Vol. 8 No. 01 April 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Keabsahan Pembelian Properti Dalam Perkawinan Tanpa Persetujuan Pasangan: Perspektif Hukum Indonesia

Ngurah Aldi Ramaputra1, Putri Triari Dwijayanthi2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: ramaputrangurahaldi@gmail.com

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: putritriari@unud.ac.id

Info Artikel

Masuk : 2 September 2022 Diterima : 26 April 2023

Terbit : 28 April 2023

Keywords :

Validity; Purchase;

Property; Marriage;

Indonesia


Kata kunci:

Keabsahan; Pembelian; Properti; Perkawinan; Indonesia

Corresponding Author: Ngurah Aldi Ramaputra, E-mail: ramaputrangurahaldi@g mail.com

DOI :

10.24843/AC.2023.v08.i0

1.p15


Abstract

The purpose of this study was to examine the validity of buying property in a marital relationship without the consent of the spouse and to analyze the legal consequences that arise if property buying and selling activities are carried out without the consent of the spouse who is still bound by a legal marriage relationship. This was normative legal research using several approaches, namely statutory approach, conceptual approach and analytical approach. The study indicated that in the event that the husband of wife uses the shared asset to buy property, then it must be carried out with the consent of both parties. In the event that the agreement is carried out with only the approval of one party, then it becomes null and void, bear in mind that the objective element as a legitimate requirement for the agreement is not fulfilled.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji mengenai keabsahan pembelian properti dalam hubungan perkawinan tanpa persetujuan dari pasangan dan menganalisa akibat hukum yang timbul apabila kegiatan jual-beli properti dilakukan tanpa persetujuan pasangan yang masih terikat hubungan perkawinan yang sah. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan analisis. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam pembelian properti dengan menggunakan harta bersama, maka suami atau istri harus mendapatkan persetujuan dari pasangan. Dalam hal tidak ada izin atau persetujuan dari salah satu pihak atas perbuatan hukum yang dilakukan atas harta bersama, maka perbuatan tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi unsur objektif sebagai syarat sahnya perjanjian.

  • I.    Pendahuluan

Perkawinan adalah hubungan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan isteri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia.1 Hal ini merupakan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) yaitu dalam ketentuan Pasal 28 (b) ayat (1) yang menjamin hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.2 Merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, suatu perkawinan dipandang sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.3 Terhadap hubungan perkawinan yang muncul diantara seorang pria dan seorang wanita memiliki akibat-akibat hukum yang mempengaruhi keturunannya kelak ataupun terhadap harta kekayaan yang terkait dengan perkawinan tersebut.

Perikatan dalam hubungan perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri sebagai satu kesatuan yang utuh.4 Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam satu rumah, tetapi juga membawa konsekuensi hukum bagi suami dan isteri.5 Secara umum, pengaturan terkait dengan perkawinan di Indonesia tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU Perkawinan), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU No. 16 Tahun 2019) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya KUH Perdata).

Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perkawinan dipahami bahwa pelaksanaan perkawinan pada mulanya adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan disebutkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan. Dalam praktiknya ditemukan berbagai permasalahan berkaitan dengan hubungan perkawinan, termasuk juga permasalahan berkaitan dengan harta kekayaan. Mengingat bahwa harta kekayaan merupakan salah satu faktor penting dalam suatu

ikatan perkawinan yang dapat menggerakkan suatu kehidupan perkawinan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.6

Dalam hukum perdata Indonesia dikenal beberapa istilah terkait dengan harta kekayaan dalam perkawinan, antara lain harta bawaan, harta yang diperoleh dari warisan dan harga bersama.7 Ketiga istilah mengenai harta dalam perkawinan memiliki perbedaan dari sisi perolehan dan juga status kepemilikannya. Salah satu jenis harta yang sering menjadi sengketa diantara pasangan suami dan isteri adalah berkaitan dengan harta bersama. Secara sederhana, harta bersama adalah harta yang diperoleh di dalam perkawinan atau harta yang didapat selama perkawinan. Harta bersama merupakan hasil dari hubungan hukum kekeluargaan dan hukum kekayaan yang terjalin sangat erat, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.

Pada prinsipnya dalam hubungan perkawinan, perolehan harta yang terjadi setelah perkawinan secara otomatis menjadi harta bersama, kecuali diperjanjikan lain.8 Adapun akibat hukumnya adalah bahwa pihak suami ataupun isteri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta bersama atas persetujuan dari pasangannya. Salah satu kasus yang terjadi di masyarakat adalah pembelian properti dalam hubungan perkawinan dengan menggunakan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan. Properti yang diperoleh tersebut bahkan dihibahkan kepada orang lain tanpa sepengetahuan pasangan. Hal ini dilakukan secara sepihak, padahal tidak terdapat prenuptial agreement ataupun postnuptial agreement dalam hubungan perkawinan tersebut. Kondisi ini kemudian memunculkan pertanyaan berkaitan dengan keabsahan pembelian properti dengan harta bersama dalam hubungan perkawinan tanpa persetujuan dari pasangan. Pertanyaan lain yang muncul adalah mengenai akibat hukum yang timbul dari kegiatan jual-beli properti tanpa persetujuan pasangan dalam hubungan perkawinan.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan kajian mengenai keabsahan pembelian properti dalam hubungan perkawinan tanpa persetujuan dari pasangan. Selain itu, penting untuk menganalisa akibat hukum yang timbul apabila kegiatan jual-beli properti dilakukan tanpa persetujuan pasangan yang masih terikat hubungan perkawinan yang sah.

Studi terdahulu dilakukan oleh Supratman Matheos pada tahun 2018 yang mengkaji mengenai “Kedudukan Harta Benda Dalam Perkawinan yang Telah diputus karena Perceraian Menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.9 Adapun fokus kajian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

ketentuan hukum terkait dengan alasan melakukan perceraian bagi suami dan isteri serta kedudukan harta benda dalam perkawinan yang telah diputus karena perceraian berdasarkan ketentuan dalam KUH Perdata dan UU Perkawinan. Pada tahun 2021, I Made Arya Dwisana dan Made Gde Subha Karma Resen mengkaji mengenai “Pembuktian Harta Bersama Dalam Perceraian Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin di Indonesia”.10 Adapun fokus kajian pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami kedudukan harta bersama dan juga sistem pembuktian terkait dengan harta bersama dalam perceraian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin.

Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, tampak adanya kesamaan dari segi topik, yakni sama-sama mengkaji mengenai harta bersama dalam hubungan perkawinan, namun dengan fokus kajian yang berbeda. Penelitian ini akan fokus mengkaji mengenai keabsahan pembelian properti dalam hubungan perkawinan tanpa persetujuan dari pasangan. Penelitian ini juga menganalisa akibat hukum yang timbul apabila kegiatan jual-beli properti dilakukan tanpa persetujuan pasangan yang masih terikat hubungan perkawinan yang sah.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji mengenai keabsahan pembelian properti dalam hubungan perkawinan tanpa persetujuan dari pasangan. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisa akibat hukum yang timbul apabila kegiatan jual-beli properti dilakukan tanpa persetujuan pasangan yang masih terikat hubungan perkawinan yang sah.

Untuk mewujudkan tujuan penelitian, tulisan ini akan membahas substansi secara sistematis berkaitan dengan fokus permasalahan yang dikaji. Pertama akan dibahas mengenai keabsahan pembelian properti dalam hubungan perkawinan tanpa persetujuan dari pasangan. Kedua, tulisan akan membahas mengenai akibat hukum yang timbul apabila kegiatan jual-beli properti dilakukan tanpa persetujuan pasangan yang masih terikat hubungan perkawinan yang sah.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan yakni, pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), serta analytical approach. Penelitian ini mengkaji perundang-undangan yang berkaitan dengan keabsahan pembelian properti dalam hubungan perkawinan tanpa persetujuan dari pasangan serta akibat hukum yang timbul apabila kegiatan jual-beli properti dilakukan tanpa persetujuan pasangan yang masih terikat hubungan perkawinan yang sah. Adapun peraturan perundang-undangan yang digunakan ialah KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu dikaji juga berupa

yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung No. Reg. : 2691 PK/Pdt/1996 serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 701K/Pdt/1997.

Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif. Merujuk pada pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif dipandang sebagai suatu proses yang bertujuan untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin hukum dalam upaya menjawab permasalahan hukum yang sedang terjadi.11

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Keabsahan Pembelian Properti dalam Hubungan Perkawinan Tanpa Persetujuan dari Pasangan

Perkawinan adalah hubungan hukum yang terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri untuk tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.12 Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 UU Perkawinan ditentukan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” Perkawinan merupakan perikatan yang timbul antara seorang pria dan seorang wanita yang secara langsung melahirkan hak dan kewajiban bagi pasangan suami atau isteri. Secara konseptual, UU Perkawinan mengenal 3 jenis harta sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan, yaitu:13Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan; Harta bawaan, yaitu harta yang diperoleh dari masing-masing suami dan isteri; dan Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 35 UU Perkawinan dipahami bahwa harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang tidak diperjanjikan lain oleh para pihak.14 Suami atau isteri memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaan dan harta benda, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan.15 Hal berbeda berlaku pada harta bersama.

Secara konsep, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.16 Artinya, harta bersama adalah harta kekayaan yang didapat atas usaha suami atau isteri secara bersama-sama atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.17

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 35 UU Perkawinan dipahami bahwa objek dari harta bersama hanya terbatas pada harta yang diperoleh selama perkawinan.18 Pemikiran berbeda dikemukakan oleh M. Yahya Harahap yang memandang bahwa objek harta bersama tidak sesederhana dalam ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan. Merujuk pada pemikiran Harahap, ruang lingkup harta bersama adalah sebagai berikut:19

  • a.    Harta yang dibeli selama perkawinan, artinya setiap barang yang dibeli selama ikatan perkawinan secara otomatis menjadi objek harta bersama sekalipun harta atau barang tersebut terdaftar atas nama salah satu suami atau isteri;

  • b.    Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan, artinya dalam hal harta itu dipelihara atau diusahakan dan telah dialihnamakan ke atas nama adik atau kerabat, selama harta tersebut dapat dibuktikan diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap sebagai harta bersama;

  • c.    Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama, artinya harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah perceraian dianggap sebagai harta bersama apabila biaya pembangunan atau pembelian sesuatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama suami dan isteri selama ikatan perkawinan;

  • d.    Penghasilan harta bersama dan harta bawaan, artinya penghasilan yang tumbuh dari harta bersama dengan sendirinya menjadi objek harta bersama, akan tetapi bukan hanya penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, tetapi juga penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi. Dalam hal ini, yang menjadi objek dari harta bersama adalah penghasilan yang tumbuh, sedangkan barang pokoknya tidak boleh diganggu gugat.

Terhadap harta bersama, suami atau isteri hanya dapat melakukan perbuatan hukum atas persetujuan dari kedua belah pihak.20 Ketentuan ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa:“Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.” Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan dapat dipahami bahwa suami atau isteri tidak dibenarkan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta

bersama secara sendiri-sendiri atau tanpa persetujuan dari pasangannya, kecuali diperjanjikan lain.21 Hal ini diterapkan mengingat perolehan atas harta bersama didapat selama hubungan perkawinan berlangsung sehingga baik suami atau isteri memiliki hak dan kewajiban atas harta bersama.

Dalam hal suami atau isteri melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama misalnya dengan membeli properti menggunakan harta bersama tetapi tanpa persetujuan dari pasangannya, maka hal ini telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan. Merujuk pada Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2691 K/Pdt/1996 tertanggal 18 September 1998 dipahami bahwa hal tersebut merupakan perjanjian yang tidak sah menurut hukum.22 Putusan tersebut mengandung kaidah hukum bahwa: “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan suami isteri, sehingga perjanjian lisan menjual tanah bersama yang dilakukan oleh suami dan belum disetujui isteri adalah perjanjian yang tidak sah menurut hukum.”

Ketentuan senada juga diatur dalam yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerangkan bahwa jual-beli aset, yaitu tanah, yang merupakan bentuk perbuatan hukum terhadap harta bersama yang dilakukan oleh suami tanpa disertai dengan persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Hal ini tertuang dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/PDT/1997 tertanggal 24 Maret 1999.23 Merujuk pada Putusan Mahkamah Agung dipahami bahwa: “Jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak isteri atau suami, harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum.”

Merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut dipahami bahwa setiap perbuatan hukum terhadap harta bersama harus mendapatkan persetujuan dari pasangan, termasuk dan tidak terbatas pada pembelian properti dalam hubungan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan. Perbuatan hukum terhadap harta bersama yang dilakukan tanpa persetujuan dari pasangan adalah tidak sah dan batal demi hukum.

Pengaturan senada juga diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang secara spesifik mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian.24 Merujuk pada ketentuan tersebut, terdapat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:25

  • 1.    Kesepakatan para pihak;

  • 2.    Kecakapan;

  • 3.    Mengenai suatu hal tertentu;

  • 4.    Sebab yang halal.

Beranjak dari ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dipahami bahwa suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi keempat syarat tersebut. Syarat “kesepakatan dan kecakapan” merupakan syarat subjektif.26 Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan terhadap perjanjian tersebut.27 Perjanjian akan tetap berlaku selama tidak dibatalkan oleh hakim.28 Sedangkan, syarat “suatu hal tertentu dan sebab yang halal” merupakan syarat objektif.29 Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian batal demi hukum, artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan (null and void).30

Adapun salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah “sebab yang halal”, artinya isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus menggambarkan tujuan yang dikehendaki. Syarat “sebab yang halal” juga menegaskan bahwa isi perjanjian harus sesuai dengan undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Hal ini diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata sebagai berikut: “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.” Perbuatan hukum terhadap harta bersama berupa pembelian aset berupa properti yang dilakukan dalam suatu hubungan perkawinan tanpa adanya persetujuan dari pasangan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan membuat syarah sahnya perjanjian yaitu “sebab yang halal” menjadi tidak terpenuhi.

Adapun akibat dari tidak terpenuhinya unsur tersebut menyebabkan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata sebagai berikut: “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.” Tidak adanya izin dari pasangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama juga menunjukkan tidak adanya kewenangan bagi suami atau isteri untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap harta bersama. Perjanjian yang dilakukan olrh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang berakibat batal demi hukum.

Adapun keabsahan suatu perjanjian nantinya akan memberikan kepastian hukum terkait pembelian properti dalam hubungan perkawinan. Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi yaitu Mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal yang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Serta Kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.31

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa terhadap harta bersama, suami atau isteri hanya dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya. Dalam hal tidak ada izin atau persetujuan dari salah satu pihak atas perbuatan hukum yang dilakukan atas harta bersama adalah tidak sah karena tidak memenuhi unsur objektif syarat sahnya perjanjian, maka perbuatan tersebut batal demi hukum. Dengan demikian, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan keadaan dikembalikan seperti semula.

  • 3.2.    Akibat Hukum yang Timbul Apabila Kegiatan Jual-Beli Properti Dilakukan Tanpa Persetujuan Pasangan

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibatakibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.32

Dalam kegiatan jual-beli properti, pihak penjual properti perlu mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti adanya pembatalan perjanjian jual-beli karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang, kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Bentuk antisipasi yang dapat dilakukan oleh pihak pembeli adalah memastikan identitas dari calon pembeli, termasuk namun tidak terbatas pada identitas dan status perkawinan dari calon pembeli.

Kepastian mengenai status perkawinan calon pembeli sebagai salah satu pihak pihak dalam perjanjian penting untuk diketahui secara jelas. Hal ini berkaitan erat dengan harta kekayaan yang terkait dengan ikatan perkawinan tersebut. Dalam hal calon

pembeli terikat dalam suatu perkawinan tanpa disertai dengan prenuptial agreement atau postnuptial agreement, maka segala perbuatan hukum yang dilakukan olehnya harus mendapat persetujuan dari pasangan.33 Adapun dokumen yang dapat digunakan untuk memastikan hal tersebut, antara lain:

  • a.    Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan isteri;

  • b.    Kartu Keluarga;

  • c.    Akta Perkawinan;

  • d.    Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh suami atau isteri yang berhalangan hadir saat penandatanganan Akta Jual Beli (selanjutnya AJB).

Dalam hal pihak penjual telah memastikan identitas dari calon pembeli dan mengetahui status calon pembeli yang terikat dalam hubungan perkawinan, maka pihak calon pembeli wajib untuk menghadirkan pasangan pada saat penandatanganan AJB atau menyertakan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh pasangannya. Apabila penjual telah mempersyaratkan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh suami atau isteri yang berhalangan hadir saat penandatanganan AJB namun, dikemudian hari ditemukan bahwa pasangan dari suami atau isteri yang melakukan kegiatan jual-beli properti tersebut menyatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari dirinya, maka dapat diduga bahwa suami atau isteri yang merupakan calon pembeli/pembeli properti tersebut patut diduga telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat. Ketentuan mengenai tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya KUHP) yang menjelaskan bahwa“Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbiktan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.” 34

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP dipahami bahwa terdapat beberapa unsur berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan surat. Adapun unsur-unsur tersebut antara lain:35 Dapat menerbitkan hak, contohnya pemalsuan terhadap ijazah; Dapat menerbitkan suatu perjanjian, contohnya pemalsuan terhadap surat perjanjian piutang, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian jual-beli dan sebagainya; Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, contoh pemalsuan terhadap kuitansi; atau Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya pemalsuan terhadap surat keterangan kelahiran.”

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa penting bagi pihak penjual untuk memastikan identitas calon pembeli dalam kegiatan jual-beli properti termasuk namun tidak terbatas pada status perkawinan. Hal ini dilakukan mengingat apabila seorang calon pembeli ternyata terikat pada hubungan perkawinan, maka segala perbuatan hukum yang dilakukan olehnya harus mendapat persetujuan dari pasangan. Apabila perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami atau isteri dalam kegiatan jual-beli properti ternyata dilakukan tanpa persetujuan dari pasangan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Lebih lanjut, dalam hal pihak penjual telah memastikan identitas dari calon pembeli dan pihak calon pembeli tersebut menyertakan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh pasangannya namun, dikemudian hari ditemukan bahwa pasangan dari suami atau isteri yang melakukan kegiatan jual-beli properti tersebut menyatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari dirinya, maka suami atau isteri yang merupakan calon pembeli/pembeli properti tersebut patut diduga telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa terhadap harta bersama, suami atau isteri hanya dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya. Dalam hal tidak ada izin atau persetujuan dari salah satu pihak atas perbuatan hukum yang dilakukan atas harta bersama adalah tidak sah karena tidak memenuhi unsur objektif syarat sahnya perjanjian, maka perbuatan tersebut batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan keadaan dikembalikan seperti semula. Dalam kaitannya dengan kegiatan jual-beli properti, penting bagi pihak penjual untuk memastikan identitas calon pembeli, termasuk namun tidak terbatas pada status perkawinan. Hal ini dilakukan mengingat apabila seorang calon pembeli ternyata terikat pada hubungan perkawinan, maka segala perbuatan hukum yang dilakukan olehnya harus mendapat persetujuan dari pasangan. Apabila perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami atau isteri dalam kegiatan jual-beli properti ternyata dilakukan tanpa persetujuan dari pasangan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Lebih lanjut, dalam hal pihak penjual telah memastikan identitas dari calon pembeli dan pihak calon pembeli tersebut menyertakan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh pasangannya namun, dikemudian hari ditemukan bahwa pasangan dari suami atau isteri yang melakukan kegiatan jual-beli properti tersebut menyatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari dirinya, maka suami atau isteri yang merupakan calon pembeli/pembeli properti tersebut patut diduga telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

ND, M. F., & Achmad, Y. (2013). Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris, Pustaka Pelajar.

Jurnal

Dalimunthe, D. (2017). Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bw). Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu Kesyariahan dan Keperdataan, 3(1), 12-29. DOI : https://doi.org/10.24952/almaqasid.v3i1.1444

Dwisana, I. M. A., & Resen, M. G. S. K. (2021). Pembuktian Harta Bersama Dalam Perceraian Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin di Indonesia. Acta Comitas:    Jurnal    Hukum     Kenotariatan, 6(03),    561-577.     DOI     :

10.24843/AC.2021.v06.i03.p8

Handriyan, H. (2021). Perlindungan Hukum Lesse Terhadap Perjanjian Baku Yang Dibuat Pihak Lessor PT. Orix Indonesia. Law, Development and Justice Review, 4(2), 203-223. DOI : https://doi.org/10.14710/ldjr.v4i2.14967

Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Soumatera Law Review, 2(2), 297-308. DOI: http://doi.org/10.22216/soumlaw.v2i2.4420

Humaira, M., & Ardyanto, N. (2021). Keberlakuan Ketentuan Harta Bersama Dalam Undang-Undang Perkawinan Terhadap Pembeli Yang Beritikad Baik (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 545 PK/PDT/2017). Indonesian Notary, 3(1).

Idrus, M. A. (2017). Keabsahan, Kepastian Hukum Dan Perlindungan Hukum Atas Perwakafan Yang Tidak Tercatat (Studi Kasus Praktek Perwakafan Tanah Di Kecamatan Sukamulia). Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, 5(1). DOI : https://doi.org/10.29303/ius.v5i1.342

Inayatillah, R., Judiasih, S. D., & Afriana, A. (2018). Pertanggungjawaban Suami Isteri Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Harta Bersama Pada Perkawinan Dengan Perjanjian Kawin. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 1(2), 187-203. URL : http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/acta/article/view/168

Islami, I. (2017). Perkawinan di Bawah Tangan (Kawin Siri) dan Akibat Hukumnya. ADIL:       Jurnal       Hukum, 8(1),       69-90.       DOI:

https://doi.org/10.33476/ajl.v8i1.454

Jastrawan, I. D. A. D., Dharma, D. A., & Suyatna, I. N. (2019). Keabsahan Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) Oleh Warga Negara Asing Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Di Indonesia. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 7, 1-15. DOI : https://doi.org/10.24843/KM.2019.v07.i02.p13

Lamatenggo, C. G. (2021). Kajian Yuridis Pemalsuan Surat Sederhana (Pasal 263 KUHP) Dalam Kaitannya Dengan Pemalsuan Akta Otentik (Pasal 264 Ayat (1) Ke 1            KUHP). Lex            Crimen, 10(1).            URL            :

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/32029

Lombogia, A. (2014). Pembebanan Hak Tanggungan Atas Harta Bersama Suami Dan Isteri Dihubungkan Dengan UU No. 1 Tahun 1974. Lex Privatum, 2(3). URL : https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/6161

Mamahit, L. (2013). Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia. Lex Privatum, 1(1). URL : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/1011

Matheos, S. (2018). Kedudukan Harta Benda Dalam Perkawinan Yang Telah Diputus Karena Perceraian Menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974     Tentang     Perkawinan. LEX     CRIMEN, 7(2).     URL     :

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/19604

Prihandini, Y. D. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Atas Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan. Lex Renaissance, 4(2), 354-366. DOI : https://doi.org/10.20885/JLR.vol4.iss2.art9

Rochaeti, E. (2015). Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif. Jurnal Wawasan Yuridika, 28(1), 650-661. DOI: http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v28i1.61

Samudra, D., & Hibar, U. (2021). Studi Komparasi Sahnya Perjanjian Antara Pasal 1320 KUH Perdata Dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Res Justitia:  Jurnal Ilmu Hukum, 1(1),  26-38. DOI :

https://doi.org/10.46306/rj.v1i1.9

Sari, E. N. (2019). Telaah Terhadap Pemenuhan Syarat Subjektif Sahnya Suatu Perjanjian Di Dalam Transaksi Elektronik Yang Dilakukan Anak di Bawah Umur. Jurnal    Poros Hukum    Padjadjaran, 1(1),    118-134.    URL    :

http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/jphp/article/view/236

Sasauw, C. (2015). Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta

Notaris. Lex                 Privatum, 3(1).                 URL                 :

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/7030

Siburian, E. P. (2015). Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Terhadap Harta Warisan dan Kaitannya Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU–VIII/2010 tentang Masalah Anak Luar Kawin. Lex Privatum, 3(3).                               URL                               :

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/8991

Sriono, S. (2016). Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Jurnal Ilmiah  Advokasi, 4(2),  69-80. DOI:

https://doi.org/10.36987/jiad.v4i2.336

Sugiswati, B. (2014). Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat. Perspektif, 19(3), 201-211. DOI: https://doi.org/10.30742/perspektif.v19i3.22

Suratinoyo, T. A. (2018). Sengketa Harta Warisan Yang Belum Dibagi Akibat Perbuatan

Seorang Ahli Waris Yang Menjual Harta Warisan. LEX PRIVATUM, 6(1). URL : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/19429

Tobroni, F. (2018). Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 dan Standar Konstitusional Dispensasi    Perkawinan. Jurnal    Konstitusi, 14(3),    573-600.    DOI    :

https://doi.org/10.31078/jk1436

Triashari, N. W. (2018). Kekuatan Hukum Perseujuan Suami atau Istri yang dibuat di Bawah Tangan. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 500-510. DOI : 10.24843/AC.2018.v03.i03.p09

Waha, F. M. (2013). Penyelesaian Sengketa atas Harta Perkawinan setelah Bercerai. Lex et Societatis, 1(1). DOI: https://doi.org/10.35796/les.v1i1.1310

Wiliam, L. Y. (2018). Harta Bersama Merupakan Hak Kebendaan Sebagai Objek Jaminan Pelunasan Hutang Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang        Perkawinan. Lex        Privatum, 6(1).        URL:

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/19441

Winarno, D. P. (2016). Konsekuensi Yuridis Salinan Akta Notaris Yang Tidak Sama Bunyinya  Dengan Minuta Akta Terhadap Keabsahan Perjanjian. Arena

Hukum, 8(3),                  411-427.                  DOI:

https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2015.00803.6

Zougira, E. M. (2017). Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik Berdasarkan

KUHP. Lex                Crimen, 6(7).                URL:

https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/17244

Tesis atau Disertasi

Nugroho, W. (2018). Urgensi kepemilikan harta benda calon menantu sebagai kesiapan pernikahan perspektif maslahah mursalah: Pandangan masyarakat desa Ngijo kecamatan Karangploso (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara 1974/ No.1, Tambahan Lembaran Negara NO. 3019, LL SETNEG : 26 HLM

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara 2019/NO.186, Tambahan Lembaran Negara NO.6401, JDIH.SETNEG.GO.ID : 4 HLM.

Yurisprudensi

Putusan Mahkamah Agung No. Reg. : 2691 PK/Pdt/1996 Tanggal putusan: 18

September 1998.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 701K/Pdt/1997 Tanggal putusan: 24 Maret 1999

199