Kekuatan Hukum Perseujuan Suami atau Istri yang dibuat di Bawah Tangan
on
Vol. 3 No. 3 Desember 2018
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Kekuatan Hukum Perseujuan Suami atau Istri yang dibuat di Bawah Tangan
N Wahyu Triashari1
1Program Studi Magister (S2) Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali-Indonesia, E-mail : [email protected]
Info Artikel
Keywords :
Approval of husband or wife, under hands, legalization, sale and purchase of land
Kata kunci:
Persetujuan suami atau istri, di bawah tangan, legalisasi, jual beli tanah
Corresponding Author:
N Wahyu Triashari, E-mail:
DOI :
10.24843/AC.2018.v03.i03.p0 9
Abstract
Approval from a husband or wife as a seller in buying and selling land is very necessary. In practice the usual agreement used is a minimum that has been legalized by a Public Notary. The problem that arises is how the legal strength of the agreement of a husband or wife whose name is not stated in a land title deed with its capacity as a seller in the land sale and purchase agreement and what are the legal consequences of the land purchase agreement when the agreement is made under the form without legalization. The purpose of this paper is to contribute conceptually with scientific, systematic, and logical conceptual work, especially in matters of legal strength from the agreement of a husband or wife whose name is not stated in a certificate with its capacity as a seller in a land sale and purchase agreement. The method used in this legal research is a type of normative legal research. Approval of a husband or wife is required whose name is not stated in the certificate with the capacity as a seller in the land purchase agreement because it relates to joint assets in the marriage. The legal consequences of the land purchase agreement when the agreement of the husband or wife is only made under the hands without being legalized is that the file will not be processed at the local Land Office for the transfer of ownership rights to the land in the case of buying and selling.
Abstrak
Persetujuan dari suami atau istri sebagai penjual dalam jual beli tanah sangat diperlukan. Persetujuan yang biasa digunakan sebagai syarat pelaksanaan jual beli adalah minimal yang telah di legalisasi oleh Notaris. Permasalahan yang muncul yaitu bagaimana kekuatan hukum persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat dengan kapasitasnya sebagai penjual dalam perjanjian jual beli tanah dan apa akibat hukum terhadap perjanjian jual beli tanah ketika persetujuan tersebut dibuat dalam bentuk di bawah tangan tanpa legalisasi. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan karya konseptual dengan argumentatif ilmiah, sistematis, dan logis khususnya dalam permasalahan kekuatan hukum dari persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat dengan kapasitasnya sebagai penjual dalam perjanjian jual beli tanah. Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah jenis penelitian hukum normative. Dibutuhkan persetujuan suami atau istri dalam kapasitasnya sebagai penjual
pada perjanjian jual beli tanah karena berhubungan dengan harta bersama dalam perkawinan. Akibat hukum terhadap perjanjian jual beli tanah ketika persetujuan dari suami atau istri tersebut hanya dibuat dengan di bawah tangan tanpa di legalisasi adalah berkasnya tidak akan dapat diproses pada Kantor Pertanahan setempat untuk pengalihan hak milik atas tanah dalam hal jual beli.
-
1. Pendahuluan
Suami dan istri terikat pada satu perkawinan yang sah yang kemudian menimbulkan akibat hukum yang tidak hanya menyangkut tentang dirinya sendiri namun juga pada harta kekayaan dari suami dan istri. Perkawinan dinyatakan sah ketika telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu yang kemudian dari terjadinya perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam perjalanannya suami dan istri memiliki kecendurungan untuk mulai berinvestasi dan menggunakan harta kekayaannya untuk membeli sebidang tanah. Tanah merupakan benda tetap yang kian lama nilai ekonominya akan semakin bertambah. Dan ketika diperlukan sewaktu-waktu tanah tersebut dapat kembali diperjualbelikan dengan harga yang lebih tinggi. Ketika tanah tersebut kembali diperjualbelikan maka harus pula mengindahkan tahapan-tahapan dalam proses jual beli yang tentunya menggunakan perjanjian dalam perikatan antara penjual dengan pembeli. Perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih. Pasal tersebut sekaligus memberikan esensi bahwa perjanjian melahirkan hubungan hukum yakni adanya suatu perikatan antara para pihak. Dewasa ini definisi tentang perikatan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dipandang masih terlalu sempit dalam mendeskripsikan tentang perikatan sebab dalam pasal tersebut hanya dapat terdefinisikan bahwa satu pihak saja yang mengikatkan diri kepada pihak lain sedangkan seharusnya adalah saling mengikatkan diri. Mengikatkan diri disini dapat diartikan sebagai upaya yang dicapai melalui kesepakatan untuk menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian.
Persetujuan dari seseorang yang dalam kapasitasnya memiliki hak pada suatu objek terhadap tindakan hukum yang akan dilakukan merupakan hal yang dianggap sangat perlu ketika suatu objek tersebut tidak hanya dimiliki oleh satu orang yang berhak. Seperti halnya dalam perjanjian jual beli tanah. Persetujuan merupakan kehendak yang dilontarkan oleh seseorang terhadap seseorang lain sebagai persesuaian kehendak dalam menjalankan sesuatu. Sesuatu tersebut dalam hal ini adalah menjual tanah. Tidak sedikit orang yang mengetahui bahwa ketika menjual tanah hak milik diperlukan persetujuan suami atau istri yang dalam hal ini nama suami atau istri tersebut tidak tercantum dalam sertipikat hak milik dari sebidang tanah yang akan di jual. Akan tetapi
tidak banyak pula yang memahami kekuatan hukum persetujuan tersebut yang sebenarnya berdampak cukup besar dalam keberlangsungan perjanjian yang telah dibuat.
Persetujuan tersebut sangat penting mengingat syarat sahnya suatu perjanjian adalah dengan adanya persesuaian kehendak dari para pihak. Pihak pertama yaitu penjual yang dalam hal ini adalah suami dan istri dapat saja berada di lain tempat saat penandatanganan perjanjian jual beli yang dilakukan di kantor Notaris/PPAT, sehingga baik suami atau istri yang tidak ada di tempat harus membuat persetujuan dalam bentuk tertulis. Persetujuan tersebut dapat dibuat dalam bentuk yang otentik atau di bawah tangan. Dalam prakteknya persetujuan yang biasa digunakan adalah minimal yang telah di legalisasi oleh Notaris yang berwenang di daerah tempat pihak tersebut memberikan persetujuan. Tidak ada perundang-undangan yang mengharuskan persetujuan tersebut dibuat dengan otentik atau legalisasi, namun kebiasaan yang berkembang menjadikan hal tersebut seolah telah menjadi norma yang harus di taati. Padahal inti dari persetujuan itu adalah kesesuaian kehendak yang dinyatakan dalam suatu surat atau akta tentang persetujuannya untuk menjual sebidang tanah.
Latar belakang yang demikian kemudian memunculkan permasalahan tentang bagaimana kekuatan hukum persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat dengan kapasitasnya sebagai penjual dalam perjanjian jual beli tanah dan apa akibat hukum terhadap perjanjian jual beli tanah ketika persetujuan tersebut dibuat dalam bentuk di bawah tangan tanpa legalisasi. Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan karya konseptual dengan argumentatif ilmiah, sistematis, dan logis khususnya dalam permasalahan kekuatan hukum dari persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat dengan kapasitasnya sebagai penjual dalam perjanjian jual beli tanah.
Hasil studi yang membahas mengenai persetujuan yang dilakukan dalam perbuatan hukum jual beli tanah juga dilakukan oleh Sofiana, Anita dan Akhmad Khisni pada tahun 2017. Kajiannya terfokus pada akibat hukum dari peralihan hak atas tanah tanpa adanya persetujuan dari salah satu ahli waris. 1 Pembahasan mengenai pentingnya persetujuan juga sempat dibahas oleh Erwinsyahbana, Tengku, dan Vivi Lia Valini Tanjung pada tahun 2018. Hasil kajiannya memfokuskan pada penggadaian harta bersama tanpa izin dari salah satu pasangan dalam perkawinan. 2 Penulisan ini memfokuskan pada peran persetujuan dari suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat hak milik atas tanah sebagai bukti kepemilikan suatu ha katas tanah dalam kapasitasnya sebagai penjual dalam suatu berbuatan hukum jual beli.
-
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu bahwa ilmu hukum normatif memiliki dimensi majemuk yakni selain dimensi menjelaskan secara tuntas tentang norma hukum juga berupaya memberi normatif-kontemplatif untuk dijadikan pedoman dalam praktik hukum. 3 Jurnal ini menggunakan pendekatan konseptual yakni karena beranjak dari adanya norma kosong yang berkaitan dengan tidak ada ketentuan yang mengatur tentang standar fisik persetujuan dari suami atau istri dalam hal melakukan perjanjian jual beli ketika tidak berada di tempat saat penandatanganan. Penelitian dalam jurnal ini menggunakan bahan hukum primer yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas 4 yaitu berupa peraturan perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi5 dalam penelitian ini menggunakan jurnal-jurnal hukum, penelitian hukum dalam bentuk tesis atau desertasi, buku-buku, makalah hukum yang ada kaitannya dengan permasalahan dari penelitian dalam jurnal ini, dan bahan hukum tertier yang terdiri dari kamus serta ensiklopedia. Teknik studi dokumen digunakan dalam melakukan pengumpulan bahan hukum yakni studi kepustakaan dengan cara menganalisis berbagai bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Analisis bahan hukum disajikan dengan deskriptif yaitu menggambarkan segala sesuaitunya dengan huruf dan angka dan sedapat mungkin memberikan argumentasi hukum sehingga kemudian mendapatkan kesimpulan sebagai tujuan akhir dari penelitian ini.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Kekuatan Hukum Persetujuan Suami atau Istri yang Namanya Tidak Tercantum Dalam Sertipikat Dengan Kapasitasnya Sebagai Penjual Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah
-
Perbuatan hukum mengalihkan hak milik atas tanah tentunya didasarkan pada adanya perjanjian antara pihak penjual dengan pembeli. Sahnya suatu perjanjian adalah apabila lahirnya perjanjian tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu yang pertama adalah sepakat mereka mengikatkan dirinya yakni bahwa kedua belah pihak atau subyek dalam suatu perjanjian telah setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang dibuat. Kesepakatan yang dilakukan juga tidak berasal dari paksaan oleh siapapun sehingga kesepakatan yang terjadi adalah murni dari keinginan pribadi para pihak. Unsur paksaan sebagaimana diatur pada Pasal 1324 KUH Perdata, dapat membatalkan perjanjian apabila dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian dan juga dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 1323 KUH Perdata dan juga dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarga dalam garis ke atas maupun ke
bawah salah satu pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1325 KUH Perdata.6 Kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. KUH Perdata menetapkan kedewasaan pihak yang dapat membuat perjanjian adalah berumur 21 (dua puluh satu) tahun, sedangkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris umur terendah yang sudah dapat melakukan perbuatan hukum dihadapan Notaris adalah 18 (delapan belas) tahun. Ketiga adalah suatu hal tertentu atau obyek dalam perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya atau dengan kata lain bahwa obyeknya harus jelas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1333 KUH Perdata. Keempat adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal yaitu bahwa dari diadakannya perjanjian telah jelas tujuannya dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata ditentukan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Dari penjabaran tersebut terlihat pentingnya unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pembedaan persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg, null and void, void ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar, voidable) suatu perjanjian.7 Kesepakatan dan kecakapan dalam bertindak secara hukum diklasifikasikan sebagai syarat subjektif yang oleh karenanya maka apabila suatu perjanjian jual beli pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan tersebut maka perjanjian yang telah dibuat itu dinyatakan dapat dibatalkan. Sedangkan pada objek tertentu dan sebab yang halal diklasifikasikan sebagai syarat objektif sebab apabila suatu perjanjian tidak mengindahkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum maka perjanjian yang telah dibuat tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Jual beli tentunya didasarkan dari adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perbuatan hukum mengenai jual beli tanah haruslah dengan menggunakan akta otentik yang berarti bahwa perjanjian ini harus dilakukan secara tertulis. Dibuatnya akta otentik tersebut adalah sebagai dasar dalam pengalihan hak milik atas tanah dalam prosesnya pada Kantor Pertanahan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 23 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Akta jual beli memuat identitas dari para pihak tentunya pihak penjual dan pembeli. Identitas pihak penjual tidak terbatas pada seorang yang namanya tertera dalam sertipikat hak atas tanah yang akan dialihkan, namun juga persetujuan yang diberikan oleh suami atau istri yang namanya tidak tercantum dalam sertipikat hak atas tanah yang dalam hal ini jika penjualnya telah melakukan ikatan perkawinan.
Berdasarkan ketentuan sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, maka persetujuan dari suami atau istri sebagai penjual pun diklasifikasikan sebagai kesepakatan yang terjadi untuk dapat melangsungkan jual beli tanah. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga
membuktikan bahwa kekuatan suatu perjanjian mempunyai kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.8 Adanya persesuaian kehendak antara suami dengan istri untuk menjual tanah inilah yang menjadikan salah satu diantaranya memiliki kapasitas sebagai penjual dengan dasar adanya persetujuan tersebut.
Peranan suami atau istri yang namanya tidak tercantum dalam sertipikat hak atas tanah terhadap pemberian persetujuan untuk menjual hak milik atas tanah yang dibeli pada saat perkawinan berlangsung haruslah memperhatikan empat hal utama. Empat hal tersebut yaitu harta bersama, harta bawaan, adanya perjanjian kawin, dan adanya kematian.
Akibat hukum dari perkawinan yang dampaknya terhadap harta adalah mengenai persatuan bulat harta antara suami dengan istri yang dihasilkan setelah perkawinan berlangsung. Baik suami maupun istri yang menghasilkan harta kekayaan akan menjadi harta bersama dan dimiliki secara bersama walaupun misalnya diantara keduanya ada yang tidak bekerja dan tidak menghasilkan harta kekayaan. Ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan dikuasai bersama. Pasal 119 KUH Perdata juga menegaskan tentang terjadinya persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri terkecuali apabila diantara keduanya telah dibuat perjanjian kawin sebelum perkawinan berlangsung. Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan mengatur mengenai harta bawaan. Dikatakan harta bawaan sebab harta tersebut dibawa atau didapat sebelum perkawinan berlangsung yang kemudian tetap dalam penguasaan masing-masing baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan lain. Jadi dalam hal ini harta warisan juga termasuk dalam harta bawaan sekalipun telah melangsungkan perkawinan jika tidak dikehendaki berbeda.
Persatuan bulat harta atau harta bersama dapat tidak terjadi ketika suami istri tersebut membuat perjanjian kawin pisah harta yang diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Mempelai pria dan mempelai wanita yang melangsungkan perkawinan boleh membuat perjanjian perkawinan. Pengaturan perjanjian kawin dapat dijumpai dalam Pasal 29 UU Perkawinan dan Pasal 139 dan sampai Pasal 154 KUH Perdata. Dalam Pasal 119 KUH Perdata juga tersirat dimungkinkannya dibuat perjanjian kawin agar harta kekayaan dari mempelai pria dan mempelai wanita tidak menjadi persatuan bulat. Perjanjian kawin merupakan sarana untuk melakukan proteksi terhadap harta para mempelai.9
Persetujuan dari suami atau istri yang namanya tidak tercantum dalam sertipikat sebagai tanda setuju untuk menjual hak milik atas tanah yaitu berkaitan dengan adanya harta bersama dalam suatu perkawinan ketika hak milik atas tanah itu dibeli. Selama perkawinan harta suami dan istri yang jatuh kedalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan dari
istrinya.10 Jika membeli properti setelah terjadi perkawinan dengan status hak milik, maka properti tersebut akan dianggap sebagai milik kedua belah pihak. 11 Properti yang dapat berupa sebidang tanah tersebut merupakan harta bersama milik suami maupun istri walaupun dalam sertipikat hak milik tersebut hanya dicantumkan satu orang diantara keduanya sebagai pemilik atas namanya. Jadi, hal tersebutlah yang menjadi dasar mengapa suami atau istri yang tidak tercantum dalam sertipikat hak milik atas sebidang tanah itu juga tetap harus dimintai persetujuannya. Sebab suami atau istri tersebut memiliki hak yang sama dengan suami atau istri yang namanya tercantum dalam sertipikat hak milik atas tanah. Suami atau istri yang berhalangan untuk bersama-sama menghadap kepada Notaris/PPAT pada saat penandatanganan Akta Jual Beli dapat diwakili oleh salah satunya dengan membawa surat persetujuan menjual yang sekurang-kurangnya telah di legalisasi oleh Notaris.12
Terhadap harta bawaan, persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tercantum dalam sertipikat hak milik atas tanah tidak diharuskan memberikan persetujuannya, sebab sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan bahwasanya harta bawaan berada dalam penguasaan masing-masing sehingga baik suami maupun istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya tersebut.
Lalu bagaimana ketika suami atau istri yang seharusnya memberikan persetujuan itu meninggal dunia? Kematian yang terjadi pada suami atau istri juga memberikan akibat hukum terutama dalam hal penjualan harta perkawinan berupa sebidang tanah. Ketika diantara suami atau istri ada yang meninggal dunia baik yang namanya tertera dalam sertipikat atau yang tidak, maka ketika tanah tersebut diperjualbelikan haruslah mendapat persetujuan dari ahli warisnya yang tidak lain adalah anak kandungnya.
Perlunya persetujuan suami atau istri dalam menjual hak milik atas tanah yang merupakan harta bersama tidak semata-mata hanya untuk formalitas akta saja. Lebih dari itu adalah agar pihak penjual yang dalam hal ini adalah suami dan istri saling mengetahui bahwa hak milik atas tanah yang semula dimilikinya akan berpindah tangan ke pihak lain. Jika ternyata diantaranya sudah meninggal dunia lebih dulu, maka baik suami maupu istri yang masih hidup tidak semena-mena akan tindakannya menjual hak milik atas tanah tersebut karena hak dari suami atau istri yang telah meninggal dunia secara otomatis pindah kepada ahli warisnya. Dengan demikian maka hak dari ahli waris pun dilindungi oleh hukum.
-
3.2 Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Tanah Ketika Persetujuan Tersebut Dibuat dalam Bentuk di Bawah Tangan Tanpa Legalisasi
Persetujuan suami atau istri cukup memberikan dampak yang besar pada perjanjian jual beli tanah. Perlu diingat bahwa poin pertama dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu
tentang kesepakatan para pihak yang menentukan bahwa pihak pertama harus sepakat dengan pihak kedua barulah dapat dikatakan sah dan tentunya tidak melupakan poin-poin selanjutnya yaitu kecakapan, objek tertentu dan kausa yang halal. Pihak pertama dalam hal ini dapat diartikan sebagai penjual. Penjual dalam pembahasan ini adalah pemilik dari sebidang tanah bersertipikat hak milik. Pemilik tersebut adalah suami dan istri yang salah satu diantara keduanya tercantum namanya dalam sertipikat hak milik tersebut.
Ketika tidak terdapat persetujuan baik oleh suami maupun istri yang sekalipun namanya tidak tercantum dalam sertipikat tersebut dapat diartikan bahwa belum ada persesuaian kehendak dari para penjual. Para penjual yang dimaksud adalah suami dan istri, karena secara hukum yang memiliki tanah tersebut bukan hanya yang tertera namanya dalam sertipikat melainkan suami dan istri sebagai pemilik dari tanah yang merupakan harta bersama. Jadi unsur sepakat sesungguhnya masih belum dapat dikatakan lengkap tanpa persetujuan baik suami maupun istri. Dengan demikian maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sesuai dengan akibat hukum dari tidak terpenuhinya unsur subyektif dalam sahnya pejanjian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk meghindari kebatalan tersebut, ketika pihak yang memberi persetujuan tidak berada di tempat penandatanganan di hadapan Notaris/PPAT yang menanganinya, maka diperlukan persetujuan dalam bentuk tertulis.
Persetujuan seperti tersebut diatas merupakan salah satu syarat yang secara implisit ditentukan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwasanya dalam melakukan tindakan hukum pemindahan hak milik harus dihadiri oleh para pihak yang bersangkutan, sehingga dapat disimpulkan suami atau istri yang memberi persetujuannya pun harus hadir dalam penandatanganan tersebut. Ketika persetujuan tersebut tidak secara langsung dapat disampaikan kehadapan pihak yang berwenang yang dalam hal ini adalah Notaris/PPAT, maka kemungkinan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan persetujuan yang dibuat secara otentik maupun di bawah tangan. Pada prakteknya persetujuan yang diberikan oleh suami atau istri ini sekaligus memberikan kuasa pula kepada suami atau istri yang dapat hadir dalam penandatanganan akta di hadapan Notaris/PPAT untuk dapat melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan pengalihan hak milik atas tanah.
Berkembangnya kebutuhan dan kepentingan bagi setiap orang memunculkan berbagai kecurangan atau bahkan penipuan terhadap berbagai aspek tidak terkecuali dalam pemalsuan dokumen atau tanda tangan. Pemalsuan dokumen atau tanda tangan tersebut membuat pejabat umum yang berwenang harus lebih waspada dalam segala hal salah satunya dalam hal pemberian persetujuan dalam rangka mengalihkan hak milik atas tanah. Hal tersebut membuat pihak kantor pertanahan dan Notaris/PPAT pun memiliki suatu kebijakan yang secara terus menerus dilakukan dan menjadi suatu kebiasaan bahwasanya jika seorang yang berhak memberikan persetujuannya namun berada di luar wilayah saat penandatanganan, maka orang tersebut minimal harus membuat persetujuan yang di legalisasi oleh Notaris setempat. Dewasa ini pernyataan yang dibuat di bawah tangan tanpa adanya legalisasi tidak dapat digunakan sebagai dasar yang kuat serta syarat pelaksanaan balik nama pada Kantor Pertanahan. Hal yang demikian tentunya sebagai bentuk kewaspadaan untuk dapat meminimalisir
segala bentuk kecurangan dari pihak yang akan menjual tanahnya sebab hanya yang berhak sajalah yang dapat menjual bidang tanah tersebut.
Ditentukannya legalisasi sebagai standar minimal dalam syarat persetujuan di bawah tangan sebab legalisasi itu adalah melegalize dokumen yang dimaksud di hadapan Notaris dengan membuktikan tanda tangan penandatangan dan tanggalnya.13 Dengan pengertian yang lebih sederhana yaitu bahwa pihak yang akan melakukan legalisasi telah membuat sendiri dokumen yang akan dilegalisasi namun penandatanganannya adalah di hadapan Notaris yang sebelumnya dokumen tersebut telah dijelaskan konsekuensi hukumnya oleh Notaris kepada pihak yang akan menandatanganinya. Setelah tanda tangan pihak, Notaris selaku yang melegalisasi dokumen tersebut pun menandatangani dokumen dengan irah-irah yang menyatakan kebenaran dari adanya pernyataan tersebut. Oleh karena itu Notaris yang melegalisasi dapat dimintai keterangan mengenai kebenaran tanda tangan penandatangan serta kebenaran tanggal penandatanganan dokumen tersebut. Hal ini setidaknya cukup memberikan keyakinan baik kepada Notaris/PPAT dan pejabat yang bertugas pada kantor pertanahan terhadap kebenaran tanda tangan pihak yang memberikan persetujuan untuk dilaksanakannya jual beli tanah. Lalu bagaimana dengan persetujuan yang dibuat dengan di bawah tangan tanpa adanya legalisasi dari pejabat yang berwenang?
Seperti argumentasi yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa persetujuan yang dilegalisasi adalah bertujuan untuk dapat memberikan keyakinan kepada pejabat yang berwenang dalam menjalankan proses pengalihan hak milik, sehingga pada umumnya yang terjadi jiika persetujuan dari suami atau istri tersebut hanya dengan di bawah tangan tanpa di legalisasi adalah berkas pengalihan hak milik tersebut dikembalikan kepada Notaris/PPAT oleh pejabat yang bertugas pada Kantor Pertanahan yang bersangkutan yang berarti berkas tersebut belum dapat dilanjutkan. Hal yang secara berulang inilah yang kemudian memunculkan norma tidak tertulis atau dianggap sebagai kebiasaan bahwa persetujuan tersebut setidaknya harus dapat dibuktikan kebenaran tanggal penandatanganan serta tanda tangan dari penandatangannya. Solusi yang dapat dilakukan oleh Notaris/PPAT yang disesuaikan dengan keilmuannya yakni dengan standar persetujuan yang di legalisasi. Hal ini pula berkaitan dengan kepastian hukum menurut Van Apeldorn dalam Peter Mahmud Marzuki yaitu bahwa “kepastian hukum juga diartikan sebagai perlindungan hukum untuk melindungi pihak-pihak dari kesewenang-wenangan”. 14 Kepastian terhadap tanggal surat persetujuan ini pula memberikan perlindungan hukum pada pihak pembeli yang terlebih lagi telah melunasi harga jualnya pada pembeli untuk dapat segera dilaksanakan proses balik nama pada Kantor Pertanahan.
Dibutuhkan persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat dengan kapasitasnya sebagai penjual dalam perjanjian jual beli tanah karena berhubungan dengan harta bersama dalam perkawinan. Oleh sebab itu persetujuan
tersebut diperlukan ketika yang tercantum namanya dalam sertipikat hak milik hanya salah satu dari suami atau istri, karena baik suami maupun istri dalam hal ini samasama memiliki hak terhadap hak milik atas tanah tersebut.
Akibat hukum terhadap perjanjian jual beli tanah ketika persetujuan dari suami atau istri tersebut hanya dibuat dengan di bawah tangan tanpa di legalisasi adalah berkasnya tidak akan dapat diproses pada Kantor Pertanahan setempat untuk pengalihan hak milik atas tanah dalam hal jual beli.
Daftar Pustaka
Buku
Diantha, I Made Pasek, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Kencana
PrenadaMedia Group, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Jurnal
SOFIANA, A., & KHISNI, A. (2017). Akibat Hukum Pengalihan Hak Jual Beli Melalui Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Tanah Warisan Tanpa Persetujuan Salah Satu Ahli Waris Lainnya. Jurnal Akta, 4(1).
Erwinsyahbana, T., & Tanjung, V. L. V. (2018). KEPASTIAN HUKUM
PENGGADAIAN HARTA BERSAMA TANPA IZIN DARI SALAH SATU PASANGAN DALAM PERKAWINAN (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IYAH NOMOR: 0049/Pdt. G/2014/Ms-Aceh). Varia Justicia, 13(1).
Doloksaribu, M. M. J. (2016). Unsur Paksaan yang Terkandung di dalam sebuah Perjanjian sebagai Alasan Pembatalan Perjanjian (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 943 K/pdt/2012). Premise Law Journal, 1.
Panggabean, R. M. (2010). Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 17(4), 651-667.
Asmawardhani, D. (2015). ANALISIS ASAS KONSENSUALISME TERKAIT DENGAN KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN JUAL-BELI DI BAWAH TANGAN. GaneC □ Swara, 9(1),167-176.
Sugiswati, B. (2014). KONSEPSI HARTA BERSAMA DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, DAN HUKUM ADAT. Perspektif, 19(3), 201-211.
Agustine, O. V. (2017). POLITIK HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015 DALAM MENCIPTAKAN KEHARMONISAN PERKAWINAN. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(1), 53-67.
Yamin, M., Barus, U. M., & Gani, S. (2017). Analisis Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Dilakukan Setelah Perceraian (Studi Putusan Nomor 30/Pdt. G/2013/PN. MTR).
Dinaryanti, A. R. (2013). Tinjauan Yuridis Legalisasi Akta Di Bawah Tangan Oleh Notaris. Legal Opinion, 1(3).
Tesis/Disertasi
Desviastanti, R. (2010). Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS DIPONEGORO).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696.
510
Discussion and feedback