Vol. 7 No. 03 Desember 2022

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Perlindungan Konsumen PT. Indonesia Air Asia Terkait Pembatalan Tiket Penerbangan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Shafira Tri Gurnita1

1Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 30 Agustus 2022

Diterima : 02 Desember 2022

Terbit : 21 Desember 2022


Keywords :

Flight Ticket Cancellation;

Consumer Protection Law;

Legal Remedies


Abstract

This study aims to determine the form of protection for PT Indonesia Air Asia passengers who are victims of flight ticket cancellations and legal remedies that can be taken by passengers based on the perspective of consumer protection law. This study uses a normative research method with a statutory approach through access to data that is not limited to books, but also articles and journals, as well as other literature related to the problem under study. The results of the study and the conclusions obtained from this study are that legal protection for consumers of PT Indonesia Air Asia is guaranteed in Article 7 of Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection that consumers are entitled to compensation due to flight ticket cancellations. If this compensation is not carried out, PT Indonesia Air Asia may be subject to administrative sanctions. The settlement efforts that can be done by consumers can be in the form of non-litigation and litigation.

Kata kunci:

Pembatalan Tiket Penerbangan;

Hukum Perlindungan

Konsumen; Upaya Hukum


Corresponding Author:

Shafira Tri Gurnita, E-mail: [email protected]


DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i03.

p3


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan bagi para penumpang PT Indonesia Air Asia yang menjadi korban pembatalan tiket penerbangan dan upaya hukum yang dapat dilakukan para penumpang berdasarkan perspektif hukum perlindungan konsumen. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan melalui akses data yang tidak terbatas pada buku, tetapi juga artikel dan jurnal, serta literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi konsumen PT Indonesia Air Asia dijamin dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa konsumen berhak mendapatkan kompensasi akibat pembatalan tiket penerbangan. Jika ganti kerugian ini tidak dilakukan, maka PT Indonesia Air Asia dapat dijatuhi dengan sanksi administratif. Upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh konsumen dapat dalam bentuk non-litigasi dan litigasi.


  • I.    Pendahuluan

Perusahaan maskapai penerbangan dan penumpangnya saling terikat pada suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum. Kewajiban perusahaan maskapai penerbangan antara lain mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh dan selamat sampai tujuan, memberikan pelayanan yang baik, dan memberikan ganti kerugian apabila terjadi ketidaksesuaian terhadap kewajiban yang diemban. Di lain sisi, kewajiban penumpang adalah membayar biaya pengangkutan, menjaga barang-barang yang dibawa, melaporkan jenis-jenis barang yang di bawah pengawasannya terutama barang-barang yang termasuk kategori berbahaya, dan menaati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh perusahaan maskapai penerbangan.1

Pandemi Covid-19 menyebabkan ekonomi Indonesia melemah yang berdampak salah satunya pada industri penerbangan. Terdapat kebijakan yang mengurangi mobilitas masyarakat sehingga jumlah konsumen yang menggunakan jasa angkutan udara pun menurun. Salah satu pelaku usaha di industri penerbangan yang mengalami kerugian adalah PT Indonesia Air Asia (IAA). Bahkan, sebagian besar pesawat IAA tidak diterbangkan selama setahun terakhir.2

Tidak diterbangkannya pesawat IAA sayangnya berakibat pada tidak dilaksanakannya kewajiban IAA dengan baik, yaitu penginformasian pembatalan penerbangan dan pelayanan penyelesaian pembatalan tersebut. Tony Fernandes, CEO Air Asia Group, menyatakan Air Asia telah memberikan kembali dana ke 1,5 juta konsumen Air Asia dan 2,9 juta konsumen lain menerima pengembalian dana (refund) berbentuk akun kredit Air Asia terkait pembatalan penerbangan yang dikarenakan oleh pandemi. Namun, masih terdapat 450 ribu permintaan refund yang belum dibayarkan.3

Pembatalan penerbangan menyebabkan IAA wajib memenuhi permintaan refund. Namun, pembayaran refund yang tidak dilakukan segera oleh IAA menimbulkan kehebohan di masyarakat. Salah satu penumpang dalam portal berita menjelaskan bahwa penumpang tersebut membeli tiket penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta di bulan Maret tahun 2020 seharga 1,7 juta rupiah. Pihak IAA menjanjikan refund akan diberikan dalam 30 hari tetapi penumpang ini baru mendapatkan pengembalian dana lima bulan setelahnya.4

Penumpang tersebut melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit. Oleh karena itu, diharapkan refund akan dibayarkan ke kartu kredit tersebut. Namun, IAA

memberikan refund melalui akun kredit Air Asia yang tidak dapat diuangkan, sedangkan penumpang tersebut tidak memiliki rencana untuk terbang dalam waktu dekat. Ia sudah mencoba mengonfirmasi kepada pihak IAA melalui telepon tetapi IAA tidak dapat dihubungi.5

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi dalam Natalia, menyatakan permasalahan refund tiket penerbangan berada dalam urutan 5 besar pengaduan terbanyak oleh masyarakat. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan menurunnya aktivitas transportasi udara dan tingkat ekonomi perusahaan maskapai penerbangan. Perusahaan maskapai penerbangan pada akhirnya sulit melakukan refund sebagai bentuk tanggung jawab kepada para penumpang.6 Berdasarkan penjelasan di atas, Penulis memandang bahwa menarik, penting, dan perlu untuk diteliti: 1) bagaimana perlindungan bagi para penumpang PT Indonesia Air Asia yang menjadi korban pembatalan tiket penerbangan; dan 2) bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan para penumpang PT Indonesia Air Asia berdasarkan perspektif hukum perlindungan konsumen.

Tujuan penelitian ini yakni mengetahui dan menganalisis perlindungan bagi para penumpang PT Indonesia Air Asia yang menjadi korban pembatalan tiket penerbangan serta menganalisis upaya hukum yang dapat dilakukan para penumpang PT Indonesia Air Asia berdasarkan perspektif hukum perlindungan konsumen.

Berdasarkan penelusuran ditemukan beberapa penelitian dengan topik yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu penelitian dengan judul “Perlindungan Konsumen Terhadap Proses Refund oleh Perusahaan Maskapai atas Pembatalan Penerbangan di Masa Pandemi Covid-19” oleh Fransiska Natalia yang mendapatkan kesimpulan bahwa pandemi covid-19 dikategorikan sebagai force majeure tetapi tidak menghilangkan tanggung jawab perusahaan maskapai untuk memberikan refund dan refund dalam bentuk voucher dianggap tidak adil.7 Terdapat pula penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Pembatalan Sepihak Penerbitan Tiket Pesawat oleh PT Trinusa Travelindo Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” oleh Dzakiannisa Roskiyasa dan N.G.N Renti Maharaini Kerti, dengan permasalahan yang ditarik kesimpulan apabila Traveloka melakukan pembatalan sepihak atas tiket pesawat maka akan mendapatkan denda sebesar Rp 200.000.000 yang didasarkan pada contractual liability.8 Perbedaan penelitian-penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan adalah bagaimana perlindungan hukum yang harus diterima oleh konsumen, khususnya penumpang PT Indonesia Air Asia, terkait pembatalan tiket penerbangan, termasuk bentuk, proses, dan akibat hukumnya apabila perlindungan hukum tersebut tidak terlaksana, ditambah pula dengan upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh para konsumen.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Penulis melakukan penelitian kepustakaan dengan cara mengkaji norma atau kaidah yang berlaku tekait hukum perlindungan konsumen dalam hal perlindungan dan upaya hukum pada kasus konsumen yang mengalami pembatalan tiket penerbangan. Penelitian dilakukan pada data sekunder dengan bahan-bahan hukum primer dan sekunder seperti hukum positif, dokumen-dokumen, dan hasil penelitian terdahulu. Penelusuran data juga dilakukan melalui media internet yang memiliki literatur atau akses data yang tidak terbatas pada buku, tetapi juga artikel dan jurnal, serta literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik penelitian adalah dengan studi dokumen dan studi kasus menggunakan analisis kualitatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Perlindungan Hukum terhadap Konsumen PT Indonesia Air Asia Terkait Pembatalan Tiket Penerbangan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia telah secara khusus diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999. Hukum perlindungan konsumen menganut beberapa prinsip, antara lain prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kelalaian atau kesalahan, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non-liability), prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability), dan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).9 Dikenal pula liability berdasarkan kontrak, liability berdasarkan produk, tanggung jawab profesional, dan liability bersifat pidana.10

Hukum perlindungan konsumen menganut beberapa asas salah satunya adalah asas kedudukan yang sama antara para pihak (audi et alteram partem). Artinya pengadilan yang memeriksa perkara harus memberikan kedudukan yang seimbang, baik kepada pihak konsumen maupun pelaku usaha, serta keduanya memiliki kesempatan yang sama.11

Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan atas terjadinya pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut dibuat untuk mencegah serta mengurangi penyebaran Covid-19 di Indonesia yang pada akhirnya berpengaruh salah satunya pada

menurunnya jumlah penumpang transportasi umum, termasuk penumpang pesawat terbang.12

Banyak pihak yang dirugikan pada masa pandemi Covid 19, termasuk para pihak dalam industri penerbangan. Selain perusahaan maskapai penerbangan, penumpang atau konsumen juga dirugikan ketika pihak maskapai penerbangan secara mendadak mengganti jadwal penerbangan atau bahkan membatalkan penerbangan. Selain faktor dari maskapai penerbangan, faktor batal terbang lain adalah ketika konsumen ternyata menderita Covid 19.13

Pada Pasal 7 huruf f dan g UU No. 8 Tahun 1999 dijelaskan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah menyerahkan ganti rugi atau kompensasi terhadap suatu kerugian yang disebabkan oleh pemanfaatan produk dan/atau jasa ditawarkan. Ditambah lagi, pelaku usaha juga harus mengganti kerugian apabila objek usaha yang dipakai oleh konsumen tidak seperti yang diperjanjikan. 14

Oleh karena itu, pelaku usaha wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila terjadi kerugian disebabkan oleh penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Pelaku usaha juga wajib memberikan kompensasi apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau digunakan oleh konsumen tidak seperti yang diperjanjikan. Kompensasi tersebut dilakukan dengan maksud mengembalikan rusaknya keadaan yang disebabkan oleh suatu peristiwa di mana persitiwa tersebut terjadi terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan harapan konsumen.15

Ketika perusahaan maskapai penerbangan membatalkan tiket penerbangannya, maka perusahaan tersebut harus memberikan refund atau kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian sesuai dengan pasal di atas. Namun, pada kasus pembatalan tiket PT Indonesia Air Asia (IAA), IAA melewati batas waktu pemberian refund yang telah diperjanjikan, yaitu 30 hari.16 Refund merupakan tindakan pengembalian uang pembayaran yang sudah dibayarkan pelanggan dengan harapan memanfaatkan suatu objek dalam perjanjian. Refund salah satunya dikarenakan batalnya transaksi yang bersangkutan. Jika pelaku usaha tidak membayarkan refund sesuai dengan batas waktu yang diperjanjikan di mana disebabkan oleh kelalaian pelaku usah, maka aakan menimbulkan kerugian bagi konsumen.17

Pada Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 juga diatur bahwa, “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

  • a.    tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

  • b.    tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.”18

Tindakan IAA yang terlambat memberikan refund dan tidak sesuai dengan waktu yang diperjanjikan merupakan tindakan tidak memenuhi janji seperti yang diatur pada Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 di atas.

Hubungan hukum antara perusahaan maskapai penerbangan dengan penumpang terbentuk dengan kontrak baku yang mereka sepakati ketika konsumen mengisi form pembelian tiket pesawat. Hubungan hukum ini memunculkan contractual liability. Perjanjian menjadi dasar hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya atau dikenal dengan asas pacta sunt servanda, yaitu para pihak di dalam perjanjian terikat dalam perjanjian tersebut seperti undang-undang.19

Pembatalan tiket penerbangan juga diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 pada Pasal 12 ayat (1) dan (2), bahwa

“(1) Dalam hal terjadi pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, pengangkut wajib memberitahukan kepada penumpang paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan.

  • (2)    Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut wajib mengembalikan seluruh uang tiket yang telah dibayarkan oleh penumpang.”20

Dengan demikian, jika terdapat pembatalan penerbangan, maka IAA wajib melakukan pemberitahuan kepada para penumpang maksimal 7 hari kalender sebelum penerbangan dan atas pembatalan tersebut, IAA wajib melaksanakan refund atau pengembalian uang tiket sejumlah 100% dari yang telah dibayarkan oleh penumpang.

Sebelumnya, dalam Permenhub No. 25 Tahun 2008 dijelaskan bahwa jika perusahaan penerbangan membatalkan penerbangannya, maka perusahaan wajib memindahkan penumpang ke jadwal penerbangan selanjutnya dan jika penumpang tersebut tidak bisa dialihkan ke penerbangan selanjutnya atau ke perusahaan penerbangan lain, maka penumpang itu wajib mendapatkan akomodasi sampai dengan hari penerbangan selanjutnya. Jika penumpang tidak mau terbang atau menolak diterbangkan, maka perusahaan harus mengembalikan harga tiket yang telah dibayarkan kepada perusahaan.21

Kewajiban kompensasi diatur pula pada Pasal 9 ayat (1) huruf f Permenhub No. 89 Tahun 2015 bahwa pelaku usaha penerbangan wajib memberikan kompensasi dalam hal pembatalan penerbangan dengan cara mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket.22 Oleh karena itu, ketika IAA membatalkan

suatu penerbangan, maka IAA wajib memberikan ganti rugi berupa pengalihan penerbangan ke jadwal penerbangan berikutnya atau dengan refund ticket.

Pasal 10 ayat (5) Permenhub No. 185 Tahun 2015 lebih lanjut mengatur bahwa refund biaya tiket dan batas waktu refund tersebut apabila pembayaran tiket dilakukan secara tunai maka paling lambat adalah lima belas hari kerja dimulai dari hari permintaan refund dan untuk refund biaya tiket apabila pembayaran dilakukan menggunakan kartu kredit atau debit maka batas waktu refund tersebut paling lambat adalah tiga puluh hari. 23

Penjelasan pasal di atas menerangkan bahwa IAA dalam membayar kembali biaya tiket maksimal dilakukan dalam jangka waktu 15 hari kerja apabila tiket dibeli secara tunai dan dalam 30 hari apabila tiket dibeli menggunakan kartu kredit atau debit. Namun, Permenhub di atas hanya mengatur dalam lingkup penerbangan kelas ekonomi, tidak mencakup penerbangan kelas bisnis.

Pelanggaran IAA terhadap ketentuan jangka waktu refund dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 2 Permenhub No. 30 Tahun 2015 berupa:24

  • a.    peringatan;

  • b.    pembekuan;

  • c.    pencabutan; dan/atau

  • d.    denda adminstratif

Pada masa mudik Idul Fitri tahun 1441 Hijriah di mana terdapat kebijakan pengendalian Covid-19 dengan larangan mudik, tepatnya 24 April hingga 31 Mei 2020 melalui Permenhub No. 25 Tahun 2020. Namun, pada saat itu sudah banyak masyarakat yang membeli tiket penerbangan sebelum adanya larangan pemerintah untuk mudik. Pada Pasal 23 Permenhub tersebut diatur bahwa, “Badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan biaya tiket secara penuh atau 100% (seratus persen) kepada calon penumpang yang telah membeli tiket yang untuk perjalanan pada tanggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.”25

Persoalan tentang refund ticket muncul pula kaitannya dengan berkembangnya zaman, agen perjalanan saat ini menjual tiket penerbangan melalui aplikasi online dalam bentuk e-ticket. Sebelumnya, agen perjalanan menggunakan sistem deposit yang harus diserahkan kepada perusahaan maskapai penerbangan untuk ditukarkan dengan tiket kosong. Jika terdapat pengajuan refund, maka cukup dengan memberikan dokumen pengajuan refund dan deposit akan dikembalikan dalam bentuk tunai. Namun, dengan penggunaan e-ticket, maskapai penerbangan tidak lagi menggunakan sistem deposit, tetapi maskapai penerbangan akan meminta agen untuk membayarkan sejumlah uang yang nantinya akan menjadi saldo. Jika terdapat e-ticket terjual, maka nominal saldo tersebut akan berkurang. Jika terjadi pengajuan refund, maka maskapai akan

mengembalikannya ke dalam bentuk top up saldo kepada agen tersebut, sementara pengembalian dana secara tunai oleh agen kepada konsumen diberikan dari hasil penjualan tiket lain. Namun, karena jumlah penjualan tiket semakin menurun sebagai akibat dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak maskapai penerbangan tidak beroperasi, maka top up saldo tersebut tidak berputar dan agen tidak mendapatkan pemasukan untuk melakukan refund. Oleh karena itu, tidak memungkinkan bagi maskapai dan agen untuk memberikan refund dalam bentuk tunai.26

Pada Pasal 24 Permenhub No. 25 Tahun 2020 dijelaskan pula tentang cara pengembalian biaya tiket yaitu dengan penjadwalan ulang, perubahan rute penerbangan, kompensasi dalam bentuk poin keanggotaan, atau pemberian kupon tiket.27

Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam Danian, Mahendrawati, dan Widiawati, terdapat perbedaan interpretasi tentang refund antara perusahaan maskapai penerbangan dengan konsumen. Perusahaan biasanya menginterpretasikan refund dalam bentuk voucher, sedangkan menurut konsumen refund berbentuk uang. Voucher tersebut diberikan dengan maksud agar dimanfaatkan guna membeli tiket penerbangan berikutnya. Perbedaan interpretasi ini sering menimbulkan masalah.28

Sistem voucher memiliki kelemahan yaitu voucher pada umumnya memiliki masa kedaluwarsa 1 tahun dan hanya dapat digunakan oleh penumpang yang sama. Namun demikian, pada akhirnya banyak masyarakat yang terpaksa memilih dalam bentuk voucher karena perusahaan maskapai penerbangan tidak dapat memberikan ganti rugi dalam bentuk tunai dan harus memakan waktu lama.29

Bentuk kompensasi lain adalah melalui resehedule waktu penerbangan. Pengaturan kembali jadwal penerbangan dapat dilakukan oleh penumpang sebanyak satu sampai dengan dua kali berdasarkan aturan badan usaha penerbangan. Bentuk ganti rugi di atas tidak dikenakan biaya tambahan.30

  • 3.1.1. Posisi Pandemi Covid-19 sebagai Force Majeure dalam Perjanjian Jual Beli Tiket Penerbangan

Sering dikatakan bahwa perlindungan hukum dengan pemberian ganti rugi ini tidak perlu dilakukan apabila pembatalan tiket penerbangan disebabkan oleh force majeure. Terdapat berbagai pendapat tentang posisi pandemi Covid-19 sebagai force majeure yang menjadi alasan batalnya suatu perjanjian. Terdapat pendapat bahwa Covid-19 hanya menunda pelaksanaan prestasi untuk sementara, bukan penyebab yang mengakibatkan batalnya perjanjian. Perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan para pihak diperlukan renegosiasi perjanjian supaya para pihak dapat menentukan hal-hal yang harus diganti dengan

tujuan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian lebih melindungi kepentingan para pihak.31

Force majeure dapat menjadi pembelaan perusahaan maskapai penerbangan untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan perusahaan maskapai tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa tersebut. Force majeure biasanya merujuk pada bencana alam yang menimbulkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, serta fasilitas umum yang menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat.32

Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 menetapkan Covid-19 sebagai bencana nonalam nasional. Keppres ini menimbulkan banyak anggapan di dunia usaha, bahwa Covid-19 dapat digunakan sebagai salah satu alasan untuk membatalkan perjanjian. Pembatalan perjanjian ini diikuti dengan anggapan tidak perlu adanya ganti biaya, kerugian, serta bunga karena Covid-19 merupakan keadaan memaksa.33

Di sisi lain, terdapat anggapan bahwa Covid-19 sebagai force majeure tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak memberikan ganti rugi karena terdapat berbagai cara untuk mengembalikan uang pembelian tiket penerbangan. Covid-19 juga bersifat sementara sehingga hal ini tidak membatalkan perjanjian, tetapi hanya menunda pemenuhan prestasi, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian.34

Kebijakan IAA seperti perubahan jadwal penerbangan dan refund menunjukkan bahwa IAA membuka peluang renegosiasi perjanjian. Dengan demikian, Covid-19 tidak dianggap sebagai force majeure oleh para pihak yang dapat membatalkan perjanjian antara IAA dengan penumpang.35

  • 3.2. Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh bagi Penumpang PT Indonesia Air Asia Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Upaya penyelesaian atau upaya hukum dalam hal ini merupakan bentuk perlindungan hukum represif. Upaya ini memerlukan peran para aparat penegak hukum yang dapat diikuti pula dengan pemberian sanksi perdata, sanksi pidana, atau sanksi administratif.36

Pembatalan penerbangan adalah tidak beroperasinya suatu penerbangan berdasarkan rencana penerbangan yang telah ditentukan.37 Pasal 4 huruf e UU No. 8 Tahun 1999 mengatur bahwa salah satu hak konsumen yaitu, “mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara

patut.”38 Oleh karena itu, jika dalam pembatalan tiket penerbangan, IAA tidak memberikan ganti kerugian yang menjadi hak penumpang, maka penumpang berhak untuk menempuh upaya penyelesaian secara patut.

Sebelum melakukan upaya hukum, IAA menyediakan layanan call center dan live chat pada website resmi IAA. Layanan-layanan tersebut dapat digunakan oleh konsumen untuk menanyakan haknya atas kompensasi yang seharusnya diberikan oleh IAA.39

Upaya penyelesaian sengketa dalam perlindungan konsumen dijamin dalam UU No. 8 Tahun 1999 sebagai berikut:40

  • (1)    Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

  • (2)    Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

  • (3)    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

  • (4)    Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Dengan demikian, upaya penyelesaian sengketa tersebut terbagi menjadi upaya non-litigasi dan litigasi. Pada upaya non-litigasi, pihak IAA dapat melakukan negosiasi dengan konsumen melalui pemberian penjelasan tentang penyebab kerugian yang diderita oleh penumpang dan bentuk tanggung jawab yang akan dilaksanakan oleh IAA.41

Upaya perlindungan konsumen lain salah satunya dilakukan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). BPKN berfungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.42 Konsumen dapat melakukan pengaduan mealui call center BPKN dan selanjutnya akan diverifikasi serta diupayakan penyelesaiannya.43

Pengaduan dapat juga dilakukan melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). LPKSM merupakan lembaga yang memiliki kesempatan aktif untuk mewujudkan perlindungan konsumen dan diakui oleh pemerintah. Tugas LPKSM adalah di bawah ini:44

  • a.    Menyebarkan informasi untuk meningkatkan kesadaran atas hak, kewajiban, dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

  • b.    Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

  • c.    Bekerja sama dengan instansi terkait dalam mewujudkan perlindungan konsumen;

  • d.    Membantu konsumen memperjuangkan haknya, termasuk menerima pengaduan konsumen;

  • e.    Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dapat dijalankan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berdasarkan Pasal 52 UU No. 8 Tahun 1999 tugas dan wewenang BPSK adalah:45

  • a.    melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

  • b.    memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

  • c.    melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

  • d.    melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;

  • e.    menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  • f.    melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

  • g.    memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  • h.    memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang mengetahui pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen;

  • i.    meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud dalam huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;

  • j.    menilai dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

  • k.    memutuskan ada tidaknya kerugian konsumen;

  • l.    memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran;

  • m.    menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dengan demikian, BPSK berwenang menyelesaikan sengketa IAA dengan konsumen perihal keterlambatan pembayaran refund dengan cara:

  • a.    Mediasi yaitu proses pengikutsertaan pihak ketiga (mediator) dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat

  • b.    Konsiliasi yaitu usaha mempertemukan keinginan para pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan

  • c.    Arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.46

UU No. 8 Tahun 1999 tidak memisahkan tugas anggota BPSK dengan tugas petugas penyelesaian sengketa, sehingga anggota-anggota BPSK dapat berperan juga sebagai

konsiliator, aribitrator, maupun mediator.47 Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lain di luar BPSK juga dapat ditempuh.48

Putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat49 dan paling lambat dalam 7 hari kerja sejak menerima putusan BPSK, IAA wajib melaksanakan putusan tersebut. Namun, jika putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh IAA, maka BPSK akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 50

Bentuk upaya penyelesaian sengketa secara litigasi yaitu dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan dapat didasarkan pada wanprestasi dari IAA yang telah mengakibatkan kerugian, baik secara materiil maupun immateriil.51

Gugatan atas pelanggaran IAA tersebut dapat dilakukan oleh:52

  • a.    Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

  • b.    Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

  • c.    Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

  • d.    Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Dengan demikian, UU No. 8 Tahun 1999 mengizinkan pengajuan gugatan secara individual maupun class action. Gugatan dapat diajukan bersama-sama oleh sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama yaitu kerugian dalam hal pembayaran refund oleh IAA.53

Pada Pasal 17 Permenhub No. 77 Tahun 2011 dinyatakan pula bahwa besaran ganti kerugian yang diatur dalam Permenhub tersebut tidak menutup kesempatan bagi penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut perusahaan maskapai penerbangan ke pengadilan negeri atau melalui alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.54

Pada umumnya, jika sengketa terjadi karena murni kesalahan perusahaan maskapai penerbangan dan bukan karena kesalahan yang dilakukan oleh konsumen, maka tuntutan ganti rugi dapat dilakukan. Pada Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, serta ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, dalam ayat (5) dijelaskan sebagai berikut, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.” Dengan demikian, perusahaan maskapai penerbangan masih memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melainkan kesalahan ada pada konsumen. Jika perusahaan maskapai mampu membuktikan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan, tetapi kesalahan ada pada konsumen, maka perusahaan maskapai tidak memiliki kewajiban untuk membayar atau memberikan ganti kerugian.55

  • 4. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, Penulis menarik kesimpulan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen PT Indonesia Air Asia dijamin dalam Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 bahwa konsumen berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi akibat pembatalan tiket penerbangan, atau dikenal dengan refund. Refund tersebut harus dalam jangka waktu yang diperjanjikan oleh PT Indonesia Air Asia untuk melakukan pembayaran. Bentuk dan prosedur kompensasi ini diatur lebih lanjut dalam berbagai Permenhub, antara lain tidak hanya dengan refund tetapi dapat dalam bentuk pengalihan ke penerbangan berikutnya dan pemberian voucher. Refund itu sendiri harus dilaksanakan maksimal dalam 30 hari kerja. Jika ganti kerugian ini tidak dilakukan, maka PT Indonesai Air Asia dapat dijatuhi dengan sanksi administratif.

Upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh konsumen PT Indonesia Air Asia dapat dalam bentuk non-litigasi dan litigasi. Upaya hukum dapat dilaksanakan melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, dan konsiliasi dengan tujuan mencapai persetujuan dalam rangka penyelesaian perselisihan. Konsumen juga dapat melakukan pengaduan untuk diupayakan penyelesaiannya ke lembaga-lembaga di bidang perlindungan konsumen, seperti BPKN, LPKSM, dan BPSK. Gugatan juga dapat diajukan ke pengadilan, baik secara individual maupun class action.

Saran yang dapat Penulis usulkan adalah pemerintah Indonesia perlu lebih ikut campur tangan dalam penyelesaian permasalahan refund dengan melakukan pengawasan dan pemberian peringatan kepada PT Indonesia Air Asia. Konsumen agar tidak hanya menyampaikan keluhan melalui call center PT Indonesia Air Asia tetapi lebih berani untuk memperjuangkan kompensasi yang menjadi haknya dengan berbagai cara yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan.

Daftar Pustaka

Buku

Hasim, Purba. Hukum Penerbangan dan Tanggung Jawab Produsen Pesawat

Udara. Cet. 2. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010.

Miru dan Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Wali Press, 2008.

Widjaja, Gunawan. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003.

Jurnal

Danian, Dinda A, Ni Luh Made Mahendrawati, Ida Ayu P Widiati. “Tanggung

Jawab Pelaku Usaha Maskapai Penerbangan atas Penundanaan Pembayaran Dana Refund.” Jurnal Konstruksi Hukum Vol. 2 No. 1 (Januari 2021).

Hadiwardoyo, Wibowo. “Pusat Inkubator Bisnis dan Kewirausahaan Universitas Muhammadiyah Jakarta Baskara.” Journal of Business and Entrepreneurship Vol. 2 No. 2 (2020).

Kharisma, Dona B. “Pandemi Covid-19 Apakah Force Majeure?” Rechtsvinding (Juni 2020).

Natalia, Fransiska. “Perlindungan Konsumen terhadap Proses Refund oleh

Perusahaan Maskapai atas Pembatalan Penerbangan di Masa Pandemi Covid-19.” Lex Jurnalica Vol. 18 No. 2 (Agustus 2021).

Roskiyasa, Dzakiannisa dan Renti M Kerti. “Perlindungan Hukum bagi

Konsumen terkait Pembatalan Sepihak Penerbitan Tiket Pesawat oleh PT Trinusa Travelindo Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.” Reformasi Hukum Trisakti Vol. 1 No. 1 (2019).

Setiadi, Wahyu T. “Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Udara dalam Pembatalan Tiket Penerbangan.” Kerthasemaya Vol. 6 No. 10 (2018).

Skripsi

Larasati, Yunita, Indah D Megasari, Hanafi. “Tanggung Jawab Maskapai

Penerbangan terhadap Penumpang Pesawat Akibat Pembatalan Penerbangan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.” Skripsi Sarjana Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary, Banjarbaru, 2019.

Panjaitan, Rifqi M. “Tinjauan Hukum Kewajiban Pengembalian Uang Tiket

Pesawat oleh Maskapai Penerbangan Akibat Pandemi Covid-19 (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.” Skripsi Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2021.

Shafiradini, Farahdita D. “Tanggung Jawab Xpress Air terhadap Penumpang atas Pembatalan Penerbangan (Studi Kasus Pembatalan Tiket Xpress Air Nomor Tiket:  9990007295760).” Skripsi Sarjana Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta, 2020.

Internet

Gunadha, Reza dan Chyntia S Bhayangkara. “Air Asia Dikecam Calon

Penumpang:     Penerbangan     Dibatalkan,     Uang     Melayang.”

https://www.suara.com/bisnis/2020/09/07/220823/air-asia-dikecam-calon-penumpang-penerbangan-dibatalkan-uang-melayang?page=all. Diakses 14

Desember 2021.

Yati, Rahmad. “CEO Air Asia Group Bicara soal Refund Tiket, Ada Apa Ya?” https://ekonomi.bisnis.com/read/20210402/98/1375865/ceo-air-asia-group-bicara-soal-refund-tiket-ada-apa-ya. Diakses 14 Desember 2021.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821.

Indonesia. Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU

No. 30 Tahun 1999. LN No. 138 Tahun 1999. TLN No. 3872.

Indonesia. Menteri Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan

Penyelenggaraan Angkutan Udara. No. PM 25 Tahun 2008.

Indonesia. Menteri Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Nomor PM 77 Tahun 2011.

Indonesia. Menteri Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan Pengenaan

Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Penerbangan. No. PM 35 Tahun 2015.

Indonesia. Menteri Perhubungan. Pertauran Menteri Perhubungan Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. No. PM 89 Tahun 2015.

Indonesia. Menteri Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan Standar

Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Nomor PM 185 Tahun 2015.

Indonesia. Menteri Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan Pengendalian Transportasi selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). No. PM 25 Tahun 2020

384