Peran Notaris Dalam Menentukan Jangka Waktu Sewa-Menyewa Tanah Terhadap Warga Negara Asing
on
Vol. 06 No. 02 Agustus 2021
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Peran Notaris Dalam Menentukan Jangka Waktu Sewa-Menyewa Tanah Terhadap
Warga Negara Asing
AA Ratih Saraswati1, Pande Yogantara S.2
-
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
-
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 21 April 2021
Diterima : 23 Juni 2021
Terbit : 1 Juli 2021
Keywords :
The role of Notary, Lease, Legal
Certainity.
Kata kunci:
Peran Notaris, Sewa-menyewa, Kepastian Hukum.
Corresponding Author:
AA Ratih Saraswati, E-mail:
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i02.p17
Abstract
The purpose of writing this article is to examine the arrangement of the lease term based on positive law in Indonesia and the role of the Notary in determining the term of land lease is related to the case in the Decision Number 94/Pdt/2017/PT.DPS regarding the lease deed drawn up by a Notary and in it contains a determination of a period that is not in accordance with the principle of propriety where the the land lease lasts for 100 years. This journal article is a type of normative legal research with a law approach, a conceptual approach and a case approach. The output of this study shows that the regulation of tenure for leasing land based on positive law in Indonesia has not render legal certitude because there are still vague norms. The role of the Notary in determining the period of land leasing in relation to the case in the Decision Number 94/Pdt/2017/PT.DPS Notary do not implement their authority to provide legal counseling and do not carry out their obligations to act honestly and conscientious.
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan jangka waktu sewa-menyewa tanah berdasarkan hukum positif di Indonesia dan peran Notaris dalam penentuan jangka waktu sewa-menyewa tanah dikaitkan dengan kasus pada Putusan Nomor: 94/Pdt/2017/PT.DPS mengenai akta sewa-menyewa yang dibuat oleh Notaris dan didalamnya termuat penentuan jangka waktu yang tidak sesuai dengan asas kepatutan dimana sewa-menyewa tanah tersebut berlangsung selama 100 Tahun. Artikel jurnal ini termasuk jenis penelitian hukum normative dengan pendekatan UU, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan jangka waktu sewa-menyewa tanah berdasarkan hukum positif di Indonesia belum memberikan kepastian hukum karena masih terdapat norma kabur dalam pengaturannya. Peran Notaris dalam menentukan jangka waktu sewa-menyewa tanah dalam kaitannya dengan kasus pada Putusan Nomor: 94/Pdt/2017/PT.DPS yakni Notaris tidak menjalankan kewenangannya untuk melakukan penyuluhan hukum dan tidak menjalankan kewajibannya untuk bertindak jujur dan saksama.
Tanah sebagai kebutuhan pokok mengalami peningkatan permintaan setiap tahunnya, hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh tingginya pertumbuhan penduduk. Meningkatnya kebutuhan akan tanah membuat harga tanah kini sangat tinggi dan mengakibatkan tidak semua orang mampu untuk membeli tanah. Meningkatnya harga tanah juga disebabkan oleh sifat dari tanah itu sendiri, yakni bersifat tetap dan tidak bisa bertambah. Dengan kondisi seperti itu kini beberapa orang yang tidak bisa membeli tanah untuk menjadi miliknya secara utuh karena keterbatasan ekonomi, menggunakan metode sewa-menyewa sebagai alernatif agar dapat memenuhi kebutuhannya akan tanah namun dalam jangka waktu sementara dan tentunya dengan harga yang nisbi lebih terjangkau daripada membeli tanah.
Tanah merupakan permukaan bumi yang dilindungi penggunaannya oleh negara, hal ini tercantum pada peraturan nasional yakni pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960). Tanah menurut UU 5/1960 menggunakan istilah agraria, perumusan agraria dalam UU 5/1960 mencakup lingkup yang lapang yakni meliputi “bumi, air kekayaan alam dan dalam batas-batas tertentu ruang angkasa.” Kemudian dalam lingkup yang lebih kecil agraria meliputi tanah saja. Dalam UU 5/1960 dikenal adanya beberapa asas-asas pokok salah satunya yakni asas nasionalitas dan asas kebangsaan. Asas nasionalitas ini tercantum pada ketentuan pasal 1 UU 5/1960 yang mengatur bahwasanya “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia” yang berarti bahwa kekayaan bangsa Indonesia meliputi seluruh permukaan bumi beserta beragam kekayaan alamnya. Kemudian asas kebangsaan tercermin pada pasal 9 juncto pasal 21 ayat (1) UU 5/1960 yang mengatur yaitu “hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik”, jadi pasal ini secara tegas mengatur satu-satunya yang dapat/diperbolehkan memiliki keterikatan langsung dengan objek-objek agraria serta dapat menjadikan tanah tersebut sebagai aset yang dikuasai dengan predikat Hak Milik adalah warga negara Indonesia (WNI).1
Penjelasan tersebut mencerminkan bahwa terdapat pembatasan penguasaan dan penggunaan tanah kepada subyek hukum yang bukan merupakan WNI. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur “orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara adalah warga negara Indonesia.” Maka untuk tetap mengontrol penggunaan dan penguasan tanah di Indonesia pemerintah menerbitkan hak atas tanah sebagai wujud penerapan asas nasionalitas dan asas kebangsaan yang terkandung pada UU 5/1960. Dimana pengertian hak atas tanah dirumuskan pada ketentuan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/1960 yakni “hak yang dapat diberikan kepada dan dapat dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum untuk mempergunakan tanah
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.” Beberapa jenis dari hak atas tanah diatur pada Pasal 4 UU 5/1960 lebih lanjut diatur pada ketentuan Pasal 16 UU 5/1960.
Jenis hak atas tanah yang dapat digunakan oleh warga yang bukan merupakan WNI atau yang dikenal dengan warga negara asing (WNA) yang berada di Indonesia yakni hak pakai dan hak sewa,2 dimana kedua hak ini merupakan hak atas tanah sekunder yakni yang bersumber dari pihak lain dan penggunaannya bersifat sementara. Hak sewa sendiri merupakan hak atas tanah yang didasari adanya perjanjian sewa-menyewa. Hak sewa adalah kewenangan seseorang memakai objek yang sejatinya milik pihak lain yang disewakan, diikuti adanya pembayaran sejumlah harga. Secara umum sewa-menyewa merupakan perbuatan hukum yakni seseorang memberikan kuasa terhadap orang lain untuk menggunakan atau menmanfaatkan obyek sewa tersebut dalam kurun waktu yang telah disetujui oleh penyewa dan yang menyewakan dengan sejumlah uang sebagai harga sewa. Secara yuridis pengertian mengenai sewa-menyewa ini didasarkan pada buku ke-III KUH Perdata yakni pada pasal 1548 KUH Perdata.
Sewa-menyewa oleh WNA di Indonesia banyak menimbulkan masalah hukum baru, diantaranya adanya indikasi terselubung lain ketika seorang WNA membuat perjanjian sewa-menyewa dengan batas periode yang melampaui asas kepatutan di Indonesia, karena UU 5/1960 tidak mengatur mengenai kurun waktu berlangsungnya sewa-menyewa dan dalam peraturan umum yakni pada pasal 1548 KUH Perdata disebutkan definisi sewa-menyewa dan menentukan bahwasannya sewa berlangsung “selama waktu tertentu”, penggunaan kata tertentu ini menimbulkan multitafsir dan memberikan celah bagi WNA merencanakan serta melaksanakan perbuatan-perbuatan dengan maksud yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini melakukan studi kasus terkait sewa-menyewa tanah oleh WNA yakni pada Putusan Nomor: 94/PDT/2017/PT.DPS. Pada putusan ini terdapat akta sewa-menyewa tanah antara WNI dan WNA, dimana pada Akta Sewa- Menyewa Nomor: 119 tanggal 22 September 2011 tertuang kesepakatan antara pihak yakni melakukan sewa-menyewa dalam jangka waktu 100 tahun. Jangka waktu yang dicantumkan dalam akta tersebut tidak sesuai dengan asas kepatutan karena secara tidak langsung menggambarkan bahwa penguasaan terhadap tanah tersebut berada pada WNA selama 100 tahun dan hal ini mencerminkan adanya penyelundupan hukum. Sesungguhnya perjanjian sewa-menyewa memiliki makna bahwa barang ataupun benda yang dikuasai tidak menjadi milik pribadi, tetapi hanya untuk dimanfaatkan kegunaanyna, pemberian barang atau benda sewa tersebut hanya bersifat penyerahan kekuasaan sementara saja.
Pembuatan akta sewa-menyewa tanah oleh WNA pada putusan diatas tersebut tidak lepas dari adanya peran Notaris sebagai pejabat yang sengaja diadakan oleh Negara dan menjalankan sebagian tugas dan wewenang Negara dalam lapangan hukum tertentu yaitu hukum perdata dan/atau lapangan hukum pembuktian dengan produk hukumnya berupa akta autentik yaitu akta yang dikualifikasikan sempurna kekuatan pembuktiannya. Dengan demikian seorang Notaris haruslah memiliki integritas yang
tinggi dalam menjalankan jabatannya termasuk memiliki tanggung jawab dalam membuat suatu akta autentik seperti pada akta dalam putusan diatas. Pada putusan tersebut terlihat Notaris lah yang memberikan jalan untuk WNA dapat berkuasa terhadap tanah di Indonesia dalam kurun waktu yang tidak sesuai dengan kepatutan atau dapat disamakan penguasaan tersebut seperti hak milik.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka penulis mengangkat tulisan yang diberi judul “Peran Notaris Dalam Menentukan Jangka Waktu Sewa-menyewa Tanah Terhadaap Warga Negara ASing” dengan rumusan masalah (1) Bagaimana pengaturan jangka waktu sewa-menyewa tanah berdasarkan hukum positif di Indonesia ? dan (2) Bagaimana peran Notaris dalam menentukan jangka waktu sewa-menyewa tanah terhadap warga negara asing terkait Putusan Nomor: 94/PDT/2017/PT.DPS ?. Penulisan artikel jurnal ini bertujuan untuk memperjelas pengaturan mengenai jangka waktu sewa-menyewa tanah berdasarkan hukum positif di Indonesia dan memperjelas batasan ataupun peran Notaris yang berdasarkan fungsinya yang tentu memiliki andil dalam pembuatan suatu akta beserta isi yang termuat di dalam akta tersebut.
Terdapat beberapa penelitian yang memiliki topik pembahasan serupa, salah satunya yang dilakukan oleh I Putu Ponti Sagara dengan judul “Penerapan Asas Kepatutan dalam Perjanjian Sewa Menyewa (Studi Kasus putusan BANI No. 296/II/ARB-BANI/2009 antara PT. Istana Noodle House dan PT. Plaza Indonesia Reality, Tvk.)”3 pada tahun 2010 dari Universitas Indonesia, penelitian ini pembahasan berfokus pada penerapan asas kepatutan dalam perjanjian sewa-menyewa. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Gede Adhitya Ariawan dari Universitas Udayana pada tahun 2017 dengan judul “Kedudukan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Seumur Hidup Yang Dibuat Oleh Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2785k/PDT/2011)”4, penelitian ini berfokus pada legalitas dari perjanjian sewa-menyewa yang memuat jangka waktu sampai dengan 100 tahun. Sedangkan permasalahan yang akan dikaji pada artikel jurnal ini lebih menekankan terhadap “peran seorang Notaris dalam menentukan jangka waktu sewa-menyewa pada akta sewa menyewa tanah dengan studi kasus pada Putusan Mahkamah Agung nomor: 94/PDT/2017/PT.DPS).”
Metode penelitian hukum normatif atau doctrinal research merupakan metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan artikel ilmiah ini, metode ini diketahui sebagai proses penemuan aturan hukum, prinsip-prinsip maupun doktrin-doktrin hukum, dimana proses tersebut dilaksanakan demi mendapatkan suatu argumentasi, teori ataupun gagasan/konsep baru yang dijadikan sebagai solusi atau landasan dalam
memecahkan suatu masalah.5 Penelitian yang bertumpu pada suatu norma merupakan ciri khas dari penelitian hukum normatif. Penggunaan metode penelitian hukum normatif pada penulisan artikel ilmiah ini, dikarekan adanya norma kosong pengaturan kurun waktu hak sewa pada UU 05/1960 dan jika ditelusuri pada aturan umum yakni pada pasal 1548 KUH Perdata mengatur bahwa kurun waktu sewa-menyewa hanya disebutkan berlangsung pada waktu tertentu dan hal tersebut menimbulkan adanya berbagai tafsiran dan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum, kondisi tersebut menggambarkan adanya norma kabur dalam pengaturan kurun waktu sewa-menyewa.
Penulisan artikel ilmiah ini menggunakan beberapa pendekatan yakni; pendekatan UU, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus. Selanjutnya adapun sumber bahan hukum primer yang dijadikan acuan dalam penulisan artikel ilmiah ini meliputi, peraturan dasar, undang-undang yang sesuai dengan pembahasan dalam tulisan ini yakni UU 5/1960 dan undang-undang mengenai jabatan Notaris serta yurisprudensi yakni Putusan Nomor: 94/PDT/2017/PT.DPS. Kemudian bahan hukum sekunder yang dijadikan acuan dalam penulisan artikel jurnal ini meliputi berbagai sumber yakni literatur/buku-buku hukum, jurnal hukum, pandangan ahli hukum yang termuat dalam electronyc book/internet.6
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Pengaturan mengenai definisi sewa-menyewa didasarkan pada ketentuan pasal 1548 KUH Perdata disebutkan bahwasannya “Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.” Pada dasarnya sewa-menyewa didasari dari adanya perjanjian antara pihak yang ingin menyewa (penyewa) dan pihak yang menyewakan (pemberi sewa). Perjanjian sewa-menyewa itu memuat mengenai objek yang diperjanjikan dan juga memuat mengenai harga serta berapa lama jangka waktu sewa.
Apabila merujuk pada kententuan pasal 1548 KUH Perdata dapat dicermati terdapat kata “selama waktu tertentu” dan hal tersebut menggambarkan bahwa perjanjian sewa-menyewa ini berlangsung dalam waktu sementara yang telah ditentukan masa berlakunya secara pasti dan jelas. Karena secara terminologi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata tertentu berarti sudah tentu; sudah pasti; tetap pada waktu-waktu.7 Sehingga penggunaan kata tertentu dalam pasal 1548 KUH Perdata memiliki maksud bahwa sewa-menyewa dilaksanakan dalam jangka waktu yang sudah pasti sesuai dengan kesepakatan para pihak. Namun pada prakteknya kesepakatan didasarkan dengan asas kebebasan berkontrak, dimana kata “bebas” ini sering
digunakan sebagai formalitas belaka semata-mata untuk memenuhi tujuan dari orangorang yang bersangkutan dan tentunya hal itu tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga kesepakatan tersebut menjadi cacat kehendak.
Kesepakatan terbentuk/tercapai karena berbagai perbuatan yang dituangkan baik dalam bentuk lisan, tertulis maupun dengan symbol-simbol tertentu, yang menjadi point penting yakni terjadi penawaran dan penerimaan. Menurut Badrulzaman “sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh kedua belah pihak, pihak yang yang menawarkan disebut tawaran, pihak yang menerima penawaran disebut akseptasi.”8 Pada saat tercapainya kesepakatan oleh para pihak yang tidak diikuti dengan adanya bubuhan seperti bentuk tertulis, tanda tangan dan sebagainya, maka dapat disimpulkan dengan tercapainya kesepakatan tersebut telah terjadi perjanjian dari kedua pihak yang bersangkutan dan keberadaan perjanjian ini dianalogikan seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Kesepakatan dalam suatu perjanjian oleh para pihak biasanya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yaitu para pihak berwenang untuk memilih dan/atau menentukan perihal apa saja yang akan dijanjikan tanpa adanya campuran unsur tekanan dari pihak lain (pemaksaan), serta perjanjian yang dibuat tersebut akan berlaku sah layaknya undang-undang bagi para pihak.9 Bebas menentukan mengenai apa yang diperjanjikan ini perlu digaris bawahi bahwa tidak semua hal yang disepakati dianggap dapat dituangkan dalam perjanjian karena perlu memperhatikan beberapa hal yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, terlebih juga kesepakatan tersebut tidak boleh melanggar serta memiliki tujuan yang menyalahi peraturan perundang-undangan. Jadi kesepakatan tersebut tidak boleh kesepakatan sepihak, melainkan kesepakatan dari kedua pihak yang bersangkutan, dan tentunya harus bersih dari adanya unsur pemaksaan agar tidak terbentuk cacat kehendak. 10 Dasar pengaturan dari cacat kehendak diatur pada ketentuan pasal 1321 KUH Perdata yang mengatur bahwa “Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan” dan pasal 1449 KUH Perdata yang menyetakan bahwa “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kehkilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.” Jadi kesepakatan yang didalamnya mengandung unsur khilaf/sesat, paksaan, penipuan serta penyalahgunaan kondisi/keadaan, disebut sebagai kesepakatan yang cacat kehendak.11
Kemudian dalam UU 5/1960 yang menjadi landasan nasional dalam pengaturan mengenai tanah di Indonesia mengatur mengenai adanya hak atas tanah berupa hak sewa. Hak sewa merupakan kewenangan seseorang menggunakan atau memakai objek yang merupakan kepunyaan/milik pihak lain yang disewakan, dalam penyewaan itu ditentukan sebuah harga yang harus dibayar oleh pihak yang menyewa, dimana harga tersebut ditentukan oleh pihak yang menyewakan objek tersebut. Dalam UU 5/1960 tidak diatur mengenai jangka waktu dari pemberian hak sewa ini. UU 5/1960
menganut asas nasionalitas dan juga asas kebangsaan yakni diketahui bahwa yang dapat memiliki hubungan langsung dengan tanah serta yang diperkenankan memilik tanah dengan hak milik adalah hanya WNI, hal tersebut bertujuan untuk menjaga tanah negara Indonesia agar tidak dikuasai oleh WNA dan lebih khususnya bertujuan untuk menolong WNI agar dapat mengupayakan penggunaan tanah tersebut untuk menunjang keberlangsungan hidup sampai dengan generasi berikutnya. 12
Berdasarkan penjelasan diatas pengaturan jangka waktu sewa-menyewa tanah ini dapat dikatakan masih memberikan celah terjadinya penyalahgunaan penentuan jangka waktu sewa-menyewa terutama yang berobjek tanah, karena tidak adanya pengaturan mengenai jangka waktu pemberian hak sewa tanah yang diatur pada UU 5/1960 sebagai aturan khusus yang dibentuk dan pada aturan umum yakni pada pasal 1548 KUH Perdata yang berisikan perihal definisi sewa-menyewa inipun masih mengandung norma kabur. Norma kabur yang dimaksudkan pada ketentuan pasal 1548 KUH Perdata ini yakni mengenai jangka waktu sewa-menyewa “selama waktu tertentu”, kalimat “selama waktu tertentu” ini dapat diartikan berbeda-beda oleh setiap orang karena tidak menyebutkan batasan pada satuan waktu seperti hari, minggu, bulan ataupun tahun, sehingga penentuan yang dilakukan oleh pihak penyewa dan pihak yang menyewakan biasanya mendasarkan penentuan tersebut dengan asas kebebasan berkontrak, akan tetapi bebas yang dimaksudkan tidak memperhatikan apakah hal itu sepadan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Jadi pengaturan jangka waktu untuk sewa-menyewa tanah di Indonesia belum memberikan kepastian hukum karena masih terdapat norma kabur dalam pengaturannya.
-
3.2 Peran Notaris Dalam Menentukan Jangka Waktu Sewa-menyewa Tanah Terhadap Warga Negara Asing Terkait Putusan Nomor: 94/PDT/2017/PT.DPS
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU Jabatan Notaris 02/2014, Notaris merupakan “pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Peran seorang Notaris tercermin dari kewenangan yang dimilikinya, dimana menurut Ateng Syafrudin kewenangan diartikan sama dengan kekuasaan yang bersifat resmi yang diturunkan atau diberikan oleh undang-undang, dimana didalamnya termuat sebuah wewenang-wewenang (recths bevoegdheidheden).13 Kewenangan seorang Notaris diatur pada UU Jabatan Notaris 02/2014, dan Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya dapat menimbulkan tanggung jawab14, karena Notaris merupakan pejabat yang sengaja diadakan oleh Negara dan diberikan sebagian wewenang Negara di bidang hukum
perdata dan/atau pembuktian dengan produk berupa akta autentik yang kekuatan pembuktiaannya dikualifikasikan sempurna.
Seperti yang telah dijelaskan diketahui bahwa Notaris merupakan pejabat umum, maka dari itu seorang Notaris tentunya memiliki peran untuk melayani masyarakat pelayanan yang dimaksud berhubungan dengan pembuatan akta autentik yang menjadi salah satu bentuk wewenangan dari Notaris. Sebagaimana itu dalam Pasal 15 UU Jabatan Notaris 02/2014 menentukan “Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Berkaitan dengan kasus pada Putusan Nomor: 94/PDT/2017/PT.DPS terdapat turut serta Notaris dalam pembuatan akta sewa-menyewa tanah antara WNI dan WNA, dimana pada Akta Sewa- Menyewa Nomor: 119 tanggal 22 September 2011 tersebut terdapat klausula yang menyebutkan ”sewa-menyewa ini dimulai pada tanggai 26-082011 dan berakhir pada tanggal 26-08-2036 jadi sewa-menyewa ini berlangsung selama 25 tahun , dan secara otornatis diperpanjang dalam kurun waktu 3 x 25 tahun sehingga berakhir selambat-lambatnya pada tanggai 26-08-2111”, jadi total waktu penyewaan yang dilakukan oleh WNA yakni berlangsung selama 100 tahun.
Berdasarkan ketentuan pasal 45 UU 5/1960 disebutkan bahwasannya yang diperkenankan untuk menjadi subyek pemegang hak sewa yakni “Warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perkawilan di Indonesia.” Jadi WNA memang merupakan subyek pemegang hak sewa berdasarkan ketentuan pasal 45 UU 5/1960, akan tetapi perlu diingat kembali bahwasannya seorang Notaris wajib untuk bersikap jujur dan saksama dimana hal ini diatur pada pasal 16 ayat (1) huruf (a) UU Jabatan Notaris 02/2014 juncto pasal 3 angka (4) Kode Etik Notaris (KEN). Saksama yang dimaksudkan yaitu dalam menjalankan tugas jabatan seorang Notaris sudah semestinya/wajib untuk berperilaku cermat, hati-hati dan tentunya teliti memeriksa isi atau pokok bahasan yang akan dituliskan dalam suatu akta, sehingga akan terhindar dari permasalahan hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya.15 Kemudian jujur yang dimaksudkan adalah seorang Notaris harus berani mengatakan bahwa kesepakatan atau sesuatu yang ingin dituangkan oleh para pihak tersebut patut atau tidak patut, agar tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku karena seorang Notaris berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat (2) huruf (e) UU Jabatan Notaris 02/2014 yakni “berhak untuk melakukan penyuluhan tentang hukum yang berkaitan dengan akta yang akan dibuatnya”, jadi dalam hal ini jika terjadi kesalahpahaman atau kekeliruan mengenai apa yang diinginkan oleh pihak-pihak berkaitan dengan isi suatu akta maka Notaris memiliki
andil untuk menjelaskan bahsawannya hal tersebut tidak patut untuk dituangkan atau dijadikan dasar dalam pembuatan akta.16
Jika dikaitkan dengan kasus pada putusan diatas maka Notaris tidak menjalankan tugas jabatannya dengan saksama dan jujur, karena perlu diingat kembali bahwa asas keseimbangan dalam sebuah akta adalah penting untuk mewujudkan adanya keseimbangan antara pihak-pihak yang berkaitan, akan tetapi pencantuman kata “secara otomatis” tersebut mencerminkan adanya pemberian keistimewaan/prioritas kepada pihak penyewa saja yang dalam perkara ini yakni WNA, jadi keseimbangan hak diantara para pihak dalam akta tersebut tidak terealisasikan. Serta penentuan jangka waktu sewa-menyewa tanah bagi WNA selama 100 tahun tersebut bertentangan dengan asas kepatutan. Asas kepatutan merupakan asas yang memberikan suatu petunjuk terhadap isi/substansi dalam kesepakatan para pihak, jadi suatu perjanjian tentunya harus memperhatikan keadilan (rechtsgevoel), keadilan akan membentuk adanya hubungan hukum diantara pihak menjadi patut atau tidak patut , adil maupun tidak adil.17 Terhadap kasus ini asas kepatutan ini dapat tercerminkan pada UU 5/1960 yakni mengenai Hak Pakai, HGB dan HGU yang secara jelas mengatur batas waktu penggunaan hak atas tanah tersebut baik perolehan, perpanjangan dan pembaharuannya. Sehingga penentuan waktu selama 100 tahun tersebut tidak memenuhi tuntutan resmi/sahnya perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur mengenai syarat-syarat yang menentukan suatu perjanjian dianggap resmi/sah, dimana terdapat 4 unsur yang harus terpenuhi yakni: “Kesepakatan, Kecakapan, Suatu hal tertentu, dan Suatu sebab yang halal.”
Jangka waktu sewa-menyewa tanah selama 100 tahun tersebut tidak mencukupi syarat “suatu sebab yang halal”, karena tidak sesuai dengan asas kepatutan yakni kebiasaan yang ditunjuk oleh undang-undang sebagaimana diatur pada pasal 1339 KUH Perdata bahwa “dalam melakukan perjanjian tidak boleh menyimpang/bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang ditunjuk oleh undang-undang.”18 Mengingat subyek sewa-menyewa dalam perjanjian tersebut adalah WNA, akan tetapi penentuan jangka waktu selama 100 tahun ini memberikan celah kepada WNA untuk menguasai tanah yang dirasa tidak patut. Dimana WNA memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai kegiatan seperti menyewakan kembali, mengusulkan untuk pembangunan, melakukan kegiatan usaha diatas tanah tersebut, yang mana dengan adanya pernyataan untuk menyewakan selama 100 tahun, membuat pihak WNI tidak dapat mengoptimalkan hak milik yang seharusnya ia dapat kembangkan/dimanfaatkan lebih sebagai pemegang hak milik. Jika hal tersebut terjadi maka makna yang termuat pada UU 5/1960 yakni pasal 21 ayat (1) diatur bahwa “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik” dan pasal 26 ayat (2) diatur bahwa “setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”, menjadi tidak terimplementasi dengan baik.
Berdasarkan hal tersebut dapat dicermati bahwa perjanjian sewa- menyewa dengan Nomor: 119 tanggal 22 September 2011 yang memuat klausula dengan masa sewa 100 tahun tersebut, dirasa tidak patut dan bukan merupakan sebab yang halal yang menyebabkan akta sewa-menyewa tersebut menjadi nietigheid van rechtswege atau yang diketahui sebagai batal demi hukum. Merujuk pada kasus tersebut maka seharusnya Notaris terkait memberikan penyuluhan hukum dengan sikap yang saksama dan jujur mengatakan bahwa pencatuman jangka waktu sewa-menyewa yang ditetapkan selama 100 tahun tersebut tidak patut untuk dibuatkan atau dituangkan kedalam akta karena tidak selaras dengan kepatutan yang ada dan mengingat subyek dalam perjanjian tersebut salah satunya WNA dengan obyek sewa berupa tanah, maka penentuan jangka waktu sewa-menyewa tersebut berpotensi menimbulkan masalah hukum.
Penentuan jangka waktu sewa-menyewa berdasarkan hukum positif Indonesia yakni UU 5/1960 sebagai aturan khusus yang mengatur mengenai pertanahan tidak mengatur mengenai pembatasan atau jangka waktu sewa-menyewa tanah, oleh karena itu melihat pada aturan umum yakni pada KUH Perdata yang didasarkan pada ketentuan pasal 1548 KUH Perdata, pengaturan mengenai jangka waktu sewa-menyewa masih mengandung norma yang kabur karena penggunaan kata “selama waktu tertentu” tersebut menimbulkan berbagai multitafsir. Kata tertentu ini memang berarti pasti atau jelas pada waktu-waktu yang disepekati oleh para pihak, namun tidak memberikan kejelasan pada satuan waktu baik hari, minggu, bulan, atau tahun. Dengan tidak adanya batasan dalam satuan waktu yang menjadi dasar kesepakatan para pihak, dapat menjadi celah untuk diadakannya perbuatan hukum tertentu yang memiliki tujuan yang menyimpang sehingga tidak tercipta kepastian hukum. Peran seorang Notaris berkaitan dengan Akta Sewa- Menyewa Nomor: 119 tanggal 22 September 2011 pada Putusan Nomor: 94/PDT/2017/PT.DPS ini dapat dikatakan bahwa Notaris tidak menjalankan perannya untuk memberikan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta bahwa klausula selama 100 tahun tidak patut dan bukan suatu yang halal, dan dengan demikian Notaris juga melanggar kewajibannya untuk bertindak jujur dan saksama. Sehingga akibat yang timbul dari Akta Sewa- Menyewa Nomor: 119 tanggal 22 September 2011 adalah batal demi hukum/ nietigheid van rechtswege karena tidak terpenuhinya unsur obyektif sahnya suatu perjanjian. Sehingga melihat pembahasan tersebut diatas, maka dirasa perlu diatur lebih jelas mengenai batasan waktu sewa-menyewa dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang mana hal itu nantinya akan menjadi acuan notaris untuk menjalankan jabatannya dalam membuat akta autentik.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Arba, H.M (2015) Hukum Agraria Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.
Marzuki, P.M. (2011) Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana.
Miru, A. (2016) Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers.
Setiawan, Oka (2016). Hukum Perikatan, Jakarta:Sinar Grafika.
Jurnal
Aprilla, A. P., Permadi, I., & Efendi, L. (2018). Status Hukum Hak Milik Atas Tanah Warga Negara Asing Dengan Meminjam Nama Warga Negara Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 3(1), 15-21. Doi :
http://dx.doi.org/10.17977/um019v3i12018p015.
Ariawan, G. A., Subawa, M., & Udiana, I. M. (2018). Kedudukan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Seumur Hidup yang Dibuat oleh Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2785k/pdt/2011). Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(1), 92-104. Doi: https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p07.
Adi Laksana, I., & Griadhi, N. (2019). Kedudukan Notaris Sebagai Membuat Akta Dalam Bidang Pertanahan. Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum, 7(11) ,1-18. Retrievedfrom https://ocs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/5 5031.
Gomulja, I., & Adjie, H. (2020). Pengendalian Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Sistem Pre Project Selling. Law and Justice, 5(1), 39-54. Doi:
https://doi.org/10.23917/laj.v5i1.10395.
Krisno, A. A. D. J., Sirtha, I. N., & Rudy, D. G. (2018). Pencantuman Hak Opsi Perpanjangan Jangka Waktu Sewa Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 467/Pdt. G/2014/PN. Dps). Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(2), 233-246. Doi :
10.24843/AC.2018.v03.i02.p01.
Paramaningrat Manuaba, I., Parsa, I., & Ketut Ariawan, I. (2018). Prinsip Kehati-Hatian Notaris Dalam Membuat Akta Autentik. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(1), 59 – 74. Doi:10.24843/AC.2018.v03.i01.p05.
Pertiwi, E. (2018). Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta Nominee Yang Mengandung Perbuatan Melawan Hukum Oleh Para Pihak, Jurnal Ius, Universitas Brawijaya, 6(2) 252. Doi:http://dx.doi.org/10.29303/ius.v6i2.559.
Putra, F., & Anand, G. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Yang Dirugikan Atas Penyuluhan Hukum Oleh Notaris. Humani (Hukum dan Masyarakat Madani), 8(2), 105-116. Doi :
http://dx.doi.org/10.26623/humani.v8i2.1376.
Rokilah, M.M. (2018). “Pemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara asing”, Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Serang Raya, 2(2), 138. Doi:
https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i2.972.
Sufriadi, S. (2017). Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia. Jurnal Yuridis, 1(1), 57-72. Doi: http://dx.doi.org/10.35586/.v1i1.141.
Wulandari, A. (2019). Tanggung Jawab Notaris Akibat Batalnya Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Karena Cacat Hukum. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 436-445. doi:10.24843/AC.2018.v03.i03.p04.
Tesis :
Sagara P.P. (2010). Penerapan asas kepatutan dalam perjanjian sewa menyewa (studi kasus putusan Bani No. 296/H/ARB-BANI/2009 antara PT. Istana Noodle House dan PT. Plaza Indonesia realty.TBK), Tesis Universitas Indonesia. URL : http://lib.ui.ac.id/bo/uibo/detail.jsp?id=20302185&lokasi=lokal .
Online/World Wide Web:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. Retrieved from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tertentu, diakses pada tanggal 25 Desember 2020.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan dari Burgerlijk Wetbook oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1978, Sinar Grafika, Jakarta.
Indonesia, Undnang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan lembaran Negara republik Indonesia Nomor 2043, Jakarta.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 549, Jakarta.
449
Discussion and feedback