Vol 5 No 2 Agustus 2020

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Konsep Tri Hita Karana Dalam Pengaturan Penyediaan Akomodasi Pariwisata Dan Jabatan Notaris

I Putu Martha Kresna Raditya

1 Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 26 Agustus 2019 Diterima: 14 Oktober 2019

Terbit: 28 Agustus 2020

Keywords:

Tourism Accomodation;

Notary; Tri Hita Karana Concept; Influence


Kata kunci:

Akomodasi Pariwisata;

Notaris; Tri Hita Karana;

Pengaruh

Corresponding Author:

I Putu Martha Kresna Raditya, E-mail:


Abstract

The entry of various interests due to the rise of tourism accommodation development are prone to cause conflicts of interest which in some places have proven to escalate into conflict. The development of tourism accommodation in Bali is accentuate importance on the environmental, cultural, cultural, cultural and economic aspects. The THK concept is a concept that has been traditionally applied in people's daily lives. The THK concept will directly or indirectly influence the basis of policy or thinking for local governments. The notary is authorized to make an authentic deed will not be separated from his involvement in the organization of tourism accommodation. In order to avoid the exploitation carried out by the parties in providing tourism accommodation, the balance between the three components prioritized by THK concept will provide a strong foundation and protect businesses and nature. The method used in this study is a normative research method through statue approach and concept approach. The purpose of this study is to identify the THK concept towards the norms and the relation of the notary to the THK concept in organizing tourism accommodation. The results of the study show that the THK concept emphasizes a balance between the three components that form the basis of cultural values in Bali tourism. The recognition of the THK concept in local regulations will force businesses to implement the THK concept in order to ensure the continuity and sustainability of Bali tourism. Notary based on his authority in accordance with Article 16 paragraph (2) letter (e) of the Law of Notary and Article 3 number (5) of the Notary Ethics Code, notary can implement the THK concept to protect tourism. The participation of the notary himself is very important in Bali tourism because the process of organizing tourism accommodation will involve the notary directly as an official who can make a deed which will later be used in the process of tourism accommodation development.

Abstrak

Masuknya berbagai kepentingan akibat maraknya pembangunan akomodasi pariwisata rentan menimbulkan benturan-benturan kepentingan yang di beberapa tempat terbukti bereskalasi menjadi konflik. Pembangunan akomodasi pariwisata di Bali mementingkan aspek lingkungan, budaya, adat istiadat, bisnis dan ekonomi. Konsep THK merupakan konsep yang telah secara turun-temurun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2020.v05.i02.p13


masyarakat. Konsep THK secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi dalam dasar kebijakan atau pemikiran bagi pemerintah daerah. Notaris berwenang untuk membuat akta autentik tidak akan lepas keterlibatannya dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata. Demi menghindari adanya ekploitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam penyediaan akomodasi pariwisata maka keseimbangan antara tiga komponen yang diutamakan dalam konsep THK akan memberikan pondasi yang kuat dan melindungi pelaku usaha dan alam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep. Tujuan studi ini untuk mengidentifikasi konsep THK terhadap norma-norma serta kaitannya notaris dengan konsep THK dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata. Hasil studi menunjukkan bahwa Konsep THK yang menekankan pada keseimbangan antara tiga komponen yang menjadi dasar nilai-nilai budaya dalam pariwisata Bali. Diakuinya konsep THK dalam peraturan daerah akan memaksa pelaku usaha untuk melaksanakan konsep THK guna menjamin kelangsungan dan kelestarian pariwisata Bali. Notaris berdasarkan kewenangannya sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf (e) UUJN dan kewajibannya sesuai ketentuan Pasal 3 angka (5) Kode Etik Notaris, notaris dapat melaksanakan konsep THK demi menjaga pariwisata. Keikutsertaan notaris sendiri sangat penting dalam pariwisata Bali karena proses penyelenggaraan akomodasi pariwisata akan melibatkan notaris langsung sebagai pejabat yang dapat membuat akta yang nantinya digunakan dalam proses pembangunan akomodasi pariwisata.

  • I.    Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terluas yang memiliki ribuan pulau-pulau yang tersebar di seluruh Indonesia.1 Masing-masing pulau tersebut memiliki keanekaragaman budaya serta keindahan alamnya. Khususnya pada pulau Bali yang sudah sangat dikenal akan keindahan alam, budaya, dan penduduknya. Berdasarkan hasil voting yang dilakukan oleh TripAdvisor Australia, Bali menduduki peringkat 5 dari 25 tempat wisata terbaik di dunia.2 Hal ini otomatis menjadikan pulau Bali sebagai target wisata oleh wisatawan dari luar Bali bahkan dunia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pariwisata Bali menimbulkan dampak yang signifikan bagi kehidupan pengusaha pariwisata khususnya masyarakat Bali, baik yang berupa dampak positif maupun negatif. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Badung sebagai barometer perkembangan pariwisata di Bali.3

Perkembangan kepariwisataan Bali telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan ekonomi daerah, ditandai oleh meningkatnya berbagai kegiatan ekonomi, terbukanya peluang kerja dan kesempatan berusaha meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Penyelenggaraan pariwisata di Bali juga memberi sumbangan yang signifikan bagi penerimaan devisa negara sehingga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dampak positif tersebut membuat masifnya perkembangan investasi dibidang pariwisata khususnya dalam penyediaan akomodasi di Bali juga menimbulkan dampak negatif seperti adanya perubahan bentuk permukaan pulau Bali secara drastis. Dapat dilihat pada pesisir pantai, bantaran sungai, bukit, pegunungan, bahkan hutan yang fungsinya sebagai kawasan resapan air pun tidak lepas dari tujuan lokasi pembangunan akomodasi pariwisata.

Masuknya berbagai kepentingan ke wilayah perdesaan sebagai akibat dari maraknya pembangunan akomodasi pariwisata rentan menimbulkan benturan-benturan kepentingan yang di beberapa tempat terbukti bereskalasi menjadi konflik. Kondisi-kondisi tersebut dapat dipandang sebagai dampak negatif dari kepariwisataan Bali sebab berbagai kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk merubah wajah pariwisata Bali menjadi destinasi pariwisata yang jauh dari nilai-nilai budaya, serta dapat mengubah nilai-nilai dan perilaku masyarakat Bali.

Aturan mengenai pariwisata di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (selanjutnya disebut UUKepariwisataan). Pengertian dari pariwisata menurut Pasal 1 angka (3) UU Kepariwisataan menjelaskan,”Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.” Ketentuan dari pengertian wisatawan telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Kepariwisataan bahwa,”Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.”

Pemerintah daerah provinsi Bali telah menerbitkan peraturan daerah untuk mengatur tentang kepariwisataan, peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali (selanjutnya disebut Perda Kepariwisataan Budaya Bali). Peraturan tersebut merupakan respon dari pemerintah daerah Bali dalam menjawab tantangan global dalam hal dunia usaha pariwisata.

Selain Perda Kepariwisataan Budaya Bali, pemerintah Bali juga menerbitkan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk menyelaraskan arah kebijakan utama dari pemerintah daerah kepada pengusaha pariwisata dan masyarakat Bali berkaitan dengan pembangunan pariwisata daerah agar tercapainya pemerataan kesempatan berusaha. Aturan tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015-2029.

Jenis-jenis dari usaha pariwisata telah diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perda Kepariwisataan Budaya Bali. Usaha pariwisata yang difokuskan dalam karya ilmiah ini adalah usaha pariwisata dalam hal penyediaan akomodasi. Bentuk dari usaha penyediaan akomodasi adalah penyediaan hunian bagi wisatawan. Hal ini juga telah

ditegaskan pada Pasal 1 angka (27) ketentuan Pasal Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata (selanjutnya disebut dengan Permenpar PUP) yang menyebutkan pengertian dari penyediaan akomodasi adalah,”Usaha Penyediaan Akomodasi adalah usaha penyediaan pelayanan penginapan untuk wisatawan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya.” Di Bali, dapat ditemukan bentuk dari penyediaan akomodasi berupa hotel, penginapan, villa, perkemahan, dan sebagainya.

Kesempatan dalam menyediakan akomodasi pariwisata dimanfaatkan oleh masyarakat Bali untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonominya dengan membangun berbagai macam tempat-tempat ataupun fasilitas yang disewakan untuk para wisatawan. Seperti mendirikan rumah makan, toko-toko yang menjual cindramata, pakaian, serta kebutuhan untuk wisatawan dan juga pembangunan hotel, kondotel, guess house atau villa sebagai akomodasi pariwisata untuk para wisatawan yang berlibur.

Pembangunan akomodasi pariwisata di Bali tidak serta merta mementingkan aspek bisnis dan ekonomi bagi pelaku pariwisata saja, tetapi juga mementingkan aspek lingkungan, budaya, dan adat istiadat. Ketiga aspek tersebut menurut masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu harus terjaga keseimbangannya demi mencapai kebaikan dan kesejahteraan. Konsep ini dikenal sebagai Tri Hita Karana (THK). THK merupakan filsafat yang mengutamakan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.4 Keselarasan dan keseimbangan dari ketiga hubungan manusia tersebut sumber dari kesejahteraan dan kemakmuran bagi manusia.5 Konsep THK merupakan konsep yang telah secara turun-temurun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.6 Konsep ini secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan dan prilaku dari usaha pariwisata yang ada di Bali.

Berkaitan dengan konsep THK yang menjadi dasar berfikir dan berprilaku oleh masyarakat Bali, konsep THK mempengaruhi jalannya bisnis pariwisata dalam hal penyediaan akomodasi. Dengan asas otonomi daerah yang dimiliki oleh pemerintah daerah di Bali maka pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur, dalam hal ini berkaitan dengan pariwisata Bali. Oleh karena itu, sebagai filosofi dari masyarakat Bali, konsep THK secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi dalam dasar kebijakan atau pemikiran bagi pemerintah daerah Bali khususnya dalam pariwisata Bali.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang dalam membuat akta autentik tidak akan lepas keterlibatannya dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata. Pengaturan yang berkaitan dengan notaris, diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan UUJN). Objek dari penyediaan

akomodasi pariwisata adalah tanah dan bangunan yang kemudian dilanjutkan dengan perjanjian. Bentuk dari perjanjian tersebut berupa sewa menyewa dan/atau jual beli. Perjanjian tersebut tidak hanya diperlukan oleh pengusaha parwisata dengan wisatawan, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat Bali. Hal ini dikarenakan ruang lingkup dari pengusaha pariwisata tidak hanya masyarakat Bali saja tetapi setiap orang atau kelompok orang yang berada di Indonesia bahkan luar negeri.

Luasnya pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata di Bali tentunya akan berdampak pada perkembangan budaya, kebiasaan, serta prilaku pariwisata di Bali. Keuntungan dalam ekonomi tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu tujuan diadakannya pariwisata karena pada dasarnya pariwisata merupakan bisnis untuk mendatangkan keuntungan.

Berdasarkan penjelasan diatas, demi menghindari adanya ekploitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam penyediaan akomodasi pariwisata maka keseimbangan antara tiga komponen yang diutamakan dalam konsep THK akan memberikan pondasi yang kuat dan melindungi masyarakat Bali, pengusaha pariwisata, wisatawan, dan alam di Bali. Keterkaitan antara konsep THK, notaris, dan akomodasi pariwisata secara garis besar adalah konsep THK sebagai filosofi hidup masyarakat Bali dan notaris sebagai pejabat pembuat akta yang selanjutnya isi dari akta tersebut berisikan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dengan didasari pada kewenangan jabatan notaris, kode etik notaris, serta norma-norma yang berlaku.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, bertujuan untuk mengidentifikasi konsep THK terhadap norma-norma dalam penyediaan akomodasi serta kaitannya notaris dengan konsep THK dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata. Hakekat dari penelitian hukum normatif adalah mengkaji norma hukum yang dijadikan aturan dalam mengatur prilaku masyarakat.7 Penelitian hukum normatif dilakukan dengan melakukan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Teknik deskriptif adalah teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini dengan pemaparan bahan hukum melalui konstruksi hukum dan argumentasi, kemudian melakukan penilaian yang didasari pada alasan yang bersifat penalaran hukum. Penalaran hukum dimaksudkan dengan menyebut dan menjelaskan doktrik dan asas terkait pada permasalahan. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam penelitian ini adalah UU Kepariwisataan, UUJN, Permenpar PUP, Perda Kepariwisataan Budaya Bali, serta Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Konsep Tri Hita Karana (THK) Dalam Pariwisata Bali

Pelaksanaan pariwisata Bali mengedepankan nilai-nilai kebudayaan yang berdasarkan atas ajaran agama Hindu yang hidup dalam kehidupan masyarakat Bali. Nilai-nilai

tersebut salah satunya didasari oleh filosofi Tri Hita Karana.8 THK dalam pengertiannya adalah tiga penyebab kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pengertian ini diambil berdasarkan arti masing-masing kata Tri Hita Karana. Tri berarti tiga, Hita berarti sejahtera, dan Karana berarti penyebab.9

Keselarasan dan kesimbangan antara ketiga komponen tersebut akan menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia dalam kehidupannya. Konsep pertama adalah Parahyangan, yang berarti keseimbangan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan bisnis pariwisata di Bali khususnya dalam penyediaan akomodasi harus memperhatikan beberapa kawasan di Bali yang dikatakan sebagai kawasan suci dan kawasan tempat suci. Pengertian kawasan suci telah ditentukan dalam Pasal 1 angka (40) Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, disebutkan bahwa,”Kawasan suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, laut, dan pantai”. Serta berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (41) bahwa,”Kawasan tempat suci adalah kawasan disekitar pura yang perlu dijaga kesuciannya dalam radius tertentu sesuai status pura sebagaimana ditetapkan dalam Bhisama Kesucian Pura Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDIP) Tahun 1994”.

Konsep kedua adalah Pawongan, yang berarti keseimbangan hubungan dengan sesama manusia. Penyelenggaraan akomodasi pariwisata juga mementingkan aspek kemanusiaan. Aspek kemanusiaan yang dimaksud tidak hanya diberikan kepada pelaku pariwisata berupa fasilitas-fasilitas pemenuhan kebutuhan akomodasi pariwisata, tetapi juga memberikan masyarakat daerah setempat keuntungan dari adanya akomodasi pariwisata secara langsung maupun tidak langsung. Keuntungan secara langsung dapat berupa pemanfaatan tenaga kerja daerah setempat atau kerjasama terhadap masyarakat setempat dalam pemenuhan kebutuhan akomodasi pariwisata dan keuntungan secara tidak langsung dapat berupa promosi daerah setempat yang disertakan dalam promosi akomodasi pariwisata yang nantinya membuka peluang usaha kepada masyarakat setempat untuk membuka peluang usaha lain selain akomodasi pariwisata.

Konsep ketiga adalah Palemahan, yang berarti keseimbangan hubungan dengan lingkungan.10 Keseimbangan berarti tidak memberatkan salah satu pihak. Keseimbangan dalam konsep ini juga menghindarkan ekploitasi pada lingkungan. Pelaku pariwisata dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata memikirkan dampak lingkungan setelah dibangunnya akomodasi pariwisata tersebut. Terutama dalam dampak negatif dari keberadaan akomodasi pariwisata seperti peralihan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi lahan bisnis pariwisata. Dampak dari peralihan ini akan mengikis

nilai-nilai pariwisata Bali yang pada dasarnya adalah wisata budaya yang menekankan keseimbangan atas dasar konsep THK.

Setiap kegiatan perekonomian dalam proses kewirausahaan pariwisata yang dilakukan oleh setiap orang atau kelompok yang terlibat perlu menyembangkan antara budaya dengan bisnisnya. Penyelenggaraan akomodasi pariwisata yang merupakan bisnis pariwisata dan objeknya berupa tanah dan bangunan melalui jasa melibatkan ketiga komponen sesuai dengan pengertian konsep THK. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya pada masyarakat Bali yang berada pada konsep THK memberikan pengaruh secara langsung dan tidak langsung bagi pelaku usaha pariwisata baik itu masyarakat Bali, pengusaha pariwisata, pemerintah daerah, atau pihak yang berkaitan untuk menjaga dan melindungi budaya, manusia, serta lingkungan pariwisata.

  • 3.2    Pengaruh Konsep THK Dalam Pengaturan Penyediaan Akomodasi Pariwisata

Pemerintah daerah provinsi Bali sebagai salah satu pelaku pariwisata memiliki kewajiban untuk mengatur dan mengelola kepariwisataan di Bali. Salah satu dari bentuk kewajiban tersebut adalah penerbitan peraturan daerah mengenai keparwisataan. Pengaturan kepariwisataan dalam skala nasional dapat dilihat dalam UU Kepariwisataan, sedangkan pada skala daerah seperi pemerintah daerah Bali adalah Perda Kepariwisataan Budaya Bali.

Terdapat ketentuan pasal yang membuktikan bahwa konsep THK mendasari pemikiran pemerintah daerah dalam menerbitkan peraturan daerah tersebut. Ketentuan tersebut adalah Pasal 1 angka (14) yang menjelaskan pengertian dari kepariwisataan budaya Bali. Jelasnya, ketentuan tersebut berbunyi bahwa, “Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan”.

Berkaitan dengan penyediaan akomodasi pariwisata, pengaruh konsep THK dalam juga dapat dilihat pada isi dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Pemerintah daerah demi mencapai kesejahteraan dengan didasari pada konsep THK, mempertimbangkan keberadaan kawasan-kawasan yang fungsinya dilindungi kawasan-kawasan tersebut tidak diekploitasi demi kepentingan pariwisata dan tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

Hampir pada setiap daerah di provinsi Bali memiliki daya tarik bagi wisatawan. Peluang tersebut dilihat oleh pengusaha pariwisata untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi kawasan-kawasan tersebut untuk digunakan sebagai akomodasi pariwisata. Dampak dari keuntungan memang menyebabkan ekonomi pengusaha dan daerah wisata serta masyarakat sekitar meningkat, namun dalam jangka panjang dapat menghilangkan kelestarian alam dan merugikan tidak hanya pengusaha tersebut melainkan seluruh pelaku usaha pariwisata

termasuk masyarakat daerah setempat. Dengan diakuinya konsep THK dalam kepariwisataan, maka hal ini akan memaksa pelaku usaha dan masyarakat daerah untuk tetap melaksanakan konsep THK serta menjamin kelangsungan dan kelestarian pariwisata Bali.

  • 3.3    Keterkaitan Antara Notaris Dengan Konsep THK Dalam Penyelenggaraan Akomodasi Pariwisata

Proses penyelenggaraan Akomodasi Pariwisata yang objeknya adalah bangunan hunian, memerlukan keberadaan notaris dalam proses peralihan haknya seperti peralihan hak karena jual beli atau sewa menyewa, tetapi peralihan hak juga biasa terjadi dengan objek tanah yang nantinya akan digunakan untuk pembangunan. Pejabat berwenang yang dimaksud dalam proses peralihan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah notaris.

Notaris berdasarkan pengertian dari ketentuan Pasal 1 angka (1) UUJN disebutkan bahwa,”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Kewenangan notaris sebagaimana yang telah disebutkan dalam pengertiannya diatur dalam Pasal 16 UUJN.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyelengaraan akomodasi pariwisata tidak hanya melibatkan pelaku usaha pariwisata saja tetapi juga nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Bali, salah satunya adalah nilai pada konsep THK. Konsep THK yang menekankan pada keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan lingkungan juga akan berdampak baik kepada pariwisata Bali. Eksistensi dari budaya Bali, prilaku masyarakat Bali, serta keasrian lingkungan dapat dilindungi dan dijaga melalui konsep THK.

Keadaan pariwisata Bali juga akan mempengaruhi notaris dalam melaksanakan profesinya. Dilihat dari segi ekonomi, notaris akan mendapatkan klien-klien baru yang akan melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan tugas dan wewenang notaris. Semakin pesatnya perkembangan pariwisata maka semakin banyak wisatawan yang datang dan begitupula pada perbuatan hukum yang dilakukan. Segi reputasi, notaris yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat memenuhi keinginan klien dan sesuai dalam batas-batas aturan dalam undang-undang maka otomatis reputasi dari notaris tersebut akan semakin meningkat dan akan mengundang banyak klien-klien lain untuk datang. Karena pengusaha pariwisata di Bali datang dari warga negara Indonesia serta mancanegara. Oleh karena itu, keterikatan antara notaris dengan pariwisata di Bali memperlihatkan bahwa notaris juga perlu untuk menjalankan konsep THK dalam melakukan profesinya dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata.

Berdasarkan kewenangan notaris diatur dalam ketentuan UUJN, khususnya pada Pasal 16 Ayat 2 huruf (e) yang menyebutkan bahwa kewenangan notaris dalam,” Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.” Penyuluhan hukum dimaksudkan adalah notaris memberikan pemahaman dan pengertian kepada para pihak yang mendatangi notaris agar para pihak memahami batas-batas yang diperbolehkan dalam membuat akta sehingga nantinya tidak mengakibatkan kerugian baik kepada para pihak, pihak lain, bahkan notaris.

Notaris yang merupakan pejabat berwenang juga ikut berperan dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata. Apabila dalam peralihan hak atau pembuatan akta tersebut mengandung kecurigaan adanya ekploitasi lingkungan oleh pengusaha pariwisata, maka notaris dapat menunda bahkan menolak pembuatan akta tersebut. Hal ini didasari pada prinsip kehati-hatian notaris agar menghasilan akta yang jelas dan tidak menimbulkan masalah di masa depan.11 Prinsip ini juga melandasi tanggungjawab notaris terhadap aktanya. Seorang notaris memiliki tanggungjawab atas setiap akta yang dibuatnya seumur hidup. Pernyataan tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 65 UUJN yang menyebutkan bahwa,”Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap Akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris”.

Demi menghindari terjadinya permasalahan terhadap akta berkaitan dengan penyelenggaraan akomodasi pariwisata di Bali maka notaris harus memahami dan menerapkan konsep THK dalam menjalankan profesinya. Keseimbangan yang dijunjung pada konsep THK akan berdampak pada pariwisata Bali. Sebab, akta notaris merupakan akta autentik yang kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna. Dikatakan sebagai alat bukti yang sempurna karena isi dari akta tersebut tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali apabila dapat dibuktikan ketidakbenarannya.12 Oleh karena itu, apabila notaris tidak menjalankan profesinya dengan mengabaikan konsep THK yang menjadi nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Bali maka sangat tinggi kemungkinan bahwa akta yang dibuat akan menimbulkan permasalahan.

Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 3 angka (5) Kode Etik Notaris (Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Banten, 29-30 Mei 2015), yang menyebutkan bahwa selama menjalankan profesinya notaris wajib,”Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian profesi yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan”. Adanya ketentuan kewajiban notaris yang tidak membatasi ilmunya hanya pada bidang hukum dan kenotariatan dalam pembuatan akta, menguatkan bahwa notaris harus memahami konsep THK dan melaksanakannya demi kebaikan para pihak, lingkungan, dan notaris itu sendiri.

Dengan demikian, dalam penyelenggaraan akomodasi pariwisata, notaris berdasarkan kewenangan dan kewajibannya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat melaksanakan dan menerapkan konsep THK dalam menjalankan profesinya. Keikutsertaan notaris sendiri sangat penting dalam pariwisata Bali karena proses penyelenggaraan akomodasi pariwisata akan melibatkan notaris langsung sebagai pejabat yang dapat membuat akta yang nantinya digunakan dalam proses pembangunan akomodasi pariwisata. Notaris dalam masa jabatannya berperan langsung dalam melaksanakan konsep THK dalam hal penyediaan akomodasi pariwisata demi menjaga keberlangsungan pariwisata dan lingkungan daerah wisata Bali.

  • 4.    Kesimpulan

Konsep THK yang menekankan pada keseimbangan antara tiga komponen, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan lingkungan menjadi dasar nilai-nilai yang ditonjolkan oleh pariwisata Bali. Keselarasan serta kesimbangan antara ketiga komponen tersebut akan menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia dalam kehidupannya. Begitupula dalam dunia bisnis pariwisata, konsep THK dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran bagi pelaku usaha dalam menjalankan pariwisata. Setiap daerah di provinsi Bali memiliki potensi wisata yang sangat besar, peluang yang besar ini merupakan kesempatan bagi pengusaha pariwisata, tetapi dampak negatif yang diberikan oleh ekploitasi lingkungan dalam hal pembangunan akomodasi pariwisata tidak hanya berdampak pada pengusaha pariwisata tetapi juga berdampak pada setiap pelaku usaha termasuk masyarakat daerah dan pariwisata Bali. Diakuinya konsep THK dalam peraturan daerah sebagai landasan atau filosofi kehidupan masyarakat Bali yang didasari oleh ajaran Agama Hindu akan memaksa pelaku usaha dan masyarakat daerah untuk tetap melaksanakan konsep THK serta menjamin kelangsungan dan kelestarian pariwisata Bali. Penyediaan Akomodasi Pariwisata yang berbentuk bangunan, memerlukan keberadaan notaris dalam proses peralihan haknya seperti jual beli dan/atau sewa menyewa, serta peralihan hak juga apabila objek tersebut adalah tanah. Notaris berdasarkan kewenangannya sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf (e) dan kewajibannya sesuai ketentuan Pasal 3 angka (5) Kode Etik Notaris, seorang notaris dapat memahami dan melaksanakan konsep THK demi menjaga pariwisata dan lingkungan daerah wisata. Berkaitan dengan penyediaan akomodasi pariwisata, keikutsertaan notaris sendiri sangat penting dalam pariwisata Bali karena proses penyelenggaraan akomodasi pariwisata akan melibatkan notaris langsung sebagai pejabat yang dapat membuat akta autentik yang nantinya digunakan dalam proses pembangunan akomodasi pariwisata.

Daftar Pustaka

Buku

Ishaaq. (2017). Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi. Bandung: Alfabeta, h.66

Jurnal

Subagia, N. K. W., Holilulloh, H., & Nurmalisa, Y. (2016). Persepsi Masyarakat

Terhadap Konsep Tri Hita Karana Sebagai Implementasi Hukum Alam. Jurnal Kultur Demokrasi, 4(2), h.4

Putera, I. D. G. W., & Supartha, W. G. (2014). Penerapan konsep tri hita karana dalam hubungannya dengan budaya organisasi di Rektorat UNUD. E-Jurnal Manajemen Universitas Udayana, 3(7), h.3

Setyadi, Y. B. (2007). Pariwisata dan perubahan nilai-nilai sosial budaya berdasarkan lingkungan tradisi pada masyarakat bali, h.98

Evita, R., Sirtha, I. N., & Sunartha, I. N. (2012). Dampak perkembangan pembangunan sarana akomodasi wisata terhadap pariwisata berkelanjutan di bali. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Denpasar: Universities Udayana.(16 Juni 2014, 6: 05 PM), h.10

Manuaba, I. B. P., Parsa, I. W., & Ariawan, I. G. K. (2018). Prinsip Kehati-Hatian Notaris Dalam Membuat Akta Autentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(1), 59-74, h.62

Nopitasari, N. P. I., & Suatra, P. (2013). Konsep Tri Hita Karana dalam Subak. Kertha Desa, 1(2), 1-5, h.4

Diana, P. V. P., Mertha, I. K., & Artha, I. G. (2015). Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, h.167

Website:

Databoks. (2018).      Berapa Jumlah Pulau di Indonesia?. Avaiable from

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/10/16/berapa-jumlah-pulau-di-indonesia. (diakses tanggal 18 Agustus 2019).

Tripadvisor Australia. (2019) Top 25 Destinations – World. Avaiable from https://www.tripadvisor.com.au/TravelersChoice-Destinations. (Diakses tanggal 18 Agustus 2019).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3.

Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1551.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 2.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015-2029, Lembaran Darah Provinsi Bali Tahun 2015 Nomor 10.

374