Vol. 5 No. 3 Desember 2020

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Perlindungan Aset Lokal Yang Belum Terdaftar Indikasi Geografis Dari Kejahatan Cybersquatting

Ni Komang Cempaka Dewi1, Putu Tuni Cakabawa Landra2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: cempakadewi.jurnal@gmail.com

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: Tuni_cakabawa@unud.ac.id

Info Artikel

Masuk : 28 Oktober 2020

Diterima : 19 November 2020

Terbit : 15 Desember 2020

Keywords :

Legal protection; Geographical

Indication; Cybersquatting


Kata kunci:

Perlindungan hukum; Indikasi Geografis; Cybersquatting

Corresponding Author:

Cempaka Dewi, E-mail: cempakadewi.jurnal@gmail.com

DOI :

10.24843/AC.2020.v05.i03.p06


Abstract

Many local Indonesian assets have not been protected by Geographical Indications and very vulnerable to being exploited by irresponsible parties, one of which is cybersquatting crime by registering a website address on the internet using the name of a geographically indicated product without the right as the legal owner then selling the domain name for expensive price causing losses for local Indonesian assets that have not been registered with Geographical Indications. The problem of this research: How is the legal protection on local assets that have not yet registered as Geogragraphical Indication from cybersquatting crime. The purpose of this research is to find out the legal protection of unregistered local asset as geographical indication product from cybersquatting. The legal research method used is the normative legal research method using the statutory approach and the conceptual approach. The result of the research is the protection of local assets from cybersquatting crimes that have not been protected by Geographical Indications is protected under Article 23 of the ITE Law and for every person whose rights are violated due to cybersquatting crimes, they have the right to file a lawsuit to cancel the unauthorized use of domain names by other parties.

Abstrak

Banyak aset lokal Indonesia yang belum terlindungi Indikasi Geografis dan sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab salah satunya ialah tindak kejahatan penyerobotan nama domain (cybersquatting) dengan mendaftarkan alamat situs di internet memakai nama suatu produk indikasi geografis tanpa hak sebagai pemilik yang sah kemudian menjual nama domain tersebut dengan harga yang tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi aset lokal Indonesia yang belum terdaftar Indikasi Geografis. Permasalahan penelitian ini yaitu Bagaimana perlindungan hukum pada aset lokal yang belum terdaftar indikasi geografis dari kejahatan cybersquatting. Tujuan dari penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum aset lokal yang belum terdaftar indikasi geografis dari tindak kejahatan cybersquatting. Metode penelitian hukum yang dipergunakan ialah metode penelitian hukum normatif mempergunakan pendekatan perundang-

undangan, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian yaitu Perlindungan terhadap aset lokal yang menjadi kejahatan cybersquatting yang belum dilindungi oleh Indikasi Geografis mendapat perlindungan berdasarkan Pasal 23 UU ITE dan bagi setiap orang yang haknya dilanggar karena kejahatan cybersquatting maka berhak melakukan gugatan pembatalan penggunaan nama domain secara tanpa hak yang dilakukan oleh pihak lain.

  • 1.    Pendahuluan

Sebagai negara megadiversity atau negara yang memiliki keanekaragaman hayati, Indonesia memiliki berbagai produk unggulan pada masing-masing daerah di Indonesia yang harus dipertahankan kualitasnya. Produk-produk yang merupakan ciri khas pada suatu daerah di Indonesia mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap komoditas khas suatu daerah atau yang dikenal dengan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut IG) melalui diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. IG didefinisikan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang mengatur bahwa “Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.”

Objek perlindungan IG tidak hanya sebatas pada hasil pertanian saja tapi juga dapat meliputi teknik pembuatan produk, tradisi, industri, dan manufaktur sebagai faktor manusia dari suatu produk berIG. IG berdasarkan Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (World Intellectual Property Organization/WIPO) didefinisikan sebagai A geographical indication is a sign used on goods that a specific geographical origin and possess qualities or characteristics that are essentially attributable to that place of origin. 1 Definisi tersebut dalam bahasa Indonesia berarti, suatu tanda pada suatu barang yang menjelaskan asal geografis secara spesifik serta memiliki kualitas, reputasi, atau karakteristik yang esensial terhadap asal dari barang tersebut. Tanda yang dimaksud menunjukkan kualitas, reputasi, atau karakteristik tertentu dari suatu barang. Indonesia memiliki banyak potensi alam yang unik dan kaya akan hasil alamnya seharusnya menjadi sumber indikasi geografis yang berlimpah namun kendati potensi IG di Indonesia cukup melimpah hingga saat ini masih relatif sedikit IG yang terdaftar. Menurut data Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, di tahun 2020 ini masih 91 produk lokal yang baru didaftarkan Indikasi Geografis, padahal hampir tiap daerah dan bahkan tiap dusun di Indonesia memiliki produk lokal sendiri yang unik dan wajib dijaga. Hasil kreatifitas mereka merupakan aset intelektual yang berpotensi.

Aset-aset lokal yang belum terlindungi itu sangat rentan untuk dibajak dan diplagiat oleh orang-orang yang melihat peluang itu dan berani memanfaatkannya. Salah satu kejahatan yang pernah terjadi dan menimpa salah satu produk Indonesia yaitu Kopi Gayo sebagai merek dagang di klaim milik sebuah perusahaan asal Belanda sebagai pemegang hak yang notabene Kopi Gayo tersebut adalah khas dari Nanggroe Aceh Darussalam. Perusahaan asal Belanda tersebut (Holland Coffe B.V) mengklaim bahwa perusahaan tersebut merupakan pemilik dari hak merek dagang kopi tersebut dan terdaftar di dunia internasional dengan nama Gayo Mountain Coffee.2 Kasus yang menimpa Kopi Gayo merupakan kejahatan Hijacked, kejahatan pembajakan nama domain atau alamat situs internet yang dapat menghubungkan antara produsen dan konsumen, yang dalam hal ini konsumen dapat mengetahui informasi terkait produk-produk yang mereka butuhkan.

Persoalan nama domain telah menjadi konflik dalam dunia Merek maupun Indikasi Geografis, alasan utama persoalan tersebut adalah kurangnya hubungan antara sistem dalam pendaftaran merek dan IG dengan sistem dalam pendaftaran nama domain. Suatu contoh seperti sistem hukum merek dagang adalah sistem yang berlaku secara teritorial untuk menjadi wilayah tempat pendaftarannya atau wilayah yang ditunjuk, sedangkan sistem nama domain adalah sistem hukum yang dapat ditegakkan secara global. Salah satu hal yang dapat kemungkinan menjadi suatu konflik perselisihan dalam nama domain yaitu ketika suatu nama IG dijadikan suatu nama domain tanpa persetujuan komunitas pemilik dari suatu IG. Hasil ciptaan yang berupa nama domain itulah yang kemudian dapat diingat sebagai pilihan dari alamat-alamat IP, angka-angka tersebut telah menghasilkan suatu indurstri baru dalam perdagangan dengan menggunakan nama-nama pada nama domain yang mempunyai nilai jual tertentu. 3

Perbuatan mendaftarkan nama domain dengan memakai nama suatu produk oleh orang yang tidak berhak atas produk tersebut dan kemudian berusaha menjualnya dengan harga yang tinggi dikenal dengan kejahatan Cybersquatting. Kejahatan ini sebagai tindakan penyerobotan nama domain dengan mendaftarkan alamat situs di internet dengan memakai nama atau merek orang lain secara tanpa hak sebelum pemilik yang sah mendaftarkan, kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.4 Domain name dimaksudkan untuk menampilkan fungsi teknis agar dapat memberikan kemudahan kepada para pengguna internet dalam menyediakan alamat yang mudah untuk diingat pada komputer dan diidentifikasikan tanpa harus membuka nomor Internet Protocol (IP). Nama domain menjadi sangat perlu untuk kebutuhan bisnis atau identitas pribadi. Seiring dengan lajunya aktivitas perdagangan yang semakin meningkat pada internet, maka pemakaian nama domain telah menjadi bagian dari komunikasi standar yang digunakan oleh kalangan bisnis untuk mengidentifikasikan diri, produk, dan aktivitasnya. Nama Domain berfungsi untuk

identifikasi dan komunikasi, seperti nama perusahaan, merek dagang dan nomor telepon dan faks.

Pengaturan mengenai kejahatan cybersquatting belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, kurangnya peraturan yang tegas mengakibatkan maraknya kejahatan cybersquatting khususnya objek kejahatannya merupakan aset nasional yang belum terdaftar indikasi geografis yang harus dilindungi. Cybersquatting merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual karena kejahatan cybersquatting memberikan kerugian pada produsen produk yang sah apalagi produk tersebut belum terdaftar Indikasi Geografis.5Berdasarkan latar belakang tersebut maka menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam jurnal ini dengan judul Perlindungan Aset Lokal Yang Belum Terdaftar Indikasi Geografis Dari Kejahatan Cybersquatting. Rumusan Masalah yang dapat diambil dari uraian latar belakang tersebut yaitu: Bagaimana perlindungan hukum pada aset lokal yang belum terdaftar indikasi geografis dari kejahatan Cybersquatting?

Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum pada aset lokal yang belum terdaftar indikasi geografis dari kejahatan cybersquatting. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini dilakukan oleh Ni Komang Lugra Mega Triayuni Dewi pada tahun 2019 yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Pendaftaran Merek Nama Domain Dalam Tindakan Cybersquatting Di Indonesia. Penelitian tersebut memfokuskan mengenai perlindungan hukum pada merek terdaftar dari tindakan cybersquatting sedangkan penelitian ini memfokuskan pada perlindungan hukum pada aset lokal yang belum terdaftar indikasi geografis dari kejahatan cybersquatting, sehingga penelitian ini memiliki kebaharuan tersendiri.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif karena fokus kajian berangkat dari kekosongan norma bahwa belum ada pengaturan yang mengatur tentang perlindungan hukum mengenai aset lokal yang belum terdaftar Indikasi Geografis. Menggunakan pendekatan: perundang-undangan (statute approach), pendekatan analisis konsep (conceptual approach), serta analytical approach. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum dengan sumber data dari bahan hukum primer yang berupa perundang-udangan sehubungan dengan Cybersquatting dan Indikasi Geografis antara lain Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, jurnal, dan literatur lain yang berkaitan dengan topik pembahasan. Tehnik penelusuran bahan hukum menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Perlindungan hukum aset lokal yang belum terdaftar Indikasi Geografis dari kejahatan cybersquatting

Pengertian nama domain di atur dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa “Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.”

Penggunaan nama domain sebagai sarana perdagangan e-commerce menjadi salah satu strategi bisnis era millenium yang paling jitu mengingat kemampuannya dalam mempromosikan dan mendistribusikan suatu produk dapat menjangkau hingga ke seluruh pelosok dunia dalam waktu yang cukup singkat. Nama domain dalam internet secara sederhana dapat diumpamakan seperti nomor telepon atau sebuah alamat. 6 Penggunaan nama domain menjadi strategi bisnis yang ampuh bagi pelaku usaha untuk meningkatkan pendapatannya dan mengembangkan bisnisnya, karena aktivitas bisnis dan perdagangan dapat dilakukan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, serta dapat dilakukan diseluruh belahan dunia tanpa ada halangan jarak, ruang dan waktu.7 Menurut US Departement of Commerce yang dimaksud sebagai nama domain adalah : 8

The familiar and easy to remember names for internet computer (e.g., www.ecommerce.gov). They map to unique Internet Protocol (IP) numbers (e.g., 98.37.241.30) that serve to routing address on the internet. The domain names system (DNS) translates internet names into the IP numbers needed for transmission of information across the network.

Penggunaan nama domain yang begitu pesat membuat nama domain menjadi bisnis yang menggiurkan kemudian munculah pembelian nama domain sampai pembajakan nama domain yang disebut dengan Cybersquatting. Black Law Dictinionary memberikan penjelasan mengenai cybersquatting, yaitu:

Cybersquatting: the act of reserving a domain name on the internet, esp. a name that would be associated with a company’s trademark, and then seeking to profit by selling or licensing the name to the company that has an interest in being identified with it. The practice was banned by federal law in 1999.

Cybersquatting adalah salah satu jenis kejahatan yang berupa sengketa nama domain yang terjadi pada saat seseorang mendaftarkan nama domain tersebut yang dikaitkan dengan suatu produk dengan tujuan menjual nama domain tersebut kepada perusahaan yang bersangkutan dengan harga yang lebih tinggi. Jadi, cybersquatting

pada dasarnya adalah praktek-praktek oleh para pihak-pihak tertentu untuk mendahului mendaftarkan suatu nama domain tertentu yang terkait dengan perusahaan lain tertentu dengan tujuan memperoleh keuntungan besar dengan cara menjual nama domain tersebut kepada perusahaan yang berhak memiliki nama domain tersebut.

Indikasi adanya itikad buruk dalam pendaftaran nama domain yaitu jika adanya tujuan yang bersifat ekonomi melakukan penawaran untuk menjual, menyerahkan, atau mengalihkan nama domain kepada pemilik yang sah dengan pembuatan nama domain atau situs tersebut dan yang bersangkutan berusaha untuk menarik suatu keuntungan ekonomi, padahal pelaku kejahatan cybersquatting tersebut bukan merupkan pemilik yang sah sehingga pemilik yang sah tidak dapat mendaftarkan nama domain mereka di Internet. Setiap kepemilikan dan penggunaan dari suatu nama domain harus didasari dengan asas itikad baik dan tidak melanggar dari prinsip persaingan usaha yang tidak sehat dan tidak melanggar hak milik orang lain.

Menurut Edmon Makarim, ada pihak-pihak yang mencoba mencari keuntungan dengan cara mendahului mendaftarkan nama-nama yang diketahuinya telah populer di masyarakat dengan tujuan untuk menjualnya kembali kepada pihak yang berkepentingan atas nama tersebut di atas harga perolehannya. 9 Tindakan tersebut dapat pula dikatakan tindakan yang mencari keuntungan dengan cara penyerobotan nama domain yang dituju oleh pihak lain (cybersquatting).

Perlindungan bagi setiap orang yang haknya dilanggar karena kejahatan cybersquatting maka berhak melakukan gugatan pembatalan penggunaan nama domain secara tanpa hak yang dilakukan oleh pihak lain, kerugian dari perbuatan melanggar hukum tersebut dapat berupa kerugian harta kekayaan atau materiil dan imateriil, maka hal tersebut dapat dilakukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yaitu: “Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.” Pasal 23 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa nama domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat yang perolehannya didasarkan pada prinsip pendaftar pertama (first come first serve). Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam nama domain dan dalam bidang hak kekayaan intelektual karena tidak diperlukan pemeriksaan substantif, seperti pemeriksaan dalam pendaftaran merek dan paten.

Pasal 23 ayat (2) UU ITE telah dengan tegas menyatakan bahwa “pemilikan dan penggunaan nama domain sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (1) harus didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat dan tidak melanggar hak orang lain.” Penjelasan dalam ayat (2) ini yang dimaksud dengan “melanggar hak orang lain” misalnya melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar, nama orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada intinya merugikan orang lain. Penggunaan nama budaya tradisional sebagai nama domain

oleh pihak lain secara tanpa hak merupakan praktik pemilikan dan penggunaan nama domain yang melanggar hak dari pemilik budaya tradisional tersebut berdasarkan ketentuan ini.

Ketentuan terkait dengan Pasal 23 tersebut adalah Pasal 38 ayat (1) UU ITE yang memberikan dasar hukum untuk melakukan gugatan ganti rugi, yaitu: “Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.” Kejahatan Cybersquatting terhadap aset lokal yang tidak didaftarkan sebagai merek maupun IG bisa mendapat ganti rugi perdata berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU ITE. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (UU ITE) telah memberikan perlindungan kepada pemilik suatu produk, aset lokal atau jasa tertentu untuk memiliki kuasa atas nama domain yang menggunakan namanya. Selain peraturan dalam UU ITE, Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (selanjutnya disingkat PANDI) juga memberikan perlindungan pada nama domain yang khusus berakhiran (.id) dengan dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan UU ITE. Terdapat upaya pemerintah melalui pemberian tanggung jawab kepada PANDI. PANDI bertugas sebagai pembuat dan perancang aturan-aturan terhadap nama domain yang sesuai dengan ketetentuan yang telah ditetapkan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang ITE adapun kewenangan yang dimiliki oleh PANDI yaitu berwenang dalam mengelola nama domain dalam media internet, menyampaikan informasi persyaratanpersyaratan untuk membuat suatu nama domain. Salah satu syarat pembuatan nama domain yaitu dalam penamaan suatu nama domain harus sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku. 10

Uniform Dispute of Resolution Policy (selanjutnya disingkat UDRP) juga memberikan pelindungan yang sangat jelas baik dalam bentuk pelanggaran, jenis-jenis itikad buruk, dan penanganan perselisihan nama domain melalui arbitrase online yang sudah terakreditasi oleh Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (selanjutnya disingkat ICANN) dan dijadikan sebagai perjanjian pembelian nama domain antara Registrar dan Registrant. UDRP merupakan kaidah substantif dan adjektif yang sangat relevan digunakan oleh berbagai pihak dalam menangani masalah sengketa kepemilikan nama domain dalam bentuk pengadilan siber (cyber court). UDRP ini diprakarsai oleh suatu organisasi non-profit yang berkedudukan di Amerika, dan ICANN memiliki peran sebagai organisasi yang mengatur lalu lintas pembuatan nama domain di seluruh dunia. UDRP menjanjikan proses arbitrase yang murah dan cepat.11

Pada umumnya IG terdiri dari nama tempat asal suatu barang yang berasal dari lingkungan geografis tertentu serta mencakup tempat produksi tertentu, faktor alam tertentu seperti iklim dan tanah, serta faktor manusia seperti teknik pembuatan suatu produk.12 Awal mula pengaturan Indikasi Geografis yaitu tertuang pada pasal 56 ayat

  • (1)    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek lalu selanjutnya terbit peraturan pelaksananya yaitu pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis dan sampai dengan pengaturan terbaru pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Selain itu, Indikasi Geografis juga memiliki pengaturan khusus oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan juga diakui oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dituangkan dan diterbitkan pada Buku Indikasi Geografis Indonesia. Indonesia memiliki banyak sekali potensi Indikasi Geografis yang perlu segera didaftarkan ke kantor Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Indonesia. 13 Meskipun memiliki fungsi yang sama seperti halnya merek yaitu bertujuan mempromosikan suatu produk, IG harus dibedakandengan merek karena IG adalah suatu konsep yang universal untuk mengindikasikan suatu produk atau barang dengan nama daerah asal produksinya dan memiliki ciri khas yang unik.14

Perlindungan indikasi geografis di Indonesia sistem perlindungan yang dianut adalah sistem konstitutif artinya pendaftaran merupakan syarat pertama perlindungan. Kelebihan sistem ini adalah terjaminnya perlindungan dalam pembuktian dan kepastian. Indikasi geografis yang dilindungi adalah indikasi geografis yang terdaftar. Oleh karena itu produsen aset lokal di Indonesia harus mengajukan pendaftaran indikasi geografis apabila menginginkan produknya terlindungi. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis mengatur mengenai pemakaian indikasi geografis oleh pihak yang tidak berhak dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2). Pengaturan dalam pasal 27 ayat (1) mengatur bahwa apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai Indikasi geografis atas barang sejenis atau yang sama suatu tanda telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan Indikasi geografis, maka pihak lain tersebut dapat menggunakan tanda dimaksud untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanda dimaksud terdaftar sebagai Indikasi geografis dengan syarat pihak lain tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian tanda dimaksud tidak akan menyesatkan Indikasi-geografis terdaftar. Pasal 27 ayat (2) mengatur bahwa dalam hal suatu tanda telah terdaftar atau dipakai sebagai merek sebelum atau pada saat permohonan suatu Indikasi geografis atas barang sejenis atau yang sama dan tanda tersebut kemudian dinyatakan terdaftar sebagai Indikasi geografis, maka pemakaian tanda sebagai merek dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan Indikasi geografis tetap dimungkinkan dengan syarat pemakai merek tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian merek dimaksud tidak akan menyesatkan Indikasi geografis terdaftar.

Aset lokal yang belum terdaftar indikasi geografis hanya mendapat perlindungan hukum apabila produknya di daftarkan. Menurut pengaturan dalam pasal 27 ayat (1) di atas, pada saat indikasi geografis tersebut didaftar telah ada tanda yang sama dengan indikasi geografis terdaftar dipakai oleh pihak lain yang tidak berhak, maka pemakaian atas tanda tersebut harus dihentikan pemakaiannya setelah 2 (dua) tahun sejak tanda dimaksud terdaftar sebagai Indikasi Geografis dan jika tanda tersebut telah

didaftar sebagai merek sebelumnya masih tetap dimungkinkan pemakaian atas tanda Indikasi Geografis tersebut dengan syarat pemakain merek tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian merek yang dimaksud tidak akan menyesatkan Indikasi geografis terdaftar, sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) PP Nomor 51/2007. Pemakai terdahulu disini adalah pihak yang dengan itikad baik menggunakan suatu produk Indikasi Geografis sebelum Indikasi Geografis tersebut didaftarkan dengan ketentuan jangka waktu 2 (dua) tahun untuk dapat mempergunakan produk tersebut, diharapkan pihak yang bersangkutan tersebut dapat menarik produknya secara perlahan-lahan dari masyarakat, tentunya tanpa meninggalkan informasi yang dapat menyesatkan masyarakat tersebut namun di satu hal, pihak yang bersangkutan tersebut dapat menggunakan produk Indikasi Geografis tersebut selama beritikad baik dan tidak memberikan informasi yang sesat kepada masyarakat.

  • 4.    Kesimpulan

Perlindungan terhadap aset lokal Indonesia yang belum terdaftar indikasi geografis dari kejahatan cybersquatting diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pemerintah Indonesia juga meningkatkan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan dari kejahatan cybersquatting melalui pendelegasian wewenang kepada Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) melalui pembuatan dan perancangan aturan-aturan terhadap nama domain yang sesuai dengan ketetentuan yang telah ditetapkan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Daftar Pustaka

Buku

Amirulloh, M. (2015). Cybersquatting Terhadap Nama Orang Terkenal, Bandung: Kalam Media.

Makarim, E. (2013). Notaris & Transaksi Elektronik (Kajian Hukum tentang Cybernotary atau Electronic Notary), Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Suparni, N. (2009). Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal

Amirulloh, M. (2017). Penggunaan Nama Kota Sebagai Nama Domain di Indonesia. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Sosiohumaniora, 19(1).

Astiti, N. N. A., & Rizal, S. (2018). Penyelesaian Sengketa Nama Domain Internet Terkait Hak Merek Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, 3(1).

Dewi, L. K., & Landra, P. T. C. (2019). Perlindungan Produk-Produk Berpotensi Hak Kekayaan Intelektual Melalui Indikasi Geografis. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 7(3).

Dewi, N. K. L. M. T., & Martana, N. A. (2019). Perlindungan Hukum terhadap Pendaftaran Merek Nama Domain dalam Tindakan Cybersquatting di Indonesia. Jurnal Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana, 8(12).

Latifulhayat, A. (2001). Hukum Siber Urgensi dan Permasalahannya, Jurnal Keadilan, 1(3).

Meliala, J. S. (2015). Perlindungan Nama Domain Dari Tindakan Pendaftaran Nama Domain Dengan Itikad Buruk Berdasarkan Hukum Positif Indonesia dan Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.

Moeljopawiro, S. & Mawardi, S. (2017). Perlindungan IG dalam Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas IG, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional. Jurnal Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Riswandi, B. A. (2003). Hukum dan Internet di Indonesia, UII Press. Yogyakarta. h. 147-148. Dikutip dari Jurnal Amirulloh, M. (2017). Penggunaan Nama Kota Sebagai Nama Domain di Indonesia. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Sosiohumaniora, (19)1.

Roosseno, A. (2004). Urgensi Pelindungan IG di Indonesia. Jurnal Media Hak Kekayaan Intelektual, 4(1).

Yessiningrum, W. R. (2015). Perlindungan Hukum Indikasi Geografis sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, 3(1).

Internet

World Intellectual Property Organization. (2017). About Geographical Indication. Available from URL: http://www.wipo.int/geo_indications/en/about.html. (Diakses 10 April 2020).

Hukum Online. (2017). Aspek Hukum Terhadap Nama Domain di Internet. Available from URL:   https://www.hukumonline. com/berita/baca/hol1060/aspek-hukum-terhadap-

nama-domain-di-internet/. (Diakses 10 April 2020).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

513