Vol. 4 No. 1 April 2019

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kajian Yuridis Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (Dikaji dari Perspektif Hukum Tata Negara)

I Gusti Ngurah Adityanatha1

1Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali-Indonesia, E-mail: ignadityanatha@gmail.com

Info Artikel

Masuk : 2 April 2018

Diterima: 21 September 2018

Terbit: 30 April 2019

Keywords :

Right of inquiry, The House of Representatives, The Corruption Eradication Commission


Kata kunci:

Hak angket, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi

Corresponding Author:

I Gusti Ngurah Adityanatha, Email: ignadityanatha@gmail.com


Abstract

The House of Representatives as a legislative commission has the privilege of being a right of inquiry in order to run a system of government that is check and balances. With regard to the right of inquiry The House of Representatives to The Corruption Eradication Commission, it is feared to be used as a means to influence and interfere with The Corruption Eradication Commission, even weaken the role of The Corruption Eradication Commission as an independent institution free from any influence of power. Regarding the formulation of the problem in this scientific research is, how the position of The Corruption Eradication Commission in the constitutional system in Indonesia as an independent institution? and whether The House of Representatives may use the right of inquiry to The Corruption Eradication Commission? The type of research used in this scientific research is normative legal research. The Corruption Eradication Commission is an independent state commission in Indonesia that is outside the realm of the three original powers of executive, legislative, and judicial (trias potilica) in the state administration system in Indonesia, so that The Corruption Eradication Commission can not be subject to the right of inquiry by The House of Representatives. It is also reinforced by the subject of a limited questionnaire on the implementation of a law and / or government policy carried out solely by The President, Vice President, State Minister, Commander of the Indonesian National Army, the Chief of the Indonesian National Police, the Attorney General, or the non-ministerial government agencies.

Abstrak

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif memiliki hak istimewa yakni hak angket dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan yang bersifat check and balances. Terkait dengan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dikhawatirkan digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi dan mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan dapat melemahkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Mengenai rumusan masalah dalam karya ilmiah ini yaitu, bagaimanakah kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan di

DOI :

10.24843/AC.2019.v04.i01.p13


Indonesia sebagai lembaga independen? dan apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi? Jenis penelitian yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan komisi negara independen di Indonesia yang berada di luar ranah tiga poros kekuasaan asli yaitu eksekutif, legislatif, dan yudisial (trias potilica) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat dijadikan subjek dari hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal tersebut juga diperkuat dengan subjek dari hak angket yang terbatas pada pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.

  • 1.    Pendahuluan

Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut dengan DPR) termasuk dalam kekuasaan legislatif, dimana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut dengan UU MD3). Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki hak-hak yang istimewa. Pertama, hak interpelasi yakni hak untuk meminta keterangan kepada eksekutif. Kedua, hak angket yakni hak untuk mengadakan penyelidikan terhadap pelaksaan suatu undang-undang. Ketiga, hak menyatakan pendapat yakni hak untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa. Hak-hak tersebut merupakan suatu hak konstitusional yang diberikan kepada DPR dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan yang bersifat check and balances.

Terkait dengan adanya hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut dengan KPK) yang telah disetujui beberapa waktu lalu oleh ketua DPR. Hak angket tersebut dikhawatirkan digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi dan mengintervensi KPK, bahkan dapat melemahkan peran KPK sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Panitia Khusus (selanjutnya disebut dengan Pansus) Hak Angket KPK tersebut disetujui bersamaan saat KPK sedang menangani kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (selanjutnya disebut dengan e-KTP). Banyak anggota DPR disebut-sebut terlibat dalam kasus mega korupsi yang merugikan negara sekurang-kurangnya Rp. 2.300.000.000.000,00 (2,3 triliun rupiah) tersebut. Berawal dari diperiksanya Miryam S. Haryani yang merupakan mantan anggota Komisi II DPR sebagai tersangka KPK kasus pemberian keterangan palsu dalam perkara korupsi e-KTP, yang menyebutkan keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam kasus korupsi tersebut.

Berangkat dari hal tersebut, penggunaan hak angket terhadap KPK menuai pro dan kontra mengenai keabsahan legalitasnya di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Disatu sisi, ada akademisi hukum tata negara yang menilai bahwa legalitas penggunaan hak angket terhadap KPK sudah tepat. Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc. (selanjutnya disebut Yusril) menegaskan bahwa sesuai dengan hukum ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak angket terhadap KPK, sebab KPK dibentuk melalui undang-undang (selanjutnya disebut dengan UU). “Dapatkah DPR secara konstitusional melakukan angket terhadap KPK? Maka saya jawab, karena KPK dibentuk dengan undang-undang, maka untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang itu, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK.” Hal itu diungkapkan Yusril dalam rapat bersama Pansus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2017).1

Berdasarkan pada pendangan Yusril di atas bahwa, hak angket dapat dilaksanakan dengan alasan KPK yang secara kelembagaan dibentuk dengan UU, sehingga KPK merupakan pelaksanaan dari suatu UU. Hal ini berkaitan dengan definisi hak angket yakni hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Namun, disisi lain ada pula akademisi hukum tata negara yang menilai bahwa legalitas penggunaan hak angket terhadap KPK tidak tepat. Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Mohammad Mahfud M. D., SH., SU (selanjutnya disebut Mahfud M. D.) menegaskan bahwa berdasarkan kajian para Pakar Hukum Tata Negara, pembentukan Pansus Hak Angket KPK adalah cacat hukum. “Terkait rencana Hak Angket di DPR maka kami menilai bahwa pembentukan Pansus Hak Angket itu cacat hukum. Subjeknya keliru, karena secara historis hak angket itu dulu hanya dimaksudkan untuk pemerintah. Ketika itu masih banyak yang tidak setuju tiba-tiba diketok (disetujui), kalau itu dipaksakan berarti melanggar juga prosedur yang ada.” Kata Mahfud M. D. dalam jumpa pers bersama pimpinan KPK, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (14/6/2017).2

Berdasarkan pada pendangan Mahfud M. D. di atas bahwa, di dalam penjelasan Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 menyebutkan hak angket digunakan untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian. Jadi, di luar lembaga tersebut bukan merupakan subjek dari hak angket, termasuk KPK. Selain itu, prosedur pembuatan Pansus Hak Angket KPK melanggar ketentuan UU, karena prosedur pembentukan terkesan dipaksakan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sebagai lembaga independen ?

  • 2.    Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ?

Tidak terdapat karya ilmiah dengan judul dan rumusan masalah yang sama, baik yang pernah ditulis maupun yang telah diterbitkan, namun ada beberapa karya ilmiah yang memiliki sedikit kemiripan dengan karya ilmiah ini, antara lain :

  • 1.    Judul, Hak Angket Dalam Konstelasi Ketatanegaraan Indonesia, Rumusan masalah yang ditulis yaitu pertama, patut dipertanyakan untuk tujuan itukah hak angket dipergunakan. Kedua, mungkinkah penyebab ketidaktepatan penggunaan hak angket itu bersumber dari Undang-Undang seperti diasumsikan sebelumnya. Penulis Naswar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar, Tahun 2012.3

  • 2.    Judul, Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Di Mahkamah Konstitusi. Rumusan masalah yang ditulis yaitu pertama, Apakah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, Apakah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki legal standing sebagai lembaga negara yang bias menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi. Penulis I Gusti Ayu Eviani Yuliantari, Magister Hukum Universitas Udayana, Tahun 2015.4

  • 3.    Judul, Penggunaan Hak Angket Oleh DPR RI Dalam Mengawasi Kebijakan Pemerintah. Rumusan Masalah yang ditulis yaitu pertama, Implementasi hak angket dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Kedua, Efektifitas Hak Angket DPR dalam mengawasi kebijakan pemerintah. Penulis Subardjo, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Tahun 2017.5

Berdasarkan dari ketiga karya ilmiah yang telah disebutkan di atas, tampak jelas perbedaan dengan karya ilmiah yang ditulis penulis. Karya ilmiah ini memiliki keunggulan yaitu mengkaji lebih dalam tentang pelaksanaan dari hak angket oleh DPR terhadap KPK, dikaji dari prespektif Hukum Tata Negara di Indonesia.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami kedudukan KPK sebagai lembaga independen dan untuk mendalami legalitas dari penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif, dimana fokus kajian dalam penelitian ini adalah dengan inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, dan perbandingan hukum.6 Jenis pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan maupun regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti7 dan pendekatan konseptual (The Conceptual Approach) untuk memahami dan mendalami hakikat yang terkandung dalam konsepsi hak angket serta kaitannya dengan hak angket oleh DPR terhadap KPK. Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan karya ilmiah ini (bahan hukum primer) dan buku hukum, journal hukum, laporan hukum, media cetak atau elektronik (bahan hukum sekunder). Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan metode bola salju (snowball method) yaitu metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal hukum, dan lainnya dalam daftar pustaka.8 Teknik analisis bahan hukum yang digunakan untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, peneliti menggunakan teknik analisis deskripsi, interpretasi, dan argumentasi.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia Sebagai Lembaga Independen

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan KPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pada Pasal 3 UU KPK dijelaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dari dibentuknya KPK sesuai dengan Pasal 4 UU KPK adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

KPK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah komisi negara. Michael R. Asimow mendefinisikan komisi negara sebagai, “Units of goverment created by statue to carry out specific tasks in implementing the statue. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent.”9 (dapat diterjemahkan sebagai berikut : Cabang pemerintahan yang dibuat oleh undang-undang untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dari peraturan tersebut. Sebagian

besar lembaga administratif termasuk ke dalam cabang eksekutif, namun beberapa lembaga penting bersifat independen). Dari definisi tersebut terdapat dua jenis komisi negara, yaitu pertama, komisi negara yang berada dibawah eksekutif (executive agencies) dan kedua, komisi negara yang independen (independent agencies). Lebih jelas, Michael R. Asimow menjelaskan, komisi negara yang biasa hanyalah bagian dari eksekutif dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.10

Definisi komisi negara menurut Michael R. Asimow tersebut sejalan dengan definisi dari Gina Misiroglu yang menebutkan bahwa, komisi negara independen di Amerika Serikat adalah lembaga negara federal yang tidak termasuk dalam kekuasaan eksekutif. Jadi, komisi negara independen tidak berada di bawah kontrol Presiden.11 Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan oleh sebab itu berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial, namun pada hakekatnya tetap memunyai fungsi campur sari ketiganya.12 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komisi negara independen merupakan suatu komisi yang dasar hukum pembentukannya diatur oleh undang-undang, tetapi bebas dari pengaruh, kehendak, maupun kontrol dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial.

Lahirnya KPK sebagai komisi negara independen didasari pada alasan bahwa, lembaga negara yang terlebih dahulu lahir kinerjanya tidak memuaskan. Bahkan legitimasi dari lembaga-lembaga lama cenderung dipertanyakan, diantaranya karena semakin maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) diantara lembaga negara lama tersebut.13 Hal ini terjadi sebagai akibat dari tuntutan perkembangan pengelolaan kekuasaan negara konvensional yang cenderung KKN serta semakin kompleks dan rumit, sementara organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralis dan terkonsentrasi tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Selain itu, bahwa dalam perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, sebagaimana tercermin dalam ketentuan hukum tata negara positif di banyak negara, terutama sejak abad ke-20, keberadaan komisi-komisi negara seperti KPK merupakan suatu hal yang lazim. Doktrin klasik tentang pemisahan cabang kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang, ditandai dengan diadopsinya komisi-komisi negara di beberapa negara yang diberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaan negara.

Menjawab permasalahan tersebut, untuk mengetahui posisi dan konstruksi KPK sebagai komisi negara independen dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia, dapat di padankan dengan pendapat dari Bruce Arkeman yang menyatakan bahwa, “The American system contains (at least) five branches; House of Representative, Senate, President, Court, and independent agencies such as the Federal Reserve Board. Complexity is compunded

by the wildering institusional by dynamics of the American federal system.”14 (dapat diterjemahkan sebagai berikut : Pemisahan kekuasaan pada sistem ketatanegaraan Amerika Serikat setidaknya terdiri dari lima cabang; Dewan Perwakilan, Senat, Presiden, Mahkamah Agung, dan lembaga independen seperti Federal Reserve Board. Kompleksitas ini diperdalam dengan adanya sistem kelembagaan negara pada tingkat federal).

Hal tersebut diperkuat juga oleh Yves Meny dan Andrew Knapp, yang menyatakan bahwa, “Regulatory and monitoring bodies are a new type of autonomous administration which has been most widely developed in the United States (where it is sometimes referred to as the “headless fourth branch” of the goverment). It take the form of what are generally known as Independent Regulatory Commisions.”15 (dapat diterjemahkan sebagai berikut : Lembaga-lembaga regulator dan pengawas merupakan sebuah tipe baru dari administrasi otonom yang telah berkembang pesat di Amerika Serikat, dimana kadang-kadang disebut sebagai cabang “kekuasaan keempat tanpa kepala” dari pemerintahan federal).

Berdasarkan pembahasan di atas, dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia, KPK sebagai komisi negara independen terdapat kecenderungan untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif. Hal tersebut menjadi bagian dari tugas KPK, misalnya dalam kewenangan penindakan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penyitaan) dan pencegahan atas tindak pidana korupsi.

Terkait komisi negara independen menurut Zainal Arifin Mochtar, dalam disertasinya merumuskan delapan karakter komisi negara independen, yaitu :

  • 1.    Lembaga yang lahir dan ditempatkan tidak menjadi bagian dari cabang kekuasaan yang ada, meskipun pada saat yang sama dapat menjadi lembaga independen yang mengerjakan tugas yang dulunya dipegang oleh pemerintah.

  • 2.    Proses pemilihannya melalui seleksi dan bukan oleh political appointee atau dalam kaidah khusus tidak melalui monopoli satu cabang kekuasaan tertentu, akan tetapi melibatkan lembaga negara lain di dalam kerangka fungsi check and balances. Dapat juga diserahkan sepenuhnya kepada segmentasi tertentu di publik untuk memilih perwakilannya, intinya tidak melibatkan kekuatan politik.

  • 3.    Proses pemilihan dan pemberhentiannya hanya dapat dilaksanakan berdasar pada mekanisme yang ditentukan oleh peraturan yang mendasarinya.

  • 4.    Meskipun memegang kuasa sebagai alat negara, akan tetapi proses deliberasinya sangat kuat, sehingga baik keanggotaan, proses pemilihan, dan pelaporan akan kinerjanya didekatkan dengan rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi negara, baik secara langsung kepada masyarakat maupun secara tidak langsung melalui parlemen.

  • 5.    Kepemimpinannya bersifat kolektif dalam pengambilan setiap keputusan kelembagaan yang berkaitan langsung dengan tugas dan fungsinya.

  • 6.    Bukan merupakan lembaga negara utama, yang dalam kaidah tanpa keberadaannya negara mustahil berjalan. Akan tetapi bukan berarti tidak

penting untuk ada. Keberadaannya tetap penting, karena tuntutan masa transisi maupun kebutuhan ketatanegaraan yang semakin kompleks dan rumit.

  • 7.    Memiliki kewenangan yang lebih devolutif, yakni bersifat self regulated dalam artian bisa mengeluarkan aturan sendiri yang juga berlaku secara umum.

  • 8.    Memiliki basis legitimasi di aturan, baik konstitusi dan/atau undang-undang. Dalam artian ada basis legistimasi sebagai lembaga independen, meskipun kemudian dibentuk dengan undang-undang saja untuk lembaga yang ada di konstitusi dan di peraturan pemerintah saja untuk lembaga yang ada di undang-undang.16

Jadi, tampak jelas bahwa KPK merupakan komisi negara independen di Indonesia yang berada di luar ranah tiga poros kekuasaan asli dan secara konstitusional KPK adalah lembaga negara independen yang diberikan tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi terkait kekuasaan kehakiman untuk melakukan pernyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Sehingga, jelaslah bahwa KPK merupakan komisi negara independen. Selain itu, berdasarkan pembahasan diatas, KPK sebagai komisi negara independen dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan cabang kekuasaan tersendiri diluar konsepsi Trias Politica oleh Montesquieu.

  • 3.2   Penggunaan Hak Angket Oleh Dewan Perwakilan Daerah Terhadap Komisi

    Pemberantasan Korupsi

DPR dalam teori Trias Politica yang dikembangkan oleh Montesquieu termasuk dalam kekuasaan legislatif. Selanjutnya, dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif dalam rangka pengawasan, DPR memiliki hak istimewa yakni hak angket. Pengawasan adalah suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.17

Fungsi pengawasan tersebut menurut Bagir Manan biasanya dikaitkan langsung dengan materi muatan mengenai pembentukan undang-undang dan penetapan anggaran pendapatan belanja negara.18 Hal ini sejalan dengan Pasal 70 Ayat (3) UU MD3 yang menyatakan bahwa, fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat (1) Huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

Hak angket erat hubungannya dengan hak DPR sebagai anggota dan kelembagaan, merujuk kepada pandangan Bagir Manan yang memaparkan bahwa,

hak angket lazim disandingkan dengan hak penyelidikan, pemakaian istilah hak penyelidikan dapat menimbulkan salah pengertian dikarenakan istilah penyelidikan

merupakan proses awal dalam mengungkapkan dugaan telah terjadi perbuatan pidana. Hak angket berasal dari bahasa Prancis yaitu anguete, tetapi telah diterima sebagai istilah ketatanegaraan dalam bahasa Indonesia.19

Selanjutnya pada Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 memaparkan berkenaan dengan hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Adapun penelitian atau penyelidikan dilakukan dengan tanpa ikut campurnya pemerintah. Sebelum mengadakan angket, parlemen harus mengadakan ketentuan mengenai maksud penelitian itu lalu membentuk panitia peneliti khusus.20

Pada bagian penjelasan mengenai pasal tersebut menyatakan bahwa, pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.

Menurut Sri Soemantri, angket adalah suatu penyelidikan yang dilakukan oleh DPR mengenai suatu hal.21 Suatu hal tersebut, menurut Logemann dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh pandangan dalam rangka tugas menetapkan kebijakan. Hak angket tersebut juga dapat digunakan untuk sesuatu fact finding atau untuk merumuskan kebijakan.22

Membaca ketentuan peraturan perundang-undangan seharusnya mudah untuk dipahami oleh semua orang, karena pada prinsipnya ketentuan peraturan perundang-undangan itu dianggap sudah diketahui oleh semua orang. Dalam hal ini, dibayangkan bahwa bahasa ketentuan peraturan perundang-undangan itu harus “sederhana dan gamblang” (mudah dimengerti atau mudah dicerna). Namun, walaupun bahasanya disebutkan “sederhana dan gamblang”, sesungguhnya tidak mudah memahami suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Akibatnya, kesalahpahaman sering terjadi, karena orang terburu-buru untuk memahaminya. Bukan tidak mungkin pemahaman yang terburu-buru tersebut berpotensi menjadi tidak seluruhnya benar.

Pada kenyataannya, isi dari ketentuan peraturan perundang-undangan tidak selalu berupa penuangan pikiran-pikiran ideal yang dikemukakan oleh ahli hukum. Adakalanya, orang menyalahkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan karena peraturan itu tidak sesuai dengan pikiran ideal atau tak sesuai dengan teori. Padahal, apapun yang dituangkan di dalam bentuk dan dengan cara tertentu oleh pembentuk hukum, maka itulah yang sebenarnya hukum yang berlaku.23

Terkait dengan disahkannya Pansus Hak Angket KPK, Yusril berpendapat bahwa sesuai dengan hukum ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak angket terhadap KPK, sebab KPK dibentuk melalui UU. Penafsiran tersebut hanya beranjak dari penafsiran gramatikal semata, bahwa karena “KPK dibentuk dengan UU” maka KPK dapat dikenakan hak angket. Ini merupakan penafsiran yang kacau. Jika ukurannya adalah KPK dibuat dengan UU, maka Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung (kekuasaan kehakiman) juga dapat dikenakan hak angket oleh DPR. Penafsiran gramatikal merupakan penafsiran hukum yang didasarkan pada maksud pengertian perkataan-perkataan yang tersusun dalam suatu peraturan hukum.

Bila menggunakan penafsiran secara sistematis, dalam hal ini DPR juga dibentuk atau dipilih dan diamanatkan oleh konstitusi, juga sebelumnya dibuatkan UU, yaitu UU MD3. Berarti atas dasar karena dibentuk atau dipilih melalui UU, maka apakah DPR juga dapat dikenakan hak angket? Tentu saja tidak dapat dikenakan hak angket. Pertanyaan selanjutnya, lembaga negara apa yang dapat melaksankan hak angket terhadap DPR? Tentu saja hal tersebut tidak diatur dalam UU manapun. Penafsiran sistematis menjadi relevan terutama ketika mencari hubungan antar pasal atau ayat dari peraturan hukum dalam mengatur masalahnya masing-masing, contoh dalam kasus ini yaitu Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 dengan Pasal 3 UU KPK.

Jadi, pendapat Yusil tersebut merupakan pendapat yang keliru. Dikaji dalam prespektif Hukum Tata Negara, fungsi pengawasan DPR melalui hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga, secara jelas hal tersebut dibatasi dalam pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian saja.

Kenyataannya bahwa KPK merupakan komisi lembaga negara independen. Hal tersebut didasari konstruksi teoritis, yakni pendapat Misiroglu yang menyatakan bahwa komisi negara independen adalah lembaga negara yang tidak termasuk cabang kekuasaan eksekutif dan karenanya tidak berada dibawah kontrol Presiden. Selain itu, KPK sebagai komisi negara independen dapat dimaknai sebagai bagian dari konsep The New Separation Of Power yang diutarakan oleh Bruce Arkeman, yaitu pemisahan kekuasaan pada sistem ketatanegaraan Amerika Serikat setidaknya terdiri dari lima cabang. Begitupun pendapat Yves Meny dan Andrew Knapp yang menyatakan, lembaga-lembaga regulator dan pengawas merupakan sebuah tipe baru dari administrasi otonom, dimana kadang-kadang disebut sebagai cabang “kekuasaan keempat tanpa kepala” dari pemerintahan, contohnya KPK sebagai komisi negara independen di Indonesia. Sehingga tidak tepat jika KPK sebagai lembaga negara independen dijadikan subjek dari hak angket oleh DPR.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari kedua rumusan masalah pada bab sebelumya dapat ditarik kesimpulan yaitu KPK merupakan komisi negara independen yang menurut sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah lembaga negara yang tidak termasuk cabang kekuasaan eksekutif dan karenanya tidak berada di bawah kontrol

dari Presiden. Komisi negara independen adalah organ negara yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudisial.

KPK tidak dapat dijadikan subjek dari hak angket oleh DPR. Hal ini berkaitan dengan subjek dari hak angket yang terbatas pada pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.

Daftar Pustaka

Buku

Bagir Manan, 2005, DPR, DPD, Dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Cet. 3, FH UII Press, Yogyakarta.

Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Bruce Arkeman, 2003, The New Separation Of Powers, Harvard Law Review, Vol. 113.

Denny Indrayana, 2016, Jangan Bunuh KPK, Intrans Publishing, Malang.

Djam’an Satori, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung.

Dyah Ochtorina Susanti, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta.

Firmansyah Arifin, dkk, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta.

Gina Misiroglu, 2003, The Handy Politics Answer Book, Publishers Group west, California.

Jimly Asshiddiqie, 2013, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, makalah pada seminar : Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, Tanggal 14-18 Juli.

M. Solly Lubis, 2008, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung.

Mohammad Mahfud M. D., 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Pusaka LP3ES, Jakarta.

Michael R. Asimow, 2002, Gilbert Law Summaries : Administrative Law, Harcourt Brace Jovanovich Legal And Professional Publications, California.

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam system Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sri Soemantri, 1993, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cet. 7, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Yves Meny and Andrew Knapp, 1998, Government And Politics In Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, Oxford University Press, Oxford.

Jurnal

Naswar, Hak Angket Dalam Konstelasi Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol.         1,         No.         1,         November         2012,

https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JK/article/download/2080/2044.

I Gusti Ayu Eviani Yuliantari, Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 4, No. 2, Juli 2015, https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/view/17525/11475.

Subardjo, Penggunaan Hak Angket Oleh DPR RI Dalam Mengawasi Kebijakan Pemerintah, Jurnal Ilmu Hukum Novelty, Vol. 7, No. 1, Februari 2017, http://journal.uad.ac.id/index.php/Novelty/article/download/ 3935/2199.

Website

Kompas, “132 Pakar Hukum Tata Negara Nilai Cacat Pembentukan Pansus angket KPK”,         URL         :         http://nasional.kompas.com/read/2017/06/14

/16595151/132.pakar.hukum.tata.negara.nilai.cacat.pembentukan.pansus.angket.kpk.

Kompas, “Yusril : DPR Dapat Menggunakan Angket Terhadap KPK”, URL : http://nasional.kompas.com/read/2017/07/10/15532951/yusril.dpr.dapat. menggunakan. angket.terhadap.kpk.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182.

153