Vol. 3 No. 2 Oktober 2018

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Pengaturan Kewenangan Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Dalam Mekanisme

Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah

Maria Seraphine Kartika Dewi1

1Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]/WA : 089680257584

Info Artikel

Keywords :

Authority, PERMEN Agraria 11/2016, Land Rights Disputes.


Kata kunci:

Kewenangan, PERMEN Agraria 11/2016, Sengketa Hak Atas Tanah.

Corresponding Author: Maria Seraphine Kartika Dewi, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2018.v03.i02.p08


Abstract

In the provisions of Article 11 paragraph (4) PERMEN Agraria 11/2016 hasn’t clearly set about disputes and conflicts that aren’t the authority of the ministry and become the authority of other agencies. Based on the obscure norm, the problem is formulated: (1) How’s the regulation’s scope of the Ministry of Agrarian in the settlement of land rights disputes in Article 11 paragraph (4) PERMEN Agraria 11/2016?? and (2) how’s the effect of obscure norms of Article 11 paragraph (4) on dispute settlement which isn’t the authority of the ministry?. Used normative legal research, with the approach of legislation and conceptual approach. Legal material sourced from primary, secondary and tertiary law materials. Legal material is collected by snowball system techniques and analyzing legal materials using descriptive techniques and interpretation techniques. The results of this research: (1) Disputes and conflicts that aren’t the authority of ministries are disputes and conflicts already in the realm of criminal law and other institutions which is meant by the judiciary, the Indonesian police, the judiciary of Indonesia, and the law enforcement agencies that relevant; and (2) due to the obscure norms of Article 11 paragraph (4) there’ll be a change of legal relationship, so the legal basis of the settlement mechanism isn’t based on this rule, but the Penal Code.

Abstrak

Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 belum mengatur secara jelas mengenai sengketa dan konflik yang bukan kewenangan Kementerian dan menjadi wewenang instansi lain. Berdasarkan norma kabur tersebut, dirumuskan permasalahan: (1) Bagaimana pengaturan ruang lingkup Kementerian Agraria dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah dalam Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016? dan (2) bagaimanakah akibat hukum kabur norma Pasal 11 ayat (4) terhadap penyelesaian sengketa yang bukan merupakan wewenang Kementerian?. Digunakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan Pendekatan konsep. Bahan hukum bersumber pada bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum dikumpulkan dengan teknik sistem bola salju dan menganalisis bahan hukum gunakan teknik deskripsi dan teknik interpretasi. Hasil studi menunjukkan bahwa, (1) Pengaturan ruang lingkup kewenangan Kementerian Agraria dalam pasal 11

ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016, bahwa sengketa dan konflik yang bukan menjadi kewenangan Kementerian adalah sengketa dan konflik yang sudah berada dalam ranah hukum pidana dan instansi lain yang dimaksud yaitu lembaga peradilan, kepolisian RI, kejaksaan RI, dan instansi penegak hukum terkait; dan (2) Akibat hukum kabur norma Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 adalah berubahnya hubungan hukum, sehingga dasar hukum mekanisme penyelesaiannya bukan berdasarkan peraturan ini, melainkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kata kunci: Pengaturan, Ruang Lingkup, Kewenangan Kementerian Agraria, Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016, akibat hukum.

  • 1.    Pendahuluan

Tanah menjadi asal kehidupan dan penghidupan krusial untuk masyarakat, sebagai tempat tinggal maupun sebagai suatu hal yang dapat dikuasai, dimanfaatkan, dan digunakan untuk kelangsungan hidupnya. Oleh sebab itu, negara sebagai tempat rakyat berlindung, berupaya untuk melindungi demi kesejahteraan rakyat.

Secara filosofis landasan mengenai hukum agraria terkandung dalam Pancasila, khususnya Sila ke- 4 yang menunjukkan bahwa rakyat mempunyai hak dan kekuasaan yang sama terhadap tanah. dan Sila ke-5 yang menunjukkan bahwa rakyat memiliki peluang yang setara dalam mendapat kegunaan tanah. Selanjutnya, pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kebijakan pertanahan nasional mengharuskan miliki tujuan mewujudkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, yang jadi pedoman konstitusional untuk berikan wewenang pada Negara supaya mengelola pertanahan sebagai salah satu bagian dari sumber daya agraria. The existing resources must be allocated efficiently to support the healthy growth of national economy while achieving justice.1 Berdasarkan hal itu, untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maka diterbitkan aturan tentang pertanahan. Untuk lebih memberikan tuntutan pada proses pengelolaan sumber daya agraria tersebut, diterbitkan aturan tentang Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya BPN) yang memberikan landasan hukum bagi BPN untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

Dalam rangka menguasai, memanfaatkan, dan menggunakan tanah, tidak menutup kemungkinan bahwa akan terjadinya gesekan yang menimbulkan permasalahan di bidang pertanahan. Mengenai sengketa, konflik, dan perkara pertanahan telah ada pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (selanjutnya PERMEN Agraria 11/2016). Peraturan tersebut diatur lebih jelas mengenai masalah yang jadi wewenang menteri dan tidak jadi wewenang menteri. Dalam proses penyelesaiannya, suatu sengketa dan konflik yang masuk ke kantor pertanahan akan melewati serangkaian proses. Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) ditentukan masalah yang menjadi wewenang Kementerian, lalu dalam Pasal 11 ayat (4) menentukan masalah diluar yang disebut bukan wewenang menteri dan jadi wewenang lembaga lain. Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut sengketa dan konflik yang dimaksud dan instansi lain yang berwenang. Sehingga, hal ini menimbulkan suatu kekaburan norma dalam peraturan tersebut. Oleh sebab itu isu hukum yang dikaji, Bagaimana pengaturan ruang lingkup Kementerian Agraria dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah dalam Pasal 11 ayat

  • (4)    PERMEN Agraria 11/2016? Bagaimanakah akibat hukum kabur norma Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 terhadap mekanisme penanganan masalah yang bukan kewenangan menteri?

Tujuan penulisan jurnal ini secara umum untuk pertumbuhan ilmu hukum, lebih khusus bidang kenotariatan dimana ilmu selaku proses. Maka dilakukan dengan pemahaman pengaturan ruang lingkup terhadap Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016. Dengan dasar tersebut, secara khusus agar tahu juga paham pengaturan lingkup terhadap Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016, serta untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif akibat hukum norma kabur Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 terhadap mekanisme sengketa pertanahan yang bukan merupakan wewenang Kementerian.

Studi terdahulu yang dilakukan oleh Aulia R. tahun 2017 menunjukkan bahwa kewenangan BPN di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang merupakan kesempatan bagi lembaga dalam menyatukan pengelolaan pertanahan secara komprehensif. Dampak negatifnya perlu adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait agar memudahkan pelaksanaan di lapangan.2 Pada penelitian oleh Fingli A. Wowor tahun 2014 menunjukkan bahwa BPN dapat jalankan fungsinya dalam penyelesaian sengketa tanah berdasarkan pada Petunjuk Teknis Nomor 06/JUKNIS/D.V/2007 tentang Berperkara di Pengadilan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan.3

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam tulisan ini digunakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini ialah pengkajian atas norma hukum pada sifat normativitasnya, dalam hal ini pengkajian terhadap norma selaku keharusan (sollen) juga tidak pengkajian pada norma selaku penerapan (sein).4 Tulisan ini didasarkan atas norma kabur pada Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016. Digunakan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan aturan dilaksanakan dengan mengkaji aturan yang berhubungan terhadap pengaturan ruang lingkup terhadap Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016, sedangkan pendekatan konsep dilaksanakan dengan temukan konsep hukum berkaitan dengan masalah yang dikaji berangkat dari pencarian bahan hukum sekunder. Digunakan sumber bahan hukum yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer: Jurnal nasional, tesis, dan disertasi. Bahan hukum sekunder merupakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, PERMEN Agraria 11/2016; bahan hukum membantu memperkuat pengkajian bahan hukum primer, tersusun atas buku hukum; Bahan hukum tersier ialah bahan hukum yang tunjang bahan hukum primer juga bahan hukum sekunder, tersusun atas penelitian yang berkaitan dicari lewat situs internet kredibel. Bahan hukum dikumpulkan melalui teknik sistem bola salju (snow ball system). Bahan hukum primer dikumpulkan berpedoman struktur aturan mulai dari cari norma di aturan dari tingkat tertinggi ke terendah hingga bahan hukum sudah bisa digunakan bahas masalah yang dikaji. Pada sumber sekunder dan tersier, dicari melalui lihat kaitan bahan hukum itu yang sesuai pada masalah yang dikaji, lalu ditulis daftar pustaka agar dilaksanakan penelusuran lanjut, begitu selanjutnya. Tulisan ini dianalisis dengan teknik deskripsi dan teknik evaluasi. Teknik deskripsi diuraikan begitu adanya keadaan pun teori hukum. Teknik evaluasi dilaksanakan melalui pemahaman yakni pemahaman gramatikal (dilaksanakan melalui cari makna kata yang

telah ada di aturan, juga pemahaman sistematikal dilaksanakan melalui tafsiran aturan dengan hubungkan Pasal lain pada satu aturan atau pasal pada aturan lain.5

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Kewenangan Penyelesaian Sengketa Hak Atas tanah : Kewenangan Kementerian Agraria vs Instansi Lain

Dalam rangka mengkaji permasalahan ini, digunakan teori penafsiran hukum, karena akan mengkaji mengenai kekaburan norma pada Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraira 11/2016, dimana setiap ketentuan undang-undang sudah seharusnya dijabarkan, dan penting untuk diuraikan agar bisa di implementasikan pada suatu kejadian. Pemahaman jadi penghubung krusial pada penegakan aturan yang benar maka terbentuk penerapan aturan yang benar.6 Berkaitan dengan hal itu, pemahaman membantu mengurangi salah paham oleh pihak yang baca aturan itu. Interpretasi atau penafsiran merupakan suatu metode penemuan hukum yang menyediakan penjabaran tentang teks suatu peraturan sehingga cakupannya bisa digunakan sehubungan dengan peristiwa tertentu.

Dalam rangka melakukan penafsiran dan interpretasi maka akan dilakukan upaya-upaya dalam bentuk interpretasi dan konstruksi untuk bisa mendapatkan suatu bentuk kepastian mengenai hakekat pada aturan.

Dalam penelitian ini digunakan penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematikal dapat dijelaskan sebagai berikut, penafsiran/interpretasi Gramatikal ialah pemahaman kata pada aturan disesuaikan pedoman bahasa juga pedoman hukum tatanan bahasa.7 Sehingga, pemahaman dilaksanakan per kata yang berakhir pada seluruh kata. Relevan untuk mengkaji masalah ini, digunakan penafsiran/interpretasi sistematis ialah pemahaman aturan dengan mengkaitkan dengan aturan lain pun dengan seluruh sistem hukum. Pada mekanisme pemahaman ini, hukum punya peran selaku kesatuan utuh, bukan suatu yang mandiri tapi adalah elemen dari satu sistem.8 Hal ini karena pada satu bidang tertentu terdapat beberapa aturan terkait. Relevansi teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama karena berkaitan dengan kekaburan norma dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016.

Disamping itu, perlu juga dilihat dari segi kewenangan, karena terdapat 3 komponen dalam wewenang yakni, dampak, pedoman hukum, juga kesesuaian hukum. Elemen yang berpengaruh adalah bahwa wewenang digunakan maksudnya agar kendalikan sikap subjek hukum, faktor utama aturan bahwa kekuasaan itu wajib bisa ditunjukan mendasar hukumnya, juga kesesuaian aturan yang bermakna ada parameter kekuasaan yakni parameter umum (semua jenis kekuasaan) juga parameter mengkhusus (kekuasaan tertentu).9

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sengketa hak atas tanah dalam PERMEN Agraria 11/2016, perlu dijelaskan terlebih dahulu konsep sengketa hak atas tanah. Di Indonesia,

tanah punya makna yang krusial pada hidup masyarakat.10 Tanah dalam hal ini dalam bentuk hak atas tanah. Kaitan diantara manusia/badan hukum terhadap tanah diakomodasi hak , yang lalu sebut hak atas tanah.11 Sengketa senantiasa berimplikasi terhadap biaya, juga terhadap keuntungan yang diperkirakan, dan seringkali bersifat tidak dapat diperhitungkan, sehingga Orang-orang atau masyarakat yang mempunyai perselisihan mempunyai cara yang berbeda untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, juga mempertimbangkan banyak hal sebelum memilih suatu bentuk penyelesaian. Perselisihan yang terjadi juga perlu dimengerti, dianalisis, dan didalami terlebih dahulu agar dapat dimanfaatkan dalam rangka mencapai hasil penyelesaian sengketa yang positif. Sebab jadinya masalah tanah karena sifat yang individual, kuantitas tambahan rakyat (Demografi) juga majunya keuangan yang sebabkan harga tanah makin tidak murah juga kecenderungan tidak taati aturan adat sekitar, terjadi sebab tidak terangnya perihal kepemilikan tanah itu.12 Unsur yang latar belakangi adanya pertentangan dan masalah tanah ialah suatu kejadian yang berbentuk dukungan yang bisa pengaruhi juga sebabkan pertentangan dan masalah tanah13

Menurut A Mukti Arto bahwa apabila sengketa itu ada pada cakupan formasi aturan, maka akan jadi masalah aturan juga pertentangan aturan ini bisa di arahkan ke pengadilan juga bisa tidak di bawa ke pengadilan14. Menurut pandangan Lawrence M. Friedman terdapat hal beda pada pertentangan dan perselisihan. Perselisihan atau dispute, yaitu pernyataan publik tentang hal yang tidak sejalan pun inconsistent pada suatu yang berharga, misal dua pihak rebutkan bidang tanah yang sama, sedang pertentangan yakni masalah yang cenderung besar, misal perbedaan antara golongn atau kelompok.15 Relevansi konsep ini terhadap penelitian yaitu sebagai acuan untuk menganalisis sengketa hak atas tanah yang bukan menjadi kewenangan Kementerian, sehingga akan digunakan sebagai pisau analisis untuk permasalahan 1 dan 2 dalam penelitian ini.

BPN ialah instansi negara bukan Kementerian di Indonesia punyai kewajiban negara pada ranah tanah di dalam negeri, regional juga sektoral.16 Dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam bidang penyelesaian sengketa hak atas tanah, PERMEN Agraria 11/2016 mengatur tentang pengertian masalah tanah ialah perselisihan tanah oleh perseorangan, badan hukum, pun instansi yang efeknya tidak luas, sedang pertentangan tanah yakni perselisihan tanah oleh orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, juga instansi yang punya tendensi luas efeknya. Masalah atau perselisihan dibedakan lewat efek yang bisa timbul oleh terjadinya masalah atau perselisihan itu. Dalam peraturan tersebut dijelaskan pula bahwa tujuan dari penuntasan masalah tanah yakni agar tahu kronologi juga dasar perselisihan ; rumuskan aturan yang tepat untuk penuntasan masalah ; juga selesaikan masalah supaya tanah bisa digunakan dan diusahakan oleh yang memiliki. Berkaitan dengan itu, penuntasan masalah tanah pun agar berikan ketetapan aturan juga bisa adil tentang kuasa, milik guna, dan manfaat tanah.

Penuntasan masalah dan perselisihan dibuat atas dasar 2 unsur yakni, prakarsa oleh menteri atau aduan rakyat. Tentang prakarsa oleh menteri, yang menteri laksanakan pantauan agar tahu masalah dan perselisihan yang ada pada suatu tempat. Ini rutin dilaksanakan bagi Kepada Kantor tanah, Kepala Kantor Wilayah BPN/Dirjen pada aduan juga berita di surat kabar kaitan masalah dan perselisihan. Dilanjutkan dengan, Kepala Kantor tanah laporkan kesimpulan pantauan pada Kepada Kantor Wilayah BPN setiap 4 (empat) bulan sekali juga ditembus pada Menteri. Pada kesimpulan pantauan itu harus dilanjutkan, sehingga Menteri dan pimpinan kantor Wilayah BPN perintahkan Kepala kantor tanah agar lakukan penuntasan masalah dan perselisihan.

Selanjutnya, mengenai pengaduan masyarakat, menteri terima aduan berkait adanya masalah dan pertentangan di publik. Aduan tersebut diberitahu pada Kepala Kantor tanah dengan tulisan, lewat tempat aduan, tempat surat pun website menteri. Aduan diberitahu pada pimpinan Kantor Wilayah BPN juga/atau menteri, berkas aduan diteruskan pada pimpinan kantor tanah. Aduan itu sedikitnya berisi identitas yang mengadu juga penjelasan pendek terhadap masalah, jadi wajib lampirkan fotokopi identitas yang mengadu, fotokopi penerima kuasa juga surat kuasa bila dikuasakan, juga dokumen mendukung pun bukti-bukti berkaitan aduan. Aduan tersebut dibuat sesuai dengan format yang ditentukan oleh peraturan tersebut yang tidak pisahkan terhadap aturan menteri tersebut.

Aduan diterima, aparat yang berkewajiban saat tangani aduan lakukan periksa dokumen aduan. Jika berkas aduan sudah penuhi ketentuan, maka petugas sampaikan bundel aduan pada petugas yang berkewajiban saat selesaikan masalah di kantor tanah. aduan yangs udah penuhi ketentuan dan diterima lewat tempat aduan, langsung diberi surat tanda terima aduan. Di dalam hal berkas pengaduan tidak memenuhi syarat (tidak lengkap identitas pengadu dan uraian singkat sengketanya) bundle akan dikembalikan pada aparat ke yang mengadu dengan beritahukan ketidaklengkapan bundel aduan dengan tulisan. Mengenai surat bentuk terima aduan dibuat sesuai format yang telah ditentukan dalam peraturan menteri tersebut yang adalah hal tidak pisah dari aturan menteri itu.

Setelah menerima berkas pengaduan dari petugas, petugas yang berkewajiban saat tangani masalah di kantor tanah memanajemen aduan tersebut pada daftar terima aduan. Mengenai daftar terima aduan dibuat sesuai dengan format yang ditentukan oleh peraturan menteri tersebut. Setiap perkembangan berkaitan dengan penanganan masalah ditulis pada daftar penanganan masalah dengan lampirkan bukti berkembang yang dimaksud juga/atau dilaksanakan manajemen informasi lewat tatanan petunjuk masalah. Kelanjutan mengenai masalah laporkan pada pimpinan Kantor Wilayah BPN setiap 4 bulan sekali juga ditembus pada menteri. Sistem informasi yang dimaksud terintegrasi antara menteri, Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan, yang merupakan bagian tatanan dari asal dokumen juga petunjuk menteri. Dokumen yang dilapor kelanjutan penanganan masalah juga daftar penanganan masalah dibuat sesuaikan dengan formulasi yang ada pada peraturan menteri tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan hasil pemantauan dan/atau pengaduan yang telah diatur melalui sistem informasi maka petugas yang berkewajiban saat tangani masalah di kantor tanah melalukan aktivitas kumpul informasi. Adapun pengumpulan data terdiri atas : 1) informasi fisik juga yuridis; 2) putusan pengadilan, berita acara pemeriksaan dari Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi pun data lain yang dibuat institusi pelaksana aturan; 3) informasi yang dibuat oleh petugas berwajib; 4) informasi lain yang terkait juga bisa pengaruhi juga perjelas inti masalah juga/atau; 5) penjelasan saksi. Selanjutnya, pejabat yang berwenang akan melakukan, validasi terhadap data yang ada, yang benarnya ditegaskan oleh petugas pun instansi yang terbitkan pun penyamaan dengan data asli, juga meminta penjelasan saksi yang dituang pada Berita Acara, pada informasi yang didapat berasal dari penjelasan saksi.

Data yang telah dikumpulkan, petugas yang berwenang saat tangani masalah di kantor tanah lakukan analisis. Dalam hal ini, analisis dilaksanakan agar tahu aduan itu ialah wewenang menteri pun bukan wewenang menteri. Berkaitan dengan hal itu, masalah yang jadi wewenang Kementerian yakni, salah dalam mekanisme pengukuran , pemetaan, dan/atau perhitungan luas; keliru pada mekanisme registrasi penetapan hak atas tanah dulunya milik adat; Kekeliruan dalam mekanisme pengesahan atau registrasi hak tanah; Kekeliruan mekanisme dalam pengesahan tanah terabaikan; bertumpuknya hak dalam wujud bukti hak atas tanah dimana dasar haknya memang ada keliru; Kekeliruan dalam mekanisme publikasi registrasi tanah; Kekeliruan dalam mekanisme publikasi bukti pengganti; Kekeliruan saat berikan dalam berikan penjelasan data pertanahan; Kekeliruan dalam mekanisme penyerahan izin; salah dalam menggunakan juga manfaatkan ruang; atau Kekeliruan lainnya saat penegakan aturan.

Masalah selain yang disebut bukan wewenang menteri lalu jadi wewenang lembaga lain. Hal ini yang menjadi dasar dari adanya kekaburan norma pada ketentuan Pasal 11 ayat (4) dimana dalam PERMEN Agraria 11/2016 tidak diatur lebih jelas mengenai sengketa dan konflik hak atas tanah apa saja yang menjadi kewenangan instansi lain, dan instansi lain apa yang dimaksud. Sehingga, menimbulkan penafsiran lain terhadap pengaturan Pasal ini di dalam Peraturan Menteri tersebut.

Dari hasil penafsiran berdasarkan penafsiran gramatikal, dengan menafsirkan kata-kata dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4) tersebut. Seperti diketahui isi Pasal 11 ayat (4), “sengketa dan konflik selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bukan merupakan kewenangan Kementerian dan menjadi kewenangan instansi lain.” Terdapat kata bukan yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya KBBI) berarti kecuali, lain daripada. Selanjutnya, kata diluar yang menurut KBBI berarti berlainan dengan yang sebenarnya, dan kata menjadi yang menurut KBBI berarti menjabat pekerjaan, atau dapat disebut mengambil tanggung jawab.

Berdasarkan penafsiran tersebut, maka ketentuan Pasal 11 ayat (4) mengandung makna sengketa dan konflik kecuali yang telah disebutkan dalam ayat (3) adalah bukan wewenang menteri lalu jadi wewenang lembaga lain, jadi wewenang penyelesaiannya menjadi tanggung jawab instansi lain dan pertanggungjawaban berada di instansi lain.

Dengan demikian, sengketa bukan jadi wewenang menteri yang disini ialah Menteri Pertanahan adalah sengketa dan konflik yang sudah mulai masuk ke ranah hukum lain, seperti hukum pidana, karena untuk suatu sengketa dan konflik yang sudah masuk dalam ranah pidana maka tahapan mekanisme penyelesaiannya pun berbeda dan yang menjadi dasar hukum untuk penyelesaiannya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dimana tahapan penyelesaiannya dimulai dari tahapan pemeriksaan penyidikan, tahapan pemeriksaan penuntutan, dan tahapan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sehingga, jika kaitkan maka instansi lain yang dimaksud memiliki wewenang yaitu lembaga peradilan dalam hal ini pengadilan, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan instansi penegak hukum lainnya. Hal ini disebabkan karena kantor pertanahan dalam proses pengusahaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah oleh masyarakat tidak berwenang untuk memeriksa kebenaran materiil dari suatu dokumen yang terindikasi pemalsuan, maka dari itu jika terindikasi tindak pidana maka sudah bukan menjadi ranah atau lingkup BPN.

  • 3.2.    Akibat Hukum Kabur Norma Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 terhadap mekanisme penanganan masalah tanah yang bukan wewenang menteri

Dalam mengkaji akibat hukum dari kekaburan norma bagi mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah, berkaitan dengan kewenangan maka digunakan teori kewenangan

untuk menganalisis. Teori kewenangan ada kaitan dengan dasar wewenang oleh negara saat lakukan perbuatan hukum, baik di kaitannya terhadap aturan umum atau di kaitannya terhadap aturan privat. 17

Indroharto, kemukakan terdapat 3 jenis wewenang berdasar dari aturan dijelaskan sebagai berikut. Wewenang dibagi menjadi 3 yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat.18 Berkaitan dengan penelitian ini, kewenangan yang digunakan yaitu delegasi, yang merupakan pengalihan wewenang yang dimiliki aparat negara pada aparat lain. Adanya kata penyerahan maka terdapat perpindahan tanggung jawab, sehingga wewenang yang sudah diberi pemberi delegasi lalu jadi kewajiban penerima wewenang. Relevansi teori ini terhadap penelitian ini yaitu bahwa membahas mengenai kewenangan dan tanggung jawab, sehingga akan digunakan untuk analisis permasalahan pertama dan kedua, yaitu mengenai tinjauan yuridis Pasal 11 ayat 4 PERMEN Agraria 11/2016 mengenai masalah yang bukan wewenang menteri dan instansi lain yang bertanggung jawab atas sengketa dan konflik tersebut.

Dikarenakan telah adanya perpindahan dan penyerahan kewenangan antara BPN ke instansi lain dalam rangka penyelesaian sengketa hak atas tanah maka diperlukan teori tanggungjawab.

Tanggung jawab hukum adalah jenis kewajiban yang diberi pada subjek hukum pun pihak yang lakukan perbuatan lawan hukum pun tindak pidana. Pada ranah pidana, pelaksana bisa diminta tanggung jawab pidana sebab lakukan tindak pidana. Tanggung jawab yang diberi pada pelaksana yang lakukan tindak pidana wujudnya yakni penjatuhan sanksi pidana.19 Seharusnya untuk semua tindak dan perbuatannya seseorang wajib tanggungjawb. Definisi orang masuk juga suatu rechtspersoon. Makna orang di ranah hukum ialah pihak yang memiliki kewajiban aturan, pada hakekatnya ialah kepantasan dalam bertindak sebagai subyek hukum, atau bertindak selaku penunjang hak dan kewajiban, oleh sebab itu sebaiknya ditetapkan dahulu kapasitas seseorang di suatu hubungan hukum. Di dalam Hukum Administrasi Negara, ketahui inti juga metode peroleh kekuasaan aparat negara krusial sebab berkaitan dengan tanggungjawaban hukum saat pemakaian kekuasaan itu, sejalan dengan salah satu asas negara hukum yakni tidak ada wewenang tanpa tanggungjawaban.20 Sehingga setelah ditentukan sumber perolehan wewenang dan kapasitas seseorang dalam melakukan suatu hubungan maka dapat dilihat selanjutnya beban pertanggungjawabannya.

Hubungan hukum cerminkan ada keinginan oleh mereka yang lakukan interaksi aturan, suatu adanya aturan bisa berguna agar integrasikan juga koordinasikan keinginan itu supaya tidak berseberangan. Aturan dalam hal ini harus lindungi keinginan pihak melalui metode menempatkan suatu wewenang padanya agar bertindak pada keinginan itu. Wewenang yang ditempatkan aturan dikatakan sebagai hak. Diantara hak juga kewajiban ada kaitan yang sunggu besar, yang satu akan merefleksikan lainnya. Disatu sisi hak juga akan tampak suatu kewajiban.

Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan dalam penelitian ini yaitu bahwa dalam proses penerapan mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan

oleh BPN akan ada terlihat suatu sengketa hak atas tanah yang ada indikasi pidana didalamnya, sehingga yang bertanggungjawab menyelesaikan sengketa tersebut bukanlah BPN, karena mekanisme penyelesaian sengketa pidana berbeda dan memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Sehingga teori ini digunakan untuk menganalisis maksud dari frasa “...menjadi wewenang instansi lain”, dari ketentuan Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016.

Berkaitan dengan hal itu, maka terdapat intervensi pihak lain selain para pihak yang dapat dirumuskan sebagai berikut, sengketa ialah pertentangan yang ada di antara dua pihak pun lebih yaang terakumulasi hingga mereka yang tidak terlibat dalam perselisihan tersebut mengetahui akan adanya sengketa tersebut.21 Oleh sebab itu, mulai adanya pihak lain yang terlibat dalam hal ini yaitu instansi lain untuk menyelesaikan sengketa yang bukan menjadi kewenangan Kementerian. Sebagian masyarakat sebenarnya sudah mulai sadar akan adanya alat bukti sehingga peristiwa hukum dibuatnya dalam bentuk yang tertulis22

Selanjutnya, penting digunakan konsep akibat hukum dalam mengkaji permasalahan ini. Dampak aturan ialah dampak timbulkan terhadap munculnya tindak aturan yang dibuat oleh subjek hukum pada objek hukum. Dampak aturan tersusun atas kejadian juga dampak oleh hukum itu dikaitkan. Kejadian itu dikatakan sebagai kejadian hukum juga dapak yang timbulkan oleh kejadian itu jadi dampak aturan.23 Sehingga kejadian hukum lahirkan suatu dampak hukum. Dampak hukum ialah bentuk terhadap tindakan hukum yang dibuat oleh subjek hukum pada objk hukum. Selain itu, ada juga perbuatan hukum mempengaruhi, tindakan hukum artikan sebagai tiap tindakan manusia yang dibuat secara disengaja/oleh kemauannya agar timbulkan hak juga kewajiban yang dampaknya ditentukan oleh hukum.24 Dampak hukum biasanya bisa berikan hak juga kewajiban untuk para pihak yang lakukan objek hukum. Terdapat 3 (tiga) jenis akibat hukum, yaitu :

  • 1.    Dampak hukum berwujud muncul, berubahnya, hilang suatu kondisi hukum tertentu;

  • 2.    Dampak hukum berwujud muncul, berubahnya, hilang suatu hubungan hukum tertentu;

  • 3.    Dampak hukum dalam hal ini berwujud sanksi.

Dampak hukum ialah suatu wujud dampak terhadap langkah yang dibuat, agar mendapati suatu dampak diinginkan bagi penyelenggara hukum. Dampak itu ialah dampak yang ditentukan oleh aturan, sedangkan perbuatan yang dibuat ialah perbuatan hukum yakni perbautan yang sesuai seperti aturan yang ada. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa suatu dampak hukum ialah bentuk kejadian yang timbulkan oleh suatu sebab, yakni tindakan yang dibuat oleh subjek hukum, pun tindakan yang seperti aturan, pun tindakan yang tidak sesuai dengan aturan. Berkaitan dengan akibat hukum dalam bentuk sanksi, dijelaskan bahwa esensi dari adanya hukum ialah ide aturan bagai kumpulan pedoman, dasar dan prinsip tingkah laku yang bertugas agar atur perilaku orang pada kehidupan rakyat yang diterapkan melalui sanksi yang bisa dipaksa pada para yang melanggar supaya bangun tertiban juga tenteram (adil) pada hidup rakyat.25

Dari penjelasan diatas, jika dikaitkan dengan kekaburan norma dalam Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 dan jika dikaitkan juga dengan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat diketahui bahwa, penanganan pada litigasi pun penanganan dengan normatif, mulai dari timbulnya tanda sudah adanya suatu pengingkaran aturan, yang ketahui pun bagi petugas penerap aturan pun kesimpulan laporan pun aduan rakyat.26 akan berakibat pada berubahnya suatu hubungan hukum tertentu, khususnya pada proses mekanisme penyelesaian sengketa dan konfliknya. Di mana bukan menjadi tanggung jawab Kementerian melainkan menjadi tanggung jawab instansi lain, yang dalam hal ini yaitu lembaga peradilan, kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan instansi penegak hukum lainnya. Penanganan konflik agraria melalui lembaga peradilan atau jalur litigasi masih sangat menekankan pada kekuatan bukti formal yang diakui negara.27 Sehingga, mekanisme penyelesaiannya bukan didasarkan pada PERMEN Agraria 11/2016 melainkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga mengikuti mekanisme penyelesaian berdasar aturan pidana yang terdiri dari tahapan pemeriksaan penyidikan, tahapan pemeriksaan penuntutan, dan tahapan pemeriksaan sidang dipengadilan. Sehingga, akhir daripada ini tidak lain yaitu suatu kepastian hukum bagi para pihak, terutama bagi pihak yang dirugikan. Hal ini karena ketetapan aturan ialah bentuk yang tidak bisa dipisah dari hukum, khususnya pada nilai hukum tertulis.28

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan ruang lingkup kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 mengenai masalah yang bukan wewenang menteri dikatakan bahwa sengketa yang masuk dalam ranah hukum pidana yang memiliki tahapan dan mekanisme penyelesaian yang berbeda dengan yang diatur oleh PERMEN Agraria 11/2016, dan akan diselesaikan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan tahapan penyelesaiannya yaitu tahapan pemeriksaan penyidikan, tahapan pemeriksaan penuntutan, dan tahapan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sehingga, instansi yang berwenang yaitu lembaga peradilan, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan instansi penegak hukum terkait. Akibat hukum pada kekaburan norma dalam Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 terhadap masalah dan perselisihan yang bukan wewenang menteri adalah berubahnya suatu hubungan hukum, dilihat dari proses penyelesaiannya, maka tidak akan menggunakan dasar hukum PERMEN Agraria 11/2016 melainkan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Berkaitan terhadap simpulan yang sudah dijelaskan maka timbul kekurangan, sehingga bisa diberi saran, untuk Kementerian Agraria/BPN hendaknya melakukan evaluasi dan pengkajian ulang terhadap PERMEN Agraria 11/2016 agar penerapannya dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Negara dan/atau perwakilan masyarakat agar lakukan perbaikan pada isi dari pada ketentuan Pasal 11 ayat (4) PERMEN Agraria 11/2016 agar pada penerapannya tidak menimbulkan multi tafsir yang dapat berakibat pada tidak dapat diselesaikannya suatu sengketa dan konflik pertanahan sebagaimana mestinya.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Kurniiati, N., (2016). Hukum Agraria Sengketa Pertanahan Penyelesaian Melalui Arbitrase dalam Teori dan Praktik. PT Refika Aditama. Bandung.

Putra, I. B. W., (2015). Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum. Udayana University Press. Denpasar.

Ridwan HR. (2008). Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta.

Salim HS., H. & Nurbani, E. S. (2014). Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis (Buku Kedua). Rajawali Pers. Jakarta.

__________________________. (2017). Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Rajawali Pers. Jakarta.

Kansil, C.S.T., 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta.

Jurnal

Arrtadi, I. (2016). Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Sengketa Bisnis (Ekonomi Dan Keuangan) Beraspek Pidanamelalui Prosedur Perdamaian. Menuju Proses Peradilan Pidana Rekonsiliatif. Hukum Responsif Jurnal Hukum, 1(1). 22-34.

Auliar, R. (2017). Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Dibawah Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Bpn. Jurnal HIMA HAM. 4(2). 1-19.

Christianto, H. (2011). Penafsiran hukum progresif dalam perkara pidana. Mimbar Hukum, 23(3), 479-500. DOI: https://doi.org/10.22146/jmh.16170

Hidayat, R. A. (2016). Analisis Yuridis Proses Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Pada Kawasan Hutan. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, 4(2), 82-95.

DOI: http://dx.doi.org/10.12345/ius.v4i2.304

Kaban, M. (2016). Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat Adat Karo. Mimbar Hukum, 28(3), 453-465. https://doi.org/10.22146/jmh.16691

Kemalasari, A. (2013). Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah. Diponegoro Law Journal, 2(3), 1-11.

URL : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/4198

Luthan, S. (2012). Dialektika Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 19(4), 506-523.

DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol19.iss4.art2

Manan, A. (2013). Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama. Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(2), 189-202.

Mulyani, L. (2018). Kritik Jurnal Hukum dan Peradilan atas Penanganan Konflik Agraria di Indonesia. BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 1(39), 314-355.

Nyoman, I. W. B. S. L., Martana, A., Tjukup, I. K. M. I. K., Dananjaya, N. S., & Putra, I. P. R. A. Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata. Acta Comitas. 131-306.

DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p05

Parsa, I. W., Sarna, K., & Suharta, N. Implikasi Yuridis Legalitas Kewenangan

(Rechtmatigheid) Majelis Kehormatan Dalam Pembinaan Notaris Sebagai Pejabat Publik. Acta Comitas. 131-306.

DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p04

Priono, A., Novianto, W. T., & Handayani, I. G. A. K. R. (2017). Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Studi Atas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik). Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, 5(2).

Rosmiatasari, R., Martini, R., & Astuti, P. (2013). Peran Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Lahan Pasific Mall Kota Tegal. Journal of Politic and Government Studies, 2(4), 16-30.

Saputra, G. A., Ariani, I. G. A. A., & Palguna, I. D. G. (2016). Dasar Hukum Notaris Dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris. Acta Comitas.  131-306.

DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p09

Sitorus, O. (2016). Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, Dan Pemanfaatan Sumber Daya Agraria (Studi Awal terhadap Konsep Hak Atas Tanah dan Ijin Usaha Pertambangan). BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 2(1).

Tjiptabudy, J. (2018). Legal Development of Coastal Marine Management Based on the Idea of Pancasila. Hasanuddin Law Review,  4(1),   113-122. DOI:

http://dx.doi.org/10.20956/halrev.v4i1.1325

Wowor, F. (2014). Fungsi Badan Pertanahan Nasional Terhadap Penyelesaian Sengketa Tanah. LEX PRIVATUM, 2(2).

Tesis atau Disertasi

Maraga, R. T., (2007). Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah di Lingkungan

Masyarakat Adat Dayak Kanayatn, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Propinsi Kalimantan Barat. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Royen, U. I. (2009). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang), Universitas Diponegoro.

325