Jurnal Manajemen Agribisnis

Vol.7, No.1, Mei 2019

E- ISSN: 2684-7728

DISTRIBUSI NILAI TAMBAH BERAS ORGANIK DENGAN PENDEKATAN KONSEP RANTAI NILAI

(Studi Kasus Kelompok Tani Somya Pertiwi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali)

Distribution of Value Added on Organic Rice using the Value Chain Concept (Case Study of Somya Pertiwi Farmer Group in Tabanan Regency, Bali Province)

Regina Vrischika Harnadi, I GAA Ambarawati,

I GA Oka Suryawardani

Program Studi Magister Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Email: reginavrischika@gmail.com

ABSTRACT

Consumer awareness on food safety and organic product consumption has open up an opportunity for producers of organic products. The Somya Pertiwi Farmer Group is one of the organic rice cultivator that has been certified by LeSos. The purpose of this study is to analyze the flow of actors, products, financial, and information, as well as the distribution of value added in the value chain of organic rice agribusiness produce by Somya Pertiwi. This research was conducted along the value chain using forward and backward approach from the focus point of the research which is the Somya Pertiwi Farmer Group. The research shows that the actors’ flow devided by main and supporting actors. The product flows from upstream to downstream shows the transformation of 43,900 kg of dried organic red rice grain become 20,852 kg of organic red rice and 76,700 kg of dry organic white rice grain become 36,432 kg of organic white rice. The flow of information moves both from upstream, downstream, as well as from supporting institutions such as the Somya Pertiwi Farmer Group, LeSos, and also the Internal Control System. The most balanced value-added distribution is in the organic red rice value chain through UD Sari Bulan Utama with 41%-46% added value at the farmer level, 20%-23% at the processing unit, 19%-22% at the wholesaler level, and 9%-19% at the reseller level. Increase in the percentage of sales at the farmer level to increase farmers’ income. Processing unit can increase organic white rice value added by increasing the retail price. Government need to establish supervision at the wholesaler and retailer level.

Keywords: value chain, organic rice, value added distribution

ABSTRAK

Kesadaran konsumen akan keamanan pangan dan konsumsi produk organik telah membuka peluang bagi produsen produk organik. Somya Pertiwi Farmer Group adalah salah satu pembudidaya padi organik yang telah disertifikasi oleh LeSos. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis aliran pelaku, produk, keuangan, dan informasi, serta distribusi nilai tambah dalam rantai nilai produksi agribisnis beras organik oleh Somya Pertiwi. Penelitian ini dilakukan di sepanjang rantai nilai menggunakan pendekatan maju dan mundur dari titik fokus penelitian yaitu Kelompok Tani Somya Pertiwi. Penelitian menunjukkan bahwa aliran aktor dibagi oleh aktor utama dan aktor pendukung. Aliran produk dari hulu ke hilir menunjukkan transformasi 43.900 kg beras merah organik kering menjadi 20.852 kg beras merah organik dan 76.700 kg beras putih organik kering menjadi 36.432 kg beras putih organik. Aliran informasi bergerak baik dari hulu, hilir, maupun dari lembaga pendukung seperti Kelompok Tani Somya Pertiwi, LeSos, dan juga Sistem Pengendalian Internal. Distribusi nilai tambah yang paling seimbang adalah dalam rantai nilai beras merah organik melalui UD Sari Bulan Utama dengan nilai tambah 41% -46% di tingkat petani, 20% -23% di unit pemrosesan, 19% -22% di tingkat grosir, dan 9% -19% di tingkat pengecer. Peningkatan persentase penjualan di tingkat petani untuk meningkatkan pendapatan petani. Unit pengolahan dapat meningkatkan nilai tambah beras putih organik dengan menaikkan harga eceran. Pemerintah perlu menetapkan pengawasan di tingkat grosir dan pengecer.

Kata kunci: rantai nilai, beras organik, distribusi nilai tambah

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Isu keamanan pangan merupakan isu yang sedang mendapat sorotan di berbagai negara beberapa tahun belakangan ini. Berbagai penelitian mengenai keamanan pangan telah dilakukan, salah satu solusi yang dianggap paling sesuai dengan permasalahan ini adalah melalui penerapan pertanian organik. Konsumen di seluruh dunia mengakui bahwa produk organik jauh lebih unggul dan bermanfaat dibandingkan produk pertanian konvensional (Byrne dkk, 1991). Gaya hidup masyarakat kini lebih berfokus pada pola hidup sehat yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian yang dikonsumsi harus beratribut aman (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes), dan ramah lingkungan (eco-labeling attributes) (Badan Litbang Pertanian, 2002).

Menurut IFOAM (2008), pertanian organik adalah sebuah sistem yang menopang kesehatan tanah, ekosistem dan manusia di dalamnya. Penerapan pertanian organik padi di Indonesia telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Provinsi Bali. Bali terkenal dengan budidaya padi sawah dengan teknologi subak. Bali merupakan salah satu daerah yang aktif menyuarakan pertanian padi organik. Produk padi di Provinsi Bali sendiri sudah cukup banyak yang mendapatkan sertifikasi nasional, salah satunya dari LeSOS (Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman).

Salah satu produk padi pertama yang mengantongi sertifikat organik LeSOS di Provinsi Bali adalah beras merah organik yang diproduksi oleh Kelompok Tani Somya Pertiwi, Banjar Wangaya Betan, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Perolehan sertifikat organik menjadi salah satu peluang sekaligus ancaman bagi keberlanjutan pasar beras produksi Kelompok Tani Somya Pertiwi. Adanya sertifikasi ini mampu mengangkat posisi tawar beras organik jika dibandingkan saat memproduksi beras konvensional. Permintaan beras organik saat ini belum dapat dipenuhi seluruhnya mengingat terbatasnya luas lahan pertanian organik dan produksi beras organik yang cenderung tetap.

Meskipun telah berkembang lebih luas, nyatanya konsumen masih belum mampu mengerti perbedaan beras organik yang disertifikasi dengan beras yang mengaku organik. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi organik pada beras tidak mempengaruhi kepercayaan konsumen secara langsung. Keadaan tersebut dapat menimbulkan ancaman munculnya kecurangan pada tingkat pengolahan dan pemasaran produk beras organik. Harga jual beras organik bersertifikat yang nilainya lebih tinggi 30-80% dari harga jual beras konvensional pada tingkat konsumen akhir nyatanya tidak dapat mencerminkan secara utuh pendapatan para pelaku yang tergabung dalam agribisnis secara keseluruhan. Seringkali masing-masing pelaku mengeluhkan tidak seimbangnya pendapatan yang diterima dengan kewajiban yang dilakukan. Petani wajib melakukan seluruh kegiatan usaha taninya dibawah pendampingan Internal Control System (ICS).

Pengawasan yang dilakukan oleh ICS sendiri hanyalah ketat di tingkat budidaya dan pengolahan, sedangkan di tingkat pemasaran masih belum tersedia pengawasan yang memadai. Jika dikemudian hari ditemukan kecurangan maka kredibilitas beras organik produksi Kelompok Tani Somya Pertiwi akan dipertanyakan, hal ini tidak hanya akan berdampak pada pelaku di tingkat pemasaran namun seluruh tingkatan pelaku pada rantai nilai agribisnis beras organik ini. Analisis distribusi nilai tambah pada setiap tingkatan pelaku dalam agribisnis beras organik hasil produksi Kelompok Tani Somya Pertiwi akan menunjukkan bagaimana keseimbangan antara hak yang diterima dan kewajiban yang dilakukan di masing-masing tingkatan pelaku. Analisis rantai nilai yang digunakan akan memperlihatkan keadaan pelaku beserta hubungan yang terjadi antar pelaku.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis alur finansial, pelaku, informasi, dan produk pada rantai nilai agribisnis beras organik produksi Kelompok Tani Somya Pertiwi, (2) menganalisis distribusi nilai tambah yang dinikmati oleh masing-masing pelaku kegiatan yang berada pada rantai nilai agribisnis beras organik produksi Somya Pertiwi.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sepanjang rantai nilai agribisnis beras organik yang terdiri dari berbagai tingkatan pelaku. Pelaku usaha utama yang diteliti adalah Kelompok Tani Somya Pertiwi, Banjar Wangaya Betan, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Waktu pengumpulan data dan penyusunan dilakukan dari bulan Maret hingga Juni 2018.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. . Data kualitatif dalam penelitian ini berupa gambaran umum lokasi dan objek penelitian, serta aliran rantai nilai agribisnis beras organik. Data kuantitatif dalam penelitian ini, antara lain biaya operasional, biaya investasi, biaya transaksi, biaya peraturan, volume produksi, dan tenaga kerja.

Data primer didapatkan dari wawancara terhadap informan dan responden yang sesuai dengan ruang lingkup kebutuhan penelitian serta pengamatan secara langsung terhadap keadaan selama penelitian (observasi). Data sekunder didapatkan dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Dinas Pertanian Provini Bali, situs-situs resmi lembaga yang mendukung, serta studi kepustakaan.

Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pelaku agribisnis yang ikut andil dalam rantai agribisnis beras organik produksi Kelompok Tani Somya Pertiwi. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah dengan

prosedur purposif dan snow ball untuk penentuan informan, serta teknik acak sederhana untuk penentuan responden. Informan kunci yang dipilih sebanyak 5 orang dan responden ditentukan sebanyak 30 orang.

Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan melalui metode (1) Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. (2) Observasi pada pelaksanaan kegiatan di masing tingkat pelaku. (3) Dokumentasi terkait informasi mengenai sertifikat organik.

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis distribusi nilai tambah pada berbagai tingkatan pelaku yang dilakukan berdasarkan pedoman analisis rantai nilai oleh ACIAR (2012).

Analisis Deskriptif Kualitatif

Seluruh rangkaian rantai nilai dideskripsikan dengan sebelumnya melalui pemetaaan rantai nilai. Pemetaan rantai nilai dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut (1) Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang terdapat pada rantai nilai beras organik. (2) Mengidentifikasi dan memetakan pelaku-pelaku yang terlibat berdasarkan tingkatan kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah pada produk beras organik. (3) Pemetaan alur produk dan volume beras organik. (4) Pemetaan alur pengetahuan dan informasi produk beras organik. (5) Memetakan pertambahan harga pada pelaku di berbagai tingkatan kegiatan pengolahan hingga pemasaran beras organik. (6) Memetakan layanan usaha pada rantai nilai beras organik (7) Pemetaan hambatan dan potensi solusi dalam kegiatan pada rantai nilai beras organik. (8) Penyusunan matriks rantai nilai

Analisis Biaya dan Marjin

Analisis biaya dan marjin dapat dilakukan setelah pemetaan rantai nilai dilakukan dan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  • 1)    Perhitungan biaya dilakukan di seluruh tingkatan pelaku agribisnis beras organik. Biaya-biaya yang akan diperhitungkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

  • 2)    Menghitung penerimaan pada masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai nilai beras organik di Provinsi Bali. Secara matematis, penerimaan dirumuskan sebagai berikut:

TR = P x Q

Keterangan:

R = Penerimaan Total (Rp/tahun)

P = Harga jual rata-rata (Rp/kg)

Q = Jumlah penjualan produk per tahun (kg/tahun)

  • 3)    Menghitung rasio keuangan pada masing-masing tingkatan pelaku dalam rantai nilai beras organik, mencakup pendapatan bersih, pendapatan bersih per produk, margin laba bersih, dan titik impas.

  •    Perhitungan laba dilakukan pada masing-masing tingkatan pelaku agribisnis beras organik di Bali. Secara matematis, penerimaan dirumuskan sebagai berikut:

TI=TR-TC

Keterangan:

TI (Total Income) = Pendapatan keseluruhan (Rp)

TR = Penerimaan keseluruhan (Rp)

TC = Biaya keseluruhan (biaya variabel dan biaya tetap) (Rp)

  •    Perhitungan ini dibagi pada masing-masing tingkatan pelaku agribisnis beras organik di Bali.  Secara matematis,

pendapatan  bersih  per unit produk

dirumuskan sebagai berikut:

I = TI/Q Keterangan:

I (Income) = Pendapatan per unit produk (Rp/kg)

TI = Pendapatan bersih/laba (Rp)

Q = Keseluruhan jumlah produk yang terjual (Rp)

  • 4)    Analisis posisi keuangan relatif para pelaku dalam rantai nilai dengan membandingkan nilai tambah antar pelaku. Nilai tambah atau margin dihitung dengan mengurangi harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima.

Tabel 1. Biaya-Biaya pada Rantai Nilai Beras Organik di Provinsi Bali

Biaya Operasional           Biaya         Biaya Peraturan

Biaya       Biaya Tetap    Transaksi    Formal Informal

Variabel

Biaya

Asuransi

Biaya

Perijin

Penga

sediaan

Utilitas

informasi

an

wasan

yang dijual

Sewa

terkait

usaha

Upah yang

Perbaikan

lembaga

Pajak

terkait

dan

penun

Sertifi

dengan

pemeliha

jang

kasi

produksi

raan

orga

Pengeluaran

Depresiasi

nik

lain yang

Biaya

terkait

pemasaran

dengan

produksi,

termasuk

kerugian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Padi Organik

Usia petani responden berkisar antara 32-69 tahun dengan rata-rata adalah 53 tahun. Data ini menggambarkan bahwa usia petani responden kebanyakan tergolong pada usia produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa petani responden dalam usaha budidaya padi organik memiliki potensi mengelola kegiatan usaha taninya dengan produktifitas yang

optimal. Sebagian besar petrani merupakan tamatan SMP, sederajat. Sebanyak 33,3% petani responden belum memenuhi kriteria pendidikan minimal di Indonesia yaitu minimal 9 tahun atau setingkat SMP. Hal ini mempengaruhi bagaimana pandangan petani terhadap perubahan kegiatan pertanian menjadi organik dan keputusan penjualan padi terkait dengan kondisi penawaran, tingkat harga, adat istiadat maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan aspek teknis. Luas lahan yang digunakan petani responden untuk kegiatan budidaya padi organik berkisar antara 0,3-1,2 Ha dengan rata-rata lahan seluas 0,59 Ha. Produksi rata-rata petani untuk jenis padi beras putih organik adalah 5,66 ton/Ha, sedangkan untuk padi beras merah organik adalah 5,01 ton/Ha. Jika dibandingkan dengan produksi padi Provinsi Bali tahun 2015 yang nilainya adalah 6,21 ton/Ha (BPS, 2018), terlihat bahwa produksi padi organik volumenya lebih rendah.

Analisis Rantai Nilai Beras Organik

Rantai nilai produk adalah seluruh aktifitas dari penyediaan bahan baku hingga penanganan purna jual, juga mencakup hubungan dengan pemasok (supplier linkage) dan hubungan dengan konsumen (consumer linkage). Gambar 1 menunjukkan rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi secara lengkap dan menyeluruh. Aktifitas dan pelaku yang terdapat pada masing-masing komoditas berbeda satu sama lain. Pada rantai nilai beras organik terdapat berbagai aktifitas yang dimulai budidaya pertanian, pengolahan gabah menjadi beras, hingga pengemasan. Peran masing-masing pemangku kepentingan berkaitan erat dengan aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan agribisnis beras organik. Petani padi organik selaku produsen; Unit Pengolahan Somya Pertiwi selaku pengolah; UD Sari Bulan Utama selaku pedagang besar; Satvika Bhoga, Healthy Choice Indonesia, Tiara Group, Carrefour, Coco Group, Lotte dan Grand Lucky selaku pedagang pengecer.

Keterangan:

  • •    Aliran informasi

  • •    Aliran produk

  • •    Aliran finansial

Alur produk pada rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi dimulai dari petani yang berperan dalam kegiatan budidaya padi organik dan berakhir pada konsumen rumah tangga seperti yang digambarkan pada Gambar 2. Alur produk mengalir dari hulu ke hilir menunjukkan perpindahan 43.900 kg gabah kering panen merah dan 76.700 kg gabah kering panen putih menjadi 20.852 kg beras organik merah dan 36.432 kg beras organik putih ke tangan konsumen. Sedangkan alur finansial bergerak dari hilir ke hulu menunjukkan perbedaan harga dari di masing-masing tingkat pelaku. Alur informasi sendiri bergerak baik dari hulu, hilir, juga dari lembaga penunjang seperti Kelompok Tani Somya Pertiwi, LeSos, dan juga Internal Control System.

Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan orientasi nilai tambah yang dikemukakan oleh Fearne, et al (2009). Pertukaran informasi yang terjadi antar satu pelaku dengan tingkatan pelaku lainnya tidak terbatas pada informasi transaksional saja. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pertukaran informasi lebih dari sekedar pertukaran informasi harga, namun juga informasi berupa pengetahuan dan teknologi sepanjang rantai nilai. Hubungan antar pelaku yang tercipta seluruhnya bersifat kolaborasi yang mempertimbangkan nilai-nilai pada tingkatan pelaku, komunikasi, resiko yang semua dituangkan secara kontraktual. Peningkatan harga yang muncul pada tingkatan pelaku tidak semata-mata disebabkan oleh penambahan biaya saja. Pertambahan nilai yang muncul pada berbagai tingkatan pelaku akibat preferensi konsumen akhir menjadi faktor utama terjadinya peningkatan harga. Hal ini tercermin dari perbedaan harga di tingkat pengecer yang disesuaikan dengan segmen pasar pengecer itu sendiri.

Gambar 1. Rantai Nilai Beras Organik Produksi Somya Pertiwi


Pengshlan Benf iZtgmib: S LniΛra. Peitivi


Gambar 2. Alur Produk per tahun pada Rantai Nilai Beras Organik Produksi Somya Pertiwi


Distribusi Nilai Tambah Beras Organik

Nilai tambah dapat dilihat dari perubahan nilai (harga penjualan) dari satu tingkatan pelaku terhadap pelaku lainnya, akan tetapi hanya akan memberikan sedikit sekali informasi mengenai biaya dan laba yang diperoleh (ACIAR, 2012). Terdapat 13 sub-rantai dalam satu rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi yang terdiri dari 7 rantai beras merah organik dan 6 rantai beras putih organik. Penggambaran rantai dibagi menjadi 5 yaitu pada beras merah organik yang melalui UD Sari Bulan Utama, Satvika Bhoga, dan Healthy Choice Indonesia, serta pada beras putih organik melalui UD Sari Bulan Utama dan Satvika Bhoga.

Berdasarkan analisis distribusi nilai tambah pada rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi terlihat bahwa petani yang mendapat nilai tambah tertinggi di

hampir seluruh sub-rantai nilai Persentase nilai tambah tertinggi sebesar 67% dinikmati petani padi organik pada rantai nilai beras putih organik melalui UD Sari Bulan Utama (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan petani cukup terjamin dengan melakukan budidaya beras organik. Namun jika dilihat dari pendapatan rata-rata petani per tahun yang hanya sebesar Rp 14.087.793 atau setara Rp 1.173.982 per bulan, nilai tersebut masih tergolong rendah. Kecilnya pendapatan per tahun petani disebabkan kepemilikan lahan sawah petani yang rata-rata kurang dari 1 ha. Selain itu proporsi penjualan hasil panen juga mempengaruhi nilai tersebut. Petani beras organik pada rantai nilai ini hanya menjual rata-rata 80% dari hasil panen beras putih dan 40% dari hasil panen beras merah mereka. Ini berkaitan dengan kewajiban masyarakat mengisi lumbung padi mereka sesuai dengan peraturan subak.

Margin

Rp 14.040

Rp 1.500

Rp 3.460

Rp 2.000 – Rp 6.000

% Margin

56-67%

6-7%          14-16%

10-24%

Produksi

• Petani Padi Organik

Pengolah

• Unit Pengolahan Somya Pertiwi

Pedagang besar

• UD Sari Bulan Utama

Pengecer

  • •    Tiara Group

  • •    Carrefour

  • •    Coco Group

  • •    Lotte

  • •    Grand Lucky

Konsumen

Rp 14.040

Rp 15.540

Rp 19.000

Rp 21.000 –

Rp 25.000

Harga Penjualan

Rp 6.627

Rp 14.040

Rp 15.540

Rp 19.000

Biaya

-

Rp 1.061

Rp 1.665

-

Biaya Tambahan

Rp 7.413

Rp 439

Rp 1.795

Rp 2.000 –

Rp 6.000

Laba

71%

11%

18%

0%

% Biaya Tambahan

47-64%

3-4%

11-15%

17-38%

% Laba

Gambar 3. Distribusi nilai tambah 1 kilogram beras putih dalam rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi melalui UD Sari Bulan Utama

Masyarakat khususnya petani tidak diperkenankan membiarkan lumbung kosong karena beras merah selain merupakan bahan pangan pokok juga bagian dari ritual keagamaan.Lumbung padi merupakan simbol kesejahteraan masyarakat di daerah Penebel dan sekitarnya. Gabah juga diperlakukan sebagai benda berharga yang dapat dijual sewaktu-waktu saat membutuhkan uang. Petani merasa aman saat lumbung mereka terisi dengan cukup, sehingga seringkali hasil penjualan pada saat panen saja tidak cukup digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan petani. Pendapatan petani dari budidaya beras organik dapat ditingkatkan jika proporsi penjualan ditingkatkan.

Berbeda dengan petani, Unit Pengolahan Somya Pertiwi berada pada posisi tengah dalam persentasi nilai tambah yang dinikmati. Biaya, laba, dan nilai tambah yang dinikmati unit pengolahan cenderung berimbang. Walaupun pada beberapa sub-rantai nilai terutama untuk beras putih, laba yang dinikmati unit pengolahan

sangatlah rendah karena biaya yang dikeluarkan cukup tinggi. Rendemen beras yang rendah juga menjadi penyebab lain rendahnya nilai tambah yang diperoleh unit pengolahan. Meskipun nilai tambah yang dinikmati oleh unit pengolahan tergolong rendah, namun tiap tahunnya unit pengolahan memperoleh Rp 408.203.794 laba dari penjualan sebanyak 163,504 ton beras organik putih dan 90,754 ton beras organik merah. Pemindahan aktivitas dapat menjadi alternatif menekan biaya, aktivitas perontokan dan pengeringan dapat dipindahkan ke tingkat petani. Selain itu, unit pengolahan juga dapat menjual menir yang dihasilkan dari proses sortasi beras sebagai pakan ternak ayam.

Berdasarkan hasil penelitian, distribusi nilai tambah yang paling seimbang ada pada rantai nilai beras merah organik yang melaui UD Sari Bulan Utama dengan persentase nilai tambah sebesar 41-46% di tingkat petani, 20-23% di tingkat unit pengolah, 19-22% di tingkat pedagang besar, dan 9-19% di tingkat pengecer (Gambar

  • 4). Biaya yang dikeluarkan UD Sari Bulan Utama selaku pedagang besar hasilnya sepadan dengan laba dan nilai tambah yang didapatkan. UD Sari Bulan Utama tidak bertujuan mencari laba per unit yang tinggi, namun lebih ke kuantitas penjualan yang tinggi. Sebagai perusahaan

yang telah lama berkecimpung dalam distribusi beras, jaringan kerjasama UD Sari Bulan Utama tidak dapat diragukan lagi. UD Sari Bulan Utama berharap jika nantinya petani dan unit pengolahan dapat meningkatkan produksi mereka.

Margin

Rp 14.700

Rp 7.300        Rp 7.000

Rp 3.000 – Rp 7.000

% Margin

41-46%

20-23%         19-22%

9-19%

Produksi

• Petani Padi Organik

Pengolah

• Unit Pengolahan Somya Pertiwi

Pedagang        P

besar              

• UD Sari Bulan         

Utama               •

engecer

Tiara Group Carrefour

Coco Group Lotte

Grand Lucky

Konsumen

Rp 14.700

Rp 22.000

Rp 29.000

Rp 29.000 –

Rp 49.000

Harga Penjualan

Rp 10.057

Rp 14.700

Rp 22.000

Rp 29.000

Biaya

-

Rp 2.313

Rp 1.500

-

Biaya Tambahan

Rp 4.643

Rp 4.987

Rp 5.500

Rp 3.000 –

Rp 7.000

Laba

73%

17%

11%

0%

% Biaya Tambahan

21-26%

23-28%

25-30%

17-32%

% Laba

Gambar 4. Distribusi nilai tambah 1 kilogram beras merah dalam rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi melalui UD Sari Bulan Utama

Pedagang pengecer adalah pihak yang mendapatkan rata-rata laba tertinggi karena tidak melakukan pengorbanan biaya apapun kecuali pada pedagang pengecer Healthy Choice Indonesia. Pengecer hanya perlu melakukan kegiatan pemasaran tanpa melakukan fungsi fisik maupun fasilitas apapun. Meskipun aktivitas yang dilakukan pedagang pengecer cenderung minim, namun pedagang pengecer adalah pelaku yang langsung berhubungan dengan konsumen akhir. Hal ini menyebabkan pedagang pengecer haruslah peka terhadap perubahan permintaan konsumen dan disampaikan kepada pelaku di tingkatan sebelumnya. Kemampuan berinteraksi dengan konsumen akhir inilah yang menjadi salah satu faktor penentu kekuatan rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi.

Fitter dan Kaplinsky (2001) meyakini bahwa kesejahteraan petani akan lebih baik jika mereka mampu menghasilkan produk yang dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi di tingkat pengecer modern namun juga diperlukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa perubahan harga tersebut dinikmati hingga tingkat produsen. Hal tersebut sesuai dengan temuan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa nilai tambah yang muncul tidak hanya dinikmati di tingkat hilir namun juga hingga ke hulu yaitu petani. Bahkan secara umum petani menikmati nilai tambah tertinggi jika dibandingkan dengan pelaku lainnya pada rantai nilai.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian disimpulkan bahwa: rantai nilai beras organik produksi Somya Pertiwi melibatkan petani padi organik selaku produsen, sedangkan Unit Pengolahan Somya Pertiwi selaku pengolah, UD Sari Bulan Utama selaku pedagang besar, Satvika Bhoga, Healthy Choice Indonesia, Tiara Group, Carrefour, Coco Group, Lotte dan Grand Lucky selaku pedagang pengecer; nilai tambah tertinggi sebagian besar dinikmati oleh petani padi organik dimana hanya 1 dari 13 sub-rantai nilai yang menunjukkan pengecer mendapatkan nilai tambah tertinggi. Persentase nilai tambah tertinggi dinikmati petani padi organik pada rantai nilai beras putih organik melalui UD Sari Bulan Utama dan distribusi nilai tambah yang paling seimbang ada pada rantai nilai beras merah organik yang melaui UD Sari Bulan Utama.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang ada maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: petani padi organik dapat meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan persentase penjualan padi organic; unit pengolahan dapat meningkatkan harga jual beras organik putih untuk meningkatkan laba dari kegiatan pengolahan yang dilakukan; dan diperlukan adanya pengawasan dari pihak pemerintah di tingkat pedagang besar maupun pengecer melalui operasi pasar yang dilaksanakan secara rutin tiap bulan.

Ucapan Terima Kasih

Simpulan                                                  Penulis mengucapkan terimakasih kepada pengurus

Kelompok Tani Somya Pertiwi, seluruh informan dan

responden, serta dosen Fakultas Pertanian Universitas

Udayana yang turut serta membantu dalam penyelesaian penelitian.

observed in other agricultural-based value chains. IDS Bulletin, Vol. 32(3) pp. 69–82.


Daftar Pustaka

Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). 2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak Pada Kaum Miskin: Buku Pegangan Bagi Praktisi Analisis Rantai Nilai. ACIAR Monograph No.8. Jakarta: Trabos.

Byrne, P.J., Toensmeyer, U. C., German, C. L., and Muller, H. R.. 1991. Analysis of Consumer

Attitudes toward Organik Produce and Purchase Likelihood. Journal of Food Distribution Research. P. 49-62.

Badan Litbang Pertanian. 2002. Prospek Pertanian Organik di Indonesia. (online). [diakses pada 12 Oktober 2017] Availabe from: www.litbang.pertanian.go.id.

Fearne, A., Soosay, C., Stinger, R., Umberger, W., Dent, B., Camilleri, C., Henderson, D., Mugford, A. 2009. Sustainable value chain analysis: a case study of South Australian wine. Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 17 (1): p.68-77.

Fitter, R., and Kaplinsky, R. 2001. Who gains from product rents as the coffee market becomes more differentiated?: A value-chain analysis

IFOAM. 2008. Definition of Organic Agriculture. (online).  [diakses pada 12 Oktober 2017]

Availabe from:   www.ifoam.bio/pt/organic-

landmarks/definition-organic-agriculture.

Regina, et al., Distribusi...|70