Jurnal Manajemen Agribisnis

Vol.10, No.8, Mei 2022

E- ISSN: 2684-7728

Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Beras di Provinsi Bali Tahun 2020

Analysis of Rice Availability and Demand in Bali Province on 2020

Ni Wayan Suarni *)

AKP Madya Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Indonesia

*) Email: wayansuarni437@gmail.com

ABSTRACT

Based on the BPS publication in 2020, Bali Province has the highest rice productivity in Indonesia at 58.49 Quintal per hectare (ha) in 2020 , but is not the largest rice producer in Indonesia. The total population of 4,317,404 people in 2020, this has resulted in large rice consumption in Bali. The purpose of this study was to analyze the availability and need for rice in the province of Bali. The method used in this research is literature study and secondary data analysis. The results of the analysis in this study indicate that Tabanan and Gianyar regencies are rice centers in Bali because they are supported by geographical conditions that can grow optimal rice commodities, in addition to the social conditions of the people who are more engaged in agriculture in rice commodities. This is evidenced by Tabanan Regency contributing 26.84% and Gianyar Regency 17.22% of the total rice production in Bali, including 2 districts with a surplus of rice namely Tabanan Regency and Gianyar Regency and 6 districts namely Badung, Jembrana, Buleleng, Bangli, Klungkung., Karangasem and 1 city of Denpasar with rice deficit.

Keywords : Availability, Need, Rice, Surplus, Deficit

ABSTRAK

Berdasarkan publikasi BPS pada tahun 2020, Provinsi Bali produktivitas tertinggi di Indonesia sebesar 58,49 Kuintal per hektar (ha) pada tahun 2020, tetapi bukanlah penghasil padi terbesar di Indonesia. Jumlah penduduk 4.317.404 jiwa tahun 2020, hal ini mengakibatkan konsumsi beras di Bali juga besar. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis ketersediaan dan kebutuhan beras di Provinsi Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode studi literatur dan analisis data sekunder. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tabanan dan Gianyar merupakan sentra beras di Bali karena didukung dengan kondisi geografis dapat menanam komoditas padi yang optimal, selain faktor kondisi sosial masyarakat yang lebih menekuni pertanian pada komoditas padi. Hal ini dibuktikan Kabupaten Tabanan menyumbangkan 26,84 % dan Kabupaten Gianyar 17,22 % dari total keseluruhan produksi padi di Bali termasuk 2 kabupaten yang surplus beras yaitu Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Gianyar serta 6 kabupaten yaitu Kabupaten Badung, Jembrana, Buleleng, Bangli, Klungkung, Karangasem dan 1 kota Denpasar defisit beras.

Kata kunci : Ketersediaan, Kebutuhan, Beras, Surplus, Defisit

PENDAHULUAN

Peran pemerintah sangat penting dalam rangka menghadirkan pembangunan perekonomian di Indonesia, jika dilihat dari keterpurukan situasi ekonomi yang menimpa Negara Indonesia pada tahun 1997 dan Covid 19 telah memberikan dampak yang signifikan kepada seluruh akar pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Afriyenis, 2016).

Problem terkait kondisi pangan hari ini masih menjadi perhatian utama dunia,permasalahan kerawanan pangan tidak hanya terjadi di negara-negara tertinggal, dan negara-negara berkembang, namun juga negara-negara yang saat ini sudah memiliki pertumbuhan yang pesat dalam segala bidang kehidupan juga mengalaminya (Conceição, dkk., 2016; Hapsari dan Rudiarto, 2017; Yeoh, dkk., 2014). Pada dasarnya ketahanan pangan ingin menghadirkan ketersediaan pangan, stabilitas harga pangan, serta keterjangkauan pangan (Soekirman, 2000; Wado, dkk., 2019).

Konsep ketahanan pangan dalam penyediaan pangan memiliki beberapa aspek.kebutuhan rumah tangga. Halini menyangkut dengan ketahanan pangannasional, individu dan komunitas semua mahluk hidup yang membutuhkan pangan baik dari wilayah manapun, tetapi kebutuhan pokok setiap rumah tangga memang berbeda, untuk wilayah Indonesia barat mengkonsumsi beras,dan Indonesia timur mengkonsumsi sagu. Aspek produksi pangan setiap daerah juga harus diperhatikan, mulai dari pengelolaan, produksi, pengemasan, serta distribusi.

Dalam mewujudkan ketahanan negara diperlukan ketahanan dalam kestabilan ekonomi, pemerintah, masyarakat, ketersediaan akses distribusi, serta ketahanan pangan yangdiwujudkan dengan penjaminan ketersediaan dan kemampuan akses setiap rumah tangga untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (Arlius, dkk., 2017; Janti, 2016).

Pelayanan publik yang diberikanoleh pemerintah dalam rangka memberikanpelayanan kepada masyarakat juga diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur penghubung antar wilayah serta infrastruktur penunjang pengembangan agraria di wilayah tersebut, dengan pembangunan infrastruktur yang memadai dapat memberikan kemudahan masyarakat dalam mengakses ketersediaan pangan dan meningkatkan indeks keterjangkauan terhadap pangan yang tersedia.

Bali bukanlah penghasil padi terbesar di Indonesia, meskipun produktivitasnya tertinggi, Produktivitas padi di Bali sebesar 58,49 kuintal per hektare (ha) pada 2020. Artinya, setiap satu ha lahan sawah di Bali mampu menghasilkan 58,49 kuintal gabah kering giling (GKG). Angka tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia (BPS, 2020).

Provinsi Bali adalah sebuah provinsi di Indonesia yang ibu kotanya terletak di Kota Denpasar. Provinsi Bali pata tahun 2020 penduduk 4.317.404 Jiwa dengan Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8 kabupaten, 1 kotamadya, 55 kecamatan, dan 701 desa/kelurahan. Menurut BPS Indonesia pada tahun 2018, Provinsi Bali dengan persentase penduduk dan jenis kelamin menduduki peringkat ke-17 di Indonesia. Selain jumlah penduduk yang besar, Bali adalah primadona pariwisata Indonesia yang sudah terkenal di seluruh dunia. Selain terkenal dengan keindahan alam, terutama pantainya, Bali juga terkenal dengan kesenian dan budayanya yang unik dan menarik.

Berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), perekonomian Bali sebagian besar mengandalkan dan berbasis pada pertanian baik dari segi output dan kesempatan kerja. Sekarang, industri pariwisata menjadi objek pendapatan terbesar bagi Bali. Hasilnya, Bali menjadi salah satu daerah terkaya di Indonesia. Pada tahun 2003, sekitar 80% perekonomian Bali bergantung pada industri pariwisata. Pada akhir Juni 2011, nonperforming loan dari semua bank di Bali adalah 2,23%, lebih rendah dari rata-rata nonperforming loan industri perbankan Indonesia (sekitar 5%). Ekonomi, bagaimanapun menderita secara signifikan sebagai akibat dari Bom Bali 2002 dan Bom Bali 2005 serta Covid-19.

Melemahnya sendi-sendi perekonomian Bali akibat pariwisata dan alih fungsi lahan akibat pembangunan juga berpengaruh ketergantungan dalam hal pangan.FAO pada tahun 2006 menyebutkan bahwa dimensi ketahanan pangan terdiri atas empat aspek, yaitu food availability, food access, utilization dan stability. Keempat indikator tersebut menggambarkan beberapa aspek yang terdiri atas penawaran, permintaan, distribusi, pemanfaatan serta usaha menjaga stabilitas harga dari komoditas pangan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan meliputi beberapa aspek, yaitu: (1) kecukupan ketersediaan pangan, (2) keterjangkauan akses terhadap pangan, (3) pemanfaatan pangan dan (4) stabilitas harga pangan.

Permasalahan ini menjadi isu starategis sampai saat ini, salah satu faktor penyebab masalah ketahanan pangan adalah alih fungsi lahan. Seperti yang dikemukakan oleh Suratha (2014) bahwa alih fungsi lahan merupakan konsekuensi dari akibat meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk serta pembangunan yang lainnya. Alih fungsi lahan pada kenyataannya membawa banyak masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yangmasih produktif.

Alih fungsi lahan juga memberikan dampak pada aspek sosial ekonomi karena berpengaruh pada pendapatan dan kesempatan kerja yaitu masyarakat melakukan peralihan mata pencaharian atau yang disebut sebagai transformasi sosial ekonomi (Haris, Subagio, Santoso, & Wahyuningtyas, 2018).

Arah perubahan pemanfaatan lahan yang dilakukan petani dapat dilihat dari dua bentuk perubahan yaitu perubahan lahan secara vertkal dan perubahan lahan secara horisontal. Perubahan pemanfaatan lahan sawah secara vertikal merupakan perubahan bentuk intensitas dari pemanfaatan lahan sawah karena adanya perubahan pola tanam dari berbagai jenis komoditi yang diusahakan, frekuensi penanaman dan diversifikasi tanaman. Perubahan pemanfaatan lahan sawah secara horisontal pada dasarnya diarahkan untuk merubah lahan sawah menjadi lahan non pertanian (Atmaja, 2015).

Frazelle (2002) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan aktivitas logistik, transportasi merupakan aspek yang meghabiskan dana paling besar, danbiasanya menghabiskan 46,5% -58,6% dari keseluruhan biaya logistik. Pada dasarnya biaya transportasi ini dapat ditekan dengan mengatur sistem transportasi yang ideal.

Laksmiari (2017) menyebutkan bahwa provinsi di Indonesia masih melakukan kegiatan impor beras yang cukup besar hingga tahun 2015, padahal ketersediaan beras di Indonesia seharusnya dapat memenuhi kebutuhan beras jika distribusinya seimbang. Hal ini memicu permasalahan lain dalam halketahanan beras di Indonesia, sepertitidak meratanya persebaran beras. untuk itu diperlukan analisis ketersediaan dan kebutuhan beras pada masing-masing provinsi di Indonesia. Demikian pula dengan di Provinsi Bali, dengan luas lahan sawah yang dimiliki Bali semakin sempit dan produksi padi tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat Bali, Bali masih mendatangkan beras dari Provinsi lain. Hasil analisis ini dapat menjadi dasar dalam penentuan jalur distribusi beras yang optimal pada tahapan selanjutnya.

Informasi ketersediaan dan kebutuhan beras sudah sering kita dapatkan dari berbagai sumber, namun analisis yang berfokus pada analisis secara ilmiah berdasarkan hasil riset dari data statistik pertaian masih sangat jarang dilakukan sehingga penelitian terhadap ketersediaan dan kebutuhan beras berbasis analisa data statistik menjadi sangat penting dilakukan dalam perkembangan saat ini.

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu adanya analisis yang dilakukan secara komprehensif. Analisis inibermaksud untuk melihat bagaimana ketersediaan dan kebutuhan beras di Provinsi Bali pada tahun 2020.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menyajikan pembahasan berdasarkan data-data yang disediakan oleh instansi yang berwenang, sehingga teknik analisis yang digunakan ialah analsisis deskriptif kuantitatif menggunakan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menginventarisasi dokumen-dokumen dari Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali yaitu Analisis Bahan Pokok (BPS, 2018).

Ketersediaan Beras

Untuk indikator ketersediaan beras, penulis menggunakan persamaan yang terlampir pada Peraturan MenteriPertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/&/2010 tentangPedoman Sistem Kewaspadaan Pangandan Gizi. Persamaan yang digunakanialah sebagai berikut:

Perhitungan susut gabah:

Benih (s) = P x 0,9%

Pakan ternak (f) = P x 0,44%

Tercecer (w) = P x 5,4%

Perhitungan susut gabah bertujuan untuk mengkonversi perubahan padi (gabah) menjadi beras, konversi ini berdasarkannilai susut akibat digunakan sebagai pakan ternak, padi yang tercecer saat proses penggilingan, dan penggunaan sebagian padi sebagai benih untuk penanaman selanjutnya.

Selanjutnya dilakukan Perhitungan produksi netto beras (Rnet) dengan menggunakan persamaan beriukut:

Pnet = P - (s + f + w)

Rnet = c x Pnet)

Keterangan:

P : Produksi Padi

Pnett : Produksi netto padi (kg)

Rnett : Produksi netto beras (kg)

C : 0,561 (kg)

Kebutuhan Beras

Analisis kebutuhan beras dilakukandengan mengolah data statistik berupa jumlah penduduk masing-masing provinsi dan konversi kebutuhan konsumsi beraspenduduk di Indonesia per hari per kapita, yaitu sebesar 1,571 kg/orang/minggu. Persamaan yang digunakan ialah sebagai berikut:

KB = JP Prov x C x M

Keterangan:

KB      : Kebutuhan beras

JP Prov  : Jumlah penduduk masing-masing Kabupaten/kota

C        : Rata-rata pengeluaran untuk konsumsi beras per orang perbulan (7,32 kg)

M       : Jumlah bulan dalam setahun (12 bulan)

Hasil dari perhitungan dengan menggunakan persamaan tersebut kemudian dikurangi, sehingga akan dapat diketahui kategori wilayah surplus atau defisit beras.

HASIL DAN PEMBAHASAN KETERSEDIAAN BERAS

Analisis ketersediaan beras dilakukan dengan menghitung produksi beras di Provinsi Bali pada tahun 2020. Produksi beras di Bali diperoleh dengan memperhatikan nilai susut gabah, sehingga menghasilkan produksi netto beras pada masing-masing Kabupaten/Kota di Bali. Selain itu faktor pengeluaran/ekspor dan pemasukan/impor beras juga menjadi indikator dalam menentukan ketersediaan beras.

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa Kabupaten Tabanan yang memiliki produksi padi paling tinggi ialah Provinsi Bali dengan jumlah 80.144 ton. Jumlah ini menyumbangkan sebesar 26,84 % dari total keseluruhan produksi padi di Bali, Kabupaten Gianyar sebesar 17,22 % dari total keseluruhan produksi padi di Bali, sedangkan untuk kabupaten/kota yang memiliki jumlah produksi padi terendah di Bali adalah Kabupaten Bangli dengan jumlah 7.645 ton pada tahun 2020. Jumlah ini menyumbangkan hanya sebesar 2,56% dari total produksi padis ecara keseluruhan di Provinsi Bali.

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Tabanan merupakan sentra produksi padi di Bali. Hal ini didukung dengankondisi geografis di Kabupaten Tabanan yang memungkinkan untuk menanam komoditas padi dengan optimal, selain itu faktor kondisi sosial masyarakat di Kabupaten Tabanan yang lebih menekuni pertanian pada komoditas padi menyebabkan luas lahan sawah di Tabanan juga lebih luas dibandingkan dengan Kabupaten lain di Bali.

Kabupaten Gianyar merupakan sentra produksi padi kedua di Bali. Kabupaten Gianyar dengan luas panen 15.157 ha memungkinkan untuk menanam komoditas padi dengan optimal didukung kondisi geografis, yang produksi 51.157 ton beras. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widjono (2006) pada dasarnya wilayah memiliki potensi geografis yang sangat besar untuk dijadikan sebagai sentra padi nasional, namun hal yang menjadi faktor penghambat hal ini dapat terwujud ialah padi bukan menjadi komoditas utama wilayah dan kondisi adat serta budaya masyarakat setempat yang tidak umum akan komoditas padi. Penelitian yang dilakukan oleh Suratha (2015) menyebutkan bahwa krisis petani di Indonesia juga dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Hal ini disebabkan oleh jumlah petani yang semakin berkurang akan mengurangi penggarap lahan pertanian. Grigg (1974)menyebutkan

bahwa di Indonesia pada awalnya ditanam di daerah pegunungan atau lembah-lembah di Pulau Jawa. Untuk daerah pesisir, penanaman padi belum dilakukan karena pada daerah pesisir pada saat itu sering dilanda banjir. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa selain faktor geografis yang sesuai, faktor sosial dan budaya masyarakat juga mempengaruhi tinggi atau rendahnya produksi padi lokal di masing-masing Provinsi di Indonesia, salah satunya ialah regenerasi petani.

Data produksi padi yang bersumber dari BPS ini kemudian dilakukan analisis untuk mencari berat netto produksi beras yang ada di Bali yang menghasilkan data pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 1. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi menurut kabupaten/kota di Provinsi Bali, tahun-2020

No

Kabupaten/Kota

Luas Panen (ha)

Produksi ton

Produktivitas (kuintal/ha)

Produksi Padi Setara Beras (ton)

1

Jembrana

9 001

47 178

52.41

26 469

2

Tabanan

25 270

142 846

56.53

80 144

3

Badung

13 629

83 587

61.33

46 897

4

Gianyar

15 157

91 623

60.45

51 405

5

Klungkung

3 768

25 765

68.38

14 455

6

Bangli

2 737

13 626

49.78

7 645

7

Karangasem

6 979

41 010

58.76

23 009

8

Buleleng

11 289

62 836

55.66

35 254

9

Denpasar

3 152

23 697

75.18

13 295

Provinsi Bali

90 982

532 168

58.49

298 573

Kabupaten/Kota

Gambar 1. Luas panen, dan produksi padi di Provinsi Bali, tahun 2020

Sumber: Data Sekunder, diolah 2021

Kebutuhan Beras

Jumlah penduduk di kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng cukup tinggi mengakibatkan kebutuhan beras di Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng sangat besar, hal ini dapat dilihat pada data BPS Provinsi Bali. Untuk mengetahui tingkat kebutuhan beras di Bali, diperlukan perhitungan jumlah penduduk dan konversi kebutuhan beras perkapita.

Berdasarkan data BPS Provinsi Bali (2020) diperoleh data bahwa secara keseluruhan jumlah penduduk di Bali Indonesia pada tahun 2018 tercatat sejumlah 4.309.237 jiwa. Jumlah ini semakin bertambah pada tiap tahunnya, tercatat bahwa pada tahun 2019 umlah penduduk di Bali meningkat menjadi 4.362.045 jiwa. Berdasarkan data tersebut kemudian jumlah penduduk pada tahun 2020 berdasarkan sensus Pensusuk berdasarkan data yang dirilis oleh badan pusat statistik, sehingga diperoleh jumlah penduduk di Provinsi Bali pada tahun 2020 ialah sebesar 4.317.404 jiwa. Untuk mengetahui lebih detail terkait jumlah penduduk pada tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 3. Jumlah penduduk yang besar akan dapat mempengaruhi kebutuhan beras di suatu wilayah. Informasi terkait kebutuhan beras masing-masing Kabupaten di Provinsi Bali dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar memiliki kebutuhan beraspaling besar disbanding dengan Kabupaten yang lainnya. Jumlah kebutuhan beras Kabupaten Buleleng 69.553 ton ialah sebesar. Kabupaten kedua di Kota Denpasar yang memiliki jumlah kebutuhan beras terbesar ialah Kabupaten , yaitu sebanyak 63.712 ton.

Hasil penelitian Suratha (2014) menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang semakin meningkat ternyata tidak hanya mempengaruhi jumlah kebutuhan pangan, namun juga dapat mempengaruhi ketersediaan, dimana jumlah penduduk yang semakin bertambah akan meningkatkan kebutuhan lahan pemukiman, hal ini dapat menyebabkan peningkatan alih fungsi lahan pertanian yang pada akhirnya dapat mengurangi luas lahan dan produksi komoditas pangan.

Tabel 2. Kebutuhan beras tahun 2020

No

Kabupaten/ Kota

Proyeksi Penduduk

Kebutuhan

Beras Perkapita pertahun

Kebutuhan Beras Per ton

1

Jembrana

317.064

87.84

27.851

2

Tabanan

461.630

87.84

40.550

3

Badung

548.191

87.84

48.153

4

Gianyar

515.344

87.84

45.268

5

Klungkung

206.925

87.84

18.176

6

Bangli

258.721

87.84

22.726

7

Karangasem

492.402

87.84

43.253

8

Buleleng

791.813

87.84

69.553

9

Denpasar

725.314

87.84

63.712

Provinsi Bali

4.317.404

379.241

Sumber: Data Sekunder, diolah 2021

Berdasarkan Tabel 2. dapat disimpulkan bahwa sebagian 3 kabupaten di Provinsi Bali memiliki klasifikasi kebutuhan beras sedang. Kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi kebutuhan beras tinggi 4 kabupaten dan sangat tinggi hanya 2 Kabupaten terdapat Kabupaten Buleleleng dan Kota Denpasar.

Kondisi ini menunjukan bahwa tingkat ketimpangan kebutuhan beras antar kabupaten di Bali. Kota Denpasar memiliki kebutuhan kebutuhan beras paling besar. Hal ini di dorong oleh kondisi Kota Denpasar yang menjadi berbagai pusat kegiatan maupun pusat pemerintahan di Provinsi Bali, sehingga penduduk di Bali mayoritas lebih terkonsentrasi di kota Denpasar yang menyebabkan kebutuhanpangan berasnya juga sangat tinggi.

Konsentrasi penduduk di kota Denpasar tentu akan menambah kebutuhan akan lahan untuk pemukiman, pendidikan maupun fasilitas umum lainnya. Hal ini tentu akan berpotensi untuk mengurangi lahan pertanian termasuk sawah di Kota Denpasar. Menurut Teori Malthus 17661834 terdapat hubungan antara pertumbuhan jumlah penduduk dan ketersediaan pangan. Menurut teori tersebut pertumbuhan akan mengikuti deret ukur, sedangkan ketersediaan pangan akan mengikuti deret hitung. Pada jangka waktu tertentu berdasarkan teori Malthus, maka ketersediaan pangan suatu saat akan sulit mengimbangi kebutuhan pangan akibat pertumbuhan penduduk yang besar. Teori ini tentu memiliki beberapa kelemahan, diantaranya ialah mengabaikan peran teknologi yang mampu meningkatkan produksi pangan dalam hal ini ialah beras secara signifikan dalam waktu yang lebih singkat.

Keseimbangan Neraca Beras di Provinsi Bali

Keseimbangan neraca beras diperoleh dengan mengurangi jumlah produksi total beras yang telah digabungkan dengan stok dan kegiatan ekspor impor dan jumlah konsumsi/kebutuhan beras pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Bali. Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat bahwa Kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi sebagai wilayah surplus relatif berimbang dengan kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi defisit beras.

Tabel 3. Analisis neraca beras di Provinsi Bali tahun 2020

No

Kabupaten/Kota

Produksi Padi Setara Beras (ton)

Kebutuhan

Beras Per ton

Neraca (ton)

Keterangan

1

Jembrana

26 469

7.851

(1.382)

Defisit

2

Tabanan

80 144

40.550

39.594

Surplus

3

Badung

46 897

48.153

(1.256 )

Defisit

4

Gianyar

51 405

45.268

6.137

Surplus

5

Klungkung

14 455

18.176

(3.721)

Defisit

6

Bangli

7 645

22.726

(15.081)

Defisit

7

Karangasem

23 009

43.253

(20.244)

Defisit

8

Buleleng

35 254

69.553

(34.299)

Defisit

9

Denpasar

13 295

63.712

(50.417)

Defisit

Provinsi Bali

298 573

379.241

(80.668)

Defisit

Sumber: Data Sekunder, diolah 2021

Jumlah Kabupaten/Kota yang surplus beras tercatat sebanyak 2 kabupaten atau sebesar 22,22%, sedangkan kabupaten yang defisit beras tercatat sebanyak 6 kabupaten dan 1 kota sebesar 77,78%. Beberapa kabupaten yang tergolong klasifikasi surplus beras terbesar di Provinsi Bali ialah Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Gianyar dan Kabupaten yang difisit rendah adalah Kabupaten Jembrana dan Badung. Sedangkan yang difisit paling tinggi adalah Kota Denpasar. Secara umum, kabupaten Tabanan dan Gianyar yang termasuk kedalam kategori surplus beras di karenakan kondisi alam yang mendukung media tumbuh padi, selain itu dengan luas daerah yang cukup besar juga mendukung ketersediaan dan akses air untuk irigasiyang cukup dibandingkan dengan kabupaten yang lain. Informasi wilayah surplus dan defisit beras di Bali dapat disajikan dalam bentuk informasi spasial berupa peta yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Perkembangan produksi beras, kebutuhan, neraca per kabupaten/kota di Provinsi Bali, tahun 2020

Sumber: Data Sekunder, diolah 2021

Kondisi menarik kebutuhan beras di Kota Denpasar, dimana jumlah penduduk banyak di Provinsi Bali terkonsentrasi di daerah tersebut. Jumlah penduduk yang besar, biasanya akan memberikan tekanan kepada lingkungan yang mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 dimana luas lahan sawah di Provinsi Bali relatif menurun dari tahun 2010-2015.

Gambar 3. Luas lahan sawah (ha) di Provinsi Bali (Sumber. BPS, 2014) Sumber: Data Sekunder, diolah 2021

Gambar 4. Produksi padi di Provinsi Bali (ton) (Sumber.BPS, 2015) Sumber: Data Sekunder, diolah 2021

Berdasarkan uraian tersebut dapat diidentifikasi salah satu kelemahan teori Malthus. Hal ini menunjukan bahwa terdapat faktor lainnya yang dapat mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk, salah satunya adalah teknologi. Robinson (dalam Singgih, 2001) mengungkapkan bahwa tingginya fertilitas pada negara berkembang akan menekan pada tingkat pendapatan pada masa yang akan datang, dimana akan muncul beberapa fenomena seperti increasing returns dari produksi pertanian dankebutuhan tenaga kerja, perubahan teknologi secara radikal dan jumlah tabungan yang ada pada masyarakat semakin mengecil.

KESIMPULAN

Jumlah penduduk yang semakin meningkat di Provinsi Bali mempengaruhi jumlah kebutuhan pangan, dimana jumlah penduduk yang semakin bertambah akan meningkatkan kebutuhan lahan pemukiman, hal ini dapat menyebabkan peningkatan alih fungsi lahan pertanian yang pada akhirnya dapat mengurangi luas lahan dan produksi komoditas pangan. Kondisi geografis di Provinsi Bali yaitu Kabupaten Tabanan, Gianyar yang sebagian besar cocok sebagai lahan sawah menyebabkan ketersediaan beraswilayah tersebut surplus beras. Di Provinsi Bali 2 Kabupaten yang surplus beras 22,22 % dan 6 kabupaten dan 1 kota Denpasar yang difisit (77,78%). Mengetahui wilayah surplus dan wilayah defisit beras akan mengetahui bagaimana posisi ketersediaan beras, sehingga pada tahap selalnjutnya dapat dilakukan pemodelan distribusi beras yang ideal dengan biaya optimum agar dapat menyeimbangkan keseimbangan pasokan beras pada setiap kabupaten/kota.

Hasil analisa data ketersediaan dan kebutuhan terhadap beras dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan menjadi dasar dalam penentuan jalur distribusi beras yang optimal pada tahapan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Afriyenis, W., 2016, Perspektif Ekonomi Islam terhadap Utang Luar Negeri Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jurnal Kajian Ekoomi Islam, 1(1), hh. 1–16.

Arlius, A., Sudargo, T., dan Subejo, S., 2017, Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga Dengan Status Gizi Balita (Studi Di Desa Palasari Dan Puskesmas Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang). Jurnal Ketahanan Nasional, 23(3), h. 359.

Atmaja, D. M. (2015). Dampak Strategi Petani Dalam Merubah Arah Pemanfaatan Lahan Sawah Terhadap Kenyamanan Hidup di Kota Denpasar. Media Komunikasi Geografi, 16(1), 01–13.

BPS (2014). Data Lahan Sawah per Provinsi di Indonesia, Jakarta: Badan Pusat Statistik

BPS Provinsi Bali (2020). Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Per kabupaten/Kota Provinsi Bali.

Conceição, P., Levine, S., Lipton, M., dan Warren-Rodríguez, A., 2016, Toward a food secure future: Ensuring food security for sustainable human development in Sub-Saharan Africa. Food Policy, 60, hh. 1–9.

Frazelle, E. (2002). Supply Chain Strategy. New York: McGraw-Hill.

Grigg, D. B. (1974). Agricultural Population and Economic Development. Journal of Tijdshrift Voor Economische En Sociale Geografie, 65(6), 67–74.

Haris, A., Subagio, L. B., Santoso, F., & Wahyuningtyas, N. (2018). Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Karangwidoro Kecamatan Dau Kabupaten Malang. MediaKomunikasi Geografi, 19(1), 114–120.

Janti, G. I.,  2016, Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Guna

Memperkokoh Ketahanan Pangan Wilayah (Studi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal Ketahanan Nasional, 22(1), hh. 1–21.

Laksmiari, W. (2017). Keseimbangan Neraca Beras di Indonesia Tahun 2011-2015. Jurnal Bumi Indonesia, 6(3), 1–10.

Soekirman, S., 2000, Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat. In Dirjen Pendidikan Tinggi DepartemenPendidikan Nasional.

Singgih, D. S. (2001). Pangan, Penduduk dan Teknologi Pertanian Sebuah Perdebatan Teoritis. Jurnal Masyarakat Kebudayaan Dan Politik, 14, 43–54.

Suratha, I. K. (2014). Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Ketahanan Pangan. Media Komunikasi Geografi, 15(2), 52–61.

Suratha, I. K. (2015). Krisis Petani Berdampak pada Ketahanan Pangan di Indonesia. Media Komunikasi Geografi, 16(1).

Suratha, I. K. (2015). Krisis Petani Berdampak pada Ketahanan Pangan di Indonesia. Media Komunikasi Geografi, 16(1).

Wado, L.A.L., Sudargo, T., dan Armawi, A., 2019, Sosio Demografi Ketahanan Pangan Keluarga Dalam Hubungannya Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 1 – 5 Tahun (Studi Di Wilayah KerjaPuskesmas Bandarharjo Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kotamadya Semarang, Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Ketahanan Nasional, 25(2), hh. 178–203.

Suarni,... 1599