Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan
on
ACTA CtMITAS
Jurnal Hukum Kenotariatan
Vol. 3 No. 2 Oktober 2018
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan
Ni Luh Putu Mike Wijayanti S.1
1Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: mikewijayantisuwitera@yahoo.co.id
Info Artikel
Keywords : marriage, marriage agreement, polygamy
Kata kunci: perkawinan, perjanjian perkawinan, poligami
Corresponding Author:
Ni LuhPutu Mike Wijayanti
S., E-mail:
DOI :
10.24843/AC.2018.v03.i02.p06
Abstract
Marriage is carried out to form a happy and eternal family as a new stage of entering the real social life. Many things can happen in a marriage life. To avoid various problems in the future, the parties anticipate it by making a marriage agreement. Various problems that arise often result from the actions of the couple themselves for example, such as the desire of a husband who wants to have more than one wife or polygamy. With the marriage agreement, it is very helpful for the parties to resolve such problems because there is no agreement that the parties feel that they have been harmed because everything has been stated in the contents of the agreement. The problem is that there is a void of norms in Article 29 of the Marriage Law which regulates marriage agreements that do not explain how the rights of the wife occur in the case of polygamous marriages. This type of research is normative research. The type of approach used by legislation. The source of the legal material is primary legal material and secondary legal material. The legal collection technique is the technique of literature study and legal material analysis techniques, namely evaluation techniques and argumentation techniques. The results of the study indicate that there must be a joint agreement between husband and wife in making marriage agreements and by making a marriage agreement can protect the rights of wives who experience polygamy in their marriages.
Abstrak
Perkawinan dilaksanakan untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal sebagai satu tahapan baru memasuki kehidupan sosial yang sesungguhnya. Berbagai hal dapat terjadi dalam suatu kehidupan perkawinan. Untuk menghindari berbagai permasalahan dikemudian hari, para pihak mengantisipasinya dengan membuat perjanjian perkawinan. Berbagai permasalahan yang timbul seringkali akibat dari perbuatan pasangan suami istri itu sendiri contohnya seperti keinginan suami yang ingin memiliki istri lebih dari satu atau poligami. Dengan adanya perjanjian perkawinan sangat membantu para pihak untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini karena adanya perjanjian diharapkan para pihak tidak ada
yang merasa dirugikan karena semua sudah tertuang di dalam isi perjanjian. Permasalahannya yaitu adanya kekosongan norma dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan yang tidak menjelaskan bagaimana hak-hak istri apabila terjadi perkawinan poligami. Jenis penelitian ini yaitu penelitian normatif. Jenis pendekatan yang digunakan perundang-undangan. Sumber bahan hukumnya yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukumnya adalah teknik studi kepustakaan dan teknik analisis bahan hukumnya yaitu teknik evaluasi dan teknik argumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harus adanya kesepakatan bersama suami istri dalam membuat perjanjian perkawinan dan dengan dibuatnya perjanjian perkawinan dapat melindungi hak-hak istri yang mengalami poligami dalam perkawinannya.
-
1. Pendahuluan
Perkawinan merupakan bersatunya dua individu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang mana keduanya akan bersama-sama membangun sebuah keluarga kecil dalam suatu ikatan perkawinan. Pengertian perkawinan itu sendiri dijelaskan di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkawinan) yang menentukan bahwa perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan ketentuan tersebut, tersirat adanya tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu perkawinan dilaksanakan untuk mewujudkan sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Melalui ikatan perkawinan maka para pihak yang terlibat akan saling memiliki keterkaitan dengan keluarga masing-masing dan masyarakatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka perkawinan dianggap menganut asas monogami yang memiliki arti bahwa suami istri hanya memiliki satu pasangan saja dalam satu ikatan perkawinan yang mana di dalamnya terdapat agama yang memiliki peran penting dalam ikatan perkawinan.
Sebuah kehidupan sosial yang baru sesungguhnya dilalui oleh setiap individu melalui sebuah perkawinan. Perkawinan tidak hanya dipandang sebagai suatu ikatan perdata saja tetapi juga sebagai suatu ikatan keagamaan karena dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk yang menyebabkan munculnya berbagai pandangan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya khususnya dalam hal perkawinan. Maka dari itu, dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dijadikan sebagai landasan untuk menciptakan kepastian hukum terhadap para pihak dalam sebuah ikatan perkawinan.
Pasangan yang telah melaksanakan perkawinan maka akan memiliki hak dan kewajiban yang baru dan harus saling mereka pertanggungjawabkan dalam kehidupan perkawinan itu. Masing-masing suami istri memiliki peran dalam membina sebuah kehidupan rumah tangga seperti halnya kewajiban istri merupakan hak suami dan kewajiban suami merupakan hak istri. Oleh karena itu, masing-masing suami istri harus saling bertanggung jawab demi memenuhi kebutuhan pasangannya untuk mewujudkan sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal. Apabila dalam kehidupan berumah tangga mengalami suatu permasalahan, sebaiknya permasalahan tersebut diselesaikan secara musyawarah terlebih dahulu karena sudah tidak asing apabila terjadi perselisihan terhadap pasangan suami istri dalam sebuah kehidupan perkawinan. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan khusus mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan yang isinya menyangkut para pihak.
Menghindari terjadi berbagai permasalahan dikemudian hari, para pihak dapat mengantisipasinya dengan membuat sebuah perjanjian perkawinan. Isi dari perjanjian perkawinan itu sendiri ditentukan oleh para pihak yang bersangkutan. Berbagai permasalahan yang timbul seringkali muncul akibat dari perbuatan pasangan suami istri itu sendiri. Salah satunya seperti keinginan suami yang ingin memiliki istri lebih dari satu atau yang sering disebut dengan poligami. Hal seperti inilah yang akan membawaakibat yang berdampak besar terhadapkeberlangsungan sebuah perkawinan. Adanya perjanjian perkawinan sangat membantu para pihak untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini apabila pihak istri tidak menyetujui suaminya untuk berpoligami dengan alasan tertentu. Melalui perjanjian perkawinan ini diharapkan para pihak tidak ada yang merasa dirugikan karena semua sudah tertuang di dalam isi perjanjian tersebut.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah ditentukan bahwa “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Tetapi, ada kemungkinan poligami itu terjadi jika mendapatkan izin dari istri sebelumnya seperti yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yaitu “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pengertian poligami itu sendiri yaitu suatu sistem perkawinan yang mana seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan.
Permasalahannya kini terletak pada adanya kekosongan norma dimana tidak dijelaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan bagaimana hak-hak istri apabila terjadi perkawinan poligami. Berdasarkan pemaparan di atas, penting dilakukannya penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai hak-hak istri jika mengalami poligami di dalam perkawinannya. Dengan adanya permasalahan tersebut, memberikan alasan bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan topik sebagaimana judul ini yaitu “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu apakah perlu adanya kesepakatan antara para pihak dalam pembuatan
perjanjian perkawinan dan bagaimanakah perjanjian perkawinan melindungi hak-hak istri yang mengalami poligami di dalam perkawinannya.
-
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian normatif. Menurut Abdulkadir Muhammad penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian hukum yang mengkaji suatu norma atau kaidah hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat.1 Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif yang digunakan yaitu dengan mengkaji bahan-bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait dan literatur hukum yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif yang beranjak dari kekosongan norma yang mana tidak dijelaskannya di dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan bagaimana hak-hak istri apabila terjadi perkawinan poligami.
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan untuk menganalisa berbagai permasalahan yang ada di dalam rumusan masalah penelitian ini. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang dimaksud adalah mengkaji dan menganalisa peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan untuk menemukan jawaban dari penelitian ini. Sumber bahan hukum berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini, bahan hukum primer memiliki arti suatu otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.2 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio serta bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut dengan bahan hukum sekunder.3 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa buku-buku ilmu hukum, makalah dan artikel hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini.
Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan, dalam pengumpulan bahan hukumnya mengadopsi dari sistem kartu (card system), yang dimana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literatur kemudian dari beberapa literatur tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literatur tersebut dan teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini digunakan teknik evaluasi, yang bertujuan untuk menentukan kedudukan perjanjian perkawinan dalam suatu perkawinan. Bahan-bahan hukum tersebut setelah
dikumpulkan, kemudian hasilnya dapat disimpulkan dengan menggunakan teknik argumentasi. Teknik argumentasi digunakan untuk menunjang penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini sehingga hasil penelitian ini berbentuk argumentasi hukum yang diikuti dengan penalaran hukum terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Menurut Gustav Radbruch ada tiga tujuan hukum yang terdiri dari keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Radbruch berpendapat bahwa hukum harus mengandung ketiga nilai tersebut. Adapun lebih terperinci mengenai ketiga nilai itu yaitu mengenai kepastian hukum (rechtmatigheid) meninjau dari sudut yuridis, keadilan (gerectigheit) meninjau dari sudut filosofis dan kemanfaatan (doelmatigheid/utility) meninjau dari sudut sosiologis. Adapun tujuan dari hukum itu sendiri ditopang dari adanya ketiga nilai hukum tersebut. Dari teori ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan pada topik ini yang mana membahas mengenai perlindungan hukum terhadap hak istri yang dipoligami melalui perjanjian perkawinan. Dengan adanya perjanjian perkawinan ini diharapkan dapat memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum terhadap hak-hak istri yang mengalami poligami dalam perkawinannya agar hak dari istri tersebut tidak dapat dicampuri maupun ditolak oleh pihak-pihak yang lainnya.
Memasuki kehidupan perkawinan maka dimulailah awal kehidupan yang baru bagi pasangan suami istri. Suami istri memiliki perannya masing-masing dalam berumah tangga. Perkawinan membawa konsekuensi dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam ikatan perdata seperti berkaitan mengenai anak yang dilahirkan dan harta benda yang dimiliki oleh pasangan suami istri. Semakin berkembangnya kehidupan masyarakat saat ini, semakin beragam pula keinginan untuk dianggap sama tanpa membedakan gender. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri saat ini yaitu dengan membuat sebuah perjanjian perkawinan. Dari waktu ke waktu perjanjian pekawinan menjadi suatu kebutuhan dalam sebuah perkawinan guna untuk mengantisipasi adanya permasalahan atau konflik di dalam kehidupan rumah tangga suami istri.
Membuat perjanjian perkawinan harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Dengan adanya perjanjian ini maka lahirlah suatu perikatan yang mana perikatan tersebut berasal dari dua orang yang saling berjanji untuk bersama-sama melakukan suatu hal dan diwujudkan dalam bentuk tertulis. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan ini maka harus ada kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersangkutan karena dengan kesepakatanlah maka para pihak dapat memenuhi hak dan kewajibannya terhadap isi dari perjanjian ini. Kesepakatan yang dimaksud dalam hal ini yaitu suami istri sepakat menuangkan segala kehendak mereka dalam perjanjian tersebut sehingga
isi dari perjanjian tersebut dapat ditentukan langsung oleh suami istri yang akan membuat perjanjian tersebut.
Tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan ini adalah untuk membantu pasangan suami istri apabila kedepannya pasangan tersebut mengalami permasalahan di dalam rumah tangganya khususnya mengenai hal tentang anak dan harta perkawinan mereka, yang mana dalam perjanjian tersebut diatur mengenai ketentuan terhadap itu dan apa saja yang dapat mereka peroleh selama perkawinan tersebut berlangsung. Tujuan lainnya yaitu agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dari salah satu pihak. Dengan membuat perjanjian perkawinan maka pasangan suami istri dapat saling terbuka dan berbagi atas apa saja yang mereka inginkan yang hendak mereka sepakati tanpa harus merugikan salah satu pihak dan juga dengan dibuatnya perjanjian ini maka akan memberikan rasa aman yang mana jika suatu saat nanti kehidupan rumah tangga mereka sudah tidak harmonis lagi sehingga ada sesuatu yang dapat dijadikan pegangan yang memiliki dasar hukum dan sah dimata hukum.4
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan maka dapat dilihat jika pada pokoknya perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat atas dasar kesepakatan dari kedua belah pihak, perjanjian harus dibuat secara tertulis, perjanjian itu tidak dapat diubah kecuali para pihak menentukan lain dan perjanjian itu tidak boleh merugikan pihak ketiga serta tidak boleh melanggar aturan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Perkawinan ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan hanya ada dalam satu pasal yaitu pada Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, yang mana perjanjian perkawinan itu dpaat dibuat sebelum maupun pada saat perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk tertulis.5
Perjanjian perkawinan dapat berlaku jika perkawinan itu telah dilangsungkan, sehingga jika perkawinan tersebut tidak dilangsungkan maka perjanjian perkawinan itu tidak dapat berlaku. Dengan demikian,penting adanya kesepakatan dalam pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. Kesepakatan yang ditimbulkan itulah yang akan menyesuaikan kehendak dari para pihak tanpa adanya paksaan, tidak adanya unsur kekhilafan dan tidak adanya unsur penipuan. Sebuah kesepakatan merupakan unsur esensial dalam setiap perjanjian termasuk pada perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri tidak boleh melanggar batasan-batasan hukum, keagamaan dan kesusilaan. Selan itu juga, perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar ketertiban umum dan peraturan yang berlaku. Tidak diaturnya mengenai isi dari perjanjian perkawinan tersebut oleh Undang-Undang Perkawinan maka dapat diasumsikan bahwa undang-undang menyerahkan secara penuh isi dari perjanjian tersebut kepada para pihak yang membuatnya dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian perkawinan itu seperti pegawai pencatat perkawinan, notaris, dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa membuat suatu
perjanjian perkawinan harus atas dasar kesepakatan dari para pihak karena dengan adanya kesepakatan dari para pihak maka yang bersangkutan akan ingat terhadap hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi terhadap isi dari perjanjian tersebut.
Sebuah perkawinan dapat dilangsungkan atas dasar keinginan dari setiap individu yang bersangkutan. Sebagai makhluk sosial yang harus hidup berdampingan dengan individu yang lainnya maka selalu memiliki rasa untuk saling berinteraksi dengasesamanya. Suatu perkawinan dapat terjadi karena ada dorongan dari diri individu itu sendiri untuk dapat hidup bersama dengan individu yang lainnya. Sebuah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat sakral sebagai suatu penghubung antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga secara bersama-sama.6 Setiap individu melakukan perkawinan tidak hanya karena tidak bisa hidup sendiri saja tetapi juga karena melalui perkawinan individu yang telah bersatu tersebut dapat mengembangkan dan meneruskan keturunannya.
Adanya sebuah perkawinan diharapkan dapat membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan adanya perkawinan maka akan timbul suatu hak dan kewajiban yang baru terhadap pasangan suami istri tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan, perkawinan itu sendiri bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang tentram, damai dan kekal serta adanya rasa saling menyayangi antara sesama anggota keluarga. Dalam menjalin hubungan antara suami dan istri diperlukan sikap toleransi dan menempatkan diri pada peran yang semestinya. Kerjasama yang baik antara suami istri dalam menjalankan hak dan kewajibannya sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri.
Munculnya permasalahan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, ada baiknya jika permasalahan tersebut dicari dahulu penyelesaiannya, salah satunya yaitu dengan jalan musyawarah yang dilakukan secara kekeluargaan. Sudah tidak asing lagi jika dalam suatu perkawinan terjadi perselisihan antara pasangan suami istri, namun tidak semua perselisihan dapat diselesaikan dengan cara damai sehingga tidak jarang suami ataupun istri yang tidak dapat menyelesaikan perselisihannya melakukan sesuatu hal yang semakin dapat menimbulkan perselisihan lagi. Salah satu contoh yang paling sering terjadi yaitu dari pihak suami seringkali membawa wanita lain ke dalam kehidupan perkawinannya seperti melakukan poligami dalam perkawinannya. Apabila sampai terjadi poligami dalam suatu perkawinan maka akan menimbulkan akibat hukum sebagai konsekuensi dari poligami tersebut. Poligami merupakan bentuk penampakan konstruksi kuasa laki-laki yang superior dengan nafsu menguasai perempuan yang mana dapat menambah beban perempuan sehingga dalam kenyataannya poligami merupakan suatu perbuatan penindasan terhadap perempuan yang tidak berpihak pada rasa kemanusiaan dan keadilan.7
Pada umumnya, perkawinan tersebut menganut asas monogami yang berarti seorang suami hanya dapat memiliki seorang istri, tetapi karena satu dan lain hal apabila diberikan izin dan dikehendaki oleh yang bersangkutan maka seorang suami dapat memiliki istri lebih dari seorang. Hal tersebut hanya dapat terjadi apabila memang benar-benar dikehendaki dan diijinkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan hal tersebut hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi berbagai ketentuan yang telah ditentukan oleh undang-undang dan telah diputuskan oleh pengadilan.8 Adapun tujuan dari adanya asas monogami dalam perkawinan ini yaitu dengan maksud untuk menghindari terjadinya perbuatan sewenang-wenang yang dapat dilakukan oleh seseorang sehingga membuat pihak yang lainnya menjadi sengsara hanya karena seorang laki-laki memiliki istri lebih dari seorang.9
Membahas mengenai poligami dalam suatu perkawinan sangat penting karena menyangkut hak-hak apa saja yang harus dipenuhi apabila hal tersebut sampai terjadi. Pihak suami yang ingin melakukan poligami sebaiknya mempertimbangkan terlebih dahulu apa saja dampak ataupun konsekuensi yang dapat ditimbulkan apabila poligami ini terjadi khususnya terhadap psikologis rumah tangga yaitu istri, anak dan keluarganya.10 Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan khusus mengenai poligami ini agar jelas apa saja yang menjadi hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh istri yang sebelumnya. Dengan adanya salah satu permasalahan seperti ini, sangat diperlukan adanya perjanjian perkawinan dalam sebuah rumah tangga. Untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, tidak boleh adanya unsur paksaan yang berarti adanya salah satu pihak yang tidak menghendaki adanya perjanjian tersebut maka pihak yang lainnya tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk tetap mengadakan perjanjian itu. Isi dari perjanjian perkawinan tersebut seluruhnya diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan dan tetap mengacu pada peraturan yang berlaku yang artinya para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian tersebut tetapi tidak melanggar aturan perundang-undangan dan tidak menghilangkan hak dan kewajiban dari pasangan suami istri tersebut.11
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas, apabila sudah ditentukan dalam perjanjian perkawinan apa saja yang harus dan dapat dilakukan apabila poligami terjadi, maka hak-hak istri yang sebelumnya akan terlindungi. Istri yang selanjutnya tidak akan dapat mengambil ataupun mencampuri hak-hak yang menjadi milik dari istri sebelumnya. Bagi pasangan suami istri yang akan membuat perjanjian perkawinan maka harus saling sepakat dan adanya kecakapan dari para pihak yang bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka buat dalam perjanjian perkawinan tersebut.12 Mengenai poligami dalam suatu perkawinan memang
seharusnya telah dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya legalisasi dalam kehidupan perkawinan khususnya terkait dengan pengendalian praktik poligami.13
-
5. Kesimpulan
Perjanjian perkawinan berlaku apabila perkawinan itu telah dilangsungkan. Kesepakatan dalam suatu perjanjian merupakan suatu unsur yang sangat penting. Kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian akan menjadi isi dari perjanjian perkawinan yang berasal dari persesuaian kehendak bersama dari pasangan suami istri yang bersangkutan tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan. Apabila sudah ditentukan dalam perjanjian perkawinan apa saja yang harus dan dapat dilakukan apabila timbul permasalahan termasuk mengenai poligami, maka hak-hak istri yang sebelumnya akan terlindungi sehingga istri yang selanjutnya tidak akan dapat mengambil ataupun mencampuri hak-hak yang menjadi milik dari istri sebelumnya. Maka dengan adanya perjanjian perkawinan ini, hak-hak sebagai istri pun dapat terlindungi.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Muhammad, Abdulkadir. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. (2015). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cetakan XVII. Jakarta : Rajawali Pers.
Jurnal
Masriani, Y. T. (2014). Perjanjian Perkawinan dalam Pandangan Hukum Islam. Serat Acitya, 2(3), 128.
Agustine, O. V. (2017). Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan.Jurnal RechtsVinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, 6(1), 53-67.
Istrianty, A., &Priambada, E. (2015). Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung. Privat Law, 3(2).
Hikmah, S. (2012). Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 7(2), 1-20.
Ahmadi, W. (2008). Hak Dan Kewajiban Keluarga Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal Hukum Pro Justitia, 26(4).
Yuniarlin, P. (2009). Perlindungan Hakim Terhadap Hak-hak Isteri Dalam Hal Suami Berpoligami Di Kota Yogyakarta. Jurnal Media Hukum, 3(4).
Rokhim, A. (2012). Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian. Masalah-Masalah Hukum, 41(1), 59-64.
Subekti, T. (2010). Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian. Jurnal Dinamika Hukum, 10(3), 329-338.
Sunaryo, A. (2010). Poligami Di Indonesia (Sebuah Analisis Normatif-Sosiologis). Yin Yang, 5(1), 143-167.
Disertasi
Al-Hamid, M. B. (2007). Persepsi Tentang Poligami (Studi Pada Suami, Istri Pertama Dan Istri Kedua)(Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaga Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Rapublik Indonesia Nomor 3019)
300
Discussion and feedback