Vol 5 No 2 Agustus 2020

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dengan Hukum Negara Belanda Dalam Penyelesaian Perkara Sisa Hutang Debitor Pailit

I Ketut Gde Swara Siddhi Yatna1, Ni Putu Purwanti2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 18 Juni 2020 Diterima : 16 Juli 2020

Terbit : 28 Agustus 2020

Keywords :

Legal comparison; bankruptcy; principle; settlement of remaining debt


Kata kunci:

Perbandingan hukum; kepailitan; prinsip; penyelesaian sisa utang

Corresponding Author:

I Ketut Gde Swara Siddhi Yatna, E-mail: [email protected]


DOI :


10.24843/AC.2020.v05.i02.p14


Abstract

The bankruptcy law applicable in Indonesia is a product of the Dutch inheritance law. Progress has made old legal products no longer able to accommodate the legal needs of the community. So this is one of the reasons for legal reform, especially bankruptcy law. Like the Dutch bankruptcy law which has experienced developments regarding the settlement of debtor debt remaining. To find out the difference between the settlement of debtor's remaining debt in Indonesia and the Netherlands, a comparative study was conducted. So in this study will examine how the comparison of Indonesian state law with Dutch state law in the settlement of debtor debt remaining cases? This research will use a statutory approach, comparative approach, conceptual approach, and historical approach. The difference in the settlement of the remaining debt applied in Indonesia and in the Netherlands is influenced by differences in the normalized principles in bankruptcy law in each country. It can be concluded that the Netherlands has applied the principle of debt forgiveness, which is contrary to the principle of Indonesia, which debt will continue to follow the debtor.

Abstrak

Pengaturan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum peninggalan Belanda. Kemajuan yang terjadi menyebabkan produk hukum lama tidak lagi mampu mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat. Sehingga hal ini merupakan salah satu alasan untuk diadakannya pembaharuan hukum, khususnya hukum kepailitan. Seperti halnya hukum kepailitan Belanda yang telah mengalami perkembangan mengenai penyelesaian sisa utang debitor. Untuk mengetahui perbedaan penyelesaian sisa utang debitor yang berlaku di Indonesia dengan di Belanda, maka dilakukan suatu penelitian perbandingan. Maka dalam penelitian ini akan meneliti mengenai bagaimana perbandingan hukum negara Indonesia dengan hukum negara Belanda dalam penyelesaian perkara sisa hutang debitor? Penelitian ini akan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan komparatif, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Perbedaan penyelesaian sisa utang yang diterapkan di Indonesia dan di Belanda dipengaruhi dari perbedaan prinsip yang dinormakan dalam hukum kepailitan di masing-masing negara. Dapat disimpulkan bahwa

Belanda telah menerapkan prinsip debt forgiveness, yang mana prinsip ini bertolak belakang dengan prinsip Indonesia yang hutang akan terus mengikuti debitor.

  • 1.    Pendahuluan

Kepailitan merupakan suatu proses yang mana disebabkan karena ketidakmampuan debitor untuk melunasi hutang-hutangnya kepada kreditornya. Agar dapat memberikan jalan bagi orang yang berhutang dalam keadaan tidak kemampuan secara keuangan supaya tidak terus menerus ditagih pelunasannya dan pada saat yang bersamaan memberikan kesempatan bagi kreditornya agar dapat menguasai aset-aset debitornya yang ada meskipun tidak dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutangnya, maka diciptakan suatu produk hukum yakni hukum kepailitan.1 Sebagai tujuan utama dari dilakukannya proses kepailitan yakni guna dapat membagi apa yang dimiliki oleh debitor (harta) untuk para kreditornya yang mana proses ini diselesaikan oleh kurator ketika suatu putusan pailit telah diucapkan.2 Salah satu wujud upaya agar kreditor memperoleh kembali piutangnya, dapat dilaksanakan dengan mengikuti proses kepailitan dengan menggunakan upaya paksa badan dalam penyelesaian putusan kepailitan yang diputuskan melalui pengadilan niaga.

Dalam penyelesaian kepailitan di suatu negara tentu berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh sistem hukum tertentu yang dianut negara tersebut. Seperti negara Indonesia yang menganut civil law system, yang mana saat ini masih banyak menggunakan hukum-hukum yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda. Dalam perkembangan hukum di Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh hukum-hukum Belanda, salah satunya dalam hal hukum kepailitan.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang mengatur mengenai masalah kepailitan. Kepailitan didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Terhadap debitor akan mampu dikategorikan pailit apabila ia telah memperoleh putusan pailit yang diputus melalui pengadilan niaga. Akibat hukum dari seorang dinyatakan pailit yakni harta kekayaan debitor diletakkan di bawah sita umum (automatic stay) yang menyebabkan debitor tidak dapat mengurusi atau mengelola apa yang menjadi harta kekayaannya. Hukum kepailitan nasional Indonesia merupakan bentuk pelaksanaan penerapan dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogentsrechts).

Prinsip paritas creditorium merupakan bentuk dari adanya posisi yang setara dari kedudukan para kreditor, yang mana akan digunakan sebagai penentu apakah para kreditor tersebut memiliki hak yang setara atas kekayaan harta debitor. Dalam keaadaan debitor tidak memiliki kemampuan guna memenuhi kewajibannya untuk

melunasi hutangnya maka atas segala harta kebendaannya akan digunakan sebagai sasaran dari para kreditornya.3 Prinsip pari passu prorate parte adalah harta yang dimiliki seseorang akan menjadi sebuah jaminan untuk seluruh kreditornya yang mana hasil dari pengumpulan harta tersebut harus dibagikan secara merata dan secara proporsional, dikecualikan apabila terdapat kreditor yang harus didahulukan pelunasan piutangnya menurut undang-undang.4 Prinsip yang dianut dalam UUK PKPU sebagai bentuk cerminan prinsip yang dimuat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPdt. Prinsip paritas creditorium tercermin dalam Pasal 1131 KUHPdt menentukan bahwa, atas kebendaan yang dimiliki oleh pihak yang memiliki utang, yang bergerak atau tidak bergerak, yang dimiliki olehnya pada saat ini maupun akan sesuatu yang dimungkinkan dimiliki suatu hari ini akan diperikatkan menjadi jaminan atas perikatan yang dilakukannya. Untuk Pasal 1132 KUHPdt mencerminkan prinsip pari passu prorate parte yang mana pasal tersebut ditunjukkan bahwa atas kepemilikian benda oleh si berhutang akan digunakan sebagai jaminan bersama untuk seluruh pihak pemilik piutang, yang mana atas penjualan benda tersebut akan dibagikan secara proporsional yakni didasarkan pada jumlah hutang yang dimilik terkecuali menurut undang-undang terhadap pihak pemilik piutang dengan alasan sah untuk didahulukan pembayarannya". Penggunaan prinsip-prinsip ini sesuai dengan penjelasan umum pada UUK PKPU yang mana menyebutkan mengenai kepailitan tidak akan melepaskan seseorang yang sudah dikategorikan pailit atas prestasinya dalam pelunasan hutang-hutangnya. Maka berarti, keberadaan hutang yang dimiliki debitor pailit akan selalu mengikuti selain itu dimungkinkan juga orang tersebut akan dilakukan pengajuan pailit lebih dari satu kali.

Penerapan prinsip tersebut dalam UUK PKPU tentu memiliki akibat hukum tersendiri, karena debitor akan selamanya diikuti oleh hutangnya hingga hutang tersebut lunas dan tidak ada jangka waktu yang jelas sampai kapan hutang tersebut akan mengikuti meski debitor sudah benar-benar tidak memiliki kemampuan lagi untuk membayar hutangnya. Sebagai negara yang merupakan negara rujukan hukum Indonesia, yakni negara Belanda telah mengalami perkembangan hukum khususnya mengenai kepailitan. Pada awalnya negara Belanda menggunakan the Code de Commerce sebagai aturan hukum yang mengatur mengenai masalah kepailitan, namun untuk hukum mengenai kepailitan telah beberapa kali mengalami perubahan dan kini negara Belanda menggunakan The Netherlands Bankruptcy Act/Faillissementswet atau secara umum dikenal dengan Dutch Bankruptcy Act. Dalam perkembangan aturan hukum yang terjadi ini, tentu saja akan merubah beberapa aturan terdahulu termasuk mengenai penyelesaian pembayaran sisa hutang apabila putusan pailit telah berakhir.

Terdapat beberapa karya ilmiah yang membahas mengenai pengaturan penyelesaian perkara sisa hutang dalam kepailitan, seperti karya ilmiah yang ditulis oleh Muhammad Ackbar yang berjudul, "Pertanggungjawaban Debitor Pailit Terhadap Utang yang Belum Terlunasi Dalam Perkara Kepailitan". Penelitian ini lebih memfokuskan pada pertanggungjawaban debitor pailit terhadap sisa utang yang belum terbayarkan kepada kreditor serta upaya perlindungan hukum yang dapat

ditempuh kreditor yang piutangnya belum terlunasi.5 Selain itu terdapat karya ilmiah yang ditulis oleh Rizka Rahmawati dengan mengangkat judul, "Eksekusi Aset Debitor yang Berada di Luar Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan". Pada penelitian ini lebih membahas mengenai pengaturan hukum nasional Indonesia mengenai aset debitor yang berada di luar negeri serta upaya yang dapat dilakukan agar aset debitor yang berada di luar negeri dapat dieksekusi sebagai alat pelunasan utang.6

Selain itu terdapat karya ilmiah yang ditulis oleh Jihan Amalia dengan judul, "Urgensi Implementasi UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency di Indonesia: Studi Komparasi Hukum Kepailitan Lintas Batas Indonesia dan Singapura". Pada penelitian tersebut lebih menjelaskan mengenai Indonesia dan Singapura yang belum memiliki aturan hukum yang mampu menyelesaikan perkara kepailitan yang sifatnya lintas batas negara, sehingga diharapkan adanya terobosan dengan menerapkan UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency.7 Melihat perkembangan hukum di Belanda khususnya mengenai kepailitan, maka akan terlihat perbedaan penyelesaian dalam hal pembayaran sisa hutang apabila putusan pailit telah berakhir. Dengan persamaan sistem hukum yang dianut antara Indonesia dengan Belanda, perbedaan prinsip dalam hukum khususnya aturan hukum mengenai kepailitan tentu memiliki dampak positif dan dampak negatif. Berkaitan dengan perbandingan perkembangan hukum kepailitan ini, maka akan lebih ditekankan pada ketentuan persyaratan kepailitan di Indonesia dan di Belanda dan perbedaan penyelesaian sisa hutang debitor pailit di Indonesia dan Belanda.

  • 2.    Metode Penelitian

Tehadap penelitian ini, peneliti mempergunakan suatu metode penelitian yang sifatnya yuridis normatif, dimaksud dalam penelitian ini dilakukan dengan sistem penelitian yang diperoleh melalui bahan kepustakaan seperti peraturan perundang-undangan, selain itu juga dengan meneliti buku yang memiliki sangkut paut dengan penelitian ini, serta didukung dengan adanya kamus serta ensiklopedia. Metode tersebut diterapkan dengan tujuan agar penulis memiliki informasi yang relevan terkait dengan isu hukum yang dicoba untuk dibahas. Berdasarkan dari jenis pendekatan yang ada dalam metode penulisan, peneliti menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan komparatif, pendekatan historis, serta pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang menjadi dasar dalam penelitian ini ada 3, yakni sumber bahan hukum primer yang berbentuk peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang menjad bahan pendukung seperi buku-buku, artikel ilmiah yang telah valid lainnyam serta bahan hukum tertier seperti kamus dan juga ensiklopedia. Dengan teknik pengumpulan dari bahan hukum yang dipergunakan, selanjutnya akan dilakukan pencatatan hasil yang diperoleh secara sistematis. Teknik

analisis yang digunakan berdasarkan bahan hukum yang diperoleh yakni teknik deskripsi, teknik sistematisasi, teknik interprestasi, dan teknik argumentasi.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Persyaratan Kepailitan Di Indonesia dan Di Belanda

      • 3.1.1.    Sejarah Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia dan di Belanda

Regulasi mengenai kepailitan yang berlaku di Indonesia telah dikenal pada saat sebelum kemerdekaan Indonesia, yang mana Faillisements Verordening hanya berlaku bagi orang-orang Eropa, hal ini disebabkan karena pada saat itu berlaku prinsip diskriminasi secara hukum yang dilakukan pada zaman Pemerintahan Belanda yang menjadi pemimpin pada saat itu. Setelah Indonesia merdeka, tidak terdapat perubahan peraturan hukum khususnya mengenai kepailitan karena Indonesia mengadopsi hukum-hukum yang merupakan peninggalan Belanda.

Perkembangan hukum kepailitan di Indonesia awalnya didorong karena terjadi krisis moneter pada tahun 1998 yang mengakibatkan terganggunya stabilitas moneter nasional. Krisis moneter ini telah memberikan dampak kurang baik pada dunia usaha yakni pada masalah penyelesaian hutang piutang dalam melaksanakan kegiatannya sehingga memunculkan dampak yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat Indonesia.8 Para pelaku usaha yang bertindak memiliki kedudukan sebagai debitor menemukan keterhambatan guna memenuhi prestasinya bagi kreditornya mengenai pemenuhan hutangnya yang sudah dapat ditagih menurut jatuh temponya. Akibat dari keadaan krisis ini, IMF mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan hukum kepailitan sebagai sarana penyelesaian masalah kepailitan yang melilit perusahaan nasional maupun perusahaan multinasional yang berada di Indonesia. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang digunakan oleh Indonesia pada zaman itu, yang merupakan peninggalan dari masa pemerintahan negara Belanda yang dianggap tidak memadai serta tidak mampu memenuhi kebutuhan hukum sesuai perkembangan zaman.9

Hingga akhirnya pemerintah Indonesia yang berkuasa pada saat itu mencabut keberlakukan Faillisements Verordening karena dianggap sudah tidak mampu menyesuaikan dengan kebutuhan serta tuntutan akibat perkembangan pada hukum di masyarakat mengenai penuntasan perkara hutang piutang dan setelah itu diterbitkan PERPU Nomor 1 Tahun 1998, yang selanjutnya oleh DPR diratifikasi dan disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998. Berlakunya UU No. 4 Tahun 1998 ternyata memiliki kelemahan pada pelaksanaanya, hal ini terlihat bahwa undang-undang ini tidak memberikan definisi pasti tentang konsep hutang yang menyebabkan terjadinya multitafsir terhadap definisi hutang, debitor, dan kreditor. Ketidakpastian dalam undang-undang ini tentu saja akan berakibat pada ketidakpastian hukum dalam

praktiknya. Kondisi ini yang mendorong pemerintah untuk melakukan pembaharuan hukum khususnya mengenai penyelesaian kepailitan, sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 merealisasikan 2 (dua) pasal penting mengenai jaminan dalam KUHPdt yakni Pasal 1131 dan Pasal 1132. Perubahan terhadap UUK PKPU dilakukan dengan memperbaiki, menambah, dan menghapuskan akan ketentuan hukum yang dianggap tidak lagi dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan serta perkembangan yang terjadi pada hukum di masyarakat.10

Lain halnya dengan Indonesia, negara Belanda telah terlebih dahulu memiliki regulasi mengenai kepailitan yang telah berlaku sejak tahun 1811. Pada awalnya hukum kepailitan Belanda diatur dalam Kode de Commerce, yang mana dalam aturan hukum ini membedakan status antara pedagang dengan bukan pedagang. Hukum kepailitan pertama kali mengalami perubahan pada tahun 1838 yang mana Kode de Commerce digantikan dengan Wetboek van Koophandel Nederland. Selanjutnya aturan hukum tersebut digantikan dengan Faillissementswet 1893 yang merupakan undang-undang kepailitan Belanda dan mulai berlaku sejak 1 September 1896. Faillissementswet 1893 tidak lagi membedakan antara pedagang dan bukan pedagang, dan aturan ini berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Hingga saat ini Faillissementswet masih digunakan dalam penyelesaian masalah kepailitan di Belanda, namun undang-undang kepailitan Belanda yang saat ini secara umum dikenal dengan sebutkan Dutch Bankruptcy Act telah mengalami berbagai perubahan tetapi pada intinya tetap sama. Dutch Bankruptcy Act terdiri atas tiga (3) bab yang mengatur mengenai prosedur kepailitan dan berlaku bagi orang perseorangan dan badan hukum.11

  • 3.1.2.    Ketentuan Persyaratan Kepailitan di Indonesia

Syarat agar seorang debitor dapat dipailitkan telah ditentukan di dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Syarat-syarat kepailitan merupakan salah satu bentuk tolok ukur untuk pengadilan gunakan sebagai pertimbangan dalam menetapkan kepailitan bagi debitor, yang mana syarat ini akan menentukan terhadap permohonan yang lakukan oleh pihak yang memiliki hutang atau pihak yang memiliki piutang ini dapat dikategorikan sesuai dengan syarat agar pemilik hutang tersebut dapat dipailitkan. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ditentukan bagi seseorang yang memiliki hutang memiliki dua atau lebih hutang dan tidak memiliki kemampuan setidaknya memenuhi prestasi kepada salah satu hutangnya yang dapat ditagih dan telah jatuh tempo, maka dapat diputuskan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang diajukan oleh debitor itu sendiri maupun dimohonkan oleh

salah seorang kreditornya. Melihat berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 maka dapat dikatakan bahwa syarat agar permohonan penyataan pailit terhadap seorang yang berhutang dapat diajukan yakni seseorang yang memiliki hutang agar dapat dimohonkan pailit maka setidaknya ia harus memiliki dua hutang atau lebih dari satu kreditor, selain itu yang berhutang tersebut tidak memiliki kemampuan untuk membayar setidaknya satu hutangnya, serta hutang tersebut merupakan hutang yang sudah dapat ditagih.12

Ketentuan pada Pasal 2 Ayat (1) ini merupakan salah satu hasil perubahan hukum kepailitan dari ketentuan khususnya mengenai syarat kepailitan yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Faillisments Verordeing. Pasal 1 Ayat (1) menentukan, "setiap orang yang berhutang dalam keadaan tidak memiliki untuk melanjutkan pembayaran atas hutangnya berdasarkan permintaannya maupun permintaan pihak yang memberikan piutang, dapat berakibat orang yang berhutang tersebut diputuskan dalam keadaan pailit oleh hakim".13 Apabila membandingkan bunyi pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan bunyi Pasal 1 Ayat (1) Faillisments Verordening dapat dilihat adanya perbedaan terhadap syarat seorang debitor dapat diajukan pailit. Pasal ini tidak menentukan secara jelas mengenai apakah debitor harus memiliki lebih dari seorang kreditor untuk dapat dinyatakan pailit seperti Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Maka berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Faillisments Verordening meskipun seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka debitor tersebut sudah bisa untuk dinyatakan pailit oleh pengadilan baik berdasarkan permohonan yang diajukan oleh debitor sendiri maupun oleh debitornya sepanjang debitor tersebut tidak mampu membayar hutangnya (financially unable to repay his/her debts) dan telah berada dalam kondisi berhenti membayar hutangnya (insolvent).

  • 3.1.3.    Persyaratan Kepailitan di Belanda

Menurut Bab I Pasal 1 dan Pasal Dutch Bankruptcy Act (undang-undang kepailitan Belanda) seseorang dinyatakan dalam keadaan pailit pada saat, seorang debitur yang dalam keadaan dia telah berhenti membayar hutang yang seharusnya dan harus dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan, diberikan atas permintaannya sendiri atau atas permintaan dari satu atau lebih kreditornya. Putusan pailit juga dapat diberikan untuk alasan kepentingan umum atau atas permintaan dari Jaksa Penuntut Umum. Menurut penjelesan dalam Dutch Bankruptcy Act, apabila seorang debitor ingin mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri, maka ia harus memberikan alasan yang masuk akal bahwa dia tidak lagi mampu untuk melunasi hutangnya. Hal

ini juga terjadi apabila kreditor yang mengajukan permohonan, maka ia harus bisa membuktikan hal yang sama. Dalam hal seorang kreditor mengajukan permohonan pailit atas debitornya, ia tidak bisa hanya dengan mengajukan fakta bahwa debitor tersebut telah gagal membayar hutang kepadanya satu kali yang telah jatuh tempo. Maka si kreditor harus mencari kreditor lain yang hutangnya juga gagal dibayarkan pada waktunya, hal ini akan menjadi bukti pendukung bagi hakim sebelum memutus seorang debitor dinyatakan pailit.

Agar seorang debitor dapat dimohokan dinyatakan pailit, maka ada beberapa syarat formal yang harus dipenuhi seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Dutch Bankruptcy Act. Pasal 4 ini mengatur mengenai formal requirements for a request for a bankruptcy order. Adapun isi dari pasal 4 Dutch Bankruptcy Act yaitu:

  • 1.    Permintaan untuk perintah kebangkrutan dibuat dan oleh karena itu permohonan diajukan ke petugas Pengadilan Distrik dan akan disidangkan sesegera mungkin. Layanan Umum Publik akan didengar atas permintaan tersebut. Jika permintaan untuk perintah kebangkrutan dilakukan oleh debitur sendiri dan dia adalah orang alami, maka petugas Pengadilan Distrik harus segera memberitahukan kepadanya bahwa ia dapat mengajukan, tanpa mengurangi Pasal 15b, ayat 1, permintaan untuk aplikasi Skema Pembayaran Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284.

  • 2.    Seorang debitur yang telah menikah atau telah menandatangani kemitraan hanya dapat mengajukan permintaan untuk perintah kebangkrutan sehubungan dengan dirinya sendiri dengan kerjasama pasangannya atau masing-masing, mitra terdaftarnya, kecuali jika ada komunitas properti yang dikecualikan antara pasangan atau, masing-masing, mitra terdaftar.

  • 3.    Dalam hal terjadi kemitraan umum (‘vennootschap onder firma’) aplikasi untuk perintah kebangkrutan harus mencantumkan nama dan alamat masing-masing mitra yang secara bersama dan sangat bertanggung jawab atas hutang kemitraan umum.

  • 4.    Permintaan untuk pesanan kebangkrutan berisikan informasi sedemikian rupa sehingga pengadilan dapat menentukan apakah pengadilan memilki yurisdiksi berdasarkan Peraturan Eropa yang disebutkan dalam Pasal 5, paragraf 3.

  • 5.    Perintah kebangkrutan harus diucapkan di pengadilan terbuka dan dapat segera ditegakkanm terlepas dari banding atau tindakan hukum yang bertentangan.

Berdasarkan ketentuan pasal 4 Dutch Bankruptcy Act dapat dilihat adanya beberapa persyaratan formal yang dipenuhi bagi orang perseorangan, orang yang telah terikat pada perkawinan maupun orang yang terikat pada suatu badan usaha yang telah terdaftar. Terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, serta alasan yang diajukan merupakan alasan yang masuk akal, maka dimungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit oleh hakim.

  • 3.2.    Perbandingan Hukum Negara Indonesia dengan Hukum Negara Belanda dalam Penyelesaian Perkara Sisa Hutang Debitor Pailit

    • 3.2.1.    Penyelesaian Sisa Hutang Debitor Pailit Menurut Hukum Indonesia

UUK PKPU yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian hutang piutang merupakan salah satu produk hukum yang menganut beberapa prinsip kepailitan. Menurut prinsip paritas creditorium (kesetaran kedudukan antar para kreditor) ditentukan bahwa setiap kreditor memiliki hak yang setara pada keseluruhan harta si berhutang, namun apabila debitor tidak memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya maka terhadap kekayaan yang dimiliki debitor digunakan sebagai sasaran kreditor. Pada intinya prinsip paritas creditorium ini menentukan bahwa terhadap keseluruhan kekayaan debitor yang dikategorikan sebagai benda tetap maupun yang dikategorikan tidak tetap serta meliputi juga yang telah ada saat ini dan juga yang suatu hari akan dimiliki oleh debitor, merupakan alat pelunasan hutang debitor.14 Prinsip pari passu prorata parte diartikan sebagai prinsip atas keseluruhan harta yang dimiliki si berhutang merupakan jaminan bagi seluruh kreditornya yang mana hasil dari harta tersebut harus bagikan kepada para kreditor secara proporsional, dikecualikan berdasarkan undang-undang terdapat hak kreditor yang didahulukan pembayarannya.15 Prinsip structured prorata adalah prinsip pelengkap dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorata parte. Prinsip structured prorata atau prinsip structured creditors merupakan prinsip dengan pengklasifikasian serta pengelompokan dari macam-macam kreditor yang disusun berdasarkan kelasnya. Khusus dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga yakni kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.16 Ketiga prinsip ini saling terikat sesuai dengan filosofi undang-undang kepailitan yaitu sebagai cara dalam hal melakukan penyelesaian hutang terhadap kekayaan debitor pailit yang memiliki lebih dari satu kreditor, sehingga kreditor-kreditornya tidak saling berebut baik secara sah maupun tidak sah sehingga akan memberikan keadilan dan kepastian bagi kreditor untuk mendapatkan haknya berupa pelunasan piutangnya. Filosofi ini juga tercermin dalam bagian penjelasan umum UUK PKPU yang menyebutkan melalui putusan pernyataan pailit merupakan jalan agar keseluruhan harta yang dimiliki seorang debitor mampu dijadikan dalam pembayaran atas seluruh hutang yang dimilikinya secara adil serta merata dan sesuai dengan porsinya.

Selain prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas, ada satu prinsip yang mengikat debitor pailit terhadap sisa hutang hingga hutangnya lunas dibayarkan yaitu prinsip debt collection. Sistem hukum kepailitan Belanda terdahulu sangat menekankan pada prinsip ini, yang mana hukum kepailitan ini yang diadopsi oleh Indonesia sehingga hukum kepailitan yang digunakan di Indonesia mengandung prinsip debt collection. Pada dasarnya prinsip ini memiliki makna sebagai konsep yang sifatnya membalas oleh yang memiliki piutang kepada yang berhutang dengan dilakukannya penagihan kepada yang berhutang atau atas harta yang dimiliki si berhutang.17 Prinsip debt collection ini merupakan prinsip yang menekankan pada mekanisme pembagian harta

debitor yang dilakukan oleh kurator. Berdasarkan prinsip ini ditentukan bahwa seorang debitor harus membayar hutangnya dengan apapun yang ia miliki secepat mungkin untuk menghindari adanya itikad tidak baik dari pihak debitor dengan jalan menyembunyikan segala sesuatu yang ia miliki padahal ia tahu bahwa semua itu merupakan jaminan umum bagi kreditornya.18 Pelaksanaan prinsip ini dapat dilihat dengan jelas dalam penjelasan UUK PKPU yang menyebutkan, "kepailitan bukan sebuah upaya guna membebaskan seseorang yang memiliki hutang dan telah diputus pailit untuk tidak memenuhi prestasinya atas hutang-hutangnya tersebut". Maka dapat dilihat bahwa proses kepailitan sesuai dengan UUK PKPU tidak akan membebaskan sisa hutang debitor meski semua aset debitor telah digunakan sebagai pelunasan, yang mana berarti sisa hutang tetap akan menjadi hutang yang harus dibayarkan dan akan mengkuti terus terhadap debitor pailit hingga dibayar lunas.

  • 3.2.2.    Penyelesaian Sisa Hutang Debitor Pailit Menurut Hukum Belanda

Dutch Bankruptcy Act yang saat ini digunakan Belanda sebagai aturan hukum dalam penyelesaiaan masalah kepailitan telah mengalami perkembangan. Prinsip debt collection yang dulu terdapat dalam Dutch Bankruptcy Act, saat ini sudah tidak lagi digunakan dan lebih mengedepankan prinsip debt forgiveness. Prinsip debt collection tidak dinormakan lagi karena dianggap tidak adil bagi debitor pailit, yang mana debitor tersebut sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya.

Dutch Bankruptcy Act terdahulu sangat menekankan prinsip debt collection, hal ini terlihat dari proses kepailitan dilakukan sita jaminan (conservatoir beslaglegging) serta permohonan pernyataan pailit merupakan bentuk prosedur penagihan yang tidak lazim (oneigenlijke incassoprocedures). Upaya hukum ini dikatakan tidak umum dilakukan mengingat upaya ini merupakan suatu sarana tekanan (pressie middel) agar debitor dapat memenuhi kewajibannya.19 Dapat dikatakan bahwa prinsip ini dalam hukum kepailitan Belanda digunakan sebagai wadah guna memaksakan merealisasikan hak yang memiliki piutang pada proses likuidasi atas harta yang dimiliki oleh si berhutang. Berkembangnya pemikiran bahwa Dutch Bankruptcy Act hanya mempertimbangkan kepentingan dari kreditor tanpa melindungi kepenting debitor, maka prinsip debt collection mulai ditinggalkan dan beralih pada prinsip debt forgiveness.

Prinsip debt forgiveness memiliki makna bahwa kepailitan bukan hanya sebagai langkah penistaan bagi debitor yang tidak mampu hutangnya atau sebagai cara untuk menekan (pressie middel), melainkan sebaliknya dijadikan alat untuk mempermudah beban yang diemban oleh debitor sebagai bentuk tanggung jawab yang disebabkan kesulitan pada keuangan yang menyebabkan debitor tidak bisa memenuhi prestasinya untuk membayar hutang-hutagnya sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya hingga bahkan dimungkinkan adnaya pengampunan atas hutangnya tersebut yang

menyebabkan hutangnya akan menjadi hapus.20 Prinsip debt forgiveness telah dinormakan pada Dutch Bankruptcy Act yang dapat dilihat dalam ketentuan Title III Debt Repayment Scheme for Natural Persons (Bab III Skema Pembayaran Hutang untuk Orang). Pasal 349a Ayat (2) menentukan bahwa:

"Penerapan Skema Pembayaran Utang akan berlangsung selama tiga tahun, yang akan dihitung pada hari dimana putusan yang memerintahkan penerapan Skema Pembayaran Utang diberikan, termasuk hari itu. Dalam pengurangan dari kalimat sebelumnya, pengadilan dapat menetapkan periode sebelum yang dimaksud menjadi paling lama lima tahun jika untuk seluruh periode juga jumlah nominal ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295, paragraf 3."

Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka terlihat bahwa dalam pemberesan harta pailit debitor diberikan tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun sejak putusan untuk memerintahkan penerapan skema pelunasan hutang diberikan, namun dapat diperpanjang hingga 5 (lima) tahun untuk keseluruhan proses pelunasan hutang. Apabila dalam waktu 5 (lima) tahun tersebut masih menyisakan sisa hutang, maka proses pembayaran dapat dihentikan berdasarkan putusan pengadilan. Dalam Pasal 350 Ayat (3) huruf g ditentukan bahwa, "pengakhiran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan jika: ....g. debitur masuk akal bahwa ia tidak dapat memenuhi kewajiban yang timbul dari Skema Pembayaran Utang". Dalam keadaan debitor sudah benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk membayar hutangnya setelah dilakukan upaya pembayaran selama 5 (lima) tahun, maka proses pelunasan atas hutang debitor pailit dapat dihentikan. Hakim akan memutuskan bahwa proses kepailitan telah berakhir dan si debitor pailit dinyatakan bangkrut sehingga atas sisa hutang debitor akan diampuni dan debitor tidak lagi memiliki kewajiban untuk membayar sisa hutangnya.

  • 3.2.3.    Perbandingan Penyelesaian Perkara Sisa Hutang Debitor Pailit

Indonesia merupakan negara yang hukum nasionalnya banyak mengadopsi hukum-hukum peninggalan Belanda. Salah satu produk hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan oleh Indonesia adalah KUHPdt, selain itu hukum kepailitan Indonesia juga merupakan hukum peninggalan Belanda namun telah mengalami beberapa perubahan. Perkembangan hukum di Indonesia tidak semaju perkembangan hukum di Belanda, banyak produk hukum di Belanda yang mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakatnya. Khusus hukum kepailitan, dahulu Belanda menggunakan Kode de Commerce yang kemudian aturan hukum tersebut digantikan dengan Wetboek van Koophandel Nederland. Setelah itu mengalami pergantian kembali dengan lahirnya Faillissementswet 1893.

Faillissementswet 1893 merupakan pengaturan kepailitan pertama yang dimiliki Indonesia yang diadopsi dari Belanda. Setelah Faillissementswet 1893 dianggap sudah tidak mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia akan hukum kepailitan, maka Indonesia melakukan beberapa kali perubahan hingga saat ini yang berlaku di Indonesia adalah UUK PKPU. Berkembangnya hukum kepailitan di Indonesia pada nyatanya tidak meninggalkan prinsip-prinsip peninggalan Faillissementswet 1893. Prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip

structured prorata (prinsip structured creditors), prinsip debt collection, dan prinsip teritorial serta prinsip universal masih tercermin dalam UUK PKPU. Lain halnya perkembangan hukum kepailitan di Belanda, yang mana prinsip debt collection sudah ditinggalkan dan mulai menormakan prinsip debt forgiveness.

Perbedaan prinsip dalam UUK PKPU dan Ducth Bankruptcy Act memiliki akibat hukum yang berbeda, khususnya dalam penyelesaian sisa hutang debitor pailit. UUK PKPU yang menormakan prinsip debt collection memiliki akibat hukum bahwa sisa hutang debitor pailit akan mengikuti terus dan tak ada jangka waktu yang jelas hingga hutang debitor dibayar lunas kepada para kreditornya. Lain dengan Ducth Bankruptcy Act yang menormakan prinsip debt forgiveness yang apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun si debitor sudah benar-benar tidak mampu membayar sisa hutangnya, maka proses kepailitannya dapat dianggap sudah berakhir berdasarkan putusan hakim. Berhentinya proses kepailitan ini akan membebaskan debitor pailit atas sisa hutangnya, sehingga setelah dinyatakan bangkrut oleh hakim maka debitor tersebut akan bisa memulai kembali hidupnya (fresh starting).

  • 4.    Kesimpulan

Sesuai dengan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan UUK PKPU seorang yang berhutang mampu dikatakan pailit bilamana yang berhutang tersebut memiliki banyak kreditor yang mana tidak dapat memenuhi prestasinya guna melunasi minimal satu utangnya yang telah jatuh waktu dan diperbolehkan untuk ditagih. Menurut Ducth Bankruptcy Act seorang debitor dapat diajukan pailit apabila debitor tersebut memiliki hutang kepada lebih dari seorang yang berpiutang yang tidak mampu melunasi setidaknya satu hutang yang sudah jatuh tempo serta dalam pengajuan kepailitan harus disertakan dengan alasan yang masuk akal bahwa ia tidak mampu lagi melunasi hutangnya. Serta perbandingan hukum penyelesaian sisa hutang debitor pailit di Indonesia dengan di Belanda dapat dilihat dari jangka waktu penyelesaian sisa hutang. Sesuai dengan UUK PKPU, sisa hutang debitor pailit akan terus mengikuti debitor hingga ia mampu membayar lunas semua hutangnya serta tidak ada batas waktu yang jelas bagi debitor seberapa lama proses penyelesaian hutang piutang akan berakhir apabila ia sudah benar-benar tidak mampu membayar hutangnya. Lain halnya di Belanda, sesuai dengan Dutch Bankruptcy Act yang menentukan apabila lewat dari 5 (lima) tahun, maka proses kepailitan dapat dihentikan dengan putusan pengadilan yang disertai dengan alasan logis mengapa debitor sudah tidak mampu untuk membayar hutangnya. Setelah proses tersebut maka debitor akan dinyatakan bangkrut dan ia bebas dari sisa hutang yang seharusnya ia bayarkan.

Ucapan Terima Kasih (Acknowledgments)

Kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis panjatkan puja dan puji syukur karena berkatNya penulis mampu menyelesaian penulisan ini dengan mengangkat judul “Perbandingan Hukum Negara Indonesia dengan Hukum Negara Belanda Dalam Penyelesaian Perkara Sisa Hutang Debitor Pailit”. Secara pribadi penulis memiliki harapan bahwa apa yang penulis teliti mampu memberikan kontribusi bagi pembacanya.

Selain itu dalam tahap penulisan ini tentu tidak mudah bagi penulis, terdapat hambatan-hambatan namun dengan adanya semangat dan motivasi yang diberikan oleh orang terdekat, pada akhirnya penulis mampu menyelesaian tulis ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada orang-orang baik disekitar penulis.

Daftar Pustaka

Buku

Shubhan, M.H. (2012). Hukum Kepailitan; Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sjahdeini, S.R. (2016). Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta: Prenadamedia Group.

Jurnal

Ackbar, M., & Dharmakusuma, A. G. A. PERTANGGUNGJAWABAN DEBITOR

PAILIT TERHADAP UTANG YANG BELUM TERLUNASI DALAM PERKARA KEPAILITAN.

Astiti, S. H. (2017). Pertanggungjawaban Pidana Kurator Berdasarkan Prinsip Independensi Menurut Hukum Kepailitan. Yuridika, 31(3), 440-473.

Kapero, H. V. (2018). Akibat Kepailitan Terhadap Harta Peninggalan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lex Et Societatis, 6(2), p. 126

Kartoningrat, R. B., & Andayani, I. (2018). Mediasi Sebagai Alternatif dalam

Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit oleh Kurator Kepailitan. Halu Oleo Law Review, 2(1), 291-305, p. 298

Khair, U. (2018). Analisis Yuridis Terhadap Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Debitor Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan. Jurnal Cendikia Hukum, 3(2), 258-271, p. 259

Rahmawati, R. (2019). Eksekusi Aset Debitor yang Berada Di Luar Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan. SASI, 25(2), 121-132.

Retnaningsih, S. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Pailit Individu Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Di Indonesia. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER, 3(1), 1-16, p. 2

Sinaga, N. A., & Sulisrudatin, N. (2018). Hukum Kepailitan Dan Permasalahannya Di Indonesia. Jurnal Hukum, 7(1), p. 159

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443;

The Netherlands Bankruptcy Act/Faillissementswet/Ducth Bankruptcy Act.

388