Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian

AGROTECHNO

Volume 2, Nomor 1, April 2017

ISSN: 2503-0523 ■ e-ISSN: 2548-8023

Optimasi Sifat Fisik Tanah di Zone Perakaran untuk Peningkatan Produksi dan Kualitas Umbi Kentang

Physical Properties Optimation of Soil at Root Zone to Increase Potato Tuber’s Productivity and Quality

I Made Nada1, Made Merta1, Yohanes Setiyo1

1Dosen Ps. Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

Email: [email protected]

Info Artikel

Diserahkan: 30 Maret 2017

Diterima dengan revisi: 25 April 2017

Disetujui: 30 April 2017

Abstrak

Perbaikan sifat fisik tanah di zone perakaran dapat dilakukan dengan bahan organic yang dekomposisinya agak sulit seperti kompos kotoran ayam yang mengandung sekam. Penelitian dengan perlakuan : (1) jenis kompos, dan (2) dosis pemupukan. Jenis kompos yang dipergunakan adalah kompos kotoran ayam dan kompos kotoran sapi. Dosis pemupukan dengan kompos adalah 15 ton/ha, 17.5 ton/ha, 20 ton/ha, 22,5 ton/ha dan 25 ton/ha. Setiap unit percobaan diulang 3 kali, sehingga secara keseluruhan ada 36 unit percobaan. Setiap unit percobaan berukuran 1 m x 10 m. Teknik pemupukan menggunakan kompos kotoran ayam dan kotoran sapi mampu memperbaiki sifat fisik tanah terutama porositas, dan kemampuan tanah mengikat air, kompos kotoran ayam mampu meningkatkan porositas menjadi lebih dari 50 % dengan kemampuan menahan air naik 0,9 % jika dosis ditingkatkan 1 ton/ha. Produksi kentang konsumsi varietas granola meningkat dari 17 ton/ha menjadi 23,22 – 27.8 ton/ha. Peningkatan produksi juga diikuti dengan pergeseran kelas umbi kentang konsumsi yang dihasilkan, jumlah umbi kentang konsumsi adalah sebesar 16,43 – 30,44 %.

Kata Kunci: Sifat fisik tanah, kompos, pemupukan, produktivitas, kualitas kentang

Abstract

Physical characteristics of soil at root zone could be improved using organical materials which are uneasy to decompose such as chicken manure containing rice husk. The treatment was: (1) types of manure that was chicken and cow manure, and (2) doses that 15 tons/ha, 17.5 tons/ha, 20 tons/ha, and 25 tons/ha. Each treatment unit was repeated three times, thus there were 36 treatment units which are divided into 1 x 10 meters square each. The results showed that fertilizing techniques using chicken and cow manure able to improve physical characteristics of soil mainly its porosity and its ability to hold the water. Chicken manure able to increase soil's porosity and holding water capacity by 50% and 0.9%, respectively, if the chicken manure dose was increased by 1 ton/ha. Potatoes Granola production increased from 17 tons/ha to obtain 23,22 – 27,8 tons/ha. This improvement was accompanied by the shift of the class of potatoes produced. The amount of potatoes produced by this treatment was 16,43-30,44%.

Keywords: Physical Characteristic of soil, manure, fertilization, productivity, quality of potatoes.

PENDAHULUAN

Isu-isu strategis nasional: (1) ketahanan dan kemanan pangan; (2) pertanian berwawasan lingkungan; (3) kandungan bahan organik yang rendah di lahan; dan (4) kualitas dan daya saing kentang di bawah produk import menjadi landasan penelitian perbaikan kualitas sifat fisik tanah di zone perakaran pada budidaya kentang. Perbaikan sifat fisik tanah di zone perakaran dapat dilakukan dengan bahan organic yang dekomposisinya agak sulit (sekam) yang perlu dikombinasikan dengan kompos. Secara fisik, tanah yang baik untuk bercocok tanaman kentang adalah yang berstruktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki lapisan olah yang dalam. Bahan organik merupakan perekat butiran lepas dan sumber utama nitrogen, fosfor dan belerang. Bahan organik cenderung mampu meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan di dalam tanah dan jumlah air yang tersedia pada tanaman. Akhirnya bahan organik merupakan sumber energi bagi jasad mikro. Tanpa bahan organik semua kegiatan biokimia akan terhenti. Sifat fisik tanah yang baik akan menjamin ketersediaan oksigen di dalam tanah. Berdasarkan hasil penelitian Arsa et al., 2013, perlakuan pemberian kompos dengan dosis 12 ton per ha di demplot budidaya hortikultura sudah mampu memperbaiki porositas tanah sampai mendekati 25 % dan kapasitas lapang 36.7 % (bb). Aplikasi kompos sebagai pupuk organic dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama porositas dan ketersediaan air bagi tanaman. Pada bulan ke enam porositas tanah naik 5 - 6 % dan ketersediaaan air bagi tanaman hortikultura menjadi 20 - 30 % dasar basah (bb). Fraksi liat, debu dan pasir berubah, kandungan debu naik 13,5 %, sedangkan kandungan liat dan pasir masing-masing turun sebesar 1,74 % dan 12,58 % (Setiyo, et al. 2010). Kompos juga memiliki kemampuannya mendegradasi bahan organik menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam dan kotoran sapi dengan dosis 10 ton/ha, 15 ton/ha, 20 ton/ha dan 25 ton/ha menyebabkan lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan terjadi

peningkatan kandungan bahan organic (Setiyo, et al., 2016). Sekam yang terdegradasi juga mampu menambah bahaan organic di tanah dan juga perbaikan sifat fisik tanah (porositas dan kemampuan mengikat air). Tujuan khusus penelitian adalah optimasi sifat fisik tanah dengan manipulasi pemberian pupuk kompos dan sekam, sehingga meningkatkan produksi dan kualitas kentang dilihat dari ukuran berat.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2016. Tempat penelitian plot budidaya kentang di lahan milik Bp Wayan Widana di Br. Mayungan Anyar, Desa Antapan, Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Desa Antapan berada pada ketinggian 800 m d.p.l, suhu udara 24 – 30 oC, kelembaban udara 70 – 92 % dan lama penyinaran 7 – 12 jam per hari. Analisis tanah bertempat di Lab. Sumber Daya Alam PS. Teknik Pertanian.

Bahan Penelitian

Bahan untuk penelitian di demoplot adalah : umbi kentang bibit, kompos kotoran sapi, dan sekam. Zat kimia yang digunakan untuk analisis C-organik, K2O, N-organik, P2O5 dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dari sampah dan kompos adalah K2Cr2O7, Fe2SO4, H2SO4, CuSO4, Na2SO4, NaOH, HCl, NH4OH, Na2SO5, BaCl2, alkohol 80%, aquades, dan NH4-asetat.

Alat-alat

Kolom gelas, pendingin balik, labu, “mantleheater”, corong pemisah, timbangan analitik, inkubator, “autoclave”, oven, freezer, lemari pendingin, “laminarflow”, “shaker waterbath”, pHmeter, magnetic stirrer, sentrifuge vortex, stopwatch, penangasair, spektrofotometer, mikroskopelektron, sequencer, PCR, elektroforesis, “gas chromatography”: GC-FID, GC-SCD/GC-FPD, GC-MS, HPLC, Instalasi biodesulfurisasi proses kontinyu, fermentor dan alat-alat gelas.

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian secara keseluruhan digambarkan pada Gambar 1.

Persiapan lahan dengan pengolahan tanah sampai kedalaman 20 cm dengan cara membajak lahan

L Pemberiankomposdosis 15 to⅛ 17,5ton/ha,20to⅛22,5ton'ha⅛25ton ha

  • 2.    Pembuatan guludan dengan dimensi lebar 80 cm. tinggi 25 cm

  • 3.    Pembuatan saluran drainase dimensi kedalaman 25 cm dan lebar 30 cm

t

Penanaman umbi kentang varietas granola G3: pada setiap guludan terdiri dua alur penanaman dengan jarak antar alur 40 cm dan jarak antar tanaman di alur 25 cm

*

Pengamatan sifat fisik tanah (porositas, kadar air tanah) di zone perakaran setiap 2 minsgu

---i---------—7--

Pengamatan keterse-diaan N, Ps Ks C-or-ganiks dan KTK di lahan

Pengamatan Kuantitas dan kulitas umbi kentang konsumsi yang dihasilkan

Efektifitas sistem LElSA pada budidaya kentang konsumsi yang berpenjaminan mutu



Gambar 1 Diagram alir Penelitiankeseluruhan

Gambar 1 Diagram alir penelitian keseluruhan

Rancangan percobaan

Penelitian dengan perlakuan: (1) dosis pemupukan dengan kompos yang dikombinasikan, (2) sekam. Dosis pemupukan dengan kompos digunakan empat level, yaitu 15 ton/ha, 17.5 ton/ha, 20 ton/ha, 22,5 ton/ha dan 25 ton/ha. Jenis kompos yang digunakan adalah kompos kotoran sapi dan kompos kotoran ayam dengan musim tanam musim kemarau (Juni s/d Agustus). Setiap unit percobaan diulang 3 kali, sehingga secara keseluruhan ada 18 unit percobaan. Setiap unit percobaan berukuran 1 m x 10 m.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Tanah

Jenis tanah di Desa Antapan diklasifikasikan sebagai tanah andosol, tanah di zona perakaran memiliki struktur amorf atau tidak berstruktur. Humus atau kompos yang diberikan tidak mampu menyatukan partikel-partikel tanah untuk membentuk agregat tanah, sehingga partikel tanah akan saling lepas. Dalam taksonomi tanah menurut USDA, tanah andosol dikenal sebagai Andisol. Komposisi tanah andosol di Desa Antapan adalah 50-70% fraksi pasir, 30-50% fraksi debu dan 10-20 % fraksi liat. Peningkatan jumlah fraksi debu akibat dekomposisi kompos yang menghasilkan mineral seperti Fe, Cu, Mg, Al, Ca, dan Mn (Setiyo et al., 2009).

Porositas Tanah

Porositas tanah dari lahan untuk budidaya kentang disajikan pada Gambar 2. Peningkatan dosis pemupukan dengan kompos mampu meningkatkan porositas tanah di zone perakaran tanaman kentang. Penggunaan kompos kotoran ayam sebagai pupuk organik dengan dosis pemupukan 15 sampai 25 ton/ha mampu meningkatkan porositas tanah menjadi lebih dari 50 %, namun untuk pemupukan dengan kompos kotoran sapi hanya mampu meningkatkan porositas antara 33 – 49,8 %. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Arsa et al., 2013; Setiyo et al., 2009.

Gambar 2. Porositas Tanah

Hubungan antara dosis kompos (x) dengan jumlah porositas tanah (y) ditulis persamaan y = 0,8759x + 38,615 dengan r2 = 0,96 (pemupukan digunakan kompos kotoran ayam) dan y = 1,1788x + 4,69 dengan r2 = 0,95 (pemupukan dengan kompos kotoran sapi). Peningkatan dosis kotoran sapi mampun meningkatkan porositas lebih banyak dibandingkan peningkatan dosis pupuk kotoran ayam, setiap peningkatan 1 ton kompos kotoran ayam mampu meningkatkan porositas 0,87 % dan untuk peningkatan kompos kotoran sapi 1 ton/ha meningkatkan porositas tanah 1,68 %. Dekomposisi kotoran sapi lebih mudah dibandingkan dekomposisi kompos kotoran ayam yang mengandung sekam, sehingga jumlah pori mikro pada tanah yang dipupuk kotoran sapi akan lebih banyak.

Kompos kotoran ayam terdiri dari komponen: dedak, tersisa pakan dan kotoran. Unsur-unsur kimia kompos adalah 50 % selulosa, 25-30 % lignin, dan 15- 20% silika, sedangkan komponen kompos kotoran sapi adalah selulosa 15-l6 %, l0-30% hemiselulosa, lignin 5-3%, 5-40% protein, bahan mineral (abu) 3-5% (Sutanto, 2005). Hemiselulosa, lignin dan silika lebih sulit terdekomposisi, sehingga unsur ini akan meningkatkan jumlah pori makro di tanah.

Daya ikat air di zona akar

Hubungan antara dosis pemupukan dengan kompos dengan kadar air kapasitas lapang di zone perakaran seperti Gambar 3. Peningkatan jumlah pori mikro pada tanah di zona akar mengakibatkan kadar air kapasitas lapang meningkat sebesar 0,34 % setiap kenaikan dosis pemupukan dengan kotoran sapi atau kootoran ayam 1 ton/ha. Peningkatan kadar air kapasitas lapang sebagai akibat kenaikan jumlah pori mikro pada tanah, sehingga jumlah pori mikro yang terisi air kapiler semakin banyak.

Hubungan antara dosis kompos pemupukan dengan kompos kotoran ayam (x) dan kadar air kapasitas lapang (y) ditulis dengan persamaan y = 0.348x + 26.59 dengan r2 = 0,908, sedangkan hubungan antara dosis kompos pemupukan dengan kompos kotoran sapi (x) dan kadar air kapasitas lapang (y) ditulis dengan persamaan dan y = 0.343x + 23,85 dengan r2 = 0,971. Secara statistik perlakuan dosis dan jenis kompos berpengaruh nyata terhadap kadar air kapasitas lapang di zone perakaran tanaman kentang yang dibudidayakan. Peningkatan kadar air kapasitas lapang di zone perakaran akibat dosis dan jenis kompos yang diberikan pada budidaya tanaman kentang berakibat pada peningkatan kemampuan tanah untuk menahan air (water holding capacity). Hubungan antara dosis penggunaan kompos sebgai pupuk organic dan kapasitas tanah menahan air diilustrasikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan dosis pemupukan dengan kompos dan kemapuan tanah menahan air

Gambar 3. Hubungan dosis pemupukan dengan kompos dan kadar air kapasitas lapang di zone perakatan tanam kentang

Peningkatan kapasitas menahan air tanah adalah 0,32-0,33 % setiap kenaikan dosis pupuk kompos sebesar satu ton/ha, hasil ini mendekati hasil penelitian Setiyo, et al, 2009;.. Arsa, et al.,

2013; Setiyo, et al. 2013; dan Setiyo et al, 2016. Dengan kemampuan tanah menahan air seperti ini maka, tanaman kentang membutuhkan air irigasi sebanyak 200 cc setiap dua minggu, karena evapotranspirasi 0,5-0,6 cm / hari.

Kesuburan Lahan

Data kandungan C-organik, N, P, K dan KTK dari plot-plot percobaan setelah direratakan dari 4 ulangan pada setiap plot seperti Tabel 2, data ini meliputi data-data sebelum penanaman kentang, tanaman berumur 1 bulan dan data setelah panen kentang (usia tanaman 3 bulan).

Tabel 1. Kandungan N, P, K dan KTK Pada Plot Penelitian Pemupukan dengan kotoran sapi dan kotoran ayam

Jenis kompos

Dosis1 ton ha

C-organik

N

TotaL %

P

Ttrsediiz W

K

Tersedia1

IW

KTKs me 100g

Keterangan kandungan hara utama

C

N

P

K

Kotoran ayam

15

4.72

0.49

748.44

579.14

29

S

ST

ST

T

17.5

4.62

0.49

786.54

500.84

25.37

S

ST

ST

T

20

4.83

0.45

774.35

656.56

23.84

S

ST

ST

T

22.5

4.91

0.46

814.37

601.19

26.19

S

ST

ST

T

Kotoran sapi

15

4.72

0.45

748.44

488.09

29

S

ST

ST

T

17.5

4.62

0.5

786.54

632.89

25.37

S

ST

ST

T

20

4.83

0.42

679.47

597.67

27.49

S

ST

ST

T

22.5

4.03

0.32

703.01

600.79

25.39

S

ST

ST

T

Berdasarkan data di Tabel 2 kandungan bahan bahan organic (gabungan C-organik, N-organik, P tersedia dan K tersedia) pada sampel tanah yang diambil dari plot-plot penelitian sebelum penanaman kentang dan setelah panen kentang cenderung mengalami peningkatan, atau bahan organik masih tersisa. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam dan kotoran sapi dengan dosis 15 ton/ha, 17.5 ton/ha, 20 ton/ha dan 22.5 ton/hayang dikombinasikan dengan budidaya di lahan ditutup mulsa plastic dan lahan tidak ditutup mulsa plastic dalam kasus penelitian ini menyebabkan lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan terjadi peningkatan kandungan bahan organic. Kompos kotoran ayam yang diberikan secara kontinu selama tiga tahun terakhir dalam setiap tahapan budidaya mineral-mineral hasil dekomposisinya tidak semua diserap oleh tanaman yang dibudidayakan termasuk tanaman kentang. Menurut Sutedjo, 2002 pada pH 6,5 – 7,5 (pada kondisi reaksi

netral) unsur-unsur hara hasil dekomposisi kompos dan unsure-unsur dari pupuk NPK semua tersedia secara optimal bagi tanaman kentang. Sisa kandungan hara C, N, P dan K merupakan hasil dari dekomposisi kompos. Hal ini ditunjukan oleh nilai KTK di plot-plot percobaan yang bervariasi dari 23.11 sampai 29.0.

Kualitas Pertumbuhan Tanaman Kentang Pada Sistim LEISA

Bibit kentang varietas Granola G3 yang diujicobakan pada sistim LEISA secara umum memiliki criteria sangat baik. Hal ini ditunjukan oleh: (1) persentase yang busuk/rusak kurang dari 2 %, (2) tinggi tunas apical 0.5 – 1 cm, (3) ukuran berat per umbi 30 – 40 g dan (4) perkembangan tunas apical menjadi tanaman yang gagal kurang dari 3 %. Tanaman kentang pada minggu ke tiga setelah tanam memiliki tinggi 30 ± 5 cm dengan tunas per lubang berjumlah 2 – 4 batang dan diameter batang 5 ± 1 mm.Dari hasil pengamatan sampai minggu ke 3, dosis pupuk organic kompos kotoran ayam maupun kotoran sapi di atas 20 ton/ha menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dosis pupuk organic kompos kurang dari 20 ton/ha.Pada lahan milik Bpk Ngurah yang sebelumnya belum dipupuk dengan kompos atau bahan organiknya kurang dari 3.5 % kondisi pertumbuhan perbedaanya terlihat lebih jelas. Jumlah tanaman yang mati selama proses budidaya dari 20 sampel tanaman pada minggu ke 3 adalah 1 tanaman dan di minggu ke 12 menjadi 2,4 ± 0,5 tanaman, dosis kompos yang lebih banyak pada sistim LEISA mampu menurunkan jumlah tanaman yang mati. Jumlah tanaman yang mengalami ketinggalan pertumbuhan jumlahnya masih ada antara 1 – 2 tanaman dari 20 sampel tanaman yang dipilih, namun di minggu ke 6 tanaman tersebut sudah mulai tumbuh secara normal.

Gambar 5. Hubungan tinggi tanaman kentang

dengan waktu

Kualitas Produksi Kentang

Hubungan antara dosis pemupukan kompos kotoran ayam untuk budidaya di lahan yang ditutup mulsa plastic hitam dengan total berat umbi kentang per pohon dan per ha adalah seperti Tabel 3. Adanya kecenderungan total produksi umbi kentang meningkat dengan meningkatnya dosis pemupukan dengan kompos kotoran ayam, namun pada dosis pemupukan kompos 20 ton/ha total produksi mulai tetap pada 29.1 ton/ha

Tabel 2.

Total produksi umbi kentang per pohon dan per ha.

Parameter produktivitas dan kualitas produksi

Dosis pemupukan dengan kompos, ton ha

15

17,5

20

22,5

25

Total produsi, g'tan

1006

1052

1006

1059

1035

Total produsi, tonha

23.22

25.9

26.57

27.93

27.28

Jumlah umbi, buah tan

9.65

11 2

9.533

9.667

11.1

Umbi kelas super, %

16.43

23.47

24.43

21.63

30.44

Umbi kelas A, %

50.41

47.1

45.47

45.33

32.63

Umbi kelas AB. %

23.28

1S.77

17.57

17.77

19.13

Umbi kelas B, %

8.794

7.133

7.833

10.5

12.39

Umbi kelas kecil, %

2.053

3.567

3.667

3.567

6.679

Sistim LEISA yang diterapkan oleh petani kentang Br. Mayungan, Desa Antapan, Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan ini mampu memperbaiki total produksi kentang persatuan luas dari rerata 17 ton/ha (th 2010, Supartha et al., 2012) menjadi 23,22 – 27.8 ton/ha. Peningkatan kesuburan lahan dan perbaikan sifat fisik tanah sangat relevan dengan kenaikan jumlah umbi kentang per pohon dan persatuan luas.

KESIMPULAN

Sistim LEISA yang diterapkan pada budidaya kentang varietas granola kelas G4 dengan teknik pemupukan menggunakan kompos kotoran ayam mampu meningkatkan produksi kentang konsumsi varietas granola dari 17 ton/ha menjadi 23,22 – 27.8 ton/ha. Peningkatan produksi juga diikuti dengan pergeserran kelas umbi kentang konsumsi yang dihasilkan, jumlah umbi kentang konsumsi hasil penelitian 2016 adalah sebesar 16,43 – 30,44 %. Penyebab utama kenaikan produksi kentang selain perbaikan sifat fisik tanah adalah terjadinya peningkatan kandungan bahan organic dan kapasitas tukar kation, kandungan unsure hara utama dan kapasitas tukar kation berada pada posisi tinggi sampai sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Arsa, W. 2013. Kajian relevansi Sifat Psikokimia Tanah pada Kualitas dan Produktifitas Kentang. Skripsi FTP Universitas Udayana. Badung-Bali.

Setiyo, Y., Hadi K.P, Subroto, M.A, dan Yuwono, A.S, 2007. Pengembangan Model Simulasi Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal Forum Pascasarjana Vol 30  (1)

Januari 2007. Bogor.

Setiyo, Y. 2009. Aplikasi Kompos dari Sampah Kota sebagai Pupuk Organik untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Jahe Merah. Disajikan di Seminar Nasional Basic Science VI Tanggal 21 Februari 2009 di Universitas Barawijaya, Malang.

Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2010. Bioremediasi In-situ pada Lahan Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb dengan Mikroba dari Beberapa Jenis Kompos (Seminar Nasional Perhorti, Universitas Udayana)

Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2011. Optimasi Proses

Bioremediasi Secara in-situ pada Lahan Lahan Tercemar Pestisida Kelompok

Mankozeb. Jurnal Teknologi Industri Universitas Muhamadiyah Malang, Vol 12 No: 1 pg: 53-58, Februari 2011.

Setiyo, Y., I BW Gunam, Sumiyati, dan Manuntun Manurung. 2013. Optimalisasi Produktivitas Kentang Bibit Varietas Granola G3 dengan Manipulasi Dosis Pemupukan. Dalam Karya Unud untuk Anak Bangsa 2013 ISBN: 578-602-7774-76-0.

Universitas Udayana.

Setiyo, Y., I.B.W. Gunam, I.B.P. Gunadnya, Budi Susrusa, Dewa Gde Mayun Permana, dan IGA Lani Triani. 2016. Improving Physical and Chemical Soil Characteristic on Potatoes.

Supartha U., Y. Setiyo, I Ketut Budi Sususra, IB Gunadnya, Ida Ayu Astarini. 2012. Pengembangan Usaha Pertanian Hortikultura Dataran Tinggi untuk Mendukung Daya Saing Produk di Era pasar Global Melalui Kemitraan Perguruan Tinggi, Pengusaha dan Pemerintah Daerah. Laporan Hi-Link 2010-2012, Universitas Udayana.

Denpasar

Sutanto, R. 2005. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sutedjo, M. M., dan Kartasapoetra, A. G., 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Rinek Cipta, Jakarta.

Nada,I Made, Made Merta, Yohanes Setiyo. 2017. Optimasi Sifat Fisik Tanah di Zone Perakaran untuk Peningkatan Produksi dan

Kualitas Umbi Kentang. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian AGROTECHNO. Vol. 2, No. 1 2017 hal 147-153.

153