Vol. 5 No. 3 Desember 2020

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Peran Notaris Dalam Melindungi Status Hak Milik Atas Tanah Akibat Perkawinan Campuran

I Gusti Agung Dewi Mulyani1, I Wayan Wiryawan2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 15 April 2020

Diterima : 15 April 2020

Terbit : 28 Desember 2020

Keywords :

Marriage Treaty, notary, mixed marriage


Kata kunci:

Perjanjian Perkawinan, Notaris, Perkawinan

Campuran

Corresponding Author:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2020.v05.i03.p12


Abstract

Marriage assets are divided into joint assets or joint assets and inheritance. Such assets can be in the form of land, the problem is if there is a mixed marriage, whereas in Indonesia there is a prohibition on land ownership by foreign nationals. The formulation of the problem of this research is how is the role of the notary related to land ownership in mixed marriages? and how the status of ownership of the land occurs in a divorce. The aim of this research is to study about the role of notaries related to land ownership in mixed marriages and the status of ownership of the land that occurs in divorce. This research uses empirical research methods with a sociological juridical approach. Data sources consist of primary data and secondary data. Primary data is obtained directly from primary sources in the field and secondary data is obtained from literature. Teaching techniques, legal materials consist of literature and interviews. After the data is collected and verified, then it is analyzed using qualitative analysis. The results of this study concluded, that: the notary's role in protecting land ownership in the event of a mixed marriage, namely by making a marriage agreement regarding the status of ownership of the land. If there is a divorce and a marriage agreement has not been made, then the land included in the joint property must be sold or gifted to a child or family who is an Indonesian citizen.

Abstrak

Harta kekayaan dalam perkawinan dibedakan menjadi harta bersama atau harta gono-gini dan harta bawaan. Harta tersebut dapat berupa tanah, yang menjadi permasalahanya adalah jika terjadi perkawinan campuran, sedangkan di Indonesia terdapat larangan kepemilikan tanah oleh warganegara asing. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana peran notaris terkait kepemilikan tanah dalam perkawinan campuran? dan bagaiamana status kepemilikan atas tanah tersebut apabila terjadi perceraian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti mengenai peran notaris terkait kepemilikan tanah dalam perkawinan campuran dan status kepemilikan atas tanah tersebut apabila terjadi perceraian. Penellitian ini menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan yuridis sosiologis. Sumber data terdiri data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber utama di lapangan dan data sekunder diperoleh dari kepustakaan. Tehnik pengumpulan bahan hukum terdiri dari tehnik kepustakaan dan tehnik wawancara. Setelah data ini dikumpulkan dan dicari kebenarannya, lalu dianalisis

dengan menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan, bahwa: peran notaris dalam melindungi hak milik atas tanah jika terjadi perkawinan campuran, yaitu dengan membuatkan perjanjian perkawinan mengenai status kepemilikan atas tanah. Apabila terjadi perceraian belum dibuatkan perjanjian kawin, maka tanah yang termasuk ke dalam harta bersama tersebut harus dijual atau dihibahkan kepada anak atau keluarga yang berkewarganegaraan WNI.

  • I.    Pendahuluan

Indonesia suatu negara hukum yang telah membuat suatu aturan perkawinan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) beserta peraturan pelaksanaanya yaitu PP No. 9 Tahun 1975. Sebelum UU Perkawinan, ketentuan mengenai peraturan perkawinan di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang mana peraturan hukum perkawinan masih memperlihatkan hukum dari pemerintahan Hindia Belanda yang menggolongkan rakyat berdasarkan pandangan hukum pada zaman Hindia Belanda. Setelah berlakunya UU Perkawinan maka semua aturan-aturan lain yang berlaku sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 UU Perkawinan, bahwa “untuk perkawinan dan semua sesuatu yang menyangkut dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPer (BW), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No.158), dan aturan lain yang mengatur mengenai perkawinan sejauh telah diatur dalam perundang-undangan ini, dinyatakan tidak berlaku.”

Untuk melangsungkan perkawinan terdapat beberapa syarat yang telah diatur di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, diantaranya adalah : 1

  • 1.    Disetujui oleh kedua belah pihak calon mempelai;

  • 2.    Jika belum mencapai umur 21 tahun maka harus mendapatkan ijin kedua orang tua, dalam hal orang tua meninggal dunia, maka harus ada ijin dari salah satu walinya;

  • 3.    Perkawinan diijinkan apabila umur pria 19 tahun dan wanita 16 tahun, jika menyimpang harus ada ijin dari pengadilan;

  • 4.    Tidak diperbolehkan melakukan perkawinan apabila sudah terikat perkawinan dengan orang lain, kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 UU Perkawinan;

  • 5.    Berlaku jangka waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya;

Manusia diciptakan untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya, hal ini menyebabkan terjadinya ikatan perkawinan antara manusia (laki-laki dan perempuan) yang melakukan perkawinan berdasarkan agama, budaya dan adat masing-masing menurut kepercayaanya. Berlangsungnya perkawinan di Indonesia pada umumnya terjadi karena adanya ikatan perkawinan antara Warga Negara Indonesia untuk selanjutnya disingkat (WNI) dengan WNI dengan keyakinan yang sama, berlandaskan

ketuhanan Yang Maha Esa dan kebudayaan dari masing-masing keyakinan dengan tujuan adalah meneruskan keturunan. 2

Perkawinan merupakan keperluan yang dibawa seumur hidup dan tidak untuk sesaat, karena di dalam perkawinan terkandung nilai luhur atas dasar ikatan lahir batin yang dialami oleh pria dan wanita dengan usahanya dapat membangun nilai sakral atas dasar Tuhan Yang Maha Esa, dan tak hanya ikatan lahir batin antara keduanya, namun ikatan lahir dan batin dengan leluhurnya demi tercapainya tujuan keluarga yang bahagia, kekal dan abadi.3 Tujuan tertentu dari ikatan perkawinan adalah mempertahankan serta meneruskan kelangsungan hidup dengan lahirnya keturunan yang menjadi penerus di dalam garis keturunan keluarga, namun hal ini tidaklah semua merasakan kemudahannya dikarenakan setiap manusia dalam keluarganya memiliki sistem kekerabatan yang berbeda satu dengan yang lainnya yang harus disamakan.4

Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan mengenai perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri yang tujuannya membentuk rumah tangga yang bahagia serta kekal atas dasar ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat dikatakan bahwa perkawinan tersebut diberikan pengakuan oleh Negara dengan diundangkannya UU Perkawinan tersebut, maka dari itu dilaksanakannya perkawinan haruslah dihadapan pejabat yang berwenang, dan adanya suatu hukum yang berlaku disetiap negara mengenai perkawinan tersebut.

Konsep perkawinan campuran di Indonesia yang dimaksud adalah perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing yang mempunyai agama yang sama tetapi berbeda kewarganegaraan, sebagaiman ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan yang menentukan, bahwa”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”Perkawinan campuran memang dibolehkan asalkan pasangan tersebut seagama walaupun berbeda kewarganegaraan mengacu pada Pasal 2 UU Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan- nya”.5

Pasal 57 UU Perkawinan tersebut dalam pengertiannya, terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam perkawinan campuran yakni :

  • 1.    Terjadinya ikatan perkawinan seorang pria dan wanita, unsur ini telah menunjuk asas monogami di dalam perkawinan;

  • 2.    Orang Indonesia tunduk terhadap hukum yang berlainan, unsur ini adalah merupakan perbedaan aturan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita;

  • 3.    Terjadi akibat berbedanya kewarganegaraan, unsur ini mengartikan tidak hanya perbedaan warga negara asing secara keseluruhan;

  • 4.    Salah satunya adalah warga negara Indonesia.

Terkait tempat pelaksanaan perkawinan campuran, maka apabila para pihak melakukan perkawinan di luar Indonesia maka perkawinan tersebut dapat dikatakan sah, bilamana perkawinan tersebut menurut hukum Negara yang berlaku sah, menurut di Negara mana perkawinan tersebut di langsungkan dan diharuskan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah kembali ke Indonesia harus segera di daftarkan/dicatatkan oleh pegawai pencatatan perkawinan dimana tempat mereka tinggal agar tidak melanggar undang-undang dan hukum di Indonesia.6

Berlangsungnya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum, salah satunya terkait harta dalam perkawinan, baik yang diperoleh sebelum perkawinan atau selama perkawinan. Harta kekayaan selama perkawinan merupakan hasil yang diperoleh dan dimiliki oleh seseorang selama hidupnya baik diperoleh sendiri atau secara bersama-sama antara suami dan istri tersebut tanpa mempermasalahkan pendaftaran atas nama siapapun. 7 Harta kekayaan yang diperoleh oleh suami/istri pada saat berlangsungnya pernikahan adalah merupakan harta bersama, hal ini sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang didapat pada saat perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, dalam artian bahwa harta bersama adalah bersifat mutlak.8 Selanjutnya pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa “harta bawaan dari masing-masing suami atau istri adalah di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. “Secara hukum keberadaan harta pribadi dalam perkawinan tetap diakui dan kepada masing-masing pihak suami istri tetap memiliki kekauasaan penuh terhadap harta pribadi mereka masing-masing.”

Harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak baik diperoleh sebelum atau setelah berlangsungnya ikatan perkawinan seperti uang, hak kepemilikan atas tanah, mobil, investasi, rumah dan lain sebagainya. Terkait harta bersama dalam perkawinan campuran berupa kepemilikan tanah, tentu saja dapat menimbulkan permasalah baru. Telah diketahui, tanah di Negara Indonesia hanya dapat dimiliki oleh WNI, WNA tidak bisa memiliki hak atas tanah walaupun membelinya dengan uang WNA, WNA hanyalah bisa memliki hak pakai yang dalam aturan hukum agraria mempunyai masa tenggang waktunya. Maka dari itu dalam berlangsungnya perkawinan campuran dan terdapat harta kekayaan yang berupa hak kepemilikan atas tanah seringlah terjadi masalah.

Terkait harta dalam perkawinan seringkali terjadi masalah percampuran harta kekayaan, dimana harta kekayaan pribadi seringkali masuk kedalam harta bersama, maka dengan permasalahan tersebut dikeluarkanlah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PPU/XXI/2015 yang menyatakan bahwa “sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Notaris, yang mana jika terdapat pihak ketiga yang terkait, maka berlaku juga isinya bagi pihak ketiga”.Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan

masalah pada penelitian ini terdiri dari dua, yaitu bagaimana peran notaris terkait kepemilikan tanah dalam perkawinan campuran? dan bagaiaman status kepemilikan atas tanah tersebut apabila terjadi perceraian. Untuk tujuan dari penelitian ini adalah meneliti mengenai peran notaris terkait kepemilikan tanah dalam perkawinan campuran dan status kepemilikan atas tanah tersebut apabila terjadi perceraian.

Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini, yaitu antara lain :

  • 1.    Artikel berjudul “Perjanjian Perkawinan Campuran Dalam Kepemilikan Tanah Di Indonesia” oleh Aislie Anantama Septiawan pada tahun 2017 yang meneliti mengenai pencantuman klausula tentang tanah yang dimiliki oleh suami istri dalam perkawinan campuran yang berasal dari harta bawaan pada perjanjian kawin dan mengenai perubahan status hak atas tanah yang dimiliki suami isteri dalam perkawinan campuran apabila terjadi peristiwa perceraian, kematian dan beralihnya kewarganegaraan salah satu pihak. 9

  • 2.    Artikel berjudul “Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran” oleh Justitia Henryanto Ghazaly, pada tahun 2015 meneliti mengenai halangan pelaku perkawinan campuran untuk memiliki hak atas tanah di Indonesia dan akibat hukum dari perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan bagi pelaku kawin campur.10

Kedua tulisan tersebut memiliki pokok permasalahan yang berbeda dengan tulisan ini, dimana tulisan ini memfokuskan pada peran notaris terkait kepemilikan tanah dalam perkawinan campuran dan mengenai status kepemilikan atas tanah tersebut apabila terjadi perceraian sebagai kebaharuannya.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian ini memuat jenis penelitian empiris atau penelitian lapangan, dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis. Adapun sumber data yang digunakan terdiri data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber utama di lapangan dan data sekunder diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini terdiri dari undang-undang, buku-buku dan artikel-artikel. Tehnik pengumpulan bahan hukum terdiri dari tehnik kepustakaan dan tehnik wawancara. Setelah data ini dikumpulkan dan dicari kebenarannya dalam hubungannya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, kemudian data ini dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Peran Notaris Dalam Melindungi Status Hak Milik atas Tanah Akibat dari Adanya Perkawinan Campuran

UU No. 2 Th. 2014 sebagai pengganti dari UU No. 30 Th. 2004 mengenai Jabatan Notaris, (selanjutnya disingkat dengan UUJN), memberikan pengertian mengenai

Notaris berikut hak dan kewajiban Notaris, serta kewenangan Notaris dalam melaksanakan kewajibannya sebagai penyedia jasa hukum bagi masyarakat yang membutuhkan. Pengertian Notaris dalam Pasal 1 UUJN menyatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum dengan kewenangannya untuk membuat akta otentik serta kewenangan yang diatur lainnya dalam UUJN.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan akta otentik, yang dimaksud dengan akta otentik adalah segala hal yang terkandung di dalam akta tersebut yang memiliki kepastian hukum, kepastian hukum adalah segala hal yang timbul akibat dari adanya perjanjian dan telah diatur di dalam UU yang memiliki kekuatan hukum sebagai pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Dalam hal ini Notaris sebagai penyedia jasa hukum sangatlah diperlukan bagi masyarakat yang ingin melakukan tindakan hukum, melegalkan surat, melakukan jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya yang dimana terhadap perbuatannya tersebut diatur oleh UU.

Marak terjadinya perkawinan campuran, marak juga terjadi permasalahan mengenai hak kepemilikan atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan berlangsung, dimana masalah yang terjadi adalah seorang WNA berdasarkan Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) tidak boleh memiliki hak milik atas tanah, namun hanya dapat memiliki hak pakai atas tanah.

Perkawinan WNI dengan WNA yang disebut dengan perkawinan campuran, dimana dalam menentukan hukumnya adalah GHR (Religion op de Gemengde Huwelijken) dalam Pasal 2 yang dapat memberi penyataan bahwa bila wanita melakukan perkawinan campuran, maka selama perkawinan tersebut masih berlangsung, wanita tersebut masih tunduk terhadap hukum yang berlaku bagi suami maupun terhadap hukum publik dan hukum sipil.11

Kepemilikan atas tanah di Negara Indonesia bagi WNA tidaklah memungkinkan, apabila sepanjang perkawinan berlangsung atau sebelum perkawinan berlangsung tidak terjadi pisah harta antara pihak yang melakukan ikatan perkawinan dan akan terjadi percampuran harta selama perkawinan.

Mencegah terjadinya percampuran harta bersama secara bulat di dalam perkawinan, maka UU Perkawinan telah memberikan solusi di dalam Pasal 29 yaitu mengenai perjanjian perkawinan, perjanjian perkawinan yang dimaksud adalah perjanjian pisah harta yang dilaksanakan sebelum terjadi atau berlansungnya perkawinan. 12 Pada umumya, alasan pasangan calon suami dan istri melaksanakan perjanjian perkawinan dengan beberapa alasan, yaitu : 13

  • 1.    Adanya perbedaan kekayaan, yaitu terdapat kekayaan yang lebih besar antara pihak satu dan pihak yang lainnya;

  • 2.    Masing-masing pihak memiliki pendapatan sama besar;

  • 3.    Masing-masing pihak telah memiliki usaha, terhadap usaha tersebut jika mengalami kebangkrutan, salah satu dari mereka tidak akan tersangkut;

  • 4.    Jika terjadi hutang, akan ditanggung pihak yang berhutang.

Menghindari adanya percampuran harta di dalam perkawinan campuran sebelum perkawinan dan setelah berlangsungnya perkawinan adalah berdasarkan UU Perkawinan dapat membuat Perjanjian Perkawinan, namun masalah ini juga diberi perhatian oleh Mahkamah Konstitusi dengan dikeluarkannya putusan No. 69/PPU/XXI/2015 yang menyatakan bahwa waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Notaris, yang mana jika terdapat pihak ketiga yang terkait, maka berlaku juga isinya bagi pihak ketiga.

Maka berdasarkan hal tersebut, peran Notaris dalam hal melindungi hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran ialah, dalam hal belum terjadinya perkawinan campuran, maka diharapkan pasangan calon suami istri datang ke Notaris untuk membuat perjanjian perkawinan sebelum terjadinya ikatan perkawinan atau istilah asingnya disebut dengan Printuptial, memberikan informasi terkait harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya ikatan perkawinan yang akan dituangkan di dalam perjanjian perkawinan tersebut. Dengan cara ini, apabila hak milik atas tanah yang telah diperoleh oleh WNI sebelum berlangsungnya ikatan perkawinan akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan atau pisah harta, maka hak kepemilikan atas tanah yang dimiliki oleh WNI tidak tercampur ke dalam harta bersama.

Penjelasan ini telah didukung oleh wawancara terhadap sumber terkait yakni dengan Notaris/PPAT Jefriey Firmanyo Soegianto, SH.,M.Kn yang menjelaskan seperti di bawah ini,

Dalam UU Pokok Agraria telah diatur mengenai kepemilikan atas tanah di Negara Indonesia adalah seorang WNI, WNA tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah di Negara Indonesia, melainkan hanya bisa memiliki hak pakai yang waktunya terbatas. Dalam perkawinan campuran, biasanya pembelian tanah yang dibeli sebelum ikatan perkawinan berlangsung adalah dilindungi oleh perjanjian perkawinan sebelum terjadinya perkawinan atau printuptial. Akibat hukumnya adalah terjadinya pemisahan harta masing-masing pihak yang diperoleh sebelum atau sesudah menikah dengan membawa tanggung jawab masing-masing pihak.”(wawancara dilakukan pada tanggal 13 Maret 2020, pada pukul 12.00 Wita, bertempat di Kantor Notaris/PPAT Jefriey Firmanyo Soegianto, SH.,M.Kn, di Jalan Diponegoro Denpasar.)

Berlangsungnya perkawinan campuran dan jika selama perkawinan itu terjadi pembelian tanah dengan menggunakan sejumlah uang dari WNA, maka dalam jual beli tersebut WNA tidak dapat menjadi pemilik tanah tersebut, hak milik tetap menjadi milik WNI, dalam perjanjian perkawinan setelah ikatan perkawinan berlangsung atau istilah asingnya disebut dengan postnuptial. Postnuptial akan dilakukan apabila telah berlangsungnya perkawinan dan seluruh harta yang diperoleh pada saat perkawinan berlangsung akan dimaksukkan ke dalam perjanjian. Harta yang diperoleh dengan pembelian menggunakan sejumlah uang masing-masing pihak akan dibagi berdasarkan hak milik masing-masing pihak.

Masalah ini telah didukung penjelasan oleh sumber terkait yaitu Notaris/PPAT I Made Dwi Saptajaya, SH.,M.Kn yakni :

Apabila pada saat perkawinan campuran berlangsung, terdapat pembelian hak atas tanah oleh seorang WNA dengan menggunakan sejumlah uang dari WNA, setelah jual beli berlangsung hak atas kepemilikan tanah akan tetap menjadi milik WNI atau pasangannya yang WNI. Apabila hal ini menjadi permasalahan dikemudian hari, peran notaris disini adalah membuatkan surat pernyataan yang berisikan pernyataan masing-masing pihak atas pembelian tanah hak milik tersebut. Bahwa pembelian tanah hak milik tersebut sebenarnya menggunakan sejumlah uang dari WNA, hanya karna kewarganegaraan asing tidak boleh memiliki hak atas tanah maka hak milik atas tanah diberikan kepada pasangan WNI, apabila dikemudian hari telah terjadi penjualan terhadap tanah hak milik tersebut, uang dari penjualan tersebut akan diberikan kepada WNA, sedangkan apabila si WNA telah meninggal dunia, maka kepemilikan atas tanah tersebut akan dimiliki oleh anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut yang telah berkewarganegaraan WNI. (wawancara dilakukan pada tanggal 13 Maret 2020 pada pukul 15.00 Wita, bertempat di Kantor Notaris/PPAT I Made Dwi Saptajaya, SH.,M.Kn).

Maka berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa peran notaris dalam melindungi hak milik atas tanah adalah dengan membuat perjanjian perkawinan sebelum atau sesudah perkawinan berlangsung, dengan memberikan kepastian hukum terhadap pemisahan harta yang telah terjadi.

  • 3.2.    Status Kepemilikan atas Tanah Apabila Dikemudian Hari Terjadi Perceraian Akibat hukum dari putusnya ikatan perkawinan adalah perceraian, perceraian bisa terjadi pada siapa saja yang telah melangsungkan perkawinan, baik pada perkawinan biasa maupun pada perkawinan campuran, yang terjadi akibat perselisihan, perbedaan, atau permasalahan ekonomi yang kerap menjadi permasalahan dan menimbulkan perceraian. Perceraian bisa dilakukan oleh masing-masing pihak menurut hukumnya masing-masing, di Negara Indonesia perceraian haruslah dilangsungkan di Pengadilan Negeri, dengan melalui tahap mediasi terlebih dahulu sebelum benar-benar akan bertekad melakukan perceraian.

Terjadinya perceraian pada perkawinan campuran menimbulkan akibat hukum yakni mengenai harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh selama perkawinan. Jika sebelum dan sesudah perkawinan telah dibuatkan perjanjian perkawinan atau pemisahan harta maka setelah bercerai tidak akan ada lagi pembagian harta gono gini.

Kepemilikan atas tanah yang dibeli pada saat berlangsungnya perkawinan tanpa dibuatnya perjanjian kawin terlebih dahulu, maka berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), yakni “terhitung sejak perkawinan terjadi demi hukum terjadilah percampuran harta diantara keduanya apabila perkawinan dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan”. Akibat hukumnya adalah harta milik istri menjadi hatrta suami, demikian pula sebaliknya atau yang istilahnya menjadi harta bersama. Harta bersama apabila terjadi perceraian maka

haruslah dibagi secara merata antara suami dan istri, dimana pembagian tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang diperoleh selama perkawinan. 14

Apabila sebelum perkawinan berlangsung telah dibuat perjanjian kawin dengan memisahkan seluruh harta bawaan dan harta yang diperoleh antara suami dan istri, maka ketika terjadi perceraian masing-masing suami dan istri tersebut hanya mendapatkan harta yang telah terdaftar atas nama mereka, karena apabila telah dibuat perjanjian kawin tidak dikenal adanya istilah harta bersama atau harta gono gini.

Berlakunya UU Perkawinan, harta benda diatur di dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2), perbedaannya adalah bagian harta mana yang menjadi harta bersama. Dalam KUHPerdata semua harta yang dimiliki oleh suami dan istri menjadi harta bersama, namun dalam UU Perkawinan yang didapat sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami/istri.

Bilamana telah terjadi perceraian di dalam perkawinan campuran sebelum adanya perjanjian kawin dan atau telah adanya perjanjian kawin, maka dengan ini mengesampingkan ketentuan Pasal 119 KUHPerdata dan Pasal 35 ayat (1) dan (2), karena perkawinan campuran yang berlangsung antara WNI dengan WNA apabila terjadi pembelian tanah sebelum atau sesudah adanya perjanjian kawin, maka status kepemilikan atas tanah tetap menjadi hak milik WNI, dan apabila pada proses pembelian tanah tersebut menggunakan sejumlah uang dari WNA, maka selama berlangsungnya perkawinan akan dibuatkan Surat Pernyataan di hadapan Notaris yang menyatakan bahwa pembelian atas tanah dan turutannya adalah menggunakan sejumlah uang dari WNA, ketika dikemudian hari terjadi perceraian maka hal-hal yang bisa dimasukkan kedalam pernyataan tersebut diantaranya :

  • 1.    Menjual tanah tersebut, dan hasil dari penjualan tanah tersebut dikembalikan kepada si WNA, atau dinyatakan ke dalam pernyataan lain diluar pernyaatan ini;

  • 2.    Akan dilakukan penghibahan tanah tersebut kepada anak-anak yang telah lahir di dalam perkawinan tersebut yang berstatus WNI, apabila anak-anak tersebut telah cukup umur dan cakap melakukan perbuatan hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka untuk mengantisipasi terjadinya perceraian dikemudian hari, maka Notaris membantu untuk menuangkan kehendak para pihak di dalam surat pernyataan yang menyatakan bahwa bilamana terjadinya perceraian, terhadap harta kekayaan yang berupa kepemilikan atas tanah apabila telah dibuatnya perjanjian kawin sebelum dan sesudah perkawinan adalah menjual tanah tersebut dan hasil dari penjualan tersebut dikembalikan kepada WNA dan atau menghibahkan kepada anak yang terlahir di dalam perkawinan yang berkewarganegaraan WNI.

  • 4.    Kesimpulan

Bahwa peran notaris dalam melindungi hak milik atas tanah adalah dengan membuat perjanjian perkawinan sebelum atau sesudah perkawinan berlangsung, dengan memberikan kepastian hukum terhadap pemisahan harta yang telah terjadi. Status kepemilikan atas tanah apabilla terjadi perceraian terhadap harta kekayaan yang berupa kepemilikan atas tanah apabila telah dibuatnya perjanjian kawin sebelum dan sesudah perkawinan adalah menjual tanah tersebut dan hasil dari penjualan tersebut dikembalikan kepada WNA dan atau menghibahkan kepada anak yang terlahir di dalam perkawinan yang berkewarganegaraan WNI. Saran yang dapat diberikan adalah apabila ingin melangsungkan perkawinan biasa maupun perkawinan campuran sebaiknya dilakukan pemisahan harta terlebih dahulu, agar harta yang diperoleh masing-masing dibawah kekuasaan masing-masing suami/istri.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Saleh, K. Wantjik. (1976). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT. Yudhistira Ghalia Indonesia.

Mardani, (2011). Hukum perkawinan Islam di dunia Islam modern. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Isnaeni, Moch. (2016). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Tutik, Tri Wulan. (2015). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Jurnal

Faizal, Liky. (2015). Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 8(2).

Ghazaly, Justitia Henryanto. (2019). Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran. Jurnal Cendekia Hukum, 5(1.

Munawar, Akhmad. (2015). Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia. Al-Adl: Jurnal Hukum 7(13)

Santoso, (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 7(2).

Septiawan, Aislie Anantama. (2017). Perjanjian Perkawinan Campuran Dalam Kepemilikan Tanah Di Indonesia. Lambung Mangkurat Law Journal, 2(1).

Subekti, Trusto. (2010). Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian. Jurnal Dinamika Hukum 10(3).

Widanarti, Herni. (2019). Tinjauan Yuridis Aibat Perkawinan Cmpuran Terhadap Anak. Diponegoro Private Law Review 4(1).

Winarta, Eddy Nyoman, I. Gusti Ngurah Wairocana, and I. Made Sarjana. (2017). Hak Pakai Atas Rumah Hunian Warga Negara Asing Dalam Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin. Acta Comitas, 2(2).

Internet

Irma Devita Purnama Sari. Pembagian Harta Bersama Jika Terjadi Perceraian. Available                                                                from

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53b65a5e2cfef/pembagian-harta-bersama-jika-terjadi-perceraian/, diakses 31 Agustus 2020.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960) Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.

Undang-Undang Negara RI, Undang-Undang No. 2 Th. 2014 tentang perubahan Undang-Undang Negara RI, Undang-Undang No. 30 Th. 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara RI Th. 2014 No. 3 perubahan atas Lembaran Negara RI Th. 2004 No. 117 Tambahan Lembaran Negara 4432)

585