Vol. 4 No. 1 April 2019

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Fungsi dan Kedudukan Penerjemah Tersumpah dalam Pembuatan Akta Notaris

Made Dita Widyantari1

1Program Studi Magister (S2) Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali-Indonesia, E-mail: madeditawidyantari@yahoo.co.id

Info Artikel

Masuk: 28 Januari 2019

Diterima: 14 Pebruari 2019

Terbit: 30 April 2019


Keywords :

Notarial Deed; Sworn

Translator; Legal Responsibility


Kata kunci:

Akta notaris; Penerjemah Tersumpah; Tanggung Jawab Hukum

Corresponding Author:

Made Dita Widyantari, E-mail: madeditawidyantari@yahoo.co.id

DOI :

10.24843/AC.2019.v04.i01.p04


Abstract

Article 43 UUJN-P opens the opportunity for sworn translators to be involved in making notary deeds because of the provision that the deed can be made in a foreign language if it is desired by the parties and in the case of a notary being unable to translate or explain it. However, the existence of Article 43 UUJN-P which contradicts Article 31 of UUBBLNLK has resulted in legal uncertainty related to the mechanism of deed making which affects the function and position of the sworn translator. Responsibility in the event of an error of the translation has also not been clearly regulated so as not to protect the interests of the clients. This research aims to find out the function and position of sworn translator in making notary deeds and reviewing the responsibilities of sworn translators in the event of errors in translating the contents of the notary deed. This study uses a normative legal research method which concludes that the sworn translator serves to translate a copy of the deed that has been made by a notary into the language desired by the parties and translate orally in a language that is understood by the parties. In the event of an error in translating the content produced resulting in a loss, the sworn translator may be prosecuted under Article 1365 of the Civil Code.

Abstrak

Pasal 43 UUJN-P membuka peluang bagi penerjemah tersumpah untuk ikut terlibat dalam pembuatan akta notaris karena adanya ketentuan bahwa akta dapat dibuat dalam bahasa asing jika para pihak menghendaki dan notaris tidak dapat menerjemahkannya. Namun keberadaan Pasal 43 UUJN-P yang bertentangan dengan Pasal 31 UUBBLNLK mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum terkait mekanisme pembuatan akta yang berdampak pula terhadap fungsi dan kedudukan penerjemah tersumpah dalam pembuatan akta notaris. Tanggung jawab penerjemah tersumpah dalam hal adanya kesalahan atas terjemahan yang dihasilkan oleh penerjemah tersumpah juga belum diatur secara jelas sehingga tidak melindungi kepentingan pengguna jasa penerjemah tersumpah. Studi ini bertujuan untuk mengelaborasi fungsi dan kedudukan jasa penerjemah tersumpah dalam pembuatan akta notaris dan mengkaji tanggung jawab penerjemah tersumpah dalam hal terjadinya kesalahan dalam menerjemahkan isi akta notaris. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil studi menunjukkan bahwa penerjemah tersumpah berfungsi

untuk menerjemahkan salinan akta notaris ke dalam bahasa yang diinginkan oleh para pihak dan menerjemahkan isi akta secara lisan pada saat pembacaan akta oleh notaris dalam hal notaris tidak dapat menerjemahkannya. Dalam hal terjadi kesalahan dalam menerjemahkan isi akta yang mengakibatkan kerugian, penerjemah tersumpah dapat dituntut untuk mengganti kerugian tersebut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

  • 1.    Pendahuluan

Dunia bisnis adalah dunia yang sangat dekat dengan jabatan notaris karena jasa notaris dibutuhkan dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum dari sisi hukum pembuktian di bidang hukum keperdataan bagi para pelaku bisnis. Notaris adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan secara atribusi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P) untuk membuat akta autentik dan kewenangan lain sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang jabatan notaris atau berdasarkan undang-undang lainnya. Notaris tidak dibiayai atau digaji oleh negara, melainkan mendapatkan honorarium dari klien yang menggunakan jasanya.1

Pengguna jasa notaris tidak selalu orang yang fasih berbahasa Indonesia, karena bisa juga warga negara lain yang berdomisili di Indonesia dengan tujuan bekerjasama dengan orang Indonesia namun tidak fasih berbahasa Indonesia.2 Asas persamaan yang merupakan bagian dari asas pelaksanaan tugas jabatan notaris yang baik mengatur bahwa setiap notaris tidak boleh membeda-bedakan kliennya berdasarkan keadaan sosial, ekonomi atau alasan lainnya, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Ketika notaris menghadapi klien orang asing yang tidak fasih atau bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia, maka notaris harus cermat karena perbedaan bahasa dapat menjadi kendala dalam berkomunikasi antara penghadap dengan notaris ataupun antara para penghadap yang bersangkutan. Asas kecermatan sangat penting dalam pembuatan akta notaris, supaya kerangka akta yang dibuat sesuai dengan keinginan para pihak serta tetap memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta.

Pasal 43 ayat (1) UUJN-P mengatur keharusan penggunaan bahasa Indonesia pada akta. Namun, Pasal 43 ayat (3) UUJN-P membuka peluang bahwa bila dikehendaki maka para pihak dapat membuat akta dalam bahasa asing”. Menurut pendapat penulis, inti dari pengaturan bahasa dalam UUJN-P ialah agar para penghadap mengerti mengenai isi akta sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UUJN-P. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UUBBLNLK) mengatur bahwa:

  • (1)    Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

  • (2)    Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Pengaturan Pasal 43 UUJN-P berbeda dengan Pasal 31 UUBBLNLK, yang mana Pasal 43 ayat (3) UUJN-P, mengatur bahwa notaris dapat membuat akta selain bahasa Indonesia terlebih dahulu, sedangkan Pasal 31 UUBBLNLK mengatur bahwa akta harus berbahasa Indonesia terlebih dahulu, baru diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Perbedaan tersebut menunjukkan adanya konflik norma sehingga tidak memberikan kepastian hukum bagi notaris terkait mekanisme pembuatan akta dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa Indonesia. Padahal jabatan notaris memiliki tanggung jawab untuk menciptakan akta yang dapat dijadikan bukti sempurna dalam gugatan perdata, dan dalam hal notaris terbukti melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi klien atau pihak lain, notaris dapat dituntut atas kerugian tersebut.3

Pembuatan akta notaris juga bisa melibatkan jasa penerjemah resmi, yaitu pada saat para pihak berkehendak membuat akta berbahasa asing dan notaris tidak mampu menerjemahkan atau menjelaskannya dalam bahasa yang dikehendaki para pihak. Penjelasan Pasal 43 ayat (4) UUJN-P menentukan, yang dimaksud dengan penerjemah resmi ialah penerjemah tersumpah yang bersertifikat dan terdaftar atau staf pada kedutaan besar negara asing jika tidak ada penerjemah tersumpah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, Dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah (Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016), penerjemah tersumpah adalah “Orang yang mempunyai keahlian dalam melakukan terjemahan, yang telah diangkat sumpah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dan terdaftar pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia”. Produk yang dihasilkan oleh penerjemah tersumpah ialah berupa terjemahan yang menjadi alat komunikasi bagi pihak-pihak yang memiliki perbedaan sistem kebahasaan dan budaya. Pasal 1 angka 2 Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016 mengatur bahwa terjemahan adalah hasil alih bahasa, baik tertulis maupun lisan, dari bahasa asing ke bahasa Indonesia atau sebaliknya.

Penerjemah tersumpah merupakan profesi yang membutuhkan keahlian khusus dalam menjalankan profesinya, dan memiliki tanggung jawab besar atas kebenaran dan kualitas hasil terjemahannya. Penggunaan kosa kata yang tepat sangat penting dalam pembuatan akta agar tidak terjadi multitafsir atau kesalahan dalam menafsirkan mengenai maksud dan isi Akta. Setiap penerjemah tersumpah harus memahami terminologi hukum, memiliki pengetahuan tentang hukum dan sistem hukum karena memahami teks hukum bukan hanya memahami bahasanya saja, tetapi juga harus

memahami dampak yang ditimbulkan dari sebuah teks hukum.4 Pasal 43 ayat (6) UUJN-P mengatur bahwa apabila terjadi penafsiran yang berbeda terhadap isi Akta, yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Apabila akta berbahasa Indonesia yang dijadikan acuan pada saat terjadi perbedaan penafsiran, maka hal tersebut membawa kerugian bagi para pihak yang telah membayar jasa penerjemah resmi. Selain itu, ada pula kemungkinan adanya kesalahan penerjemah tersumpah dalam menerjemahkan isi akta yang mengakibatkan salah satu atau para pihak mengalami kerugian, namun UUJN-P dan Permenkum Nomor 29 Tahun 2016 tidak mengatur tentang bentuk tanggung jawab penerjemah tersumpah yang melakukan kesalahan dalam menerjemahkan isi akta notaris.

Dari uraian tersebut, artikel ini akan menganalisa tentang bagaimana fungsi dan kedudukan jasa penerjemah tersumpah dengan adanya konflik norma antara Pasal 43 UUJN-P dan Pasal 31 UUBBLNLK serta bagaimana bentuk tanggung jawab penerjemah tersumpah yang melakukan kesalahan dalam menerjemahkan isi akta notaris. Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas fungsi dan kedudukan profesi penerjemah tersumpah dalam pembuatan akta notaris dan mengkaji tanggung jawab penerjemah tersumpah dalam hal terjadinya kesalahan dalam menerjemahkan isi akta notaris.

Penelitian sebelumnya mengkaji masalah yang hampir sama yaitu Aliya Sandra Dewi yang melakukan studi tentang notaris yang membuat perjanjian berbahasa asing berdasarkan UUJN di tahun 2013.5 Selanjutnya, Chandra Halim yang melakukan studi terkait penggunaan dan pengaturan bahasa dalam pembuatan kontrak internasional pasca diundangkannya Pasal 31 UUBBLNLK di tahun 2015. 6 Begitu pula, Yohanna Endang, Ismail Navianto, Siti Noer Endang yang melakukan studi terkait inkonsistensi Pasal 43 UUJN-P terhadap Pasal 31 ayat (1) UUBBLNLK di tahun 2016.7 Secara umum, ketiga penelitian tersebut memiliki obyek penelitian yang sama yakni terkait dengan pengaturan dan penggunaan bahasa dalam pembuatan perjanjian, namun masing-masing memiliki fokus yang berbeda. Penelitian ini memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan ketiga penelitian diatas karena berfokus pada profesi penerjemah tersumpah yang oleh UUJN-P diatur keterlibatannya dalam pembuatan akta notaris.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena mengkaji mengenai pembuatan akta notaris berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku serta menganalisa adanya konflik norma antara ketentuan tersebut. Pendekatan

perundang-undangan dan pendekatan konseptual digunakan dengan mengkaji UUJN-P dan UUBBLNLK yang mengalami konflik norma serta meneliti doktrin dan konsep hukum yang terkait dengan isu hukum yang dihadapi. Bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku dan jurnal-jurnal hukum yang dikumpulkan dengan menggunakan sistem bola salju serta dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif dan argumentatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Fungsi dan Kedudukan Penerjemah Tersumpah dengan Adanya Konflik Norma Antara Pasal 43 UUJN-P Dan Pasal 31 UUBBLNLK

Pembuatan akta notaris tidak hanya melibatkan notaris, para pihak yang ingin membuat akta, dan saksi, namun keberadaan penerjemah tersumpah juga penting dalam hal notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskan isi akta ke dalam bahasa yang dimengerti para penghadap. Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P mengatur bahwa notaris memiliki kewajiban untuk membacakan isi akta dihadapan para penghadap dan saksi dengan tujuan untuk memastikan notaris memang hadir secara fisik, menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi serta memastikan bahwa penghadap dan saksi mengerti isi akta dan bahasa yang digunakan dalam akta sehingga penghadap bisa memutuskan untuk setuju atau tidak setuju terhadap isi akta.8

Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menentukan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia, sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Akta notaris termasuk dalam kategori perjanjian yang wajib menggunakan bahasa Indonesia. Akta notaris dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia yang khusus digunakan oleh orang yang berkecimpung di bidang hukum, namun tidak terlepas dari kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia umum. 9 Pengaturan mengenai penggunaan bahasa dalam pembuatan akta notaris menunjukkan inkonsistensi norma yaitu dalam Pasal 43 ayat (3) UUJN-P dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUBBLNLK, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi notaris dalam membuat akta berbahasa asing sesuai permintaan klien. Menurut L. Fuller dalam teorinya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, undang-undang yang baik adalah yang tidak mengandung delapan hal fatal. Salah satu dari delapan hal fatal itu ialah undang-undang yang bertentangan satu sama lainnya.

Ketentuan dalam Pasal 43 ayat (3) UUJN-P termasuk salah satu ketentuan mengenai mekanisme pembuatan akta yang mengandung kekhususan karena notaris diperbolehkan untuk membuat akta dalam bahasa asing sepanjang hal tersebut muncul dari keinginan para pihak yang membuat akta. 10 Sehingga bila merujuk

ketentuan Pasal 1 angka 7 UUJN-P yang menentukan bahwa akta notaris dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUUJN-P, pembuatan akta yang menggunakan bahasa asing bukanlah merupakan pelanggaran hukum merujuk pada asas lex spesialis derogat legi generalis. Teori “Steffenbau Des Rechts Ordnung” oleh Hans Kelsen, yang dipopulerkan oleh H. Nawiasky mengajarkan bahwa norma dari peraturan yang khusus diutamakan daripada norma dari peraturan yang umum dalam hal terdapat konflik diantara norma peraturan perundang-undangan yang sederajat.11

Namun, pembuatan akta notaris tidak dapat mengesampingkan Pasal 31 UUBBLNLK, karena merujuk pada keabsahan akta berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, akta notaris yang dibuat dengan bahasa asing tidak memenuhi syarat obyektif yaitu suatu sebab yang tidak terlarang sehingga membawa konsekuensi akta notaris dapat dinyatakan batal demi hukum. Dampaknya, perjanjian atau perbuatan hukum menjadi tidak berlaku, tidak memiliki akibat hukum dan meniadakan esensi dari perjanjian atau perbuatan hukum itu. 12 Hal tersebut diperkuat dengan adanya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar yang membatalkan akta perjanjian fidusia yang dibuat oleh Notaris Popie Savitri Martosuhardjo Pharmaton, SH., Notaris dan PPAT di Jakarta yang merupakan perjanjian ikutan dari Loan Agreement yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Hakim berwenang dalam memutuskan pembatalan terhadap akta notaris ketika syarat subyektif atau syarat tidak terpenuhi.13

Pasal 1 angka 13 UUJN-P menentukan protokol notaris merupakan arsip negara, sehingga merujuk pada Pasal 27 UUBBLNLK wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.14 Penerapan UUBBLNLK tidak menunjukan asas kepastian hukum bagi akta berbahasa asing.15 Menghadapi isu hukum tersebut, notaris harus berpedoman pada Pasal 43 ayat (1) UUJN-P dan Pasal 31 UUBBLNLK yaitu menggunakan bahasa Indonesia dalam akta. Apabila para pihak tetap menginginkan agar akta dibuat dalam bahasa asing, maka notaris dapat memberikan solusi yaitu salinan akta yang dimiliki oleh para pihak yang kemudian diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah. Dengan demikian, fungsi penerjemah tersumpah dalam pembuatan akta notaris ialah menerjemahkan salinan akta notaris ke dalam bahasa yang diinginkan oleh para pihak dan juga menerjemahkan isi akta berbahasa Indonesia secara lisan pada saat pembacaan akta oleh notaris dalam hal notaris tidak dapat menjelaskan atau menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.

Penerjemah tersumpah memiliki kedudukan yang hampir sama dengan saksi dalam akta karena penerjemah tersumpah ikut dalam proses pembuatan akta yaitu pada saat pembacaan, penerjemahan atau penjelasan akta dan ikut menandatangani akta sebagai syarat formal sahnya akta notaris. Sebelum diangkat sebagai penerjemah tersumpah, Pasal 11 Permenkum Nomor 29 Tahun 2016 mengatur bahwa setiap penerjemah

tersumpah wajib mengucapkan janji yang salah satunya ialah merahasiakan segala informasi yang ia peroleh selama menjalankan profesinya tersebut, sehingga hal tersebut sejalan dengan kewajiban notaris dalam merahasiakan isi akta agar keautentikan akta tetap terjaga dan mencegah adanya pemalsuan atau penyalahgunaan akta notaris.

  • 3.2    Tanggung Jawab Penerjemah Tersumpah Yang Melakukan Kesalahan Dalam Menerjemahkan Isi Akta Notaris

Peran penerjemah tersumpah di bidang hukum sangatlah penting, tidak hanya pada saat menerjemahkan dokumen-dokumen hukum yang merupakan ranah perdata, tapi juga di bidang pidana yang mana di pengadilan tak jarang menghadapi terdakwa orang asing yang tidak mengerti bahasa Indonesia tapi harus tetap dijelaskan mengenai aturan-aturan hukum, prosedur dan perlindungan hukum baginya. Di Indonesia, profesi penerjemah tersumpah ternyata telah ada sejak pemerintahan kolonial yang tata cara pengangkatannya diatur berdasarkan Staatsblad 1859 Nomor 69 tentang Sumpah Para Penerjemah dan Staatsblad 1894 Nomor 16 tentang Para Penerjemah. 16 Sebelum Indonesia merdeka, penerjemah tersumpah diangkat oleh Secretary Van Justitie, kemudian pasca kemerdekaan Indonesia yang berwenang mengangkat sumpah ialah Kementerian Kehakiman dihadapan pengadilan. Setelah diterbitkannya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pengangkatan sumpah bagi penerjemah tersumpah dilakukan oleh Kepala Daerah yaitu Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Timur, namun sejak tahun 2011 Gubernur DKI Jakarta telah berhenti melakukan pengangkatan dengan alasan bahwa pengangkatan merupakan ranah lembaga eksekutif.

Penerjemah tersumpah memerlukan kepastian hukum terkait profesinya sehingga Pemerintah mengeluarkan Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016, yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pengangkatan, pelaporan dan pemberhentian penerjemah tersumpah. Berdasarkan Pasal 2 Permnkumham Nomor 29 Tahun 2016, penerjemah tersumpah dapat melakukan terjemahan untuk satu atau lebih terjemahan. Yang dapat menjadi penerjemah tersumpah ialah orang berkewarganegaraan Indonesia yang mengajukan permohonan kepada Menteri Hukum dan HAM serta memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 4 Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016. Namun, kualifikasi seseorang agar dapat berprofesi sebagai penerjemah tersumpah khususnya dibidang hukum seperti syarat pendidikan, pengalaman dibidang bahasa dan hukum tidak diatur ketentuannya, sehingga sulit mengukur kualitas dari penerjemah tersumpah.

Sebagai suatu profesi, penerjemah juga memiliki organisasi yang bernama Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) yang didirikan sejak tanggal 5 Februari 1974 dan memiliki kode etik profesi yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan profesinya. Kode etik profesi Penerjemah disahkan Kongres XI HPI di Jakarta pada tanggal 30 November 2013. Kode etik tersebut terdiri atas tiga bab yang mengatur mengenai definisi, janji

penerjemah dan sanksi. Dalam kode etik profesi penerjemah, terdapat dua definisi penerjemah yaitu penerjemah tulis dengan penerjemah lisan yang memiliki kedudukan sama yang tunduk pada ketentuan dalam kode etik dan Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016. Janji penerjemah berkaitan erat dengan sanksi karena anggota HPI yang diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kode etik maka akan dikenakan sanksi berupa teguran lisan, peringatan tertulis, pembekuan keanggotaan selama jangka waktu tertentu hingga pemberhentian secara tidak hormat oleh Badan Pengurus HPI.

Jasa penerjemah tersumpah kian eksis keberadaannya dengan munculnya Pasal 31 UUBBLNLK dan Pasal 43 UUJN-P. Dokumen yang menyangkut persoalan hukum mensyaratkan terjemahan dihasilkan oleh penerjemah tersumpah. Demikian pula halnya dalam pembuatan akta notaris. Akta notaris merupakan akta autentik yang nilai keotentikannya bertahan terus bahkan sampai notaris meninggal dunia, oleh karena itu notaris dituntut bekerja secara benar dan profesional dalam menjalankan jabatannya. Salinan akta notaris yang diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah ke dalam bahasa yang diinginkan oleh para pihak yang berkepentingan juga harus sesuai dengan maksud yang tercantum dalam akta agar tetap mengandung kepastian hukum bagi para pihak.

Kualitas terjemahan akta notaris dinilai dari pemilihan dan penggunaan kata ataupun kalimat yang tepat, akurat, menunjukkan kejelasan sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Menerjemahkan bukan hanya mengubah tulisan atau lisan, tapi juga menyesuaikan makna, bentuk bahasa dan pesan yang hendak disampaikan, sehingga penerjemah tersumpah perlu memahami terlebih dahulu istilah-istilah, isi dan maksud dari akta notaris. Aspek-aspek yang menentukan kualitas suau terjemahan ialah aspek keakuratan yang digunakan untuk mengevaluasi apakah terjemahan telah sesuai dengan bahasa sumber, aspek keberterimaan digunakan untuk mengetahui terjemahan telah memenuhi prinsip dan aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran atau belum, selain itu ada keterbacaan yang merupakan aspek terkait dengan pembacaan terjemahan setelah selesai melakukan penerjemahan.17

Proses pengerjaan terjemahan terdiri atas analisis teks, riset istilah, penerjemahan dan pengetikan serta penyuntingan dan koreksi dengan beberapa sistem penghitungan tarif jasa penerjemah antara lain berdasarkan jumlah kata, berdasarkan jumlah baris hasil terjemahan, berdasarkan jumlah halaman hasil terjemahan, berdasarkan jumlah halaman teks sumber atau sistem borongan. 18 Menurut Nida dan Taber, proses penerjemahan terdiri atas empat tahap antara lain:

  • a.    tahap analisis atau pemahaman yaitu menganalisis bahasa atau teks sumber berdasarkan definisi kata, tekstual dan kontekstual;

  • b.    tahap transfer yaitu penerjemah memahami makna kata yang telah dihasilkan pada tahap analisis;

  • c.    tahap restrukturisasi yaitu penerjemah mencari padanan kata, struktur dan ungkapan kata yang sesuai dengan isi, makna dan pesan dalam bahasa atau teks sumber.

  • d.    tahap evaluasi dan revisi yaitu penerjemah mencocokkan bahasa atau teks sumber dengan hasil terjemahannya, apabila terdapat terjemahan yang kurang tepat maka penerjemah melakukan revisi.19

Dalam pembuatan akta notaris, penerjemah tersumpah dibutuhkan dalam rangka menerjemahkan isi akta secara lisan pada saat pembacaan akta oleh notaris (dalam hal notaris tidak dapat menerjemahkannya) dan menerjemahkan salinan akta apabila para pihak mengehendakinya. Berdasarkan Pasal 3 Permenkumham No. 29 Tahun 2016, penerjemah tersumpah harus bertanggung jawab penuh atas kebenaran dan kualitas hasil terjemahannya. Bentuk nyata dari tanggung jawab adalah sanksi, namun sampai saat ini sanksi bagi penerjemah tersumpah dalam hal terjadinya kesalahan dalam hasil terjemahannya belum ada pengaturannya.

Pemberian sanksi kepada penerjemah tersumpah merupakan bentuk perlindungan untuk masyarakat pengguna jasa penerjemah tersumpah. Pengguna jasa yang merasa dirugikan sebagai akibat dari kesalahan atau kelalaian penerjemah tersumpah dalam menjalankan tugas profesinya, dapat menuntut pertanggungjawaban penerjemah tersumpah atas dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penerjemah tersumpah. Hal tersebut sejalan dengan prinsip tanggung jawab hukum berdasarkan unsur kesalahan yaitu seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Dasar hukum penuntutan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum ialah Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan tiap orang yang menimbulkan kerugian akibat perbuatan melanggar hukum mewajibkannya untuk mengganti kerugian yang dibuat karena kesalahannya itu.

  • 4.    Kesimpulan

Berlandasakan asas lex spesialis derogat legi generalis, pembuatan akta notaris dengan mengikuti Pengaturan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah sesuai degan mekanisme pembuatan akta sebagaiamana ditentukan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Namun, tidak dapat pula mengesampingkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, karena merujuk pada keabsahan akta berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta notaris yang dibuat dengan bahasa asing tidak memenuhi syarat obyektif dan asli akta notaris merupakan dokumen yang termasuk dalam arsip negara sehingga merujuk pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan wajib digunakan dalam bahasa Indonesia. Sehingga dalam hal para pihak tetap menginginkan agar akta dibuat dalam bahasa asing, maka notaris

dapat memberikan solusi yaitu salinan akta yang dimiliki oleh para pihak yang kemudian diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah.

Fungsi penerjemah tersumpah dalam pembuatan akta notaris ialah menerjemahkan salinan akta yang telah dibuat oleh notaris ke dalam bahasa yang diinginkan oleh para pihak dan juga menerjemahkan isi akta berbahasa Indonesia secara lisan pada saat pembacaan akta oleh notaris dalam hal notaris tidak dapat menjelaskan atau menerjemahkan isi akta dengan menggunakan bahasa yang diinginkan penghadap. Dalam pembuatan akta notaris, penerjemah tersumpah memiliki kedudukan yang hampir sama dengan saksi karena penerjemah tersumpah ikut dalam proses pembuatan akta yaitu pada saat pembacaan, penerjemahan atau penjelasan akta dan ikut menandatangani akta sebagai syarat formal sahnya akta notaris. Dalam hal terjadi kesalahan oleh penerjemah tersumpah terkait dengan hasil terjemahannya yang merugikan pengguna jasa maka berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengguna jasa dapat menuntut penerjemah tersumpah untuk mengganti kerugian tersebut.

Daftar Pustaka

Buku

Diantha, I.M.P. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Jakarta: Prenada Media Group.

Hadi Darus, L. (2017). Hukum Notariat dan Tanggung Jawab Jabatan Notaris, Yogyakarta: UII Press.

Suryawinata, Z., & Hariyanto, S. (2003). Translation Bahasan Teori & Penuntun Praktis Menerjemah. Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal

Afifah, K. (2017). Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata Terhadap Akta yang Dibuatnya. Lex Renaissance, 2(1).

Dewi, A. S. (2013). Perjanjian Berbahasa Asing yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Jurnal Cita Hukum, 1(1).

Endang, Y. (2016). Kajian Yuridis Pasal 43 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Terhadap Pasal 31 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.

Halim, C. (2015). Analisis Penerapan Pasal 31 Undang-undang No 24 Tahun 2009 Tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia terhadap Kontrak Internasional yang Berpedoman pada Asas-asas dalam Hukum Kontrak (Studi Kasus Putusan Perkara No. 451/pdt. g/2012/pn. jkt. bar). Premise Law Journal, 9.

Mala, B. L. (2017). Akspek Yuridis Pembatalan Akta Notaris Berdasarkan Uu No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Lex Administratum, 5(1).

Ma’ruf, U., & Wijaya, D. (2016). Tinjauan Hukum Kedudukan Dan Fungsi Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Membuat Akta Otentik (Studi Kasus di Kecamatan Bergas Kabupaten Semara ng). Jurnal Pembaharuan Hukum, 3(3).

Pascarina, H., Nababan, M. R., & Santosa, R. (2017). Loss Dan Gain Pada Terjemahan Buku Hukum The Concept Of Law Karya HL A Hart Ke Dalam Versi Bahasa Indonesia “Konsep Hukum”. PRASASTI: Journal of Linguistics, 2(2).

Setiadi, F., Sulissusiawan, A., & Susilo, F. (2014). Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Akta Notaris di Kota Sintang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 3(3).

Sriyono, S. (2014). Penerjemahan Tema Pada Teks Hukum. Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, 13(1).

Wardhani, L. C. (2017). Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap Akta yang Dibatalkan oleh Pengadilan. Lex Renaissance, 2(1).

Tesis:

Arieyatno, S. (2018). Penggunaan Bahasa Asing Dalam Format Akta Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Master's thesis, Universitas Islam Indonesia).

Online/World Wide Web:

Putra, N.N (2016) Penerjemah Tersumpah, ‘Profesi Peninggalan Kolonial’ Yang Kembali Eksis.                             Retrieved                             from

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57fb9072819d3/penerjemah-tersumpah--profesi-peninggalan-kolonial-yang-kembali-eksis,    diakses    1

Desember 2018.

Adhi, M.R. (2011) Kiat Memilih Jasa Penerjemah. Retrieved from http://www.hpi.or.id/kiat-memilih-penerjemah, diakses 2 Desember 2018.

44