Pemberlakuan Asli Lembar Kedua Akta Pemberian Hak Tanggungan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik
on
Vol. 06 No. 02 Agustus 2021
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Pemberlakuan Asli Lembar Kedua Akta Pemberian Hak Tanggungan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik
Bella Kharisma1, Made Gde Subha Karma Resen2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 12 Maret 2021 Diterima : 23 Juni 2021
Terbit : 1 Juli 2021
Keywords :
Law Enforcement, Deed of Granting Mortgage Rights, Electronic Mortgage Rights
Kata kunci:
Pemberlakuan Hukum, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Hak Tanggungan Elektronik
Corresponding Author:
Bella Kharisma, E-mail: [email protected]
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i02.p09
Abstract
The research objective is to study and analyze the HT-el registration mechanism and the enforcement of the authentic second sheet of APHT that was registered electronically in terms of Constitution 4/1996. The research method used is normative legal research, with an statutes approach, analytical approach and conseptual approach. The results showed that before the enactment of Ministerial Regulation ATR/KBPN 5/2020, registration of mortgage rights was carried out manually by visiting the Land Office according to the provisions in Article 13 and Article 14 Constitution 4/1996 but after the enactment of Ministerial Regulation ATR / KBPN 5/2020 registration of rights Dependency is carried out using an electronic system; and the original storage of the second sheet of APHT cannot be enforced because the Mortgage Rights Law is still valid and does not give delegation authority to Ministerial Regulation ATR / KBPN 7/2019 to enforce the original storage of the second sheet of APHT at the PPAT Office as a document.
Abstrak
Tujuan penelitian untuk mengkaji dan menganalisa mekanisme pendaftaran HT-el dan pemberlakuan terhadap asli lembar kedua APHT yang didaftarkan secara elektronik ditinjau dari UU 4/1996. Metode penelitian yang digunakan yakni metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan Peraturan Perundang-Undangan, pendekatan Analisis dan pendekatan Konsep. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebelum berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020 pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan secara manual dengan mendatangi Kantor Pertanahan sebagaimana ketentuan yang ada dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU 4/1996 namun setelah berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020 pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan dengan sistem elektronik; dan penyimpanan asli lembar kedua APHT belum dapat diberlakukan karena UU 4/1996 masih berlaku dan tidak memberikan kewenangan delegasi pada Permen ATR/KBPN 7/2019 untuk memberlakukan penyimpanan asli lembar kedua APHT sebagai warkah di Kantor PPAT.
Penyederhanaan Hak Tanggungan dilakukan pemerintah Indonesia dalam penerapannya ingin melaksanakan sistem yang berbasis elektronik yang mana pemerintah memiliki keinginan untuk meningkatkan pembangunan perekonomian nasional, sehingga dengan bertitik berat pada pembangunan perekonomian tersebut, pemerintah dapat menciptakan suatu Hak Tanggungan yang memiliki kepastian terhadap hukum bagi pihak-pihak yang akan menerapkan sistem elektronik tersebut serta kegiatan bisnis dapat berjalan dengan baik, efektif dan efesien. Pelaksanaan Hak Tanggungan berbasis elektronik ini sendiri dibuat guna mempermudah pihak-pihak terkait didalamnya. Perjanjian yang dibuat pada Hak Tanggungan memiliki sifat accesoir yakni suatu perjanjian jaminan yang sifatnya memiliki ketergantungan dengan perjanjian pokok. Perjanjian kredit atau perjanjian utang dalam Hak Tanggungan bukanlah jaminan yang lahir karena undang-undang namun lahir berdasarkan perjanjian yang dibuat atas kesepakatan para pihak sehingga dalam proses penjaminan Hak Tanggungan terlebih dahulu dibuatkan perjanjian kredit atau perjanjian utang antara kreditur dan debitur yang akan dibebani Hak Tanggungan.1 Proses Hak Tanggungan terdapat dua tahapan yakni tahap pertama diawali dengan pembuatan perjanjian kredit atau perjanjian utang sebagai pokok utama dalam pelaksanaan Hak Tanggungan yang mana terjadi kesepakatan antara kreditur dan debitur sehingga terdapat hubungan hukum antara keduanya.2 Tahap kedua, pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), selanjutnya didaftarkan di Kantor Pertanahan guna memenuhi asas publisitas yang memberikan kedudukan atas benda jaminan sebagaimana dalam Hak Tanggungan lahir setelah didaftarkan di Kantor Pertanahan.3 Pembuatan akta dalam Hak Tanggungan yakni APHT asalah kewajiban dan tugasa seorang PPAT sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut dengan PP 37/1998 menentukan bahwa “Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
-
a. Jual Beli;
-
b. Tukar Menukar;
-
c. Hibah;
-
d. Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (Inbreng);
-
e. Pembagian Hak Bersama;
-
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik;
-
g. Pemberian Hak Tanggungan;
-
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 21 ayat (3) PP 37/1998 menentukan bahwa “akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu:
-
a. Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan, dan
-
b. Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya”.
Ketentuan penjelasan pasal 21 ayat (3) tersebut diatas maka PPAT memiliki kewajiban untuk menyimpan akta asli lembar pertama dan terhadap akta asli lembar kedua diberikan pada Kantor Pertanahan, serta PPAT juga memiliki kewajiban untuk membuatkan salinan akta yang akan diberikan kepada pihak kreditur dan debitur guna memenuhi asas publisitas terhadap pihak ketiga. Selanjutnya ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (Selanjutnya disebut UU 4/1996) menentukan bahwa "Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2) PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan", sehingga atas ketentuan ini maka asli lembar kedua APHT yang telah ditanda tangani diberikan tenggang waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari dari hari kerja dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan. Setelah APHT didaftarkan maka oleh Kantor Pertanahan akan dibuatkan dan dicatatkan kedalam buku pertanahan atas Hak Tanggungan yang dijadikan objek dari Hak Tanggungan dan pencatatan tersebut akan disalin di sertifikat hak tanah dari yang menjadi objek dari Hak Tanggungan tersebut, kemudian setelah selesai, kantor pertanahan akan memberikan penyerahan sertifikat baik sertifikat asli maupun sertifikat Hak Tanggungan kepada karyawan yang ditunjuk oleh PPAT sebagai kuasa menjadi pemohon pendaftaran Hak Tanggungan, yang mana sertifikat tersebut telah dibubuhi catatan Hak Tanggungan.
Seiring berjalannya waktu, mengenai Hak Tanggungan dalam pelaksanaannya yang membutuhkan proses cukup lama di Kantor Pertanahan dilakukan penyederhanaan proses dengan dibuatnya Hak Tanggungan berbasis elektronik (selajutnya disebut HT-el) mengingat HT-el ini diperlukan untuk mengatasi keterlambatan banyaknya dokumen-dokumen Hak Tanggungan yang masih belum terselesaikan di Kantor Pertanahan. Pelaksanaan HT-el ini sendiri dilakukan untuk mengatasi kemacetan birokrasi Kantor Pertanahan yang membuat lamanya selesai proses Hak Tanggungan, sehingga dengan adanya HT-el semua pihak terkait akan membantu seperti para PPAT, kreditur akan membantu penginputan data sehingga proses Hak Tanggungan akan cepat selesai dilakukan dan mengikuti perkembangan zaman yang semakin canggih dan cepat dalam penyimpanan data-data dalam buku tanah. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (Selanjutnya disebut Permen ATR/BPN 5/2020) yang mulai berlaku sejak diundangkannya tanggal 06 April 2020. Permen ATR/BPN 5/2020 diharapkan dapat menyempurnakan pelaksanakan HT-el , yang mana pemerintah Indonesia memiliki tujuan agar dapat menyederhanakan pelayanan Hak Tanggungan menjadi lebih
mudah agar dapat memenuhi asas keterbukaan, kecepatan, efesien, ketepatan waktu dan memiliki efektifitas terhadap pelaksanaan Hak Tanggungan, sehingga dengan terbitanya peraturan menteri tersebut maka pelayanan Hak Tanggungan yang semula dengan proses manual dengan datang ke Kantor Pertanahan berubah menjadi Hak Tanggungan dengan sistem secara elektronik. Sistem elektronik pada Hak Tanggungan ini dalam pelaksanaannya diselenggarakan Kantor Pertanahan secara bertahap mengingat Kantor Pertanahan sedang menyesuaikan data-data pendukung untuk menjalankan sistem Hak Tanggungan yang berbasis elektronik. Pelaksaan sistem HT-el ini diharapakan dapat berjalan dengan baik kedepannya, serta dalam telaksananya HT-el terdapat peran serta pihak-pihak yang berkaitan satu sama lainnya, sehingga terdapat tiga pilar unsur terlaksananya Hak Tanggungan elektronik yaitu Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman dana terhadap debitur, PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuatkan akta autentik dan Kantor Pertanahan sebagai lembaga pemerintahan untuk melakukan pendaftaran Hak Tanggungan yang mana ketiganya merupakan SDM (Sumber Daya Manusia) sehingga dapat membantu terlaksananya proses Hak Tanggungan dari tahapan awal sampai dengan terbitnya sertifikat Hak Tanggungan. Tiga pilar unsur tersebut di atas mempunyai fungsi membantu tugas pemerintah.4
Pendaftaran HT-el, permohonan pendaftaran diajukan oleh kreditor, sedangkan kelengkapan dokumen-dokumen dalam bentuk elektronik mengenai persayaratan Hak Tanggungan dilengkapi dan disiapkan oleh PPAT yang keseluruhannya menggunakan sistem elektronik pada website yang telah disiapkan Kementrian ATR/KBPN yakni Layanan Mitra Kerja yang telah terintegrasi dengan sistem HT-el sebagaimana yang diatur dalam Pasal 102 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Permen ATR/KBPN 7/2019), menentukan bahwa:
-
1) “Akta PPAT dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya.
-
2) Akta PPAT yang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Dokumen Elektronik.
-
3) Penyampaian akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Sistem Elektronik”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 102 tersebut diatas, PPAT yang berwenang membuat akta harus menyampaikan dalam bentuk dokumen elektronik guna keperluan pendaftaran, dan terhadap asli lembar kedua akta PPAT tersebut disimpan sebagai warkah di Kantor PPAT. Ketentuan mengenai dokumen elektronik diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
menentukan bahwa “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”. Dengan demikian terhadap dokumen-dokumen pendafatran Hak Tanggungan akan disampaikan oleh PPAT dalam bentuk elektronik dengan men-scan secara keseluruhan dan selanjutnya akan di unggah pada sistem elektronik. Permen ATR/KBPN 5/2020 menyatakan bahwa PPAT memiliki tanggung jawab atas kebenaran materil dokumen-dokumen yang telah diunggah dalam sistem HT-el. Pasal 20 ayat (4) Permen ATR/KBPN 5/2020 menentukan bahwa “dalam hal dokumen yang digunakan sebagai dasar penerbitan sertipikat HT-el dinyatakan palsu, maka pengirim dokumen yakni PPAT selaku pengirim dokumen dalam layanan pendaftaran dan/atau peralihan HT-el, bertanggungjawab baik secara pidana maupun perdata”.
Selanjutnya, jika dilihat ketentuan Pasal 102 ayat (4) Permen ATR/KBPN 7/2019 yang menentukan bahwa “Dalam hal akta PPAT disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik, asli lembar kedua disimpan di kantor PPAT sebagai warkah”, terdapat tumpang tindih pada Pasal 13 ayat (2) UU 4/1996 yang menentukan bahwa “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan” maka terjadi konflik norma antara kedua peraturan Perundang-Undangan tersebut, sehingga dengan penjelasan diatas akan dilakukan penelitian guna mengetahui kepastian hukum terhadap asli lembar kedua APHT dalam pendaftaran HT-el.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka dibuatlah penelitian dengan judul “Pemberlakuan Asli lembar Kedua Akta Pemberian Hak Tanggungan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik” dengan 2 (dua) rumusan masalah yakni (1) Bagaimanakah mekanisme pendaftaran Hak Tanggungan sebelum dan setelah berlakunya Permen ATR/BPN 5/2020?, (2) Bagaimanakah pemberlakuan terhadap asli lembar kedua APHT yang didaftarkan secara elektronik ditinjau dari UU 4/1996? Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa mekanisme pendaftaran HT-el dan pemberlakuan terhadap asli lembar kedua APHT yang didaftarkan secara elektronik ditinjau dari UU 4/1996.
State of art dari penulisan ini mengambil contoh dari penelitian terlebih dahulu yang berkaitan dengan permasalahan mengenai Hak Tanggungan yang dilakukan secara elektronik, berikut penelitian yang dijadikan dasar dalam penulisan ini antara lain: Penelitian pertama, dengan judul “Kebijakan Penjaminan Tanah Melalui Hak Tanggungan di Indonesia (Studi Penjaminan Hak Tanggungan Elektronik di Kabupaten Badung Provinsi Bali)”, oleh IGA Gangga Santi Dewi, Universitas Diponegoro, Tahun 2020, dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana mekanisme penjaminan Hak Tanggungan di Kabupaten Badung Provinsi Bali?; (2) Apakah perbedaan mekanisme penjaminan Hak Tanggungan menurut “Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dengan penjaminan HT menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2019”?5, pada penelitian ini membahas mengenai tatacara penjaminan Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan di Kabupaten Badung dan membandingkan ketentuan HT-el berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2019, sehingga dengan ini penulis tertarik membahas mengenai mekanisme HT-el dengan menggunakan aturan baru yakni Permen ATR/BPN 5/2020.
Selanjutnya, penelitian kedua dengan judul “Pendaftaran Hak Tanggungan Elektronik Yang akan Mulai Dilaksanakan Di Badan Pertanahan”, oleh Nurul Nadira, Notaris dan PPAT di Kabupaten Jember, Tahun 2019, dengan tidak menggunakan rumusan masalah namun pembahasan spesifik dengan membahas mengenai Hak Tanggungan elektronik dengan berlakunya Permen ATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2019. 6 pada penelitian ini membahas mengenai berlakunya HT-el dengan menggunakan peraturan sebelum diperbaharuinya ketentuan Permen ATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2019, sehingga atas dasar jurnal inilah belum ada penulis yang menjelaskan proses HT-el dengan menggunakan Permen ATR/KBPN 5/2020.
Kedua penelitian tersebut memiliki permasalahan yang berbeda dengan apa yang diteliti oleh penulis, yang mana pada penelitian ini menggunakan peraturan menteri terbaru mengenai HT-el yakni Permen ATR/KBPN 5/2020 sehingga terdapat beberapa pengaturan yang telah diubah mengenai mekanisme pendaftaran HT-el, serta menekankan membahas mengenai penyimpanan akta asli lembar kedua APHT yang setelah berlakunya HT-el penyimpanan akta asli lembar kedua dilakukan di Kantor PPAT sebagai warkah.
-
2. metode penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif dengan mengkaji mengenai pendaftaran HT-el dan pemberlakuan terhadap asli lembar kedua APHT yang didaftarkan secara elektronik dilihat dari UU 4/1996 yang didasari dari adanya konflik norma antara Pasal 102 ayat (4) Permen ATR/KBPN 7/2019 yang memberlakukan asli lembar kedua APHT sebagai warkah di Kantor PPAT dengan telah diuploadnya APHT pada sistem elektronik sedangkan Pasal 13 ayat (2) UU 4/1996 masih berlaku dan memberlakukan asli lembar kedua APHT sebagai arsip yang diberikan untuk Kantor Pertanahan sebagaimana pendaftaran Hak Tanggungan. Jenis Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (statutes approach), Pendekatan analisis (analytical approach) dan Pendekatan Konsep (conseptual approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang bersifat mengikat yang terikat dengan permasalahan meliputi peraturan perundang-undangan terkait. Peraturan tersebut yakni UU 4/1996, Permen ATR/KBPN 7/2019, Permen ATR/BPN 5/2020, PP 37/1998. Bahan hukum sekunder terkait dengan permasalahan pada artikel ini yaitu buku, artikel/jurnal hukum, serta bahan hukum tersier yang dapat dikumpulkan dari internet. Metode analisis bahan hukum yang
dipakai ialah tenik deskriptif yang menjelaskan mengenai peristiwa atau kondisi hukum.7
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Mekanisme Pendaftaran Hak Tanggungan Elektronik Ditinjau Dari Permen ATR/KBPN Nomor 5 Tahun 2020
-
3.1.1 Pendaftaran Hak Tanggungan Sebelum Berlakunya Permen ATR/KBPN Nomor 5 Tahun 2020
-
-
Pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan dengan suatu perjanjian sebagai jaminan atas pelunasan suatu piutang. Hak Tanggungan adalah suatu penjaminan benda tidak bergerak berupa hak atas tanah yang diakui oleh Undang-Undang, berupa hak atas tanah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan, yang mana keseluruhan objek atas hak tanah tersebut pada proses Hak Tanggungan akan dijadikan sebagai jaminan utang piutang oleh debitur kepada kreditur. Pendaftaran Hak Tanggungan pada pokoknya dilakukan setelah debitur dan kreditur sepakat dengan membuat perjanjian kredit lalu dituangkan dalam akta autentik oleh PPAT sampai dengan proses di Kantor Pertanahan. Seiring berjalannya waktu proses Hak Tanggungan yang berlangsung pada Kantor Pertanahan memerlukan waktu yang cukup lama dan membuat keterlambatan terbitnya sertifikat Hak Tanggungan. Hal inilah yang mendorong pemerintah Kementrian ATR/BPN membuat terobosan baru yakni HT-el agar lebih memudahkan kreditur, debitur maupun PPAT dalam melakukan pendaftaran Hak Tanggungan berdasarkan asas keterbukaan, ketepatan, efesien, kemudahan dan keterjangakauan sehingga dengan adanya HT-el proses terkait Hak Tanggungan menjadi lebih efektif dan lebih cepat daripada pelaksanaan Pendaftaran di Kantor Pertanahan.
Sebelum berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020, mekanisme proses pada pendaftaran Hak Tanggungan hanya dilakukan secara manual dengan mendatangi Kantor Pertanahan sebagaimana ketentuan dari UU 4/1996. Selanjutnya sebelum berlakunya UU 4/1996, ketentuan pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menentukan bahwa “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang”, dan ketentuan Pasal 57 UUPA menentukan bahwa “Selama Undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad.1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190”, merupakan aturan pelaksanaan yang digunakan untuk membentuk UU 4/1996. Ketentuan tersebut dimaksudkan guna mengakhiri dualisme peraturan terkait dengan jaminan hak atas tanah yang dahulu menggunakan lembaga jaminan hipotek dan hak kebendaan yang dibuktikan dengan pelunasan perikatan (credietverband). Melalui UU 4/1996 hak
jaminan atas tanah dikonversi dan diunifikasi menjadi Hak Tanggungan.8 Jika dilihat dari Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU 4/1996 menentukan bahwa “yang dibebani Hak Tanggungan ialah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai”. Prosedur dalam pemberian Hak Tanggungan diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU 4/1996, yang menentukan bahwa :
-
1. “Pemberian Hak Tanggungan didahului janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan terpisahkan dari perjanjian utang piutang;
-
2. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
-
3. Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berada dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan”.
Ketentuan dalam Pasal 10 tersebut di atas, mengatur ketentuan bahwa APHT merupakan kewajiban dan tugas dari PPAT untuk membuatkan suatu akta autentik serta harus memberikan kepastian terhadap jaminan yang menjadi objek dari Hak Tanggungan dan harus memberikan keamanan pada kreditur guna mendapatkan pelunasan dari debitur, namun dalam ketentuan UU 4/1996 melindungi hak debitur karena dalam ketentuannya kreditur tidak memiliki kewenangan untuk mendapatkan hak milik atas objek jaminan debitur. Selanjutnya pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 UU 4/1996. Ketentuan Pasal 13 yaitu:
-
1. “Pemberian Hak Tanggungan Wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan;
-
2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2) PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
-
3. Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungandan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
-
4. Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuhpada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerjaberikutnya.
-
5. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah HakTanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)”.
Ketentuan Pasal 14 yaitu:
-
1. “Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan.
-
2. Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
-
3. Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah”.
Pada saat akan mendaftarkan Hak Tanggungan persyaratan yang harus dipenuhi yakni:
-
a. “Surat Pengantar dari PPAT;
-
b. Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak
Tanggungan;
-
c. Fotocopy bukti identitas (KTP dan KK) pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan;
-
d. Melampirkan Sertifikat asli hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan;
-
e. Lembar kedua akta pemberian Hak Tanggungan yang telah ditandatangani pihak-pihak terkait;
-
f. Salinan APHT yang sudah ditandatangani oleh PPAT untuk disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dan di lekatkan pada sertifikat Hak Tanggungan;
-
g. SKMHT jika pelaksanaan Hak Tanggungan dilakukan melalui kuasa untuk penandatanganan APHT”.9
Asas Hak Tanggungan salah satunya yakni asas publisitas, yang mana merupakan syarat mutlak dari didaftarkannya Hak Tanggungan guna agar dapat mengikat pihak ketiga, serta APHT yang telah ditandatangani oleh para pihak harus dilakukan pendaftaran dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sehingga dengan demikian maka asas publisitas dapat terpenuhi dan mengikat pihak ketiga. Selanjutnya terkait irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang termuat dalam sertifikat Hak Tanggungan merupakan penegasan atas kekuatan ekskutorial pada sertifikat tersebut, agar jika dikemudian hari terjadi wanprestasi terhadap objek yang dijaminkan sebagai Hak Tanggungan maka objek tersebut dapat dieksekusi sebagaimana putusan pengadilan yang inkracht, melalui lembaga ekskeusi melalui Parate Eksekusi (Parate Executie).
Pemberlakuan dari Permen ATR/KBPN 5/2020 merupakan suatu proses penyederhanaan Hak Tanggungan dan dilakukan melalui sistem elektronik yakni pada situs layanan mitra mandiri yang mana pemerintah Indonesia memiliki tujuan agar dapat membuat pelayanan Hak Tanggungan menjadi lebih mudah yang memenuhi asas kecepatan, efesien, keterbukaan, ketepatan waktu dan memiliki efektifitas terhadap pelaksanaan Hak Tanggungan. Sebagaimana ketentuan pada Pasal 3 ayat (2) “pelayanan Hak Tanggungan dilaksanakan secara elektronik melalui sistem
HT-el”. Dalam Pasal 6 menentukan bahwa “Jenis pelayanan dalam sistem HT-el diatur yakni:
-
a. Pendaftaran Hak Tanggungan;
-
b. Peralihan Hak Tanggungan;
-
c. Perubahan Nama Kreditur;
-
d. Penghapusan Hak Tanggungan”.
Tatacara didaftarkannya suatu Hak Tanggungan dengan menggunakan sistem elektronik dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 9 sampai dengan Pasal 23 Permen ATR/KBPN 5/2020. Sehubungan dengan hal tersebut maka HT-el diharapkan dapat mengimplementasikan asas-asas yang diharapkan dapat mampu membuat pelaksanaan HT-el dapat berjalan sesuai yang diharapkan yakni:
-
1. Asas Kecepatan adalah proses HT-el harus dilaksanakan dengan waktu yang singkat dan cepat.
-
2. Asas Efesien/efektif adalah pelaksanaan HT-el diilaksanakan dengan efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
-
3. Asas Keterbukaan adalah suatu proses terhadap pendaftaran tanah yang dilakukan secara terus menerus sehingga pendaftaran tersebut dapat memudahkan Kantor Pertanahan dalam hal penyimpanan data-data terkait sesuai dengan kondisi dilapangan dan data-data tersebut benar adanya,10 sehingga dalam melaksanakan HT-el mampu dapat memberikan infomasi yang benar, tahap-tahap pada sistem sesuai dengan berkas yang telah diunggah.
-
4. Asas Ketepatan Waktu adalah dilaksanakan dengan tepat waktu tidak seperti Hak Tanggungan manual yang menghabiskan banyak waktu dan membuat lamanya sertifikat Hak Tanggungan terbit.
Asas-asas tersebut diharapkan pemerintah dapat membantu terlaksananya sistem layanan mandiri HT-el dengan baik tanpa adanya kendala sebagaimana aturan yang telah dibuat dalam Permen ATR/KBPN 5/2020. Selanjutnya permohonan pendaftaran HT-el dimulai dengan pemohon yang telah terdaftar dapat mengajukan permohonan Hak Tanggungan melalui sistem HT-el sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Permen ATR/KBPN 5/2020 yang menentukan bahwa:
-
1) “Kreditor mengajukan permohonan Pelayanan HT-el melalui Sistem HT-el yang disediakan oleh Kementerian.
-
2) Dalam hal permohonan Pelayanan HT-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pendaftaran Hak Tanggungan atau peralihan Hak Tanggungan, dokumen kelengkapan persyaratan disampaikan oleh PPAT.
-
3) Dalam hal permohonan Pelayanan HT-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perubahan nama Kreditor, penghapusan Hak Tanggungan, atau perbaikan data, dokumen kelengkapan persyaratan disampaikan oleh Kreditor.
-
4) Persyaratan permohonan Pelayanan HT-el sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan disampaikan dalam bentuk Dokumen Elektronik”.
Sebagaimana ketentuan Pasal 9 tersebut diatas permohonan diajukan oleh PPAT serta pada saat permohonan diajukan PPAT diharuskan menyatakan pertanggungjawaban terkait kebenaran dan keabsahan dokumen dalam bentuk elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (4). Permohonan terkait dengan Hak Tanggungan hanya dapat didaftarkan oleh PPAT dengan menggunakan sistem elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang menentukan bahwa “dalam hal permohonan pendaftaran Hak Tanggungan, persyaratan permohonan berupa APHT diajukan oleh PPAT dalam bentuk elektronik”. Setelah permohonan diterima oleh sistem elektronik pada layanan mitra mandiri maka akan diberikan bukti telah melakukan pendaftaran Hak Tanggungan berupa nomor berkas, tanggal berkas saat didaftarkan, nama kreditur maupun debitur yang melakukan Hak Tanggungan serta akan mendapatkan kode billing pembayaran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) guna proses layanan dalam sistem pendaftaran.
Mengenai tanda bukti telah melakukan suatu permohonan pada sistem HT-el diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2). Butki tersebut berupa file yang diberikan yang berisikan nomor pembayaran terhadap biaya permohonan dan harus dibayarkan pada bank presepsi dalam jangga waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan Hak Tanggungan di daftarkan sesuai pada Pasal 12 ayat (2).
Pada Pasal 14 ayat (1) menentukan bahwa “Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk tidak melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai pada hari ke-7 (tujuh) dan hasil Pelayanan HT-el diterbitkan oleh Sistem HT-el, dianggap memberikan persetujuan dan/atau pengesahan”, dengan demikian proses Hak Tanggungan akan diproses selama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya pembayaran biaya layanan serta setelah 7 (tujuh) hari permohonan telah di konfirmasi oleh pihak Kantor Pertanahan maka sertifikat Hak Tanggungan diterbitkan pada sistem layanan mandiri tersebut. Selanjutnya sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) menentukan bahwa “Hasil pelayanan yang diterbitkan sistem elektronik berupa Sertipikat Hak Tanggungan, catatan Hak Tanggungan pada buku tanah dan Sertipikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan rumah susun dalam bentuk dokumen elektronik”. Hasil pelayanan pada sistem elektronik tersebut akan menerbitkan berupa sertifikat Hak Tanggungan dan diterbitkan dalam bentuk elektronik diberikan tanda tangan oleh Kepala Badan Pertanahan agar sertipikat tersebut memiliki keutuhan, dan keautentikannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1). Jika terdapat kesalahan pada saat pengisian data setelah sertipikat telah diterbitkan maka dapat dilakukan perbaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak sertifikat Hak Tanggungan diterbitkan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19. Selanjutnya ketentuan Pasal 20 menentukan bahwa:
-
1) “Pelaksanaan Pelayanan HT-el menjadi tanggung jawab Kepala Kantor Pertanahan.
-
2) Kebenaran materiil dokumen yang menjadi dasar hasil Pelayanan HT-el bukan merupakan tanggung jawab Kantor Pertanahan.
-
3) Dalam hal terdapat dokumen yang dinyatakan palsu dan digunakan sebagai dasar penerbitan Sertipikat HT-el, maka pegawai Kantor Pertanahan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban secara hukum.
-
4) Dokumen yang dinyatakan palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim dokumen baik pidana maupun perdata”.
Pendaftaran Hak Tanggungan sebelum dan setelah berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020 sangatlah berbeda, sebelum berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020 Hak Tanggungan didaftarkan dengan cara manual namun setelah berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020 pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan dengan sistem elektronik serta kreditur juga dapat melakukan pencatatan Hak Tanggungan sendiri dengan mencetak catatan Hak Tanggungan yang telah diterbitkan dan melekatkannya pada sertifikat yang dijadikan objek Hak Tanggungan. Proses pendaftaran ini HT-el ini memiliki kemanfaatan dalam mencapai tujuan hukum yakni penyerdahaan proses, ketepatan waktu, kemudahan, efektivitas dan efesiensi, sehingga dengan adanya pendaftaran HT-el ini dapat memberikan manfaat yang sebsar-besarnya terhadap pihak-pihak yang berkaitam salah satunya masyarakat sebagai debitur yang menginginkan proses Hak Tanggungan dapat terlaksana dengan efektif, efisiem dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan hal tersebut.
-
3.2 Pemberlakuan Terhadap Asli Lembar Kedua APHT Yang Didaftarkan Secara Elektronik Ditinjau Dari UU Hak Tanggungan
Hak Tanggungan dapat terjadi berdasarkan suatu kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian untuk menjaminkan suatu objek tidak bergerak yakni hak atas tanah dan atas dasar perjanjian pembebanan jaminan yang akan dibuatkan suatu akta autentik yakni APHT. Hak Tanggungan yang telah dibuat dalam bentuk APHT haruslah didaftarkan pada Kantor Pertanahan agar memiliki kekuatan hukum. Dalam melaksanakan jabatannya sebagai pejabat umum, PPAT memiliki tugas untuk membuatkan akta otentik yakni APHT guna proses pendaftaran Hak Tanggungan. Kewajiban hukum PPAT tersebut berkaitan erat dengan tanggung jawab hukum. Tanggung jawab hukum tersebut menuntut PPAT agar dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dalam jabatannya untuk tidak melanggar aturan yang telah ada sehingga jika PPAT melanggar ketentuan tersebut maka akan dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. 11
Dokumen elektronik yang disampaikan oleh PPAT dalam pendaftaran HT-el membawa akibat hukum untuk PPAT sebagaimana ketentuan Pasal 102 ayat (4) Permen ATR/KBPN 7/2019 yang menentukan bahwa “Dalam hal akta PPAT disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik, asli lembar kedua disimpan di kantor PPAT sebagai warkah”, dengan ketentuan demikian maka hal tersebut membuat PPAT memiliki kewajiban baru dengan menyimpan asli lembar kedua APHT dikantornya, yang mana sebelum berlakunya HT-el kewajiban PPAT hanyalah menyimpan asli lembar pertama APHT, sehingga saat ini PPAT berkewajiban untuk
menyimpan asli lembar pertama dan asli lembar kedua sebagai warkah.12 Disimpannya kedua akta asli lembar pertama dan asli lembar kedua APHT di Kantor PPAT, membuat semakin bertambahnya tanggung jawab PPAT atas keberadaan kedua asli APHT tersebut. Pasal 21 ayat (3) PP 37/1998 menentukan bahwa “Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar yaitu:
-
a. Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan, dan;
-
b. Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya”.
Ketentuan Pasal 21 ayat (3) PP 37/1998 yang mewajibkan PPAT untuk menyimpan asli lembar pertama pada kantornya dan asli lembar kedua diserahkan pada Kantor Pertanahan, hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar kedua pihak baik PPAT dan Kantor Pertanahan memiliki alat bukti fisik terhadap akta-akta tersebut dan memang benar terjadi suatu perbuatan hukum atas tanah atau satuan rumah susun. Selain bertambahnya kewajiban PPAT terhadap penyimpanan kedua asli akta APHT tersebut, PPAT juga memiki akibat hukum baru terhadap penyampaian dokumen elektronik pada sistem HT-el terkait perannya sebagai pejabat yang berwenang mengirimkan dokumen dalam layanan Hak Tanggungan elektronik. Sebelum diberlakukan sistem elektronik, pada dasarnya pendaftaran dalam Hak Tanggungan dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU 4/1996 menentukan bahwa “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan”. Dari ketentuan tersebut diatas bahwa PPAT hanya memiliki kewajiban untuk menyimpan asli lembar pertama APHT di kantorya dan asli lembar kedua APHT akan diserahkan pada Kantor Pertanahan untuk proses pendaftaran Hak Tanggungan.
Ketentuan tersebut membuat terjadinya perbedaan prosedur pelaksanaan pendaftaran HT-el dalam hal penyampaiam akta dan dokumen-dokumen pendaftaran. UU 4/1996, PP 37/1998 mewajibkan PPAT untuk memberikan dokumen-dokumen fisik secara manual dengan mendatangi Kantor Pertanahan sehingga Kantor Pertanahan menyimpan asli fisik dari dokumen tersebut guna kepentingan pendaftaran Hak Tanggungan, namun saat ini hal tersebut tidak berlaku lagi dengan adanya ketentuan baru mengenai pendaftaram HT-el yang mana seluruh dokumen-dokumen dan akta APHT didaftarkan melalui sistem elektronik berupa men-scan dokumen-dokumen dan akta APHT. Dengan demikian Kantor Pertanahan dengan didaftarkan HT-el melalui
sistem elektronik maka tidak lagi menerima dokumen fisik yang menjadi persyaratan yang mana Kantor Pertanahan memiliki tujuan untuk menerapkan sistem zero warkah dengan cara melakukan semua proses Hak Tanggungan melalui sistem elektronik sehingga warkah yang disimpan dalam bentuk elektronik pula.
Diberlakukannya HT-el tersebut membuat seluruh proses terkait dengan Hak Tanggungan dilakukan secara elektronik sehingga oleh karenanya seluruh dokumen-dokumen terkait pendaftaran juga disampaikan secara elektronik, maka penyimpanan asli lembar kedua wajib dilakukan oleh PPAT dikantornya sebagai warkah. Atas ketentuan tersebut maka PPAT bertanggung jawab penuh atas asli lembar kedua APHT yang merupakan akta autentik. Apabila dikemudian hari terjadi kehilangan atau musnahnya asli lembar kedua APHT tersebut maka PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang memiliki tanggung jawab atas keberadaan akta autentik tersebut. Disamping itu, terdapat pengaturan dalam Permen ATR/KBPN 5/2020 yang menentukan bahwa PPAT juga bertanggung jawab mengenai kebenaran materiil dokumen yang disampaikannya ke dalam sistem Hak Tanggungan elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (4), yang mana PPAT selaku pengirim dokumen elektronik bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata.
Berdasarkan ketentuan diatas terdapat konflik norma dalam ketentuan Pasal 102 ayat (4) Permen ATR/KBPN 7/2019 dengan Pasal 13 ayat (2) UU 4/1996. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) menentukan bahwa “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
-
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
-
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
-
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
-
d. Peraturan Pemerintah;
-
e. Peraturan Presiden;
-
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
-
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Selanjutnya ketentuan Pasal 8 UU 12/2011 menentukan bahwa:
-
1) “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencangkup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
-
2) Peraturan yang diatur di Pasal 8 ayat (1) diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum selama merupakan perintahkan dari Peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
Jika dilihat dari ketentuan permasalahan yang mengalami konflik norma, dapat diselesaikan dengan menggunakan asas preferensi dan dikaitkan dengan pelaksanaan Pasal
-
7 ayat (1) dan Pasal 8 UU 12/2011 tersebut diatas. Asas preferensi dalam penyelesaian konflik dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:
-
• Lex Superiori Derogat Legi Inferiori, peraturan yang lebih tinggi akan
melumpuhkan peraturan yang lebih rendah;
-
• Lex Specialis Derogat Legi Generali, peraturan khusus akan menyampingkan peraturan umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
-
• Lex Posteriori Derogat Legi Priori, peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.
Pada permasalahan dalam penelitian ini dapat menggunakan Asas Lex superior derogat legi inferiori dalam menyelesaikan permasalahannya yakni ketentuan undang-undang yang tingkatanya lebih tinggi akan melumpukan suatu peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah. Suatu tingkatan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yang mana kedudukan undang-undang memiliki posisi yang lebih tinggi daripada peraturan menteri yang mana tingakatan peraturan menteri dibawah dari Undang-Undang sebagaimana penjelasan Pasal 8 ayat (2) tersebut diatas, sehingga dengan menggunkan Asas Lex superior derogat legi inferiori maka kedudukan UU 4/1996 memiliki tingkatan hirarki yang lebih tinggi daripada Permen ATR/KBPN 7/2019, dimana UU 4/1996 selaku Undang-Undang termasuk kedalam hierarki pada Pasal 7 ayat (1) huruf c UU 12/2011 sedangkan Permen ATR/KBPN 7/2019 hanya merupakan peraturan menteri yang tidak masuk dalam hierarki namun terkait keberadaannya tetap diakui dan dilihat dari segi hukumnya tetap memiliki kekuatan hukum selama adanya peraturan hirarki yang memiliki tingkatan lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan diatur pada Pasal 8 UU 12/2011. Pada peninjauan terhadap permasalahan konflik norma dalam penyelesaian permasalahan akan digunakan teori kewenangan yang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum yang mana dalam peninjauan kedua pasal tersebut teori kewenangan merupakan sumber dari kewenangan atribusi yang didasarkan dari kekuasaan Negara menurut Undang-Undang serta kewenangan delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari atribusi dan mandate. 13
Ketentuan dalam UU 4/1996 merupakan peraturan yang dibuat dan dibentuk dengan kewenangan atributif sebagaimana yang telah diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbeda halnya dengan ketentuan pada Permen ATR/KBPN 7/2019 yang merupakan peraturan yang dibuat dan dibentuk berdasarkan kewenangan atributif yang mana kewenangan tersebut tidak dimiliki oleh menteri karena dasar untuk membentuk suatu peraturan menteri harus didasari pada kewenangan delegasi. Jadi walaupun dengan pembentukan Permen ATR/KBPN 7/2019 ini dibuat guna mempermudah pelayanan Hak Tanggungan baik untuk masyarakat, bank maupun PPAT namun tetap saja kewenangan yang diberikan haruslah berdasarkan kewenangan delegesasi sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011.
Diberlakukannya Permen ATR/KBPN 7/2019 tidak terdapat pelimpahan atas wewenang dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, sehingga menyebabkan Permen ATR/KBPN 7/2019 seharusnya belum diberlakukan sampai dengan adanya suatu kepastian hukum untuk memberlakukan Permen ATR/KBPN 7/2019 dengan ketentuan penyimpanan APHT lembar kedua pada Kantor PPAT. Terkait dengan penyimpanan APHT lembar kedua jika mengacu pada UU 12/2011 maka ketentuan pada UU 4/1996 haruslah masih digunakan mengingat UU 4/1996 merupakan peraturan perundang-undangan dengan hierarki lebih tinggi daripada Permen ATR/KBPN 7/2019. Dengan diketahui pendaftaran Hak Tanggungan berdasarkan UU 4/1996 maka hal tersebut sesuai dengan teori hukum yakni teori kepastian hukum. Digunakannya teori kepastian hukum ini bertujuan untuk tercapainya unsru-unsur keadilan, filosofis dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pemberlakuan UU 4/1996 dalam penyimpanan APHT lembar kedua ini jelas untuk kepastian hukum bagi PPAT .
-
4. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa Sebelum berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020 pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan secara manual dengan mendatangi Kantor Pertanahan sebagaimana ketentuan yang ada dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU 4/1996 namun setelah berlakunya Permen ATR/KBPN 5/2020 pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan dengan sistem elektronik dan kreditur dapat melakukan pencatatan Hak Tanggungan sendiri dengan mencetak catatan Hak Tanggungan yang telah diterbitkan dan melekatkannya pada sertifikat yang dijadikan objek Hak Tanggungan. Pemberlakuan terhadap asli lembar kedua APHT yang didaftarkan secara elektronik ditinjau dari UU 4/1996 belum dapat diberlakukan karena ketentuan UU 4/1996 masih diberlakukan serta ketentuan peraturan menteri masih memerlukan pelimpahan wewenang dari peraturan yang lebih tinggi yakni UU 4/1996. Pada UU 4/1996 sendiri belum terdapat pengaturan pemberian kewenangan terkait penyimpanan asli lembar kedua APHT sebagai warkah yang disimpan di Kantor PPAT pada peraturan menteri maka dapat dikatakan bahwa penyimpanan asli lembar kedua APHT dikantor PPAT belum dapat dilakukan mengingat berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 kedudukan UU 4/1996 lebih tinggi dari kedudukan Peraturan Menteri. Sehubungan dengan kesimpulan tersebut di atas, dapat disarankan bagi pemerintah untuk menyempurnakan aturan yang ada dalam UU 4/1996 guna ketentuan untuk memberlakukan sistem elektronik agar memberikan kepastian hukum bagi PPAT untuk melakukan penyimpanan asli lembar kedua APHT pada Kantornya sebagai warkah mengingat APHT merupakan akta otentik sehingga jika PPAT melakukan kesalahan dalam sistem elektronik maka akan dimintakan pertanggungjawabannya.
Daftar Pustaka
Buku:
Dewi. I.G.S. (2012). Teori dan Praktek Hak Tanggungan. Semarang: UPT Undip Press.
Diantha, I.M.P. (2017). Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.
Salim, H. S. dan Nurbani, E. S. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: RajazGrafindo Persada.
Jurnal:
Dewi, I. G. S., & Ardani, M. N. (2020). Kebijakan Penjaminan Tanah Melalui Hak Tanggungan di Indonesia (Studi Penjaminan Hak Tanggungan Elektronik di Kabupaten Badung Provinsi Bali). Law, Development & Justice Review, 3(1), 57-69, doi: https://doi.org/10.14710/ldjr.v3i1.7835.
Imanda, N. (2020). Lahirnya Hak Tanggungan Menurut Peraturan Pemerintah Agraria Tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik. Notaire, 3(1), 151-164. doi: http://dx.doi.org/10.20473/ntr.v3i1.17536.
Marindowati, M. (2016). Pendaftaran Hak Tanggungan Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 1(1). doi: https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v1no1.533.
Nadira. N. (2019), Pendaftaran Hak Tanggungan Elektronik Yang Akan Mulai Dilaksanakan Di Badan Pertanahan. Fairness and Justice: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 17(2), 162-165. doi: https://doi.org/10.32528/faj.v17i2.2801.
Natania, D., Abubakar, L., & Lubis, N. A. (2020). PENYAMPAIAN AKTA
PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SETELAH DIBERLAKUKANNYA PERATURAN MENTERI ATR/KBPN NOMOR 5 TAHUN 2020 TENTANG PELAYANAN HAK TANGGUNGAN TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 3(2), 273-291. E-ISSN: 2614-3550,
http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/acta/article/view/227.
Sari, I. G. A. D., Wairocana, I. G. N., & Resen, M. G. S. K. (2018). Kewenangan Notaris Dan PPAT Dalam Proses Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(1), 41-58. doi:
https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p04.
Wiguna, I. W. J. B, 2020, Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 5(1), 79-88, doi:
https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i01.p07.
Disertasi :
Baswindro, B. (2020). Analisis yuridis pelayanan Hak Tanggungan terintegras secara elektronik (Doctoral dissertation, Universitas Pelita Harapan).
Piescesa, F. I. M. (2020). PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN SECARA ELEKTRONIK (HT-el) DI KANTOR PERTANAHAN SURABAYA I (Doctoral dissertation, UPN" veteran" Jawa Timur).
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893).
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 722).
Peraturan Menteri Agraria dan TatazRuang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 349).
339
Discussion and feedback