Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian

AGROTECHNO

Volume 7, Nomor 2, Oktober 2022

ISSN: 2503-0523 e-ISSN: 2548-8023

Potensi Beberapa Sayuran Indigenous Bali sebagai Pangan Fungsional Potential of Some Balinese Indigenous Vegetables as Functional Food

I Wayan Rai Widarta*, I Ketut Suter

Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Kode pos: 80361; Telp/Fax: (0361) 701801 80362

*Email: [email protected]

Abstract

Vegetables are a source of dietary fiber, minerals, vitamins, and antioxidants essential for human health. This study aimed to identify the characteristics of the chemical components and bioactive compounds of several local indigenous Balinese vegetables, namely kejompot leaf, banana stem, pumpkin leaf, and gonda in an effort to use them as a functional food. The study was conducted using a completely randomized design CRD) with the treatment of vegetable types and was repeated 4 times. Data were analyzed descriptively and presented in the form of tables and graphs. Parameters observed included: dietary fiber, water content, levels of Ca, Fe, Zn, total phenol, total flavonoid, vitamin C, and antioxidant activity. The results showed that local indigenous Balinese vegetables have the potential as functional food, especially kejompot which contains higher bioactive components and antioxidant activity than other vegetables.

Keyword: antioxidants, minerals, dietary fiber, vitamins, Balinese indigenous vegetables

Abstrak

Sayuran merupakan sumber serat makanan, mineral, vitamin dan antioksidan yang sangat penting untuk kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan karakteristik komponen kimia dan senyawa bioaktif beberapa sayuran lokal indigenous Bali Daun Kejompot, Batang Semu Pisang Kepok, Pucuk daun Labu Kuning, dan Gonda) dalam upaya pemanfaatannya sebagai pangan fungsional. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap RAL) dengan perlakuan jenis sayuran dan diulang sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Parameter yang diamati meliputi: serat makanan, kadar air, kadar Ca, Fe, Zn, total fenol, total flavonoid, vitamin C, dan aktivitas antioksidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sayuran lokal indigenous bali sangat berpotensi sebagai pangan fungsional, terutama Kejompot yang memiliki kandungan komponen bioaktif dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan sayuran lainnya.

Kata kunci: antioksidan, mineral, serat makanan, vitamin, sayuran indigenous Bali

PENDAHULUAN

Sayuran mengandung serat pangan, mineral, vitamin dan nutrien lainnya yang berperan penting untuk menjaga kesehatan dan pencegahan berbagai penyakit (Arasaretnam et al., 2018). Mengonsumsi sayuran dapat menurunkan resiko terhadap penyakit kanker hingga 15%, penyakit kardiovaskular hingga 30% dan mortalitas hingga 20% (Shetty et al., 2013). Lattimer & Haub (2010) juga melaporkan bahwa studi epidemiologi dan klinis menunjukan konsumsi serat pangan dapat menurunkan resiko obesitas, diabetes tipe 2, kanker dan penyakit kardiovaskuler. Vitamin juga merupakan senyawa kimia penting untuk kesehatan tubuh khususnya vitamin C karena merupakan mikronutrien esensial yang dibutuhkan untuk fungsi metabolism normal dalam tubuh. Sayuran mengandung sejumlah mineral penting

diantaranya Ca, Fe, dan Zn yang berperan untuk pertumbuhan dan metabolisme (Arasaretnam et al., 2018).

Selain sebagai sumber serat, vitamin dan mineral, sayuran juga mengandung senyawa bioaktif. Škerget et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari herbal disebabkan oleh senyawa bioaktif contohnya adalah senyawa fenolik. Efek sinergis dari senyawa bioaktif, peningkatan kadar nutrien dan sifat pencernaan diyakini sebagai mekanisme dibalik manfaat serat pangan untuk mencegah obesitas dan diabetes, penurunan resiko penyakit kardiovaskuler, dan kanker tertentu (Lattimer & Haub, 2010). Jenis sayuran yang dikonsumsi dapat berupa sayuran indigenous yang tumbuh secara liar atau pun dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Namun, seiring perkembangan jaman sayuran tersebut mulai ditinggalkan. Sayuran indigenous merupakan

Widarta, I. W. R., & Suter, I. K. 2022). Potensi Beberapa Sayuran Indigenous Bali sebagai Pangan Fungsional. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian Agrotechno, 7 2), 108–113.


sayuran asli daerah yang telah banyak diusahakan dan dikonsumsi sejak zaman dahulu, atau sayuran introduksi yang telah berkembang lama dan dikenal masyarakat di suatu daerah tertentu (Putrasamedja, 2005). Keunggulan sayuran indigenous diantaranya adalah mudah beradaptasi, tidak membutuhkan asupan nutrisi yang besar untuk pertumbuhannya, tahan terhadap hama dan penyakit, dan memiliki rasa yang sesuai dengan selera masyarakat disekitarnya (Mardiyani et al., 2017).

Soetiarso (2015) melaporkan bahwa rendahnya konsumsi sayuran indigenous di tingkat rumah tangga disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai diversifikasi produk dari sayuran indigenous dan sayuran indigenous yang tidak selalu tersedia di pasar setiap saat. Oleh karena itu, perlu upaya untuk mempertahankan kearifan lokal dengan mengidentifikasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat fungsional yang dimiliki oleh sayuran indigenous/minor khususnya yang tumbuh di Bali sehingga dapat bersaing dengan sayuran mayor. Sayuran indigenous yang umumnya terdapat di Bali diantaranya adalah Daun Kejompot (Crassocephalum crepidioides), batang semu pisang (Musa paradisiaca Val) yang sering dimanfaatkan sebagai sayur Ares, Pucuk daun Labu Kuning (Cucurbita moschata), dan Gonda (Spenoclea zeylanica Gaertner).

Daun kejompot atau dikenal dengan istilah daun Sintrong oleh masyarakat Sunda, sering dimanfaatkan sebagai sayuran maupun lalapan. Sayuran ini di Bali sering diolah untuk dijadikan urap ataupun ditumis. Batang semu pohon pisang oleh masyarakat Bali umumnya hanya digunakan sebagai sayur yang dikenal dengan Jukut Ares. Jukut Ares sering disajikan dalam perayaan hari besar keagamaan atau pun perayaan lainnya. Sementara itu, Pucuk daun labu kuning sering dimaanfaatkan sebagai sayur dalam bentuk ditumis, direbus dan/atau dicampur dengan sayuran lainnya, dan diurap. Begitu juga halnya dengan sayur Gonda yang lebih sering diolah dengan penumisan ataupun dijadikan urap. Beberapa jenis sayuran indigenous ini perlu dikarakterisasi kandungan mineral, vitamin, serat pangan dan komponen bioaktifnya sehingga potensi sayuran indigenous Bali ini sebagai pangan fungsional dapat dikembangkan dan memiliki posisi yang sejajar dengan sayuran mayor lainnya.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah daun kejompot, batang semu pisang kepok yang masih muda, pucuk daun labu kuning, gonda, 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH), reagen Folin-Ciocalteu,

metanol, etanol, NaOH, sodium karbonat, aquades, standar asam galat, asam askorbat, NaNO2 AlCl3, FeCl3, K3(FeCN)6, asam sulfat, sodium fosfat, ammonium molibdat, dan standar kuersetin. Semua reagen kimia diperoleh dari Merck. Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah oven, sonikator merk Branson (Jepang), spektrofotometer 10S (Thermo Scientific, Amerika), rotary evaporator vakum merk Buchi (Switzerland), dan alat-alat gelas.

Persiapan sampel

Sampel sayuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kejompot, batang semu pisang kepok, pucuk daun labu kuning, dan gonda. sampel yang telah dipetik dan disortasi kemudian dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama (sampel sayuran segar) selanjutnya dilakukan analisis kadar air. Bagian yang kedua, sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C hingga kadar air <10%. Sayuran yang telah kering selanjutnya digiling dengan blender dan hasilnya dianalisis mineral (Fe, Ca, Zn) dan serat makanan. Kemudian sisanya diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga dihasikan bubuk sayuran. Bubuk sayuran selanjutnya disimpan dalam freezer sebelum dianalisis. Bubuk sayuran di ekstraksi dengan metode Ultrasonic Assisted Extraction (UAE).

Ekstraksi bubuk sayuran dengan UAE

Pada tahap ini dilakukan proses ekstraksi masing-masing sayuran menggunakan UAE. Ekstraksi dilakukan dengan menimbang daun yang telah dikeringkan sebanyak 10 gram, selanjutnya dilarutkan dengan metanol 60% sebanyak 50 ml (rasio bahan : pelarut=1:10 b/v). Selanjutnya dilakukan pengadukan dengan magnetik stirer dan ekstraksi dilakukan menggunakan ultrasonic bath dengan frekuenzi 47 KHz selama 15 menit pada suhu 30oC. Ekstrak yang diperoleh disaring dengan kertas whatman No. 1. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dalam rotari evaporator vakum pada suhu 30oC sehingga diperoleh ekstrak kasar sayuran (Said et al., 2016). Ekstrak kasar yang dihasilkan selanjutnya dianalisis total fenolik, total flavonoid, vitamin C dan aktivitas antioksidannya. Seluruh perlakuan diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 16 unit percobaan. Selanjutnya data dianalisis keragamannya dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Parameter yang diamati meliputi kadar air dengan metode oven (AOAC, 1995), mineral (Fe, Ca, Zn) dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) (Arasaretnam et al., 2018), serat makanan dengan multi enzim (AOAC, 2007), kadar total fenolik dengan metode Folin–Ciocalteau (Aguilar-Garcia et al., 2007), total flavonoid dengan metode aluminium klorida (Josipovic et al., 2016), vitamin C dengan spektrofotometer (Papoutsis et al., 2016), dan

aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Shah & Modi, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai jenis sayuran lokal mengandung berbagai komponen

kimia yang baik. Komposisi kima yang terdapat pada beberapa jenis sayuran indigenous Bali yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia beberapa jenis sayuran indigenous Bali

No.

Komposisi kimia

Jenis sayuran

Kejompot

Daun Labu

Batang Pisang

Gonda

1

Kadar air bahan segar

93,46 ± 0,27

89,82 ± 0,07

94,53   ± 0,07

91,31 ± 0,45

2

serat makanan (%)

39,20 ± 0,31

35,40 ± 0,12

38,90 ± 0,47

25,10 ± 0,14

3

Mineral

Ca (mg/kg)

3190,51

3385,39

3031,20

3689,76

Fe (mg/kg)

157,76

100,96

20,54

104,75

Zn (mg/kg)

73,00

37,22

8,98

48,21

Hasil penelitian menunjukan bahwa kadar air sayuran segar tertinggi diperoleh pada batang pisang yaitu 94,53%, sedangkan terendah diperoleh pada daun labu yaitu 89,82%. Rochana et al. (2017) menyatakan bahwa batang pisang memiliki kadar air yang tinggi hingga lebih dari 90%. Tingginya kadar air pada sayuran ini menunjukkan bahwa sayuran ini bersifat mudah rusak yang dapat disebabkan oleh serangan mikroba sehingga memiliki umur simpan yang relatif pendek (Adjatin et al., 2013). Kadar serat makanan tertinggi diperoleh pada daun Kejompot yaitu 39,20%, sedangkan terendah pada sayur Gonda yaitu 25,10%. Rochana et al. (2017) juga melaporkan bahwa kadar serat pada batang pisang cukup tinggi yaitu sekitar 35-45%. Kadar serat makanan pada keempat sayuran indigenous Bali ini lebih tinggi dibandingkan kadar serat makanan sayuran lainnya seperti wortel, brokoli, tomat, bayam, dan kentang seperti yang dilaporkan oleh (Dhingra et al., 2012). Serat makanan memiliki peranan penting dalam sistem pencernaan. Mengonsumsi serat dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler dan penyakit tertentu seperti diabetes, kanker usus, dan berbagai gangguan pencernaan. Konsumsi serat dapat mencegah sembelit dan menurunkan kolesterol (Adjatin et al., 2013).

Berdasarkan kandungan mineralnya, kadar Ca tertinggi terdapat pada sayur Gonda yaitu 3689,76 mg/kg, sedangkan terendah pada sayur batang pisang yaitu 3031,20 mg/kg. Kadar Ca pada sayur Gonda lebih tinggi dibandingkan batang dan daun kangkung darat, yaitu 75 mg/kg dan 31 mg/kg (Suryaningsih et al., 2018). Kadar Fe dan Zn tertinggi diperoleh dari kejompot yaitu 157,76 mg/kg dan 73,00 mg/kg, sedangkan kadar Fe dan Zn terendah diperoleh pada batang pisang yaitu 20,54 mg/kg dan 8,98 mg/kg. Kadar Fe pada Kejompot lebih rendah dibandingkan kadar Fe pada kangkung darat dan kangkung air

seperti yang dilaporkan oleh Suryaningsih et al. (2018). Mineral memiliki peranan penting bagi tubuh. Kalsium (Ca) berperan penting untuk pertumbuhan, menjaga tulang, gigi dan otot. Besi (Fe) merupakan substituen penting pada hemoglogin, sedangkan Zn berperan dalam fungsi normal dalam sistem imun dan merupakan komponen lebih dari 50 enzim dalam tubuh (Mohd et al., 2016). Kandungan mineral pada semua sayuran pada penelitian ini sangat bervariasi. Menurut Nikolic et al. (2014) melaporkan bahwa komposisi mineral pada berbagai sayuran dipengaruhi oleh genotip, kondisi lingkungan, teknik penanaman, metode penanganan pascapanen, dan proses pengolahan.

Hasil analisis kadar senyawa bioaktif dan aktivitas antioksidan beberapa sayuran indigenous Bali dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa kandungan senyawa bioaktif seperti total fenol tertinggi diperoleh pada sayur kejompot yaitu 66,09 mg/g ekstrak, sedangkan total fenol terendah pada batang semu pisang yaitu 7,66 mg/g ekstrak. Total flavonoid tertinggi juga diperoleh pada sayur kejompot yaitu 151,16 mg/g ekstrak, sedangkan terendah diperoleh pada batang semu pisang yaitu 5,76 mg/g ekstrak. Adedayo et al. (2015) melaporkan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada daun Kejompot diantaranya adalah asam galat, katekin, asam klorogenat, rutin, kuersetin, asam elagik, dan asam kafeat. Oloyede (2012) melaporkan bahwa pucuk labu kuning juga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pucuk labu kuning mengandung total fenolik, flavonoid, antosianin, dan proantosianidin yang tinggi. Kandungan total fenoliknya sebesar 56,84 mg/g, sedangkan total flavonoidnya 1,95 mg/g. Kandungan komponen bioaktif ini sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah, khususnya level pemupukan menggunakan NPK.

Pada level yang semakin tinggi hingga titik tertentu (180 kg NPK/ha), maka kadar komponen bioaktifnya akan semakin meningkat (Oloyede, 2012).


Gambar 1. Hasil analisis kadar senyawa bioaktif dan aktivitas antioksidan beberapa sayuran indigenous Bali

Kadar vitamin C tertinggi diperoleh pada Kejompot yaitu 330,24 mg/g ekstrak dan terendah diperoleh pada batang pisang yaitu 99,64 mg/g ekstrak. Kadar vitamin C pada Kejompot yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan oleh Adjatin et al. (2013) yaitu sebesar 9,17 mg/100g. Perbedaan kadar vitamin C pada sayuran selain disebabkan oleh jenis yang berbeda, tingkat kesuburan tanahnya juga sangat mempengaruhi. Pupuk khususnya yang mengandung nitrogen dapat meningkatkan kadar vitamin C pada sayuran (Oloyede, 2012). Vitamin C memiliki peranan penting bagi kesehatan dan pencegahan penyakit. Vitamin C dapat berperan sebagai antioksidan, meningkatkan imunitas tubuh, anti-alergi, dan dibutuhkan untuk sintesis kolagen (Adjatin et al., 2013). Sementara itu, aktivitas antioksidan yang dilihat dari nilai IC50 menunjukkan bahwa nilai IC50 terendah diperoleh pada sayur kejompot yaitu 21,69 mg/L, sedangkan nilai IC50 tertinggi diperoleh pada batang semu pisang yaitu 413,71 mg/L. Nilai IC50 yang semakin rendah menunjukkan aktivitas antioksidan yang semakin tinggi (Adedayo et al., 2015). Nilai IC50 pada Kejompot bahkan lebih rendah dibandingkan dengan IC50 pada daun alpukat, yaitu 1180 mg/L (Widarta & Arnata, 2017). Aktivitas antioksidan yang dihasilkan

dari ekstrak sayuran ini dipengaruhi oleh komponen bioaktif yang dikandungnya seperti: total fenolik, total flavonoid, dan vitamin C (Widarta & Arnata, 2017; Widarta & Wiadnyani, 2019). Batang pisang memiliki total fenolik, total flavonoid, dan vitamin C yang lebih rendah dibandingkan jenis sayuran lainnya, sehingga aktivitas antioksidan yang dihasilkan juga semakin rendah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis sayuran yang berbeda memiliki karakteristik kimia yang berbeda. Pucuk labu kuning, gonda, kejompot, dan batang pisang merupakan sayuran indigenous Bali yang berpotensi digunakan sebagai pangan fungsional dilihat dari kandungan serat, mineral, komponen bioaktif, dan aktivitas antioksidannya. Kejompot memiliki potensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sayuran lainnya sebagai pangan fungsional karena komposisi serat, mineral Fe dan Zn, total fenolik, total flavonoid, vitamin C, dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi, sedangkan mineral Ca lebih banyak terdapat pada Gonda.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana melalui Ketua LPPM atas dana penelitian yang diberikan dalam bentuk Penelitian Unggulan Program Studi dengan SPK Nomor: 1550/UN14.2.12.II/PN/2019, April 22, 2019.

DAFTAR PUSTAKA

Adedayo, B. C., Oboh, G., Oyeleye, S. I., Ejakpovi, I. I., Boligon, A. A., & Athayde, M. L.

(2015). Blanching alters the phenolic constituents and in vitro antioxidant and anticholinesterases properties of fireweed (Crassocephalum crepidioides). Journal of Taibah University Medical Sciences, 10(4), 419–426.

https://doi.org/10.1016/j.jtumed.2015.09.003

Adjatin, A., Dansi, A., Badoussi, E., Sanoussi, A., Dansi, M., Azokpota, P., Ahissou, H., Akouegninou, A., Akpagana, K., & Sanni, A. (2013). Proximate, mineral and vitamin C composition of vegetable Gbolo [Crassocephalum rubens (Juss. ex Jacq.) S. Moore and C. crepidioides (Benth.) S.

Moore] in Benin. International Journal of Biological and Chemical Sciences, 7(1), 319. https://doi.org/10.4314/ijbcs.v7i1.27

Aguilar-Garcia, C., Gavino, G., Baragaño-Mosqueda, M., Hevia, P., & Gavino, V. C. (2007). Correlation of tocopherol, tocotrienol, γ-oryzanol and total polyphenol content in rice bran with different antioxidant capacity assays. Food Chemistry, 102(4), 1228–1232. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2006.07.0 12

Arasaretnam, S., Kiruthika, A., & Mahendran, T. (2018). Nutritional and mineral composition of selected green leafy vegetables. Ceylon Journal of Science, 47(1), 35. https://doi.org/10.4038/cjs.v47i1.7484

Dhingra, D., Michael, M., Rajput, H., & Patil, R. T. (2012). Dietary fibre in foods: A review. Journal of Food Science and Technology, 49(3), 255–266.

https://doi.org/10.1007/s13197-011-0365-5

Josipovic, A., Sudar, R., Sudaric, A., Jurkovic, V., Matosa Kocar, M., & Markulj Kulundzic, A. (2016). Total phenolic and total flavonoid content variability of soybean genotypes in eastern Croatia. Croatian Journal of Food Science and Technology, 8(2), 60–65. https://doi.org/10.17508/cjfst.2016.8.2.04

Lattimer, J. M., & Haub, M. D. (2010). Effects of dietary fiber and its components on metabolic health. Nutrients, 2(12), 1266–1289.

https://doi.org/10.3390/nu2121266

Mardiyani, S. A., Malang, U. I., & Khoiriyah, N. (2017). Kajian morfologis dan fungsional 5 sayuran indigenous minor sebagai sumber nutrisi berbasis kearifan lokal di wilayah Malang Raya. July.

Mohd, A., Idris, M., & Abdulrasheed, A. (2016). The mineral composition and proximate analysis of T. occidentalis (Fluted Pumpkin) leaves consumed in Kano Metropolis, Northern Nigeria. American Chemical Science Journal, 10(1), 1–4.

https://doi.org/10.9734/acsj/2016/20632

Nikolic, N., Borisev, M., Pajevic, S., Arsenov, D., & Zupunski, M. (2014). Comparative assessment of mineral elements and heavy metals accumulation in vegetable species. Food and Feed Research, 41(2), 115–123. https://doi.org/10.5937/ffr1402115n

Oloyede, F. M. (2012). Growth, yield and antioxidant profile of pumpkin (Cucurbita pepo L.) leafy vegetable as affected by NPK compound fertilizer. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 12(3), 379–387. https://doi.org/10.4067/s0718-95162012005000001

Papoutsis, K., Vuong, Q. V., Pristijono, P., Golding, J. B., Bowyer, M. C., Scarlett, C. J., & Stathopoulos, C. E. (2016). Enhancing the total phenolic content and antioxidants of lemon pomace aqueous extracts by applying uv-c irradiation to the dried powder. Foods, 5(3), 1–10.

https://doi.org/10.3390/foods5030055

Putrasamedja, S. (2005). Eksplorasi dan koleksi sayuran indigenous di Kabupaten Karawang, Purwakarta, dan Subang. Jurnal Buletin Plasma Nutfah, 11(1), 16–20.

Rochana, A., Dhalika, T., Budiman, A., & Kamil, K. A. (2017). Nutritional value of a banana stem (Musa paradisiaca val) of anaerobic fermentation product supplemented with nitrogen, sulphur and phosphorus sources. Pakistan Journal of Nutrition, 16(10), 738– 742. https://doi.org/10.3923/pjn.2017.738.742

Said, K. A. M., Radzi, Z., Yakub, I., & Amin, M. A. M. (2016). Extraction and quantitative determination of ascorbic acid from banana peel Musa Acuminata “Kepok.” IIUM Engineering Journal, 17(1), 103–114. https://doi.org/10.31436/iiumej.v17i1.576

Shah, P., & Modi, H. A. (2015). Comparative study of DPPH, ABTS and FRAP assays for determination of antioxidant activity.

International Journal for Research in Applied Science & Engineering Technology

(IJRASET), 3(6), 636–641. www.ijraset.com Shetty, A. A., Magadum, S., & Managanvi, K.

(2013). Vegetables as sources of antioxidants. Journal of Food & Nutritional Disorders, 02(01), 1–5. https://doi.org/10.4172/2324-9323.1000104

Škerget, M., Kotnik, P., Hadolin, M., Hraš, A. R., Simonič, M., & Knez, Ž. (2005). Phenols, proanthocyanidins, flavones and flavonols in some plant materials and their antioxidant activities. Food Chemistry, 89(2), 191–198. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.02.0 25

Soetiarso, T.(BALITSA). (2015). Sayuran Indigenous alternatif sumber pangan bernilai gizi tinggi. Iptek Hortikultura, 5(3), 10–16.

Suryaningsih, S., Said, I., & Rahman, N. (2018). Analisis Kadar Kalsium (Ca) dan Besi (Fe)

dalam Kangkung Air (Ipomeae aquatica forsk) dan Kangkung Darat (Ipomeae reptan forsk) Asal Palu. Jurnal Akademika Kimia, 7(3), 130.

https://doi.org/10.22487/j24775185.2018.v7.i 3.11908

Widarta, I. W. R., & Arnata, I. W. (2017). Ekstraksi komponen bioaktif daun alpukat dengan bantuan ultrasonik pada berbagai jenis dan konsentrasi pelarut. Agritech, 37(2), 148–157. https://doi.org/http://doi.org/10.22146/agritec h.10397

Widarta, I. W. R., & Wiadnyani, A. A. I. S. (2019). Pengaruh metode pengeringan terhadap aktivitas antioksidan daun alpukat. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 8(3), 80–85. https://doi.org/10.17728/jatp.3361

113