pada harga yang lebih murah. Disaat bersamaan, underwriter yang mampu menetapkan harga yang lebih murah akan dinilai sebagai underwriter yang bereputasi baik di mata investor. Hal itu dikarenakan investor menilai bahwa underwriter yang bereputasi baik memiliki beban moral untuk menjamin harga saham ketika diperdagangkan di pasar sekunder tidak akan lebih rendah daripada harga saham yang ditawarkan di pasar perdana sehingga tidak akan merugikan investor (Wahyudi, 2003).

Penelitian yang dilakukan Dimovski, et al. (2011) menghasilkan kesimpulan bahwa underwriter yang lebih prestisius dikaitkan dengan tingkat underpricing yang lebih tinggi. Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Beatty dan Welch (1996) juga menemukan bahwa reputasi underwriter berpengaruh positif pada besarnya underpricing. Hal ini ditengarai akibat perbedaan kondisi yang mendasar antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2000an. Hoberg (2007) menyatakan hal yang senada. Semakin besar kekuatan pasar yang dimiliki oleh underwriter, maka akan terdapat lebih besar underpricing di dalamnya. Begitu pula dengan Booth, et al. (2010) yang juga menemukan pengaruh positif antara penjamin emisi dengan besar underpricing. Rata-rata underpricing penawaran umum perdana yang ditangani oleh underwriter yang prestisius adalah sebesar 19,7%. Sementara itu rata-rata underpricing yang ditangani oleh underwriter yang tidak prestisius adalah sebesar 12,6%. Penelitian di dalam negeri yang dilakukan oleh Yasa (2008), Nasirwan (2000), Daljono (2000), Trisnaningsih (2005) dan Hendrajaya (2005) menunjukkan bahwa reputasi underwriter berpengaruh positif terhadap underpricing. Ini berarti, underwriter yang prestisius akan menyebabkan tingkat underpricing yang lebih besar. Sementara itu, hasil berkebalikan ditunjukkan dalam penelitian Wibowo (2005), Suyatmin dan Sujadi (2005) dan Kristiantari (2012). Pada penelitiannya, Kristiantari (2012) berargumen bahwa underwriter yang prestisius diyakini memiliki kepercayaan diri yang lebih baik terhadap kesuksesan penawaran saham yang diserap oleh pasar sehingga terdapat kecenderungan underwriter yang bereputasi tinggi lebih berani

memberikan harga penawaran saham yang lebih tinggi sebagai konsekuensi dari kualitas penjaminannya yang menyebabkan tingkat underpricing menjadi rendah.

Sesuai dengan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan tingkat underpricing antara perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana dengan underwriter prestisius dan yang menggunakan underwriter tidak prestisius? Sehingga tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana berdasarkan peringkat underwriter yang digunakan.

Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis

Penawaran umum perdana atau yang lebih dikenal dengan Initial Public Offering (IPO) adalah salah satu usaha perusahaan untuk meningkatkan modal dari pasar modal dengan cara menawarkan saham pertama kalinya kepada publik, baik kepada perorangan maupun lembaga. Penawaran umum perdana akan mengubah status perusahaan dari yang tertutup menjadi perusahaan terbuka.

Salah satu lembaga penunjang dalam penawaran umum perdana adalah pasar modal. Perusahaan yang telah melakukan penawaran umum perdana selanjutnya akan memperjualbelikan sahamnya di pasar modal. Di pasar modal, pelaku pasar yang memiliki kelebihan dana melakukan investasi dalam surat berharga yang diterbitkan oleh emiten. Sementara itu, perusahaan yang membutuhkan dana menawarkan surat

berharga dengan cara mendaftarkan diri terlebih dahulu di pasar modal sebagai emiten melalui initial public offering.

Ketika IPO, jika harga saham yang diperdagangkan di pasar perdana lebih rendah dibandingkan dengan harga penutupan (closing price) saat diperdagangkan untuk pertama kalinya di pasar sekunder maka timbullah fenomena yang dikenal dengan nama underpricing. Underpricing dipercaya lahir akibat kondisi asimetri informasi yang terjadi ketika terdapat distribusi informasi yang tidak merata antara emiten, penjamin emisi dan investor. Saat tidak ada diantara emiten, penjamin emisi dan investor yang memiliki informasi yang lengkap tentang perusahaan, maka perbedaan harga akan tercipta. Baron (1982) menjelaskan bahwa penjamin emisi memiliki informasi kondisi pasar modal yang jauh lebih baik daripada emiten. Jika dilihat dari pihak emiten, maka undewriter memiliki pengatahuan lebih baik mengenai calon investor potensial. Sementara dari pihak investor, maka underwriter memiliki pengetahuan lebih baik mengenai emiten yang melakukan penawaran umum perdana. Penjaminan saham yang banyak dan dilakukan dengan frekuensi yang tinggi menjadikan underwriter semakin berpengalaman dalam memahami pasar modal dan perilaku investor. Keunggulan ini dimanfaatkan oleh underwriter yang berpengalaman untuk bisa mendominasi negosiasi harga bersama emiten (Arifin, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang dapat dibangun adalah:

Ha :   tingkat underpricing emiten yang melakukan IPO dengan underwriter

prestisius lebih besar dari tingkat underpricing emiten yang melakukan IPO dengan underwriter tidak prestisius.

METODE PENELITIAN

Objek yang dijadikan penelitian pada penelitian ini adalah perusahaan yang mengalami underpricing ketika melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia pada kurun waktu tahun 2000 – 2011. Sementara itu, data yang dianalisis adalah tingkat underpricing yang diproksikan melalui initial return dan reputasi underwriter yang diperoleh dari Majalah Investor, Mingguan Kontan, dan Bloomberg Underwriter League Table for Domestic IPO. Populasi diperoleh sebanyak 204 emiten yang diseleksi dengan kriteria: (1) sampel merupakan perusahaan yang melakukan Initial Public Offering dan listing pada tahun 2000 – 2011, (2) harga penawaran perdana serta nama underwriter tersedia, (3) data harga penutupan tersedia (closing price), dan (4) perusahaan tersebut mengalami underpricing sehingga diperoleh 169 buah sampel.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini disusun menggunakan alat analisis yang berupa uji T sampel independen atau yang biasa juga disebut dengan uji beda. Sebelum uji T sampel independen dilakukan, terdapat dua pengujian yang dilakukan, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas adalah salah satu syarat dalam melakukan uji beda dan merupakan salah satu bentuk pengujian

tentang kenormalan distribusi data. Sementara itu, uji homogenitas dimaksudkan untuk menguji asumsi apakah variansi populasi kedua sampel tersebut sama (equal variance assumed) atau berbeda (equal variance not assumed) dengan melihat nilai levene test. Setelah dua pengujian tersebut, barulah uji T sampel independen dilakukan. Pada dasarnya, hasil dari independent samplesT-test akan menunjukkan apakah terdapat perbedaan rata-rata antara dua populasi, dengan membandingkan dua rata-rata samplenya.

PEMBAHASAN

Deskripsi Data Hasil Penelitian

Statistik deskriptif menunjukkan sebanyak 169 sampel dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama sebanyak 53 buah merupakan emiten yang menggunakan underwriter bereputasi dan sisanya sebanyak 116 buah merupakan emiten yang menggunakan underwriter non prestisius. Nilai minimum underpricing untuk emiten yang menggunakan penjamin emisi prestisius adalah sebesar 1%. Nilai maksimumnya adalah sebesar 271%. Rata-rata underpricing yang dihasilkan oleh underwriter prestisius sebesar 43,92% dengan deviasi standar sebesar 52,24 berarti rentangan nilai tidak terlalu jauh antara nilai minimum dengan nilai maksimum karena nilai deviasi standar lebih kecil daripada dua kali nilai rata-rata (mean). Sementara itu nilai minimum dan maksimum underpricing emiten yang menggunakan penjamin emisi non prestisius masing masing adalah sebesar 1,82%

dan 480%. Nilai deviasi standar sebesar 57,26 dari rata-rata 44,15% menunjukkan bahwa nilai maksimum dan minimum tidak memiliki rentangan yang jauh.

Nilai underpricing pada penelitian ini ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural. Transformasi ini dilakukan agar syarat uji normalitas data dapat terpenuhi. Hasil transformasi data menunjukkan rata-rata underpricing emiten yang menggunakan underwriter prestisius adalah sebesar -1,46 dengan deviasi standar sebesar 1,24 yang memiliki arti bahwa rentang nilai yang tidak terlalu jauh antara nilai maksimum dan minimum. Begitu pula dengan deviasi standar pada kelompok underwriter nonprestisius sebesar 1,12 dari rata rata -1,39 yang berarti variasi nilai data relatif pendek. Nilai negatif pada rata-rata underpricing merupakan akibat dari transformasi data ke dalam bentuk logaritma natural (Ln).

Uji normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam penelitian berdistribusi normal atau tidak yang dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S). Nilai Kolmogorov-Smirnov untuk underpricing yang diakibatkan oleh underwriter prestitsius pada hasil uji normalitas data menunjukkan signifikansi 0,023 < 0,05. Signifikansi K-S untuk kelompok underpricing yang disebabkan oleh underwriter nonprestisius sebesar 0,000 < 0,05 juga memiliki arti data terdistribusi tidak normal. Maka dari itu, selanjutnya dilakukan transformasi data ke dalam bentuk logaritma natural. Setelah dilakukan

transformasi data, hasil uji normalitas pada tabel 4.4 menunjukkan besarnya signifikansi Kolmogorov-Smirnov untuk underpricing pada kelompok underwriter prestisius adalah sebesar 0,742 > 0,05 serta signifikansi sebesar 0,286 > 0,05 untuk underpricing pada kelompok underwriter nonprestisius.

Uji homogenitas

Uji homogenitas pada uji beda dimaksudkan untuk menguji bahwa setiap kelompok yang akan dibandingkan memiliki variansi yang sama atau tidak. Signifikansi levene test ditunjukkan dengan angka 0,442 > 0,05 sehingga hasil t test yang digunakan adalah hasil pada baris pertama yang menunjukkan variansi sama (equal variances assumed).

Uji T sampel independen

Uji T sampel independen digunakan untuk menguji hipotesis yang telah dibangun. Hasil pengujian hipotesis yang dilakukan melalui uji T sampel independen dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1.

Hasil Uji T Sampel Independen

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F

Sig.

t

df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

LnUnderpricing Equal variances assumed

0,595

0,442

-0,398

167

0,691

-0,076

0,193

Berdasarkan uji homogenitas yang telah dijabarkan sebelumnya, maka hasil uji T sampel independen menggunakan asumsi variansi yang sama sehingga pada tabel 1, nilai t yang digunakan adalah sebesar -0,398 dengan signifikansi 2-tailed yang bernilai 0,691. Karena uji hipotesis yang dilakukan adalah uji satu sisi, sementara itu hasil pada tabel adalah signifikansi untuk dua sisi, maka nilai p value sebesar 0,691 harus dibagi dua sehingga nilai p value menjadi 0,3455.

Nilai signifikansi pengujian satu sisi sebesar 0,3455 menunjukkan bahwa Ha ditolak karena nilai signifikansi lebih besar daripada 0,05. Penolakan hipotesis alternatif bermakna bahwa tingkat underpricing emiten yang melakukan IPO dengan underwriter prestisius tidak lebih besar dibandingkan dengan tingkat underpricing emiten yang melakukan IPO dengan underwriter tidak prestisius.

Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hipotesis alternatif yang telah dibangun. Pertama, terbuka kemungkinan bahwa investor tidak menggunakan pengukuran reputasi penjamin emisi seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Investor bisa saja memiliki pengukuran tersendiri untuk menentukan reputasi underwriter. Penelitian terdahulu yang meneliti mengenai reputasi penjamin emisi dan underpricing juga menggunakan

perangkingan penjamin emisi yang berbeda-beda. Ketika penawaran umum perdana, investor dan emiten memiliki tujuan yang bertolak belakang. Emiten ingin mendapatkan dana melalui penawaran umum perdana secara maksimal, sementara itu investor ingin mendapatkan initial return yang tinggi sehingga pengukuran reputasi underwriter yang baik hendaknya memperhitungkan penilaian dari segi emiten maupun investor.

Kemungkinan kedua adalah perbedaan tahun penelitian yang menyebabkan perbedaan kondisi data dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Selama dua belas tahun kurun waktu penelitian, tentunya terdapat tahun-tahun yang merupakan masa suram bagi pasar modal Indonesia, seperti tahun 2008 ketika pasar modal Indonesia terkena imbas dari krisis global. Kondisi seperti ini memungkinkan penjamin emisi untuk sedapat mungkin melakukan penawaran umum perdana dengan harga penawaran yang cukup rendah karena risiko tidak terbelinya saham akan meningkat. Hal tersebut menjadikan investor lebih cenderung memerhatikan kondisi perekonomian yang sedang berlangsung karena ketika pasar modal terkena imbas krisis global seperti tahun 2008, baik penjamin emisi yang bereputasi maupun yang tidak bereputasi akan berusaha membuat penawaran harga yang rendah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka simpulan yang diperoleh adalah tingkat underpricing emiten yang melakukan IPO dengan underwriter prestisius tidak lebih besar dibandingkan dengan tingkat underpricing emiten yang melakukan IPO dengan underwriter tidak prestisius.

Saran

Adapun saran yang dapat diberikan adalah: (1) Penelitian selanjutnya disarankan mencoba menggunakan perangkingan underwriter dengan kriteria lainnya, seperti frekuensi penjaminan pada tahun sebelumnya, nilai penjaminan yang tidak diubah menjadi variabel dummy, maupun berdasarkan penjamin emisi teraktif dalam melakukan jual beli saham. Walaupun frekuensi penjaminan tidak secara langsung menunjukkan besarnya jumlah saham yang dijamin, namun penjamin emisi yang semakin sering melakukan penjaminan emisi akan lebih diketahui oleh investor sehingga mempengaruhi reputasi penjamin emisi tersebut di mata investor. Selain pengukuran dengan kriteria seperrti di atas, penelitian selanjutnya juga hendaknya mengembangkan kriteria lain dalam melakukan perangkingan penjamin emisi agar memperoleh perangkingan yang benar-benar merefleksikan reputasi penjamin emisi, baik dari segi investor maupun emiten sehingga hasil penelitian berikutnya mampu menghasilkan informasi yang berguna bagi semua pihak, (2) penelitian ini menggunakan periode yang cukup panjang, yaitu dari tahun 2000 – 2011. Selama periode tersebut, terdapat tahun-tahun yang merupakan periode kurang baik bagi

pasar modal Indonesia. Penelitian selanjutnya disarankan agar mengeliminasi periode-periode yang kurang baik bagi pasar modal Indonesia, dan (3) hipotesis alternatif yang menunjukkan hubungan positif antara reputasi underwriter dengan tingkat underpricing yang tidak terbukti dalam penelitian ini memungkinkan penelitian selanjutnya untuk membuktikan hubungan sebaliknya, yaitu reputasi underwriter yang dikaitkan dengan underpricing yang semakin kecil.

REFERENSI

Alteza, Muniya. 2010. Underpricing Emisi Saham Perdana: Suatu Tinjauan Kritis. Jurnal Manaiemen, 9 (2), h: 1-18.

Amelia, J. Muna dan Yulia Saftiana. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Umum Perdana (IPO) di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Akuntansi, 1 (2), h: 103-118.

Arifin, Zaenal. 2010. Potret IPO di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Siasat Bisnis, 14 (1), h: 89-100.

Baron, D.P. 1982. A Model of The Demand for Investment Bank Advising and Distribution Services for New Issues. Journal of Finance, 37 (4), pp: 955-976.

Beatty, Randolph P. and Ivo Welch. 1996. Issuer Expenses and Legal Liability in Initial Public Offerings. Journal of Law and Economics, 39, pp: 545-602.

Beatty, Randolph P. and Jay R. Ritter. 1986. Investment Banking, Reputation, and the Underpricing of Initial Public Offerings. Journal of Economics, 15, pp: 213232.

Booth, James R, Lena Chua Booth, and Daniel Deli. 2010. Choice of Underwriters in Initial Public Offerings. Journal of Business and Policy Research, 5 (2), pp: 131-158.

Daljono. 2000. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Initial Return Saham yang Listing di BEJ Tahun 1990-1997. Makalah Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi III. Depok, 20 September 2000.

Darmadji, Tjiptono dan Hendy M. Fakhruddin. 2011. Pasar Modal di Indonesia: Pendekatan Tanya Jawab. Jakarta: Salemba Empat

Dimovski, William et al. 2011. Underwriter Reputation and Underpricing: Evidence From the Australian IPO Market. Review Of Quantitative Finance And Accounting, 37, pp: 409-426.

Hendrajaya, Sandra Dewi. 2005. “Analisis Konsistensi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Underpricing Saham Sektor Keuangan dan Manufaktur(Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Keuangan dan Manufaktur Yang IPO di BEJ Tahun 1997 – 2002)”. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Hoberg, Gerard. 2007. The Underwriter Persistence Phenomenon. Journal of. Finance, pp: 1169 – 1206.

Ibbotson, R. And J. Jaffe. 1975. Hot Issue Markets. Journal of Finance, 30(4), pp: 1027 – 1042.

Ismiyanti, Fitri dan Rohmad Fuad Armansyah. 2010. Motif Go Public, Herding, Ukuran Perusahaan dan Underpricing pada Pasar Modal Indonesia. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, 3 (1) h: 20-42.

Kartika, Mega. 2009. “Peran dan Tanggung Jawab Underwriter dalam Perjanjian Full Commitment di Pasar Perdana”. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kristantari, I Dewa Ayu. 2012. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Indonesia”. Tesis. Universitas Udayana. Bali.

Manurung, Adler Haymans. 2012. Teori IPO. Paper.

Nasirwan, 2000. Reputasi Penjamin Emisi. Return Awal, Return 15 Hari sesudah IPO, dan Kinerja Perusahaan Satu Tahun sesudah IPO di BEJ. Makalah Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi III.  Depok, 20

September.

Rock, Kevin. 1986. Why New Issues Are Underpriced. Journal of Financial Economics, 15, pp: 187-212.

Setianingrum, Roskarina dan K. Tjilik Suwito. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Perusahaan yang Go Publik di Bursa Efek Jakarta (Studi Empiris pada Perusahaan yang Melakukan Listing di BEJ tahun 2001 – 2004). Fokus Manajerial Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 6 (1).

Suyatmin dan Sujadi. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta. Benefit, 10 (1), h: 11-32.

Trisnaningsih, Sri. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 4 (2), h: 195-210.

Wahyudi, Sugeng. 2003. Pengukuran Return Saham. Jurnal Ekonomi.

Wibowo, Dicky Satrio. 2005. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Perusahaan Perbankan yang IPO Periode 1999 – 2003”. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Yasa, Gerianta Wirawan. 2008. Penyebab Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Jakarta. Audi Jurnal Akuntansi dan Bisnis, 3 (2) h: 145-157.

176