Vol. 4 No. 1 April 2019

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Pemulihan Hak Notaris Pasca Terjadinya Masa Penahanan dalam Proses Pengadilan

Gde Dianta Yudi Pratama1

1Program Studi Magister (S2) Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali-Indonesia, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk:9 April 2019 Diterima: 22 April 2019

Terbit: 30 April 2019

Keywords :

Legal protection; Traditional Knowledge; Copyrights


Kata kunci:

Pemulihan hak; Notaris;

Putusan Pengadilan


Corresponding Author:

Gde Dianta Yudi Pratama,

E-mail: [email protected]


DOI :

10.24843/AC.2019.v04.i01.p07


Abstract

The problems about autenthic deed befall Notary, cause Notary getting temporary detention until the case finished on court. The detention for Notary has creating bad reputation on many people in society. The effect of detention will be problems for the future job and also falled dignity or prestige of Notary. If seen on Notary law which on UUJN or UUJN-P, nothing rules for adjust about procedure to recover the right after detention period caused the case on court. That’s condition be research to discuss

proses pengadilan adalah jabatan itu tetap berlaku sebagai seorang pejabat umum dikarenakan segala bentuk tugas dan kewenangannya telah digantikan oleh Notaris Pengganti. Bentuk pemulihan hak Notaris pasca terjadinya putusan pengadilan adalah Notaris wajib mendapatkan pengantian kerugian dan rehabilitasi.

  • 1.    Pendahuluan

Dalam perkembangannya saat ini, Notaris masih menjadi profesi yang memiliki kemampuan khusus dalam membantu Negara dalam menjalankan tugas-tugas keperdataan yang menyangkut hubungan-hubungan hukum antara orang perorangan maupun perseroan. Dikatakan sebagai profesi dikarenakan Notaris memiliki kemampuan khusus yaitu membuat akta otentik yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hukum antara individu dengan individu maupun dengan perseroan. Notaris juga dianggap sebagai pejabat umum dikarenakan:1

  • 1.    Notaris merupakan pejabat Negara yang memiliki kewenangan khusus Lahirnya Notaris dianggap sebagai pengemban jabatan dikarenakan Notaris memiliki fungsi khusus yang dilaksanakan secara terus menurus dan berada di wilayah kerja yang tetap berdasarkan aturan hukum. Segala bentuk kewenangannya, telah diatur oleh aturan khusus yang mengikatnya, sehingga apabila hal yang dilakukan Notaris dalam perbuatan diluar kewenangan yang telah ditentukan aturan tersebut, maka Notaris dianggap telah melanggar kewenangan.

  • 2.    Dalam pengangkatan dan pemberhentian dilaksanakan oleh pemerintah

Dalam pengangkatan dan pemberhentian seorang Notaris, dilakukan oleh pemerintah. Setelah dilaksanakannya pengangkatan, perbedaan Notaris dengan pejabat lainnya adalah Notaris akan menjalankan jabatannya tanpa adanya bantuan maupun berhubungan dengan siapapun. Hal tersebut dikarenakan Notaris merupakan pejabat mandiri tanpa adanya campur tangan dari pihak-pihak tertentu.

  • 3.    Bekerja untuk masyarakat namun tidak menerima gaji dari Negara.

Notaris memiliki peraturan khusus yang mengatur segala bentuk tindakan maupun wewenang Notaris dalam menjalankan jabatannya yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sampai saat ini kedua aturan terebut masih berlaku, baik undang-undang jabatan Notaris yang selanjutnya disebut UUJN maupun perubahan atas undang-undang jabatan Notaris yang selanjutnya akan disebut UUJN-P. Secara umum, pengertian mengenai jabatan Notaris diatur dalam Pasal 1 UUJN-P yang menentukan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang unuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Kewenangan lain yang dimaksud didalam Pasal 1 UUJN-P tersebut salah satunya adalah membuat akta autentik mengenai segala bentuk perjanjian maupun ketetapan dan perbuatan yang sesuai menurut aturan hukum dan juga dikehendaki oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan segala perbuatan hukum tersebut. Berpedoman dengan aturan tersebut, dapat diketahui bahwa tugas utama seorang Notaris adalah membuat akta autentik. Menurut pandangan R. Subekti menjelaskan bahwa akta merupakan suatu suatu pembuktian secara tertulis mengenai peristiwa yang telah terjadi dengan bukti adanya penandatanganan dari pihak yang bersangkutan.2 Menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan suatu akta yang segala bentuk dan tata cara pembuatannya telah diatur maupun ditentukan oleh undang-undang maka akta itu disebut dengan akta otentik.

Berdasarkan pemahaman tersebut, akta Notaris sangatlah penting dikarenakan menyangkut hubungan hukum antara orang-perorangan maupun badan hukum. Sehingga menuntut Notaris dalam mengerjakan suatu akta, diwajibkan untuk jujur, lebih teliti, saksama, tidak memihak dan menjaga kepentingan kedua belah pihak guna menghasilkan kekuatan hukum dan keadilan yang sempurna bagi kedua belah pihak.3 Namun, dalam kenyataannya masih sering terjadi akta-akta Notaris yang mengalami permasalahan. Permasalahan terhadap akta Notaris cenderung terjadi dikarenakan adanya suatu hal yang terjadi didalam akta yang dianggap merugikan bagi salah satu pihak maupun pihak ketiga ketika akta tersebut telah berjalan bulan maupun tahun. Hal-hal yang merugikan tersebut menurut kasus-kasus yang sering terjadi dalam lingkup jual beli pertanahan, yaitu adanya sertifikat palsu, sertifikat ganda, penggunaan identitas palsu yaitu KTP palsu, penggunaan surat kuasa menjual palsu, obyek tanah yang dalam sengketa, dan kasus-kasus lainnya.

Dengan timbulnya suatu permasalahan terhadap akta Notaris, menimbulkan pemikiran bahwa Notaris dianggap sebagai pihak yang terlibat dengan sengaja atau bekerja sama dengan salah satu pihak guna menerbitkan akta tersebut dan transaksi jual beli tanah bisa berjalan meskipun telah melanggar hak subyektif milik orang yang telah dirugikan. Sehingga dengan adanya pemikiran yang demikian, membuat Notaris terlibat dalam kasus tersebut sehingga membuat Notaris turut digugat oleh pihak yang dirugikan. Perbuatan tersebut tergolong melakukan pidana karena perbuatan tersebut tidak dikehendaki yang diatur dalam suatu aturan.4 Salah satu contoh kasus yang membawa Notaris terseret ke dalam ranah pengadilan yaitu dalam Putusan Nomor: 650/Pid.B/2015/PN Dps.

Dalam Putusan Nomor: 650/Pid.B/2015/PN Dps menjelaskan bahwa seorang Notaris di Denpasar telah digugat di pengadilan Negeri Denpasar dikarenakan diduga secara bersama-sama melakukan tindakan pidana penipuan oleh penggugat. Hal tersebut

berawal ketika seseorang yaitu penggugat membeli tanah seluas 10 are di Denpasar. Tanah tersebut merupakan tanah sengketa namun sengketa tersebut telah berhasil dimenangkan di pengadilan oleh pemilik tanah yang sah pada saat itu. Selanjutnya pembeli dan pemilik tanah tersebut mendatangi kantor Notaris tersebut untuk melangsungkan transaksi perjanjian pengikatan jual beli terhadap obyek tanah tersebut. Namun, dikarenakan tanah tersebut sebelumnya adalah tanah sengketa, maka pihak BPN telah mematikan sertifikat tanah tersebut untuk melakukan penataan kembali/Land Consolidation. Dalam kasus ini, pihak pembeli telah lama menunggu kepastian sertifikat tersebut guna melangsungkan peralihan hak milik. Pihak penjual juga telah membayar sejumlah uang muka sebesar Rp.500.000.000,- sebagai tanda jadi kepada Notaris. Dikarenakan telah lama menunggu dan tidak ada kepastian yang jelas dari pihak Notaris, maka pihak pembeli memutuskan untuk menggugat Notaris dan penjual tersebut dengan dasar hukum telah melakukan tindak pidana penipuan secara bersama-sama.

Dengan adanya kasus yang menimpa Notaris tersebut, mengakibatkan Notaris tersebut mendapat penahanan sementara sampai kasus tersebut selesai disidangkan. Hal tersebut sangat merugikan Notaris karena selama dalam kurungan tahanan, Notaris tersebut tidak dapat menjalankan tugas dan jabatannya sebagai seorang Notaris. Selanjutnya, hasil dari persidangan tersebut adalah hakim pengadilan menyatakan bahwa Notaris tersebut dinyatakan tidak bersalah dan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan fakta hukum dalam kasus tersebut, tidak memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana penipuan, melainkan masuk dalam ruang lingkup Perdata yaitu wanprestasi.

Berdasarkan contoh kasus tersebut, telah terjadi penahanan terhadap Notaris yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan. Dalam putusan tersebut menyatakan bahwa Notaris tersebut tidak terbukti melakukan tindakan pidana dan melepaskan Notaris tersebut dari segala tuntutan hukum dan tahanan serta memulihkan hak-hak Notaris tersebut dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Dengan adanya penahanan Notaris membuat citra Notaris dipandang buruk di mata masyarakat dan secara tidak langsung Negara telah merampas harkat dan martabat seorang Notaris.5 Notaris seolah-olah telah melakukan perbuatan melawan hukum yang berat sehingga diharuskan untuk dilakukan penahanan. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kelangsungan jabatan Notaris untuk kedepannya dan dirasa sangat menjatuhkan harkat dan martabat seorang pejabat umum yang tugasnya berhubungan langsung dengan masyarakat umum. Sehingga agar terciptanya keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat, dirasa perlu untuk mengetahui tata cara dalam pemulihan hak-hak Notaris setelah masa

penahanan dalam proses pengadilan agar harkat dan martabat seorang Notaris kembali seperti sedia kala sebelum terkena kasus hukum.

Di dalam UUJN dan UUJN-P tidak mengatur mengenai bagaimana tata cara dalam memulihkan hak Notaris setelah masa penahanan dalam proses pengadilan yang diakibatkan oleh suatu kasus. UUJN dan UUJN-P hanya memberikan penerapan sanksi Perdata dan Administrasi di dalam UUJN yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 84 UUJN dan Pasal 85 UUJN. Penerapan sanksi tersbut tidak diimbangi dengan adanya pemulihan hak Notaris pasca terkena sanksi hukum dan pada khususnya pemulihan hak-hak Notaris setelah masa penahanan dalam proses pengadilan

Dengan tidak diaturnya pemulihan hak-hak Notaris setelah masa penahanan dalam proses putusan pengadilan di dalam ketentuan UUJN dan UUJN-P menjadi bentuk suatu kekosongan norma. Kekosongan norma (leemten van normen) merupakan suatu gambaran mengenai keadaan dimana tidak adanya aturan hukum yang mengatur tentang suatu keadaan hal tertentu.6 Dalam menentukan cara mengukur kekosongan norma dilakukan apabila tidak ada norma hukum yang mengatur suatu peristiwa yang konkret dan norma hukum itu telah ada, akan tetapi tidak mampu untuk menjangkau materi yang diperlukan untuk mengaturnya.7 Sehingga untuk mengisi kekosongan norma tersebut, diperlukan pembentukan norma hukum baru yang nantinya norma hukum baru terbentuk tersebut, akan menjadi hukum yang dicita-citakan dan akan berlaku kelak (ius constituendum).8

Pembentukan norma baru tersebut berangkat dari pengkritisan kelemahan atau kekurangan norma yang telah ada, dalam hal ini adalah ketentuan di dalam UUJN dan UUJN-P mengenai pemulihan hak-hak Notaris pasca terjadinya putusan pengadilan. Berdasarkan kekosongan norma tersebut, maka rumusan masalah yang diangkat adalah Bagaimana kedudukan jabatan Notaris ketika terjadi penahanan sementara dalam proses pengadilan? dan Bagaimana bentuk pemulihan hak Notaris pasca terjadinya putusan pengadilan?

Tujuan secara umum penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum dalam bidang Kenotariatan dan memahami mengenai pemulihan hak-hak Notaris pasca terjadinya penahanan dalam proses pengadilan. Secara khusus, sesuai dengan rumusan masalah tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kedudukan jabatan Notaris ketika terjadi penahanan sementara dalam proses pengadilan dan untuk mengetahui bentuk pemulihan hak Notaris pasca terjadinya putusan pengadilan.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka atau sekunder dan bahan lain dari berbagai literatur. Metode penelitian normatif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan penelitian ini beranjak dari adanya kekosongan norma terkait dengan pemulihan hak-hak Notaris pasca terjadinya penahanan dalam proses pengadilan di keseluruhan substansi UUJN-P 2014 jo. UUJN 2004.

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer berupa undang-undang, putusan hakim.9 Sedangkan buku-buku hukum, dan jurnal ilmiah merupakan bahan sekunder dan juga berupa artikel elektronik merupakan bahan hukum tersier

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus, konsptual dan perundang-undangan. Pada metode pengumpulan dalam bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penelusuran melalui studi kepustakaan. Tata cara dalam mengumpulkan bahan hukum dimulai dari peraturan perundang-undangan, literature, karya ilmiah, hasil penelitian terdahulu, serta pendapat praktisi hukum yang relevan dan berkaitan dengan pemulihan hak-hak Notaris pasca terjadinya putusan pengadilan.

Dalam penelitian ini, menggunakan teknik dalam menganalisa bahan hukum yang berupa teknk deskripsi yang menjadi pokok penting dalam analisa dan menggambarkan kasus tersebut, teknik evaluasi sebagai bentuk penilaian yang menjadi penentu dalam kesesuaian terhadap suatu pandangan yang ada dalam bahan hukum dan teknik argumentasi menjadi penentu hasil dari analisa deskripsi dan evaluasi sehingga memiliki penalaran hukum yang kuat untuk menghasilkan kesimpulan terhadap permasalahan yang diteliti.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kedudukan Jabatan Notaris Ketika Terjadi Penahanan Sementara Dalam Proses Pengadilan

Kedudukan seorang Notaris adalah sebagai penghubung segala bentuk perbuatan perdata antara orang perorangan yang berhubungan dengan segala bentuk perbuatan hukum yang berkaitan langsung dengan segala bentuk perjanjian, dan juga dikehendaki oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan segala perbuatan hukum tersebut. Kedudukan seorang Notaris dapat diartikan sebagai pejabat yang

memberikan pelayanan umum dalam ruang lingkup berupa pembuatan akta dan kewenangan tugas lainnya sebagai predikat seorang pejabat umum.10

Apabila terjadi kasus ataupun permasalahan terhadap produk akta yang telah dibuatnya, sehingga mengharuskan seorang Notaris ikut menjadi turut diduga melakukan perbuatan melawan hukum, maka UUJN akan memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris tersebut. Dalam menjalankan tugas jabatan, UUJN telah memberikan perlindungan hukum untuk jabatan seorang Notaris yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 66 UUJN menentukan ketika terjadinya suatu penyidikan untuk keperluan proses peradilan maka para penegak hukum harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah yang memiliki peran penting dalam hal memutuskan Notaris dapat di tindak lanjuti atau tidak serta bertugas dalam mengambil barang bukti apabila diperlukan sebagai alat bukti,

Berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUJN apabila dikaitkan dengan contoh kasus dalam Putusan Nomor: 650/Pid.B/2015/PN, Majelis Pengawas Daerah telah memberikan persetujuan berupa keputusan bersifat final kepada penyidik untuk memerikasa Notaris, guna memberikan pembuktian secara sah menurut hukum. Sepanjang proses penyidikan guna mempercepat dan mempermudah proses penyidikan, maka Notaris tidak diperkenankan untuk menjalankan jabatannya dan dilaksanakan penahanan sementara oleh pihak penyidik. Dalam hal ini, ketika penahanan Notaris akan dilaksanakan oleh pihak penyidik, Notaris dapat menggunakan hak cuti sebagai pejabat umum. Hak cuti tersebut diatur didalam ketentuan Pasal 25 UUJN-P yang menentukan bahwa hak cuti Notaris dapat diambil ketika Notaris telah menjalankan jabatannya selama 2 (dua) tahun dan selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris Pengganti. Notaris Pengganti adalah orang yang menggantikan Notaris ketika ia sedang berhalangan baik sakit, cuti ataupun alasan lainnya namun hanya besifat sementara sampai Notaris tersebut bisa kembali bertugas. Notaris Pengganti dapat menggantikan sementara dengan kewenangan yang sama yang di miliki oleh Notaris untuk menjalankan tugas dan jabatan Notaris tersebut.11

Pengajuan untuk cuti dilakukan dengan berupa tulisan yang juga melampirkan permintaan Notaris Pengganti. Permohonan cuti menurut ketentuan Pasal 27 UUJN-P dapat menjadi pertimbangan Notaris untuk mengambil cuti apabila tidak melewati 6 bulan, maka diajukan kepada MPD. Namun apabila jangka waktu cuti yang diambil melebihi 6 bulan maka dapat diajukan kepada MPW sedangkan jika cuti yang diambil melebihi 1 tahun maka harus mengajukan ke MPP.

Setelah pengajuan hak cuti diajukan, maka Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengeluarkan sertifikat cuti dan duplikat surat cuti sebagai tanda bukti bahwa memang benar Notaris tersebut telah mengambil hak cuti sebagai pejabat umum dan duplikat tersebut berfungsi sebagai arsip sertifikat asli ketika sertifikat hak cuti tersebut hilang. Apabila Notaris telah resmi mengambil hak cuti, maka Notaris wajib untuk menyerahkan Protokol Notaris tersebut kepada Notaris Pengganti. Dengan adanya penyerahan Protokol Notaris tersebut, segala tugas dan jabatannya termasuk dalam pembuatan akta autentik yang sebelumnya dijalankan oleh Notaris maka akan digantikan oleh Notaris Pengganti. Dengan demikian, kedudukan jabatan Notaris ketika terjadi penahanan sementara dalam proses pengadilan adalah jabatan itu tetap berlaku sebagai seorang pejabat umum. Hal tersebut dikarenakan sebelum proses penahanan dilakukan, Notaris telah mempersiapkan diri untuk mengajukan hak cuti yang dimilikinya sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan. Dengan menggunakan hak cuti, segala tugas dan kewenangan jabatannya akan digantikan oleh Notaris pengganti sampai dengan berakhirnya masa hak cuti Notaris tersebut. Oleh karena itu, segala bentuk tugas-tugas yang dimiliki oleh Notaris yang mengambil hak cuti akan di gantikan oleh Notaris Pengganti, sehingga tidak ada tugas dan kewenangan yang diberhentikan akibat pengambilan hak cuti terhadap Notaris yang bersangkutan.

  • 3.2.    Bentuk Pemulihan Hak Notaris Pasca Terjadinya Putusan Pengadilan

Pemulihan hak Notaris merupakan suatu bentuk untuk mengembalikan segala bentuk hak dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Secara umum, bentuk pemulihan hak pasca terjadinya putusan pengadilan dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam ketentuan umum point ke 3 huruf (d) KUHAP menentukan bahwa siapapun yang telah mengalami proses penangkapan, dituntut ataupun di adili dengan alasan yang bertentangan dengan undang-undang sehingga menyebabkan suatu kekeliruan tehadap penerapan hukum yang di terapkan didalam suatu perkara pidana maka diwajibkan untuk memberi ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti rugi dan rehabilitasi diberikan ketika para pejabat penegak hukum telah lalai ataupun secara sengaja menyebabkan pelanggaran terhadap asas hukum, sehingga menyebabkan tuntuan pidana atau dikenakan hukum administrasi.12 Sedangkan menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan ganti kerugian dan rehabilitasi dapat terjadi apabila adanya kekeliruan ataupun penerapan hukum terhadap seseorang yang menyebabkan orang tersbut ditahan, dituntut ataupun di adili.

Pengertian mengenai ganti kerugian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 KUHAP yang menentukan bahwa ganti kerugian adalah hak yang diberikan terhadap seseorang untuk mendapatkan imbalan sejumlah uang akibat dari adanya kekeliruan mengenai penangkapan, penahanan maupun penuntutan terhadap seseorang ataupun kekeliruan terhadap penerapan hukum yang berdasarkan undang-undang didalam

suatu perkara. Dalam tuntutan ganti rugi, dapat diperikasa dan diputuskan dalam sidang praperadilan dengan menggunakan hakim yang sama yang bersangkutan terhadap perkara pidana sebelumnya.13 Penuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh terdakwa apabila tidak sahnya suatu penangkapan, tidak sahnya suatu penahanan menurut undang-undang, adanya tindakan yang tidak sah menurut hukum, tuntutan tidak sesuai dengan undang-undang dan adanya pemberhentian terhadap penyidikan.14 Menurut M. Yahya Harahap, membagi beberapa klasifikasi mengenai penggantian kerugian yang berhubungan dengan penuntutan dan diadili tanpa alasan undang-undang, yaitu tidak terpenuhinya unsur yang didakwa sehingga menyebabkan surat dakwaan menjadi batal demi hukum, tidak diterimanya dakwaan Jaksa, alat bukti tidak mencukupi untuk memenuhi dakwaan, dakwaan tidak tergolong dalam suatu Kejahatan ataupun Pelanggaran, terdapat kekeliruan mengenai orang dan dakwaan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan15 Pembayaran ganti rugi dapat diberikan oleh Menteri Keuangan dengan syarat melampirkan melampirkan hasil dari penetapan keputusan yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan.16

Pengertian mengenai rehabilitasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 23 KUHAP yang menentukan rehabilitasi merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan terhadap haknya dalam berkedudukan, kemampuan serta marwah dan martabatnya yang telah dirampas dikarenakan terjadinya proses penyidikan yang mengakibatkan suatu penahanan namun berdasarkan undang-undang ataupun dikarenakan oleh kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Rehabilitasi dapat diberikan terhadap seseorang apabila orang tersebut telah divonis bebas ataupun tidak terikat dalam kasus tersebut didalam suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan segala bentuk kerugian yang telah ditimbulkan akibat adanya suatu perkara perbuatan melanggar hukum dengan cara memulihkan kedudukan, nama baik dan martabat seseorang yang telah mengalami upaya penegakan hukum yang berupa penahanan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan.17

Berdasarkan penjelasan diatas, bentuk pemulihan hak Notaris pasca terjadinya putusan pengadilan menurut KUHAP yaitu Notaris wajib mendapatkan pengantian

kerugian dan rehabilitasi. Penggantian kerugian dapat diajukan di dalam praperadilan karena yaitu tidak terpenuhinya unsur yang didakwaan, tidak diterimanya dakwaan Jaksa, alat bukti tidak mencukupi untuk memenuhi dakwaan, dakwaan tidak tergolong dalam suatu kejahatan/pelanggaran, terdapat kekeliruan mengenai pelaku dan dakwaan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Sedangkan rehabilitasi dapat dilakukan kepada Notaris apabila Notaris tersebut dinyatakan bebas dari segala tuntutan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi menjadi bentuk dalam penghapusan segala kerugian yang telah disebabkan oleh kasus yang telah menimpa Notaris dan menjadi bentuk dalam memulihkan hak Notaris dengan cara membersihkan nama baik, kedudukan, harkat dan marwah martabat sebagai seorang pejabat umum. Apabila dikaitkan dengan contoh kasus dalam Putusan Nomor: 650/Pid.B/2015/PN, bentuk ganti kerugian dapat diajukan di dalam praperadilan dikarenakan dakwaan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur kejahatan pelanggaran perbuatan pidana dan dakwaan yang digunakan adalah tindak pidana tidak sesuai dengan unsur yang terkandung dalam perbuatan pidana namun melainkan suatu perbuatan perdata sehingga hal tersebut telah menunjukan telah terjadinya suatu kekeliruan dalam penerapan hukum. Sedangkan bentuk rehabilitasi sesuai dengan putusan pengadilan yaitu mengembalikan hak, kedudukan, harkat dan martabat Notaris itu sendiri.

  • 4.    Kesimpulan

Sesuai dengan penjelasan diatas, maka kesimpulan dari permasalahan yang di dapat adalah bahwa kedudukan jabatan Notaris ketika terjadi penahanan sementara dalam proses pengadilan adalah jabatan itu tetap berlaku sebagai seorang pejabat umum, dikarenakan segala bentuk tugas dan kewenangannya telah digantikan oleh Notaris Pengganti. Bentuk pemulihan hak Notaris pasca terjadinya putusan pengadilan menurut KUHAP yaitu Notaris wajib mendapatkan pengantian kerugian dan rehabilitasi. Dengan demikian, diperlukan suatu pengaturan hukum baru khususnya mengenai pemulihan hak Notaris pasca terjadinya penahanan dalam proses pengadilan dengan cara membentuk norma baru di daam UUJN-P untuk mengisi kekosongan norma mengenai pemulihan hak Notaris. Dengan diaturnya pengaturan dalam konteks pemulihan hak Notaris pada UUJN-P, diharapkan akan menjadi norma yang bisa memulihkan dan mengembalikan hak kedudukan, harkat dan martabat Notaris ketika akan menjalankan tugasnya kembali setelah masa penahanan berakhir.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Adjie, Habib. (2009). Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik. Bandung: PT. Refika Aditama.

Ali, H. Zainuddin. (2009). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Diantha, I Made Pasek. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Kencana Predana Media Grup

Harahap, M. Yahya. (2006). Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

Hariwijaya, M. (2007). Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi. Yogyakarta: Azzagrafika.

Subekti, R. (2003). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermass

Jurnal

Tatawi, Samuel. (2017). Pemulihan Nama Baik Berupa Ganti Rugi Kepada Pejabat Negara Tersangka Tipikor Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Jurnal Lex Privatum, Vol.V

Lotulung, Paulus Efendi. (2003). Perlindungan Hukum Bagi Notaris. Kongres Ikatan Notaris Indonesia di Bandung

Simbawa, David. (2016). Ganti Rugi Atas Kesalahan Penangkapan, Penahanan Pasca Putusan Pengadilan. Lex Administratum, Vol.IV

Risdalina. (2015). Manfaat Dan Jangka Waktu Penahanan Sementara Menurut KUHAP.

Jurnal Ilmiah Advokasi, Vol. 03

Berutu, Edy Sunaryo. (2017). Penangkapan Dan Penahanan Tersangka Menurut KUHAP Dalam Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia. Lex Crimen, Vol. VI

Harnum, Estikharisma. Khisni, Akhmad. (2017). Perbedaan Kewenangan dan Syarat Tata

Cara Pengangkatan Antara Notaris Dan Notaris Pengganti. Jurnal Akta, Vol. 4

Diana, Putu Vera Purnama. (2017). Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak. Acta Comitas

Veronika, Flora. (2016). Penerapan Ganti Kerugian Terhadap Terdakwa Yang Diputus Bebas Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Di Pengadilan Negeri Pekanbaru. JOM Fakultas Hukum, Vol.III

Tesis/Disertasi

Sudantra, I.K., (2015). Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi Bidang Hukum. Universitas

Udayana

Perundang-Undangan

Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117

Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157

89